"Stop! Stop ... hentikan!” teriak Atha tidak tega melihat gadisnya meraung kesakitan.
“Ini maksudnya kumaha atuh?” Si nenek bertanya dengan bingung.
“Hentikan urutnya! Aku nggak mau Bela mati,” perintah Atha tegas.
Si nenek menatap Atha dengan tajam. Bela sendiri langsung bangkit. Dia menyambar tas selempang yang terletak di sebelah tempat ia berbaring. Gadis itu langsung berdiri di samping Atha.
Wajah Bela masih terlihat pucat. Sementara bibirnya juga meringis menahan nyeri. Tangan gadis itu terus mengusap-usap perutnya yang tadi sempat diurut oleh si nenek.
“Kita pergi,” putus Atha yakin.
Air mata Bela menitik. Gadis itu mengangguk bahagia. Tanpa ragu-ragu dia memeluk belahan jiwanya.
"Ayo, Pak, kita periksa rumah Ibu Hani! Saya yakin pasti anak saya bersembunyi di rumah ini,” tutur Bapaknya Bela tanpa ragu.“Tunggu-tunggu!” Hani menginterupsi, “atas dasar apa Bapak nuduh kami yang menyembunyikan putri Bapak? Bapak punya bukti? Tunjukan!” tantangnya berani walau pun masih dalam gendongannya Panji.“Saya sudah mencari Bela di rumah teman-temannya dan keluarga kami. Tapi gak ada kami temukan,” balas Papa Bela lantang.“Hanya karena itu Bapak menuduh kami menyembunyikan Bela? Hah ... picik sekali,” ejek Hani dengan senyum merendahkan.“Ibu Hani, Bapak Beni melaporkan putra Ibu yang telah membawa kabur putri beliau. Untuk kepentingan penyidikan, kami minta tolong kerja samanya,” pinta seorang petugas dengan sopa
Atha dan Bela tengah menyaksikan siaran televisi. Keduanya baru saja menyantap pop mie. Mereka sedang asyik menikmati camilan yang dibeli di Indoapril.Keduanya duduk berdempetan. Tawa canda mewarnai kebersamaan mereka. Rasa kalut dan bingung beberapa waktu lalu telah sirna. Kini Atha dan Bela merasa dunia hanya milik berdua.“Tha, emang mulai kapan kamu nyari kontrakan?” tanya Bela dengan bibir mengunyah jajanan.“Tar lah kapan-kapan,” sahut Atha enteng. Tangannya mencomot jajanan ringan yang tengah dipegang Bela. “Nunggu diusir dulu. Tapi aku yakin sih, Kenzi gak bakalan ngusir asal kita pandai ambil hatinya. Apalagi anak itu gak tegaan.” Cengiran mewarnai bibir Atha.“Terus ... kapan kamu nyari kerjanya?”“Ahhh ... i
Banyu terus melangkah. Dia menapaki tangga besi itu tahap demi tahap. Tiba di atas dirinya tidak menemukan apa pun.Banyu membutuhkan penerangan untuk memperjelas penglihatan. Dia merogoh kantong celananya untuk mengambil ponsel. Pria itu mulai menyalakan senter pada benda pipih tersebut. Tangannya mengarahkan ponsel tersebut ke segala penjuru.Banyu terus melangkah. Benar-benar tidak ada orang. Lelaki itu kembali memeriksa sekeliling.Sementara di dalam penampungan, Bela dan Atha sudah mulai merasa kekurangan udara. Apalagi airnya cukup dingin. Seperti air dari dalam lemari pendingin. Bela sampai menggigil karenanya.“Aku gak kuat, Tha,” rengek Bela merasa ketakutan.“Ssst!” Atha langsung membungkam mulut Bela dengan tangannya. “Jangan sampai
"Mamaaa!" Atha terus memanggil ibunya. Dia menepis pegangan tangan polisi. “Biarkan saya ngomong sama Mama, Pak. Sebentar saja. Saya mohon,” izinnya dengan menangkupkan kedua tangan.“Ya sudah sana jangan lama-lama!” Polisi berbadan tinggi itu mengizinkan.Atha mengangguk senang. Anak itu berlari dan langsung menghambur mendekap Hani.Hani yang tidak siap ditubruk sedikit oleng karenanya. Beruntung Panji menahan. Sehingga wanita itu tidak terjatuh.Untuk mengambil hati Hani, Atha bersujud dan mencium kaki wanita itu.“Tolong maafkan aku, Ma,” ucap Atha dengan air mata buaya. Persis Hani jika sedang bersandiwara. Anak itu berdiri. Dia mengambil dompetnya. Anak itu menggenggamkannya pada Hani. “Ini uang sama ATM Mama aku balikin.&rdq
SepanjangperjalananPanji hanya membisu. Dia tidak menghiraukan semua perkataan yang Hani lontarkan. Hati kecilnya terus berteriak kalau dia tidak setuju jika harus menjual mobil Avanza-nya. Apalagi Pajero dalam status gadai.Pria itu memilih diam. Karena apa pun alasannya dirinya selalu kalah jika berdebat dengan Hani. Hingga akhirnya mereka sudah sampai di rumah.Saat membuka pagar gerbang, Panji melihat ada mobil Tantri di halaman rumahnya. Hatinya merasa bungah. Karena ada yang akan membelanya. Panji juga tahu Tantri sering menang jika berdebat dengan Hani.Dengan setia dia membimbing Hani turun. Langkah Hani memang sudah membaik. Namun, wanita itu masih terlampau manja untuk berjalan sendiri.“Mbak.” Panji menyapa kakaknya yang sedang duduk.
"Sekarang Pak Panji tiduran dulu,” suruh Pak Ustad sembari mempersilakan, “dan mohon cincin kawin Pak Panji dilepas juga," imbuhnya saat Panji hendak merebahkan tubuh.Panji menurut. Lelaki itu mencopot cincin kawinnya. Dia memberikan benda tersebut pada sang kakak besertaponselnya.Tantri menerima benda berbahan emas putih serta layar tipis tersebut. Perempuan itu menyimpannya pada tas yang ia bawa. Selanjutnya ia menyaksikan apa yang akan dilakukan Pak Ustad pada adiknya.Panji sendiri mulai merebahkan tubuhnya pada karpet berwarna merah tersebut. Dia perlahan menutup mata. Jujur dirinya merasa cukup tegang.Pak Ustad beringsut. Dia duduk di depan kepala Panji. Dirinya tersenyum melihat kegugupan pada tampang pasiennya.“Pak Panji rileks saj
"Sudah jangan terlalu dipikirkan." Tantri menenangkan sang adik, "ayok temui Pak Ustad. Bilang terima kasih sama beliau," suruh Tantri ngemong.Sewaktu Panji mandi Pak Ustad keluar dari mesjid bersama sang istri. Mereka masuk ke rumahnya. Tinggallah Tantri dengan beberapa karyawannya. Wanita itu sempat diajak masuk sama istri Pak Ustad. Namun, Tantri menolak dengan alasan menunggu Panji.“Ayok, Mbak!” Panji mengiyakan dengan anggukan.Keduanya beranjak meninggalkan mesjid. Namun, saat Panji tengah memakai kembali sepatunya ponsel pria itu terdengar berdering kembali.Panji mengecek layar gadgetnya. Dia mendengkus malas. Pria itu hanya diam membiarkan ponsel itu berbunyi tanpa bermaksud untuk mengangkatnya.Tantri menghampiri adiknya. “Kok gak diangkat? Ha
Panji masuk ke kamar. Terlihat Zea sang putri masih tertidur. Mulutnya tengah mengisap dot susu. Pria itu mengelus pelan rambut anak itu.Tiba-tiba mata Panji tertuju pada buffet dalam kamar. Dia teringat jika semua dokumen pentingnya ia taruh sembarangan di salah satu lacinya.Panji bergerak mendekati furniture bergaya minimalis tersebut. Dia sedikit jongkok untuk membuka laci buffet paling bawah. Tampak satu bendel map.Tangan Panji meraih map berwarna hijau tersebut. Terlihat beberapa surat penting seperti sertifikat tanah rumah, toko onderdil, bengkel hingga BPKB Avanza. Semuanya masih lengkap. Hanya kurang BPKB Pajero yang tengah ia gadai pada Banyu.“Aku harus nyembunyiin ini semua. Kalo enggak Hani bisa sembarang gunain surat-surat ini,” tekad Panji yakin.
Besok pagi adalah pesta ulang tahun Azriel yang kesebelas. Tumben-tumbennya bocah yang sudah mulai beranjak gede itu minta pada ayahnya untuk diadakan pesta. Padahal selama ini Azriel tidak pernah mau jika hari lahirnya dirayakan. Walaupun berkali-kali dulu sudah dibujuk oleh Layla, Panji ataupun Banyu.Bukannya Layla tidak mau menuruti keinginan Azriel. Namun, kondisi tubuh wanita itu sudah tidak memungkinkan lagi untuk mengurus persiapan pesta. Hari perkiraan lahir tinggal seminggu lagi. Badannya juga terasa amat berat. Malah sedari pagi sebenarnya dia sudah merasakan mulas-mulas ringan.Kehamilan kali ini membuat berat badan Layla naik lumayan drastis. Jika sebelum hamil bobot tubuhnya paling berat hanya lima puluh kilogram. Sekarang sudah mencapai enam puluh delapan. Hampir dua puluh kilogram penambahannya.Anehnya banyak yang bilang jika hanya bagian perut dan pipi saja yang mengalami peningkatan. Lainnya tetap terlihat normal. Dan yang membuat
Tiga hari kemudianLayla tengah mematutkan diri di cermin. Siang itu dia akan pergi periksa kandungan. Usia kandunganku sudah memasuki minggu ketiga puluh lima.Detik-detik menanti kelahiran. Layla sudah harus cek kandungan seminggu sekali. Beruntung Banyu selalu bersedia menemaninya untuk check up. Sesibuk apapun dirinya tidak pernah absen.Ketika Layla baru saja memoles bibirnya dengan lipstik terdengar derit pintu kamar. Perempuan itu menoleh. Seraut wajah kusut datang. Banyu suami tercinta melangkah masuk dengan gontai.Pria itu melempar begitu saja tubuhnya ke ranjang dengan tengkurap. Wajah Banyu terbenam pada bantal bersarung warna putih tersebut. Mau tak mau aku harus menghampiri sang suami."Ayang Mbep, ada apa ini?" tanya Layla lembut. Perlahan dia memegang pundak suami tercinta. "Dateng-dateng kok mukanya ditekuk gitu?" tegurnya perhatian.Banyu membalikkan badan. Wajah pria yang sehari-hari tampak tenang kini terlihat keruh. "Bu
Layla dan Banyu tengah jalan pagi mengitari komplek. Aktivitas menyehatkan itu sudah Layla jalani dari awal hamil. Syukurnya Banyu selalu setia menemani.Padahal Layla tidak pernah mengajak sang suami. Namun, Banyu punya kesadaran untuk melakukan olahraga tersebut. Karena kata Banyu, jalan pagi itu selain mudah, murah, juga kaya manfaat yang baik untuk kesehatan tubuh.Banyu sendiri berusaha menjadi suami yang siaga. Jadi setiap pagi sebelum berangkat kerja, dia menyempatkan diri untuk menemani sang istri jalan pagi. Selain itu dirinya juga sekalian berolahraga untuk kebugaran tubuh.Jalan kaki dipilih karena dapat menjaga berat badan, menurunkan kadar kolesterol, serta menyeimbangkan tingkat tekanan darah. Sehingga mengurangi resiko kelahiran prematur.Satu jam berlalu. Layla merasa cukup berolahraga. Peluh sudah mulai membanjiri badan. Belum lagi cacing di dalam perut sana meminta jatah makan pagi. Akhirnya wanita itu pun mengajak sang suami untuk
"Hani hamil anakku?” gumam Panji tidak percaya. Pria itu tertawa sumbang, “kami bahkan sudah berpisah hampir dua bulan, Pak. Dan sebelum itu, aku dan Hani juga sudah pisah ranjang,” papar Panji menerangkan keraguan hatinya. “Terus kalo bukan anak kamu, itu anaknya sapa?” sergah Bapaknya Hani mulai meradang, “Hani memang bukan wanita yang alim, tapi saya bisa menjamin kalo dia gak akan mungkin murahan menjajakan diri,” semburnya cukup lantang. “Ayah!” Dari dalam menghambur Zea yang diikuti oleh Bik Ijah dan Tantri. Kakak Panji itu sengaja mampir begitu pulang dari kantor. Perempuan itu ingin mendengar jalannya sidang perdana perceraian sang adik. “Pak Hadi?” sapa Tantri begitu sadar akan kehadiran mertua adiknya, “dari Bogor langsung ke sini kah?” “Gak,” sahut
“Dia bukan istri saya,” tampik Bapak Beni begitu dokter menyangka Hani adalah istrinya.“Oh bukan? Lantas adiknya?” Dokter bertanya seraya membetulkan letak kaca matanya.“Bukan adik saya juga.” Pak Beni kembali menggeleng.Dokter seumuran Pak Beni itu tersenyum. “Oke ... entah itu teman, saudara atau pun tetangga, saya cuma mau menjelaskan kalo ibu ini lagi hamil. Dan sekarang sudah menginjak minggu ke delapan.”Bapak Beni hanya mengangguk.
Ibu Lia menyeringai puas. Hatinya cukup merasa bahagia melihat Hani beranjak pergi dengan menarik dua kopernya. Wanita itu lantas memotret Hani dari belakang.Walau pun tidak terlihat jelas wajah Hani, tetapi Ibu Hani tetap akan menyebarkan foto Hani yang mengenaskan tersebut. Jika dituruti hawa nafsunya, wanita itu ingin sekali melihat Hani menangis berdarah-darah di hadapannya.Perempuan itu lantas mengeluarkan satu gepok uang pada amplop cokelat. Ibu Lia mengangsurkan amplop tersebut pada seorang kepala preman. Dia sengaja menyewa preman guna mengusir Hani.Ibu Lia pikir Hani masih sama seperti yang dulu. Pintar beradu mulut dan keras kepala. Makanya dirinya mengantisipasi dengan membawa preman.
"Diperintahkan?” Dahi Hani berkerut indah.“Apakah Mas Panji yang menyuruh?”otak Haniberpikir gusar, “tidak mungkin!”Hani menggeleng keras sendiri, “jika dia mau menggunakan ruko ini untukmembuka usaha, harusnya dari kemarin-kemarin cek keadaan ruko ini.”Hani lantas menatap para preman bertubuh besar dihadapannya. “Memangnya siapa yang memerintahkan kalian untuk mengosongkan rukoini?” tanya dia cukup penasaran.“Aku yang menyuruh mereka, Hani.”Hani menoleh. Saking kagetnya melihat kedua kopernyadikeluarkan oleh orang yang tidak dikenal, dia sampai tidakngehjikaada mobil yang berhenti tidak jauh dari pelataran ruko itu.Hani mengenal mobil me
Hani baru saja keluar dari kamar mandi. Hari ini adalah jadwal sidang perceraiannya. Dia akan datang untuk mempertahankan rumah tangganya.Sebenarnya Hani enggan keluar dari kediamannya. Karena sejak tadi pagi dia mual-mual. Padahal dirinya sudah meminum obat masuk angin dan juga asam lambung. Tetap saja perempuan itu diserang enek.Hani membuka koper. Dia mengambil kotak make up yang kini tinggal bedak dan lipstik. Bagaimana pun juga wanita itu ingin tetap terlihat menarik di hadapan Panji.Usai memoles wajah, Hani meraih salah satu koleksi busana terbaik yang dipunyai. Sebuah dress lengan panjang Korea. Koleksi baju panjang perempuan itu tidaklah banyak. Dulu dia begitu menyukai baju-baju mini dan sed
Sopir Ibu Lia mengangguk patuh. Pria paruh baya itu mulai melajukan mobilnya.“Pelan-pelan saja, Pak! Jangan sampai wanita itu tahu kalo kita lagi ngikutin,” suruh Ibu Lia dengan fokus tetap tertuju pada Hani.“Baik.” Pak sopir kembali mengiyakan.Sementara di luar sana, Hani terus melangkah. Pikirannya kosong. Sungguh pemutusan hubungan kerja ini membuatnya bingung.Hani bukanfreshgraduateyang gampang mencari pekerjaan. Dia hanya seorang ibu-ibu yang tidak punya keterampilan khusus. Apalagi berkas-berkas ijazah tertinggal di rumah ibunya.