Aku sedang berjalan-jalan setelah sebelumnya berlari cukup kencang demi menghindari kejaran Jonathan. Untuk saya ini, aku tak ingin melihatnya meski sepuluh hari yang lalu diri ini bersikeras menyelamatkannya.
Setidaknya, sekarang Jonathan tahu kebenaran mengenai makhluk sepertiku yang telah jatuh ke dalam parit bernama cinta. Bukan lagi kebahagiaan, melainkan kesakitan, penderitaan yang mungkin akan kualami mengingat pria itu sama sekali tak berempati. Aku tahu pasti, yang ada dalam pikirannya hanya tentang Jean.
Aku yang baru mengenalnya hampir dua bulan yang lalu saja sudah tergila-gila pada Jonathan. Apalagi ia yang telah lama mengenal Jean?
Kususut air mata yang berderai dan meninggalkan jejak basah pada kedua pipi. Lantas, meraupnya kasar walau tanpa air. Jalanan yang kulewati tampak begitu lengang. Padahal ini adalah jalur dengan perhentian khusus para pengemudi truk.
Apa karena terlalu
Kutatap langit yang membentang luas tanpa noda. Baru kusadari, betapa indahnya hari saat angin meniup ribuan awan menjelajahi angkasa.Kututup kedua mata menikmati embusan angin yang menerpa wajah. Setidaknya, aku ingin hidup tenang dan damai meski sebentar. Ya, andai aku manusia biasa dengan segala kejemuan karena letih bekerja."Kau tak boleh terus berdiam diri, Grace. Kita harus segera bergegas."Tanpa membuka mata, aku tahu ini suara Hard. Masih pada posisi awal, kuhirup napas dalam-dalam berharap segala keluh nan kesah turut luntur saat kuembuskan karbondioksida secara perlahan."Bukankah Nathalie sudah dihukum, Hard? Apa lagi yang harus kita khawatirkan?"Terdengar langkah kaki yang kian mendekat. Tak lama, ia turut duduk di sebelah dan menggenggam bahuku dengan erat."Apa lagi katamu? Kau lupa bahwa kau adalah gadis yang ditakdirkan? Kau lupa bahwa Nat
"Aku mendukung semua rencana kalian sebagaimana kalian ingin menyelamatkanku dan Jonathan."Ucapan Jean membuatku tercengang seketika. Aku dan Hard bahkan belum mengatakan sepatah kata pun sejak tiba di apartemen, sedangkan Jonathan tampak menahan tawa sembari menatap ke arah luar jendela. Aku memicing, mencoba menelisik apa yang sebenarnya terjadi."Kau tak apa? Kami bahkan belum mengatakan apa pun, Jean."Aku mengangguk, membenarkan ucapan Hard. Kami bertiga memang pulang ke apartemenku, tapi aku dan Hard harus pergi ke suatu tempat lebih dulu. Kemungkinannya, Jonathan yang sampai lebih cepat telah menceritakan semua masalahnya."Bisakah kita bicara empat mata saja, Grace?"Aku menatap Hard yang juga diperam tanya. Juga menuntut jawab pada Jonathan. Sayangnya, ia bahkan seolah-olah tak mengenali sikap Jean barusan."Kenapa rasanya kau bukan seperti kawanku
Bagai dalam mimpi saat kupatut diri dalam cermin di ruangan tak jauh dari pintu gereja utama. Gaun pengantin dengan warna mint membalut tubuhku dengan sempurna, memperlihatkan tiap lekuk tubuhku pada khalayak ramai.Jean sebagai bridesmaid hanya mengulas senyum sembari mengangkat jempolnya tinggi. Wanita ini, bagaimana ia bisa begitu tulus mendukung rencana ini padahal ia juga mencintai Jonathan."Jangan pikirkan aku, Grace. Aku baik-baik saja. Fokus pada tujuanmu setelah ini."Ucapannya kian membuatku tak mengerti ke mana arah berpikir Jean selama ini. Aku baru tahu rasanya sakit hati saat Jonathan benar-benar menjauh pergi dan enggan mempercayai. Namun, kini harus kusaksikan Jean menyungging senyum melihatku dan Jonathan hendak mengucap janji suci."Aku merasa tak nyaman, Jean. Maafkan aku."Kututup wajah yang telah dirias oleh Jean beberapa saat yang lalu. Mataku terasa panas
"Maka, berjanjilah bersama," perintah sang pemimpin pernikahan.Jonathan memandangku lekat sebelum akhirnya mengangguk. Mungkin, untuk kedua kalinya ia menikah dengan orang yang sama, yang tak dicinta, berat baginya. Kukatupkan bibir rapat, sebeluk akhirnya jemari kekar itu menggenggamku erat.Sontak, aku tergagap mengikuti janji yang dipandu oleh sang pastor dari samping. "Aku berjanji, akan mendampinginya dalam sakit dan sehat, dalam duka dan suka, serta selalu membersamai hingga rambut memutih."Sekonyong-konyong, Jean dan Hard bersorak. Mata keduanya tampak berkaca-kaca. Tiba-tiba, lengan kekar Jo telah menyentuh pipiku lembut.Aku baru sadar, bukankah biasanya mereka yang menikah akan langsung berciuman setelah janji suci? Kukedip-kedipkan mata berulang saat tatapan kami saling mengunci.Aku berdeham, lantas memberanikan diri untuk sekadar buka suara meski tergagap. "K-kau t
Entah apa yang membuat Jonathan tampak berbeda dari sebelumnya. Ia yang sejak awal bersikeras menolak rencana pernikahan, malah berubah amat manis setelah janji suci. Aku bahkan merasa bahwa ia bukan Jonathan.Oh, tidak!"Jangan berpikir macam-macam, Grace!"Suara Hard membuyarkan ketakutanku yang tak berdasar. Ya, untungnya ia datang di waktu yang tepat."Harusnya kau tak datang kemari setelah pernikahan usai, Hard," ujar Jonathan sembari mengenyakkan bokong."Hei! Aku ini ayah mertuamu! Jaga bicaramu!"Kuraih kardigan rajut dari kapstok gantung dan segera menyusul Jonathan ke luar kamar. Benar saja, Hard tampak amburadul saat ini."Kau minum-minum? Sama siapa?"Hard tersenyum, lalu menoleh seolah-olah mencari sosok lain yang harusnya bersama. Aku mengernyit, lantas segera ke pintu utama. Benar saja. Jean yang duduk
Hari sudah hampir pagi saat kulihat Jonathan yang masih bergeming dalam buaian mimpi di sofa dudukan tiga. Ia bersikeras tidur di sana walau sudah kuberi kesempatan untuk berbagi ranjang dengan banyak kesepakatan."Aku takut kau akan berubah pikiran dan membunuhku tepat saat aku terpejam, Grace. Jadi, lebih baik aku cari aman dengan tidur di sofa. Kunci pintumu dan jangan pernah mendekatiku!"Mendengar ocehan Jonathan overprotektif terhadap dirinya sendiri membuatku sedikit geli. Tak ingatkah ia yang begitu rakus menciumku tadi?"Kau membuatku malu telah menikahimu, Jo.""Ya, tidurlah. Aku enggan bicara setelah membersihkan seluruh badan mertuaku karena muntah. Beruntung muntahannya tak mengenai sofa.""Harusnya Hard memuntahkan semuanya padamu. Itu akan lebih baik.""Hei, Nona! Kau istriku sekarang! Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak!"
Aku mengernyit saat mendapati seberkas cahaya mentari merangsek masuk dari celah tirai yang menutupi ruang tamu. Warna abu yang mendominasi, seketika membuatku terbangun.Kondisi rumah sudah jauh dari kata tapi. Berbagai vas dan isinya telah berserah di lantai. Banyak bulu angsa yang juga memenuhi ruangan. Seolah-olah menyihir rumahku menjadi padang salju penuh sampah.Aku mengernyit heran kala mendapati tubuh Jonathan tergeletak bertelanjang dada. Sontak saja, aku membeliak. Ingatan tadi kembali memenuhi ruang.Apa aku?Kulihat jam dinding telah berada di angka sebelas. Tak ada lapar yang mendera. Atau sekadar haus yang menyiksa.Aku beranjak menuju kamar, lalu memperhatikan seluruh tubuh dengan seksama di cermin meja rias. Tak ada yang berubah. Lalu, kekuatan apa yang dimaksud Hard?Dari dalam terdengar Jonathan yang menggeliat. Karena malu, lekas kuderap l
Nathalie menjerit, lalu menatap nyalang pada Jonathan. Dalma sekali kedip, ia mencekik Jo hingga tersudut di dinding.Tak ingin kalah, aku pun melesat, mencoba menghalau Nathalie untuk menggagalkan percobaan membunuhnya. Hebatnya, aku merasa lebih ceapt dari biasanya.Kudorong Nathalie tanpa menghabiskan tenaga, lantas menggenggam Jo dan berlalu lebih jauh dari jangkauan Nathalie hanya dalam sekejap mata.Tubuh Nathalie membentur dinding hingga retak. Benturan terdengar cukup keras, bahkan sempat sedikit bergetar. Sejenak, hening. Tak terdengar apa pun selain deru napas dan degup jantung yang iramanya tak stabil.Kemudian, tawa Nathalie terdengar tiba-tiba. Aku dan Jonathan saling berpandangan, lalu kembali melihat pada tiitk di mana Nathalie berada.Debu-debu tak segera turun, membuat pandanganku mengabur. Tapi sedetik kemudian, bayangan Nathalie mulai mendekat.&nb
Kubuka mata pelan sembari memecing berulang. Seberkas cahaya putih membuatku harus menutup mata lagi untuk beradaptasi."Kau sudah sadar?"Suara Jonathan terdengar begitu dekat nan cemas. Aku mengangguk meski belum tahu pasti di mana diri ini merebah."Kau pingsan dua hari."Aku menanap. Dua hari katanya? Saat membuka mata itulah aku melihat sosok Jonathan dan Jean. Aku .... "Di mana Hard? Bagaimana dengan Nathalie?"Jean mendekat, lalu menggenggam jemariku kuat. "Tenang, Grace. Semua sudah berakhir sesuai rencana kalian."Kulihat Jonathan juga tersenyum ke arahku. Senyum yang membuatku merasa tenang dan aman. "Mana Hard?""Kita tak melihatnya selama ini. Mungkinkah dia kembali ke dunia bawah tanah?"Aku memberengut. "Lalu bagaimana bisa diriku ada di sini? Siaap yang membawaku kemari?""Seorang p
Udara dingin merasuk hingga ke tulang belulang saat kami telah saling berhadapan. Jarak kami masih sangatlah jauh, tetapi melihat kekuatan para iblis itu tak begitu menyusahkan. Sepertiku, pasti tak butuh waktu lama untuk sampai ke sana.Mereka terlihat banyak, menggerombol di ujung padang pasir dekat dengan pintu masuk ke dunia bawah tanah. Aku mulai gusar, tapi Hard makin terlihat kian membara."Jangan pikirkan jumlah, Grace. Kita menang banyak. Bahkan, Pangeran dari Neraka pun memihak."Kulirik para jenderal perang. Mereka telah siap dengan wujudnya masing-masing. Lekas, kuubah diri menjadi jati diri yang sebenarnya. Sementara Hard, tiba-tiba jubahnya bersinar seterang bulan yang menguasai malam. Aku bahkan tak pernah tahu jubah itu bisa menyala dalam gelap.Hanya dalam sekejap mata, Nathalie telah berada di hadapan Hard. Ia melirikku sebentar. "Kau akan meneruskan ini atau akan memberikan Grace s
Hari telah tiba. Matahari di ujung peraduan tampak malu-malu untuk menerik, menghangati bumi. Atau, bisa jadi ia enggan untuk sekadar melihat kerusakan yang akan terjadi.Ini hari terakhir, sebelum esok tiba. Malam nanti, bulan purnama akan bersinar terang untuk yang ke 6500 usai pertempuran pertama.Aku dan Hard masih di dalam mobil, menunggu seseorang yang katanya akan segera datang. Sayangnya, sudah lebih dari dua jam ia tak kunjung menampakkan batang hidungnya."Ke mana pangeran itu?"Hard menggeleng. Aku mengalihkan pandang ke arah luar. Lantas, tercium aroma gairah yang begitu lembut nan menggoda, tetapi juga kuat nan tajam. Entahlah, aku tak bisa mendeskripsikannya.Jauh di ujung jalan sana, kulihat ada seorang pria yang tampaknya melihat ke arahku. Ia mengulas senyum. Ah, bukan. Seringai, ia melempar seringai padaku. Salah satu tangannya diangkat, telunjuknya melambai.
"Sabarlah. Kita hanya harus menyelesaikan ini agar semua usai."Aku mengangguk. Ya. Kita sudah sejauh ini setidaknya harus usai setelah ini. Lima hari lagi. Dan semua akan berhenti. Entah aku atau Nathalie yang mati."Kalian tak perlu ikut bersama kami. Cukup diam di sini. Lindungi aku dengan cara melindungi kalian sendiri. Jangan pergi ke mana pun seorang diri."Akhirnya Jonathan mau mendengarkanku. Begitu pula Jean. Beruntung aku punya keterikatan yang mematikan. Jika saja tak ada ikatan itu, mungkin mereka masih akan bersikeras untuk ikut."Turki adalah negara yang aman. Tak ada iblis murni di sini. Jangan pernah menyahut saat ada yang memanggil kalian. Tak ada yang mengenal nama kalian di sini. Jadi, jika ada yang memanggil nama kalian dengan sangat jelas, bisa kupastikan mereka suruhan Nathalie."Jonathan dan Jean mengangguk, lantas saling berpandangan dalam diam. "Haruskah
Perempuan ini, dia terus menatapku tanpa henti. Tatapan yang mengunci, seolah-olah akulah mangsanya yang terakhir. Sedangkan pria di sampingnya, ia malah menatap nyalang, seakan-akan akulah musuh bebuyutan."Aku tau, masing-masing dari kalian punya motif tersendiri. Jadi aku meminta bertemu hanya untuk meyakinkan, bahwa Grace memanglah gadis yang diramalkan."Keduanya mendesis bersamaan. Pasangan ini memang tampak serasi. Satunya cantik dengan bagian bawah tubuhnya bak ular, sedangkan yang satu pun terlihat lebih tampan dari iblis kebanyakan. Tubuhnya penuh sisik dengan jambul di kepalanya. Perpaduan manusia dan ular yang menarik."Kalian tau, kekuatan kami tak sebanding dengan banyaknya pasukan yang telah disiapkan di barat gate. Banyak dari mereka punya kekuatan yang lebih daripada kami," ucap Damballa."Aku tak meminta kalian untuk bertarung berdua. Kita bersama. Ada banyak, mungkin lebih dari dua
"Kau yakin, mereka aman di sana?"Hard mengangguk. Diembuskannya asap sisa pembakaran sigaret yang terjepit di antara kedua jemarinya. Ia tampak tenang, seperti biasa."Kalau mereka berontak? Menyusul ke Turkmenistan, apa yang bisa kita lakukan?"Kali ini, tatapan teduh Hard menatapku dalam nan lekat. "Kau tau, Grace. Meski Jonathan punya kekuatan sepertimu, dia tetap manusia biasa seperti pada umumnya. Sedangkan yang akan kita hadapi nanti adalah peperangan sesama iblis yang tak punya belas kasih. Jika Jonathan mati di sana, tak berguna lagi peperangan ini tercipta.""Lantas, untuk apa separuh kemampuanku ditransfer padanya?"Hard terdiam. Ia meraih bahuku setelah meletakkan sigaret di asbak. "Itu bukan keinginan kita. Itu kerja alam. Timbal balik dari penyatuan kalian berdua."Aku menghela napas panjang, lantas melihat ke sekitar. Lantas, tersentak saat sad
Hari sudah gelap saat pesawat yang kami tumpangi baru saja mendarat dengan mulus. Penerbangan dari Miami ke London memakan waktu lebih dari delapan jam. Terhitung, sudah seminggu aku dan Hard mengumpulkan banyak sekutu.Menurut perhitungan dari laporan seluruh iblis yang menerima persekutuan, sudah ada sekitar 18 iblis murni yang mengulurkan tangan. Belum iblis turunan yang memang mereka ikut sertakan."Itu bahkan sebelum seperempat dari total iblis murni yang memihak Nathalie, Hard."Ucapan Jonathan memang benar adanya. Namun, hampir semua iblis yang telah rela mengubah haluan itu adalah para barisan makhluk tertua. Bahkan, terkuat pada eranya.Terlebih Jersey. Ia tak akan mati semudah itu. Tak ada yang tahu apa kelemahannya, kecuali aku. Pukulannya mampu membelah bebatuan besar. Jika ia masih memegang janjinya, aku tak perlu khawatir pada musuh yang mungkin tubuhnya lebih besar.
"Kau beruntung tanduknya bisa tumbuh lagi, Grace."Aku membuang muka. Bukan salahku jika harus meladeni amarahnya, 'kan?""Memang bukan salahmu karena membela diri. Hanya saja, kau lupa bahwa ada peraturan mengenai hak wilayah perburuan. Bukan hanya manusia yang punya dasar-dasar aturan. Kita juga punya."Kuhela napas panjang, lantas kembali menatap titik-titik cahaya di dekat telaga. Mungkin, para manusia itu sedang mencari sumber suara geraman yang tercipta tadi. Aku tak yakin, mereka akan menyimpulkan ini ulah hewan buas. Kerusakan yang terjadi di luar nalar dan batas binatang."Biarkan mereka dengan opini masing-masing. Setidaknya, jangan sampai manusia tahu banyak iblis berada tak jauh dari mereka."Aku bergeming, lantas menatap Hard dan Jersey bergantian. "Ia tak kembali ke wujud manusia?"Hard mendekat, lalu duduk bersisian denganku. "Dia bukan iblis s
"Beraninya kau melanggar batas!"Suara berat itu menggelegar, membuatku sedikit terguncang. Ia melompat, dalam sekejap saja sudah berada di hadapan. Seluruh tubuhnya yang merah, serta tanduk yang memanjang membuatku ngeri menatapnya lebih lama.Tubuhnya yang gempal langsung membekap dan membawaku bersamanya. Dari ketinggian, kulihat Jonathan yang bergeming di bawah sana. Pun Hard yang juga mematung di tempat.Cepat kubentang sayap hendak meloloskan diri dari cengkeraman tangan besarnya yang kuat. Sayangnya, untuk bergerak seidkit pun aku tak mampu. Apalagi hendak membentangkan kedua sayap."Kau tak akan bisa lepas!"Sekali lagi, suara itu menggema bak lindu yang mengguncang. Kulihat sekeliling, mengabaikan embusan angin. "Hard!"Brak!Tubuhku dibanting, aku terpelanting hingga menabrak bebatuan di pinggiran danau. Kepalaku pusing. "Tu ...