"Saya terima nikah dan kawinnya Ardiyanti Ririn Dwi Susilowati dengan mas kawin tersebut tunai!" "Sah!""Sah!"Air mata menitik dari kedua netra Bagus namun segera ia hapus sebelum ada yang menyadarinya. Entah mengapa hatinya merasa bersalah dan tidak merasakan bahagia seperti ketika mengucap ikrar ijab untuk Indri lima tahun yang lalu.Bayangan celoteh serta gelak tawa Zaki semakin menghujam relung batinnya, semakin membuat hatinya merasa sakit atas keputusan menikahi wanita lain.Cinta? Entah ke mana perginya rasa itu dari hatinya untuk wanita yang kini duduk di sebelahnya dan beberapa detik lalu menyandang gelar istrinya, walau hanya menikah siri. Ataukah selama ini dia tidak benar-benar cinta dengan wanita itu?Bu Yati dan Santi adalah dua orang yang paling berbahagia dengan pernikahan ini. Segala angan dan ayal sudah berseliweran di kepala mereka masing-masing dengan kedatangan anggota baru keluarganya yang menyandang gelar PNS. Entah ada apa dengan gelar PNS? Sehingga gelar ter
Pagi ini, Indri dibuat panik oleh Zaki. Setelah semalam tidak tidur karena Zaki rewel, sekarang tubuh Zaki demam tinggi."Kita bawa ke puskesmas cepat, Nduk!" seru Pak Yatno ikutan panik mendapati cucu kesayangannya muntah-muntah."Minggu gini puskesmas tutup, Pak. Langsung ke rumah sakit saja!" usul Bu Halimah juga ikut khawatir."Iya, Mak, Pak. Sebentar, Indri ganti baju dulu." Indri segera ganti baju selagi Zaki dalam gendongan neneknya, tidak sempat mandi karena terlalu panik dan khawatir. Dia hanya sempat cuci muka dan sikat gigi saja. Setelahnya segera menyiapkan keperluan Zaki untuk dibawa."Hayuk, Mak!" ajak Indri sudah siap. Bu Halimah mengangguk, lalu berjalan mengekor Indri keluar rumah."Hati-hati, Nduk. Kabari Bapak secepatnya!" peringat Pak Yatno."Iya, Pak. Doakan semoga Kenang baik-baik saja," ujar Indri mengambil alih satu-satunya kendaraan yang mereka miliki.Indri membonceng emaknya menuju rumah sakit umum Ambarawa, untuk memeriksakan kondisi Zaki. Berhubung hari M
"Apa, sih?" bentak seseorang dari seberang sana. Namun, suara itu membuat Santi mengerutkan kening heran pasalnya suara itu bukan suara sang kekasih tetapi suara seorang wanita. Ia menjauhkan ponsel dari telinga, memastikan bahwa nomor yang ia panggil benar nomor sang kekasih. Dan memang benar panggilan yang sedang terhubung adalah nomor Edo.Lalu siapa yang sedang memegang ponsel kekasihnya? Apakah ayah kandung anaknya itu sedang bersama seorang wanita? Atau jangan-jangan, kekasihnya itu selingkuh?Santi memutus panggilan sepihak, ia merasa ada yang harus ia ketahui tentang ayah kandung dari putrinya itu. Jangan sampai apa yang ia takutkan terjadi."Gak, gak boleh! Aku sudah memutuskan melangkah sejauh ini untuk bisa sama kamu, Do. Kalau kamu berani selingkuh, awas kamu, Edo!" gumamnya dengan nafas memburu, emosi sudah merasukinya, ia mengepalkan kedua tangannya.Ia lantas bangkit berdiri, berganti baju dan segera pergi dari rumah itu. Satu tempat yang menjadi tujuannya sekarang, ru
Gelak tawa riang dari bibir kecil Zaki kembali mewarnai pendengaran Indri, celotehnya sudah kembali terdengar sejak kedatangan lelaki asing yang masih memendam cinta untuk sang bunda.Setelah hampir 4 jam ia habiskan dengan bercanda tawa serta berceloteh riang, kini ia tertidur pulas karena kelelahan."Terimakasih, ya, Sam. Kamu sudah berkenan meluangkan waktumu untuk Zaki," ujar Indri merasa sungkan dan tak enak hati sudah merepotkan."Tak masalah, Ndri. Aku dengan senang hati melakukannya." jawab lelaki tampan itu tersenyum penuh arti."Kamu jangan lupa makan, karena kamu harus kuat demi Zaki." lanjutnya perhatian. Indri mengulas senyum menanggapinya.Keduanya lantas terdiam sesaat, merasa sedikit canggung dan tak memiliki bahan pembicaraan. Karena kini hanya ada mereka saja di ruangan itu, bapak dan adik Indri sudah pamit pulang sedangkan emaknya tengah pergi mencari makan."Ndri!""Sam!"Panggil keduanya bersamaan, lantas keduanya tertawa kecil."Kamu dulu," ujar Samsul memberikan
"Ada apa ini, Bu-ibu?" tanya Bagus mulai khawatir.Mendengar suara Bagus, sontak kerumunan itu menyingkir memberi jalan."Ada apa, Mbak Yanti?" ulang Bagus."Itu, Gus, ibumu pingsan setelah teriak-teriak histeris," ujar wanita tambun itu.Sontak Bagus segera berlari ke dalam, diikuti Ririn di belakangnya. Dilihatnya sang ibu yang terbaring di karpet dengan ditemani Bu RT."Ada apa dengan Ibu saya, Bu RT?" tanya Bagus khawatir."Tadi Bu Yati ditemukan warga teriak-teriak histeris sambil gendong Sheril, lalu tak lama jatuh pingsan di dekat kebun pisang Pak Supri." jelas Bu RT."Sheril? Lalu sekarang di mana Sheril? Mbak Santi?" cecar Bagus lagi."Kalau Sheril ada sama Ismi, dari pagi rewel terus. Kalau Santi, kami tidak ada yang melihatnya." terang Bu RT lagi."Nah, sekarang sudah ada Mas Bagus. Jadi, saya pamit dulu mau ada arisan di rumah." pamit Bu RT diikuti beberapa ibu-ibu yang lain. Rumah kembali sepi, hanya tinggal mereka bertiga saja."Bu, Ibu kenapa, sih?" lirih Bagus membangu
"Assalamualaikum ... ""Walaikumsalam ... Nah, Ibu datang," Indri mendekat dimana Bu Halimah tengah menggendong Zaki yang rewel dan segera mengambil alih sang anak dari gendongan neneknya."Anak sholeh kenapa, Sayang? Kangen sama Ibu, ya?" ujarnya sembari memeluk erat sang anak."Bangun tidur langsung nangis dia, Nduk," beritahu Bu Halimah pada Indri."Udah diperiksa dokternya belum, Mak?""Belum, kata perawat bakda zuhur karena dokternya ada operasi." terang Bu Halimah."Oh, syukurlah kalau gitu, Mak." Indri bernafas lega, dirinya bisa ikut mendampingi Zaki sewaktu diperiksa."Gimana, lancar?" tanya Bu Halimah saat melihat cucunya sudah tenang dipelukan ibunya."Alhamdulillah, Mak. Semuanya lancar, mungkin Senin besok sudah langsung putusan karena semua bukti sudah kuat." jelas Indri mengulas senyum.Bu Halimah pun turut tersenyum tetapi matanya tak bisa berbohong bahwa ada kesedihan yang mendalam di hatinya. Ibu mana yang tak sedih, mendapati anak yang ia lahirkan dan besarkan meng
"Selamat siang Adik Zaki, kita periksa dulu, ya," Sapa dokter Adit bersama seorang perawat asistennya masuk ke dalam ruang rawat Zaki. Kedatangannya menghentikan aktivitas bermain Zaki bersama Bagus yang masih berada di sana. Di ruangan itu ada pula Indri dan Bu Halimah yang setia menemani."Oke, pintar sekali," puji dokter Adit setelah selesai memeriksa Zaki."Hari ini boleh pulang, ya, Bu. Tetap perhatikan kondisi kebersihan botol susu maupun alat makannya, tapi yang paling utama tetap kondisi makanan yang masuk harus bersih. Jangan sampai kembung dalam 3 hari ke depan, karena nanti bisa kembali muntah. Jangan telat makan, karena bisa memicu demam." lanjutnya berpesan panjang, Indri mengangguk tanda paham.Dokter Adit tersenyum begitu manis kepada Indri, bahkan mengabaikan tatapan Bagus yang seolah tak suka."Dilihat dari sudut manapun dia secantik ini, calon janda meresahkan." gumam dokter Adit dalam hatinya. Lalu kembali tersenyum begitu manis."Pulangnya nunggu injeksi terakhir
Santi mengerjab perlahan sebelum kedua matanya terbuka secara sempurna, cahaya terang lambat laun menjadi semakin sempurna masuk dalam penglihatannya.Tubuhnya terasa remuk redam dengan nyeri di sekujur badan, kepalanya pening dan wajahnya seperti kebas. Ingatannya mencoba merangkai kembali apa yang terjadi padanya, sedetik kemudian air matanya jatuh tak tertahankan. Dalam hati meracau memanggil nama anak dan keluarganya.Tak ia hiraukan kondisi tubuhnya sendiri, ia perlahan bangkit dari tidur. Masih tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh polosnya, menelisik tubuh bagian depan. Bercak merah tanda kebuasan para lelaki yang menikmati tubuhnya tercetak jelas hampir memenuhi setiap inci kulit putihnya. Tak hanya tanda merah, tetapi juga lebam kebiruan yang kentara terlihat. Bukti bahwa para lelaki itu tak hanya menikmati tubuh moleknya sebagai pemuas hasrat namun juga sebagai samsak, meluapkan emosi di tengah gempuran hasrat bir*hi. Jika boleh ia memilih, ia lebih memilih mati daripada h
Tiga tahun kemudian ..."Yeeeeyy ... Selamat ulang tahun kakak Zaki!"Seru semua orang yang menghadiri acara ulang tahun ke-5 dari putra Indri bernama Danindra Alzaki Maulana. Pesta meriah dengan tema Super Mario yang merupakan tokoh kartun favorit sang putra.Di samping kanan sang pemilik acara, ada sang bunda, Indri lengkap dengan Papa Danu dan adik kecilnya bernama Zivara Alzahira Maleakhi yang baru berusia 6 bulan. Di samping kiri ada ayah Bagus beserta Mama Via yang tengah mengandung calon adik keduanya yang masih 7 bulan dalam kandungan.Mereka semua berdiri di belakang sebuah kue besar dengan banyak lilin di sana. Aneka hadiah dan tumpukan kado pun tak luput memenuhi meja kanan dan kiri kue tersebut.Semua nampak gembira, tersenyum bahagia merayakan pertambahan usia Zaki sang putra mahkota. Semua kompak mengenakan busana bernuansa merah dan biru.Pesta meriah di salah satu restoran mewah di kawasan Ungaran selatan itu mengundang seluruh keluarga dari pihak ibu maupun ayahnya.
Minggu berganti bulan, sudah hampir 5 bulan berlalu sejak pernikahan super mewah Indri dan Danu digelar. Bagus, semakin sadar diri bahwa dia harus menepi. Tak ada setitikpun harapan bisa kembali membersamai ibunda Zaki, sang mantan istri."Gus, kamu enggak mau buka hati untuk wanita lain?" tanya Santi pelan saat mereka usai makan malam."Untuk sekarang ini enggak, Mbak. Aku hanya mau fokus kerja, kita masih banyak kebutuhan terutama untuk kesembuhan Ibu." sahutnya pelan namun tegas."Iya, sih, tapi jangan lupakan kebahagiaan kamu sendiri, Gus. Mbak pun punya penghasilan walau hanya cukup untuk makan, jadi jangan kamu pikul sendiri beban keluarga ini," tukas Santi mencoba membujuk adik kesayangannya untuk mencari pendamping hidup.Bukan ia tak mau mengurus keperluan sang adik, tetapi ia sangat paham bahwa ada beberapa kebutuhan yang tidak bisa ia lakukan seperti selayaknya pasangan. Dan ia paham betul bahwa adiknya butuh pendamping hidup."Jujur aku takut, Mbak, ada rasa tidak percaya
Di sebuah ruang gelap, lembab dan pengap, seorang lelaki terbaring nyaris tanpa alas. Sarung teramat lusuh yang telah lecek, kotoran bercampur nanah dan darah yang telah mengering menguarkan aroma yang membuat perut bergejolak. Jari jemari di kedua kakinya nyaris tak lagi tersisa akibat membusuk hingga terlepas satu persatu, tubuh yang tinggal tulang berbalut kulit saja membuatnya tak mampu menegakkan tubuhnya sekedar untuk duduk.Terlebih, rasa nyeri dan sakit luar biasa di area kemaluannya, yang terus membengkak dan mengeluarkan darah serta nanah yang tak henti menambah penderitaan di setiap hembusan nafasnya.Merintih, mengerang, menjerit lalu meratapi buruk nasibnya hingga ia sangat berharap bahwa kematian segera menjemputnya, tapi sayangnya sang malaikat maut seolah enggan mendekatinya. Membiarkannya mengalami kepedihan sampai kata taubat itu keluar dari mulutnya.Dialah, Edo. Sang penjahat kelam*n, sang predator, germ* dan entah sebutan apalagi yang pantas tersemat untuknya."D
"Anakku, Setyadanu Adimas Budianto bin Rudi Budianto. Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kandung saya, Indri Kartika Sari binti Suyatno Martorejo. Dengan mas kawin seperangkat alat sholat, set perhiasan emas seberat 60 gram. Uang tunai senilai tiga puluh juta seratus dua puluh tiga ribu dan sebuah rumah lengkap dengan isinya dibayar tunai!""Saya terima nikah dan kawinnya Indri Kartika Sari binti Suyatno Martorejo dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!""Sah!"Sah!"Alhamdulillah ... "Lantunan hamdalah menggema di ballroom The Wujil Resort and Convetions yang keluarga Danu sewa untuk mengadakan perhelatan mewah akad dan resepsi pernikahan Danu dan Indri. Usai kata sah terucap, Indri menangis haru. Meski ia sangat bahagia, tak dapat ia pungkiri ada rasa takut menelusup di relung batinnya yang terdalam. Kegagalan di masa lalu sedikit banyak memberinya rasa trauma dan ketakutan tersendiri dalam menjalani biduk rumah tangganya yang baru kelak. Akankah, dia berhasil sampai
"Gimana persiapan kalian? Udah beres semua?" tanya Ibu Riyanti saat kami janjian makan siang bersama hari ini.Ini kali ke 4 kami ketemu lagi sejak terbukanya inisal SAB yang kukira Samsul kala itu. Mengingat Samsul, rasanya ingin sekali meremukkan kepalanya karena pernah melakukan kesalahan fatal padaku, tapi ya sudahlah lebih baik melupakan daripada terus membuat sakit hatiku.Pertemuan pertama kali dengan Bu Riyanti adalah saat ke rumah bersama Danu, ke dua saat perkenalan keluarga, ke tiga saat lamaran resmi dan kali ini finally persiapan pernikahan kami yang tinggal menghitung hari. Pancaran mata teduhnya, senyum hangatnya dan perlakuannya sama sekali tidak berubah. Malah semakin hangat saja kurasakan. Dengan demikian, ketakutan dan keraguanku semakin luruh tak bersisa. Karena jujur, aku sempat takut kalau-kalau keluarga Danu akan berubah seperti keluarga mantan padaku."Alhamdulillah sudah beres, Bu. Hanya tinggal futting terakhir 2 hari lagi, yang lainnya sudah beres semua." ja
Santi termangu menatap rumah kontrakan Bagus, sang adik. Ada rasa ragu yang menyelinap di kalbu karena rasa malu dan rasa bersalah. Bayang perlakuannya pada istri adiknya di masa lalu melintas begitu saja, menghadirkan rasa sesak yang tiba-tiba menghantam dadanya.Rumah yang dulu selalu bersih dan rapi itu kini nampak tak terawat. Rumput liar sudah semakin nampak terlihat di sela-sela paving blok, daun rambutan kering berserakan di mana-mana membuat rumah ini nampak seperti rumah kosong. Hampir satu tahun ia menghilang, ia begitu banyak melewatkan kabar dari keluarganya. Dalam benaknya hanya satu, seperti apa putrinya sekarang? Terurus dengan baikkah atau justru sebaliknya? Bagaimana kondisi sang Ibu, masih seperti dulukah? Lalu, bagaimana dengan Bagus, adiknya? Sudah tahu akan belang istrinyakah? Atau justru mereka kini masih bersama?Berbagai tanya mengisi penuh kepalanya, hingga tanpa ia sadari ada dua orang tetangganya yang melintas di depan rumah Bagus, Ismi dan Nurul. Mereka me
"Seriusan?" kejut Neti lagi, tanpa ia sadari senyumnya terbit begitu saja.Ari mengangguk meyakinkan karena selama dua bulan ini dia selalu bersama Bagus jadi dia tahu cerita hidup partnernya itu."Tapi harus sabar dulu, hatinya masih terluka dengan kelakuan mantan istri keduanya sampai dia kehilangan anak yang belum lahir ke dunia. Kalau yang mau ditemuinya nanti itu anak dari mantan istri pertamanya," papar Ari semakin membuat mata Neti terbelalak kaget."Maksudmu piye, to?" "Panjang ceritanya, Mbak, dan bukan hakku buat cerita urusan pribadi dia. Hanya, kalau Mbak Neti menyukainya, jangan perlihatkan dengan kentara tunggulah sampai luka hatinya sembuh." beritahu Ari lagi."Tapi--""Udah, yok berangkat!" ajak Bagus yang sudah kembali bergabung, memotong pertanyaan lanjutan dari mulut Neti pada Ari.Ketiganya lantas bergegas menuju mobil, sepanjang jalan dari Ungaran ke Ambarawa banyak diisi oleh obrolan hangat seperti biasa. Sesekali mereka tertawa dengan banyolan Ari yang mampu me
"Ka-kamu!""Sudah kuduga," ucap Indri dengan tatapan sinis yang sarat akan kekecewaan. Membuatnya menelan ludah susah payah, wajah tampannya mendadak pucat pasi."Kenapa?" tantang Indri maju satu langkah, sedang dia mundur satu langkah."Kenapa kamu lakukan ini padaku, Samsul Ali Bahrudin?" tanya Indri tanpa melepas tatapannya pada Samsul yang bergeming. Otaknya mendadak blank begitu berhadapan langsung dengan Indri yang menatapnya penuh dengan sorot kekecewaan. Sungguh, dari dulu ia selalu kalah dengan tatapan mata itu. Padahal dari awal dia merencanakan semua ini, ia sudah bertekad untuk mendapatkan Indri apapun caranya."Kamu menginginkanku, bukan? Sekarang ayok lakukanlah!" tantangnya dengan suara parau menahan tangis."Kau menjebakku dengan obat tidur agar kau bisa memperko**ku, bukan? Sekarang ayok lakukan dengan keadaan aku sadar sepenuhnya. Supaya aku semakin yakin, bahwa kamu adalah satu-satunya temanku yang paling pengecut dari ribuan temanku yang lainnya." tetes demi tetes
Dalam keadaan yang seperti ini, semua indera dituntut untuk bekerja secara maksimal. Indri yang sedang pura-pura masuk dalam jeratan obat tidur memakai telinganya untuk mendeteksi keadaan sekitar. Setelah ia rasa aman karena tak mendengar pergerakan apapun, ia perlahan membuka matanya. Kosong,Ia edarkan pandangan ke sekeliling, dan hanya mendapati furniture kamar hotel. Tak ia lihat satupun manusia di dalam sana. Beringsut turun dari bed lalu melangkah pelan menuju jendela yang tertutup gorden.Menyibak sedikit dan lalu ia dapati satu orang laki-laki yang tadi berjaga sendirian. Entah ke mana dua rekannya, yang jelas ini memudahkannya melumpuhkan lawan.Dengan gerakan tanpa suara, ia kembali menjauh. Mencari di mana letak tasnya, dan sayangnya tak ia temukan di dalam kamar. Ia kembali menyibak gorden, lalu senyumnya mengembang saat melihat mobil calon suaminya terparkir manis di depan kamar seberang kamarnya ini meski berjarak agak jauh. Ia percaya bahwa saat ini Danu pun tengah men