“Kamu baik-baik aja, Nak?”Bu Sumi menemui Zahra di kamarnya. Sejak pagi anak bungsunya itu sama sekali tak beranjak dari ranjang. Bahkan gadis itu pun enggan mendekat saat Mora menangis barusan.Tak ada jawaban, Bu Sumi mendekat lalu mencabut headset dari kedua telinga Zahra.“Kamu enggak makan dari pagi, kamu sakit?” Bu Sumi kembali bertanya.“Enggak laper.” Zahra menoleh sebentar kemudian kembali fokus pada layar ponselnya.“Nanti sakit loh!”Melihat sang Ibu duduk di sampingnya, Zahra memutuskan untuk bangun meregangkan tubuhnya sebentar lalu mengikat rambutnya asal.“Mora kayaknya demam, dia rewel terus,” keluh Bu Sumi.“Suruh aja Mbak Andin bawa ke bidan.”“Dia enggak mau.”“Terus Ibu mau nyuruh aku, gitu? Bukannya Mbak Andin sudah mengakui Mora anaknya, kenapa enggak mau ngurus?”Bu Sumi hanya bergeming.“Aku mau tidur, Bu. Ngantuk.” Zahra kembali merebahkan tubuhnya.“Ya sudah, yang penting kamu enggak kenapa-kenapa.”“Kok Ibu bisa bilang aku enggak kenapa-kenapa? Setelah engg
[Bersiaplah esok aku akan datang]Zahra melempar ponselnya kasar, andai saja tak ingat jika benda itu berharga jutaan tentu sudah sejak lama ia hancurkan berkeping-keping.[Besok kita mulai persiapan pernikahan kita]“Arghh ... sialan kau David!” pekik Zahra.Sudah tiga hari ini lelaki itu meneror Zahra. Bukan tanpa sebab, itu semua karena Zahra sengaja memblokir nomornya.Sudah seminggu ini Zahra memutuskan untuk tak memegang Mora. Ia sudah merelakan sepenuhnya anak itu pada Andin meski setiap hari Bu Sumilah yang mengasuhnya. Setiap mendengar Mora menangis terkadang ia pun ikut menangis, tapi sekali lagi ia sudah bertekad merelakan Mora. Entah bagaimana nasib anak itu ke depannya, ia hanya bisa pasrah.[Setelah hasil tes itu keluar, kita akan langsung menikah. Aku sudah mempersiapkan semuanya]Lagi-lagi Zahra dibuat geram oleh pesan-pesan yang dikirimkan beberapa nomor baru ke ponselnya. Berkali-kali di blokir nyatanya
“Eh, Zahra, sebenarnya yang ibu kandung bayi itu kamu apa Andin? Kok jadi enggak jelas begini? Dulu Andin enggak terima waktu kamu bilang itu anak dia, sekarang malah ngaku-ngaku.”Zahra yang baru saja pulang langsung dicegat oleh segerombolan ibu-ibu berseragam yang baru saja senam di lapangan voli.“Ibu-ibu kepo, deh! Permisi minggir dulu, aku mau lewat.” Zahra membunyikan klakson motornya.“Jawab dulu, Ra. Jangan bikin kami penasaran. Tahu enggak? Bu Seli sampe meriyang mikirin kasus keluargamu.”“Lah kok?”Zahra menyapukan pandangan pada lebih dari sepuluh Ibu-ibu yang rata-rata bermake up menor tapi luntur karena berkeringat. Saking viralnya kasus yang menimpanya, hingga ia bak artis yang selalu dibuntuti paparazi. Bahkan rumah Uwak Ipah yang berada persis disebelah barat rumahnya menjadi pos pemantauan terpadu untuk mengawasi setiap gerak-gerik orang-orang yang ada di rumah Pak Sarip.“Dia anak Mbak Andin, Ibu-ibu. Udah ya aku mau pulang dulu.” Zahra kembali menarik gas motornya
Zahra menatap gambar bayi di ponselnya. Sudah dua jam ia duduk terdiam di dalam kereta yang membawanya pergi dari kota kelahirannya.“Jangan bilang siapa-siapa, La. Kalo Ibu dan Bapak tanya, bilang aja kamu enggak tahu,” ujar Zahra pada sahabatnya pagi tadi.“Kamu yakin akan pergi? Bagaimana dengan Mora nantinya?”“Ada ibu yang merawatnya. Aku sudah mencatat semua hal yang biasa aku lakukan saat mengasuh Mora. Aku juga udah ninggalin ATM yang biasa aku gunakan untuk menerima uang dari Mas David.”Semalaman berpikir, subuh tadi Zahra terpaksa pergi meninggalkan rumah. Pembicaraannya tempo hari membuatnya takut jika David akan memanipulasi hasil tes DNA miliknya juga Andin. Zahra yang tak mau menjadi orang ketiga di antara Andin dan David akhirnya mengambil jalan pintas untuk pergi diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun.Zahra menatap deretan bangku yang sebagian kosong. Hanya ada beberapa orang yang duduk terpisah yang semuanya sibuk dengan ponsel atau tidur berbaring karena banyak ku
Sudah hampir sebulan berlalu sejak Zahra pergi meninggalkan rumah. Selama itu ia berusaha mencari pekerjaan untuk menyambung hidupnya. Uang tabungan dan uang hasil menjual perhiasan yang ia bawa sudah mulai menipis dan mungkin hanya cukup untuk menutup biaya makan sekitar satu minggu ke depan. Selama bekerja memang gaji Zahra bisa dibilang utuh karena biaya hidupnya ditanggung oleh Andin. Tapi gadis itu juga tak bisa menabung banyak karena gajinya yang hanya setara UMR biasa ia gunakan untuk bensin, jajan, beli skincare, baju yang tak mungkin ia minta pada Andin. Setiap bulan ia juga selalu menyisihkan untuk dikirim pada kedua orang tuanya di kampung. Selama mengasuh Mora, mau tak mau tabungan itu mulai terpakai karena ia tak lagi bekerja. Alhasil, kini semuanya hampir habis tak bersisa. Untung saja mulai besok ia sudah bisa aktif bekerja di sebuah restoran yang menerimanya sebagai karyawan beberapa hari yang lalu.“Ada kabar apa?” tanya Zahra dari balik
“Ini nih biang keroknya, udah bawa pulang bayi, giliran mau dinikahin malah kabur! Mau kamu sebenarnya, hah?”Baru saja tiba di rumah sakit, Zahra langsung dicecar oleh Pak Sarip. Untung Mora dirawat di ruang VIP jadi tak ada pasien lain di sana.“Lihat! Kalo bukan gara-gara kamu, ibumu tak perlu kerepotan kayak gini! Puas kamu bikin orang tua capek? Anak dibesarin bukannya ngringanin benan malah nambah beban!”“Diam, Pak! Ini rumah sakit. Kalo mau marah-marah mending bapak pulang!” sahut Bu Sumi.“Aku lagi bilangin Zahra, Bu.”Zahra memilih tak menanggapi perdebatan kedua orang tuanya, ia langsung melangkah menuju ranjang tempat Mora tertidur.Baru sebulan tak bertemu, Zahra sudah merasa ada yang berbeda dengan Mora. Tak seperti saat terakhir kali ia lihat, tubuh bayi itu terlihat lebih kecil dan sayu.“Terima kasih sudah mau pulang, Nak. Ibu enggak tahu harus bagaimana kalo kamu enggak pulang. Lihat Mora nangis sampai
“Kamu bohong, kan Mas? Itu semua enggak benar, kan?” tanya Zahra dengan suara bergetar.David menggeleng.“Mbak Andin enggak mungkin kayak gitu!”“Aku bertemu dengan Andin di sebuah club malam.”“Pasti kamu yang goda dia, bukan Mbak Andin yang goda kamu!” Tangan Zahra menunjuk wajah David.“Terserah kamu mau percaya atau tidak, yang jelas selama kami menjalin hubungan aku yang memintanya berhenti bekerja di sana. Aku cukupi semua kebutuhannya termasuk uang yang selalu ia kirimkan pada kalian.”Zahra bergeming, ia memang sudah curiga sejak lama pada pekerjaan Andin, mana mungkin seseorang yang hanya bekerja di toko roti bisa mendapatkan uang begitu banyak setiap bulannya. Belum lagi dengan gaya hidupnya yang serba wah, tentu membutuhkan biaya yang tak sedikit. “Jangan selalu merasa tak enak, dia saja tak pernah memikirkan perasaanmu. Wanita seperti Andin itu hanya butuh uang dalam hidu
Zahra mematung saat melihat rumah yang berdiri megah di hadapannya. Rumah dua lantai bercat putih dengan dua pilar besar di depannya terlihat begitu besar dan mewah persis dengan rumah yang sering ia lihat di televisi.“Ayo masuk!” David menarik tangan Zahra.“Ini rumah kamu?” “Bukan, ini rumah kita.”“Ki-kita?” Zahra menunjuk dirinya.“Iya, kita. Rumahku juga rumahmu.”Zahra masih bergeming, ia sedang menerka-nerka berapa banyak kekayaan David saat ini. “Wah, yang ditunggu sudah datang!”Baru saja berjalan beberapa langkah, Zahra dikejutkan oleh kemunculan wanita yang ia taksir berusia empat puluhan. Wanita berkulit sawo matang dengan rambut yang diikat tinggi itu tersenyum ramah lalu mengambil alih koper dan tas yang dibawa David.“Wah, ini anak Mas bos? Wah, cantiknya! Persis Mas Bos,” ujar wanita itu menoel pipi gembul Mora.“Namanya Amora
Zahra menghentikan langkahnya saat melihat seorang wanita bermake up tebal serta berpenampilan glamor sudah berdiri di ruang tamu bersama seorang wanita paruh baya yang duduk di kursi roda.“Silakan masuk,” sambut David dingin.“Terima kasih, maaf jika mengganggu, aku hanya mengantar mama yang penasaran dengan keluarga baru mantan menantunya,” jelas Marta sambil membukan kaca mata hitamnya.Seketika Zahra mematung, entah mengapa ia menjadi tak suka jika harus berurusan dengan keluarga mantan istri suaminya.“Apa kabar, David?” tanya wanita bernama Sarni sambil membenarkan posisi kursi rodanya.”“Ba-Baik, Ma.”David tak menyangka setelah sekian lama akhirnya ia bisa bertemu dengan mantan ibu mertuanya. “Mama apa kabar?” David berjongkok menyejajarkan tubuhnya dengan tubuh Bu Sarni.“Gara-gara kamu enggak mau nengokin mama, dia jadi maksa minta ke sini. Lagian apa salahnya
Suka cita menyambut anggota keluarga baru begitu kentara di rumah David. Suara tangis bayi sesekali terdengar menghiasi rumah mengimbangi teriakan Wati yang semakin kewalahan mengasuh Mora. Anak itu kini sudah pintar berlari, berbicara dengan nada cadel dan melakukan segala hal sesukanya termasuk mengganggu adiknya.Mikola Ardian adalah nama yang disematkan pada bayi berumur dua bulan 0yang kini melengkapi kebahagiaan David dan Zahra termasuk Mora yang begitu antusias dengan kehadiran Miko ditengah-tengah mereka. Anak itu berkali-kali ingin memegang dan mencium adiknya bak bermain boneka.“Diam di situ ya, Sayang. Mbak mau mandi sebentar,” tutur Wati pada Mora.“Ote.” Gadis kecil berponi itu mengangguk semangat.“Titip bentar, Mbak bos.”“Santai, aman kalo sama aku,” jawab Zahra.Zahra meraih Mora dalam pangkuannya. Semenjak Miko lahir, perhatian Zahra memang harus terbagi. Tapi bukan berarti ia melupakan Mora sepenuhnya. Setiap hari ia tetap berusaha meluangkan waktu untuk sekedar be
Seorang wanita bertubuh kurus yang memakai kaos longgar berwarna biru duduk termenung dipojok ruangan. Rambutnya yang kusut dicepol asal hingga memperlihatkan tulang selangkanya yang begitu jelas menandakan tubuhnya yang semakin mengurus. Wajah yang dulu terlihat cantik, mulus dan terawat, kini berubah menjadi kusam dengan beberapa bekas jerawat terlihat di sana.Belum genap satu tahun menjadi penghuni rumah tahanan, Andin sudah merasa tak tahan dan selalu ingin cepat-cepat keluar dari tempat sempit dan menjijikkan seperti sekarang ini. Siapa orang yang tahan menghabiskan harinya ruangan pengap tanpa jendela dan terkurung jeruji besi tanpa bebas keluar masuk tanpa tujuan pasti. Tidur dengan beralaskan kasur tipis nan keras tanpa pendingin ruangan ataupun kipas angin juga harus berbagi dengan dua orang tahanan lainnya yang tak pernah ia kenal sebelumnya.“Arrgghh ...!” pekik Andin sembari menjambak rambutnya kasar.“Berisik! Bisa diem enggak, sih! Lebay banget, sih!” bentak wanita bert
“Ada hubungan apa kamu sama Marta?”“Maksud kamu apa, Sayang?”Zahra melempar kasar ponsel suaminya ke atas ranjang. Hanya berselang beberapa saat setelah Yoga pergi, ia langsung mencecar David.Yakin ada yang tidak beres, David segera mengecek ponselnya. Benar saja, ia menemukan satu pesan yang membuat istrinya begitu marah.“Aku enggak ngelarang kami berhubungan sama siapa pun termasuk keluarga mendiang istrimu. Tapi aku enggak suka kalo kamu menyembunyikan sesuatu dariku!” ujar Zahra.“Aku tak pernah menyembunyikan apa pun. Kamu salah paham!”“Salah paham apanya? Sudah jelas dia bilang terima kasih atas transferannya, itu berarti kamu habis memberinya uang, kan?”“Aku bisa jelasin semua.”“Terserah kamu, Mas.”Zahra hampir saja pergi meninggalkan kamar saat David dengan sigap menahannya. Kesalahpahaman seperti ini tak bisa dibiarkan begitu saja karena ia takut mengganggu pikiran Zahra yang bisa berakibat buruk pada janin di perutnya.“Duduk dulu, ya,” tutur David lembut sambil menu
David duduk seraya menopang dagu saat melihat pemandangan indah di depannya. Seorang wanita berpakaian daster bunga-bunga selutut tengah sibuk berkutat dengan masakannya. Perutnya yang semakin membesar sama sekali tak membuat penampilan wanita itu menjadi buruk, bahkan bagi David istrinya itu kini lebih terlihat seksi.“Ada yang bisa dibantu?” David mendekat lalu melingkarkan tangannya ke perut Zahra.“Mau bantu?” Zahra menghentikan gerakannya mengaduk nasi goreng.David mengangguk, ia mencium tengkuk Zahra sekilas. Meski tak memakai parfum, bau tubuh Zahra seakan menjadi candu bagi David.“Kalo mau bantu, sekarang lepas dan duduk manis di sana?” Zahra menunjuk arah meja makan.“Kan aku mau bantuin.”“Lepas, Mas! Malu kalo Wati lihat.”Bukannya melepas, David malah semakin mengeratkan pelukannya.Saat ini Wati tengah membawa Mora berjalan-jalan ke taman kompleks. Hal itu dilakukan agar anak itu bisa lebih luas mengeksplor lingkungannya. Di sana anak itu bisa beraktivitas bebas di alam
Usia kehamilan Zahra memasuki bulan keempat. Selama ini tak ada kendala yang berarti selain morning sicknes yang Zahra rasakan setiap bangun tidur dan akan hilang dengan sendirinya saat menjelang siang. Untung saja, Wati saat ini sudah kembali bekerja setelah dinyatakan sembuh dan siap untuk kembali melakukan aktivitas sehari-hari. Meski terkadang masih sedikit trauma, namun bagi semboyan wanita itu belum berubah, uang adalah nomor satu dan ia tak bisa berlama-lama berdiam diri di rumah.“Mbak bos, rujak buah sudah siap!” Wati memanggil dengan suara khasnya yang mirip dengan peluit.Dengan sigap Zahra langsung beranjak menuju dapur meninggalkan Mora yang tengah asyik duduk di kuda karetnya sambil berjoget menikmati lagu yang diputar dilayar televisi di depannya.Wajah Zahra langsung berbinar saat melihat berbagai macam potongan buah dalam piring yang tersaji di atas meja lengkap dengan saus gula merah yang tersaji di mangkuk kecil di dekatnya. It
Tiga hari berlalu, namun sikap David belum banyak berubah. Meski tak secara terang-terangan menunjukkan rasa bencinya pada Mora, tapi bisa terlihat jelas jika lelaki itu terus berusaha menghindar untuk bersentuhan langsung dengan Mora.Kemarin Zahra telah memenuhi janjinya untuk mengajak ibu dan Dila jalan-jalan. Meski hanya mengunjungi mall dan arena bermain namun itu sudah cukup membuat kedatangan keduanya ke kota menjadi berkesan.Hari ini keduanya memutuskan untuk pulang. Libur semester yang hampir usai dan Bapak yang sudah berulang kali menelepon membuat Bu Sumi dan Dila tak lagi bisa berlama-lama menemani Zahra. Keduanya pun kemarin sudah menyempatkan waktu untuk berpamitan dengan Andin dan Johan di rutan.“Maaf kami tidak jadi mengantar, Mas David ada pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan,” ujar Zahra beralasan.“Enggak apa-apa, Nak. Lagian kamu lagu hamil muda, enggak baik bepergian jauh-jauh. Sehat-sehat kamu di sini, ya. Kalo ada apa-apa langsung telepon.” Bu Sumi memeluk era
“Mas bisa pegang Mora sebentar, aku mau siap-siap.”Zahra menyerahkan Mora pada David. Bayi itu sudah cantik dengan setelan baju baby doll berwarna pink dipadukan dengan celana leging panjang berwarna putih. Dikepalanya dipasang bandana bunga yang membuat wajahnya terlihat menggemaskan.Hari ini Zahra dan David akan memenuhi janjinya untuk mengajak Bu Sumi dan Dila jalan-jalan. Selain itu mereka juga berniat membeli oleh-oleh untuk dibawa ke kampung.Zahra sedang memoles lipstik dibibirnya saat mendengar suara tangis Mora melengking keras. Tak membuang waktu, ia langsung berlari keluar menuju arah sumber suara. Bu Sumi dan Dila yang sedang berada di kamar pun ikut berlarian karena suara tangis Mora terdengar sangat kencang.“Mora kenapa, Mas?” tanya Zahra mengambil alih anak sambungnya.Ia menimang Mora sebentar agar tangisnya reda. Namun bukannya semakin tenang, tangisan Mora malah semakin menjadi dan betapa terk
“Mas, aku telat 2 minggu.”“Telat?”David masih berpikir. Ia belum terlalu paham dengan arah pembicaraan Zahra hingga istrinya meletakkan sebuah benda kecil di genggaman tangannya.Sejenak ia memperhatikan benda pipih berwarna putih dengan 2 garis merah tertera di sana. David beralih menatap Zahra kemudian benda itu bergantian. Seketika ada euforia yang membuncah di dadanya namun ia belum bisa mengekspresikannya.“Ini beneran? Kamu ha-mil?”“M-Mungkin,” jawab Zahra ragu.Sedetik kemudian David sudah membawa Zahra ke dalam pelukannya. Diciumi wajah istrinya bertubi-tubi seraya terus mengucap syukur dalam hati.“Terima kasih, Sayang,” bisik David.Akhirnya apa yang ia impikan terwujud. Meski ini bukan anak pertamanya karena ada Mora sebelumnya. Namun kali ini pertama kalinya ia akan menjadi seorang ayah yang sesungguhnya yang bisa menemani dan memantau tumbuh kembang calon anaknya mul