Yaya memandangi wajah atasannya dengan penuh tanda tanya. Heran melihat pria itu menepuk jidatnya."Pak, apa saya salah?" tanya Yaya dengan wajah heran."Cepat sarapan setelah itu ke ruangan saya. Hari ini kamu temani saya ke lokasi baru yang akan di bangun hotel!" ucap Bima.Joe masih tampak mengulum senyum, sehingga Yaya bertanya dengan kerlingan mata. Pria itu menjawab dengan mengangkat bahunya, memberi arti tak tahu, tapi senyum masih terus terpancar dari bibirnya."Pak, sekali lagi maaf. Atau Bapak bisa buka celana, biar saya cuci dan keringkan" ucap Yaya."Apa ...?" Joe dan Bima bertanya serempak. Terkejut dengan ucapan gadis itu."Kamu minta aku tanggalkan celana ku, dan itu berarti kamu menyuruh aku telanjang?" tanya Bima dengan nada tinggi.Beruntung mereka berada di lorong sehingga tak begitu menjadi pusat perhatian. Jalan ini menuju ke ruang kerja Yaya."Bukan, Pak. Bukan begitu maksud saya. Kalau Bapak punya celana ganti, atau ada lapisan celana pendek, biar saya cuci dan
"Bukan, Pak. Bapak ada-ada saja. Siapa yang pacaran?" Yaya menjawab pertanyaan Bima sambil tersenyum. Berbeda dengan Joe, mendengar jawaban gadis itu wajahnya tampak cemberut."Hhmmm ...." Hanya itu balasan dari Bima.Setelah makan mereka segera menuju lokasi. Kali ini Bima yang duduk di depan dengan Joe. Yaya yang duduk di belakang. Tak banyak suara di antara mereka, karena Kevin agak canggung bicaranya.Sampai di lokasi, Joe langsung menemui kepala proyek. Bima dan Yaya melihat-lihat pembangunan.Saat akan berjalan melewati banyaknya bahan bangunan di sekitar, tangan Bima terulur untuk menolong Yaya melewatinya. Dengan ragu gadis itu menyambutnya."Terima kasih, Pak." ucap Yaya, setelah mereka sampai ke tempat yang di tuju. Yaya dengan seksama memperhatikan bangunan. Sedangkan di belakangnya justru Bima melirik terus ke arah gadis itu."Ternyata dia cantik. Hanya kurang polesan saja, wajahnya hanya polos dengan sedikit sapuan bedak," ucap Rakha dalam hatinya.Saat sedang asyik menga
Yaleora Yaya atau yang lebih akrab di panggil Yaya, sedang sibuk dengan persiapan pernikahannya yang sudah di depan mata. Satu bulan lagi dia dan Rian akan naik ke pelaminan. Persiapan sudah hampir tujuh puluh persen.Hari ini Yaya janjian bertemu dengan kekasih atau calon suaminya itu saat pulang kerja. Dia ingin mengajak Rian mengambil undangan yang baru saja selesai di cetak.Seluruh tabungan hasil kerjanya selama tiga tahun ini telah terkuras untuk persiapan pernikahan mereka. Yaya tak pernah menuntut Rian untuk membayar semuanya. Dia lebih banyak menggunakan uang pribadi. Baginya pernikahan untuk berdua dan dengan uang berdua juga."Sayang, kamu nanti yang jemput aku atau kita bertemu di percetakan aja?" tanya Yaya saat menghubungi sang kekasih."Maaf, Sayang. Sepertinya hari ini aku tak bisa menemani kamu. Pekerjaanku sedang banyak. Aku harus lembur," jawab Rian di seberang sana."Kalau begitu biar aku saja yang jemput sendiri. Kamu jangan terlalu capek dan ingat makan, Mas," uj
Dengan penuh semangat dan senyum yang selalu merekah di bibir, Yaya masuk ke kafe yang telah dijanjikan Rian, untuk mereka bertemu. Dari jauh dia sudah melihat kehadiran kekasihnya itu.Yaya mempercepat langkahnya. Dia sudah tak sabar ingin bertemu dengan pria itu. Sampai dihadapan Rian, dia langsung duduk di samping sang kekasih."Kamu mau pesan apa?" tanya Rian, begitu Yaya sudah duduk dengan sempurna di kursi."Aku baru sampai, bukannya tanya kabar, atau tanya yang lain. Kenapa langsung tanya pesananku. Seperti tergesa-gesa saja," jawab Yaya.Rian tersenyum simpul mendengar jawaban gadis itu. Dia mengusap kepalanya dengan lembut."Aku takut kamu sudah lapar. Makanya mau pesan makanan langsung," jawab Rian dengan lembut.Yaya tersenyum mendengar ucapan kekasihnya. Pria itu selalu memberikan perhatian khusus untuknya. Dia juga selalu bertutur kata lembut, tak pernah sekalipun Rian membentaknya atau bersuara keras."Kalau begitu, aku pesan makanan dulu," balas Yaya.Yaya lalu memanggi
Rian mengejar Yaya yang telah keluar dari kafe. Ditahannya tangan gadis itu agar tak berjalan lebih jauh lagi."Tunggu, Yaya. Kita belum selesai bicara," ucap Rian.Yaya mencoba menepis tangan Rian, tapi kekuatannya tak sebanding dengan pria itu.Sehingga dia akhirnya mengalah.Rian mengajak Yaya duduk di bawah sebuah pohon yang berada di parkiran. Namun, gadis itu tak mau. Dia memilih tetap berdiri.Akhirnya Rian mengalah."Yaya, jika aku boleh memilih, pasti aku akan memilih menikah denganmu. Aku masih sangat mencintaimu. Aku khilaf. Sekali lagi maafkan aku" ucap Rian. "Apa kamu pikir dengan kata maaf semua akan kembali. Semua sudah terjadi, tak ada yang bisa merubahnya!" seru Yaya dengan suara sedikit meninggi.Rian menarik napas dalam. Tak tahu harus mengatakan apa lagi. Semua stok kata seolah habis. Dia tahu, semua kata-kata yang keluar dari bibirnya tak akan bisa membuat Yaya percaya lagi. Namun, dia masih berharap jika gadis itu bisa menerima keputusannya menikahi Ellen."Yaya
"Aku wanita itu ...," jawab Ellen.Kedua mata Yaya langsung melotot mendengar jawaban dari adiknya itu. Dia tertawa sumbang. Berpikir ini hanya candaan Ellen, sang adik tiri."Aku tidak sedang becanda, El. Aku lagi tak ada waktu untuk melayani omong kosong kamu!" seru Yaya.Yaya lalu berdiri dari duduknya. Tubuhnya saat ini terasa sangat lelah. Mungkin bukan raganya saja, tapi juga hatinya. Masih tak percaya dengan apa yang terjadi.Hubungan yang dia jalin selama tiga tahun ini harus kandas. Impian berumah tangga dengan sang kekasih sirna. Yaya berjalan perlahan menuju kamarnya. Baru beberapa langkah, kakinya terhenti karena mendengar ucapan adiknya, Ellen."Aku tidak sedang bercanda. Ini buktinya," ucap Ellen.Ellen mendekati kakaknya. Dia lalu memperlihatkan foto kemesraan dirinya dan Rian. Dia juga menunjukan foto saat keduanya di dalam kamar hotel.Darah di kepala Yaya terasa mendidih.Jantungnya berdetak lebih cepat. Dadanya sesak menahan amarah. Tanpa di duga Yaya meraih gawai E
Yaya menghapus air matanya. Dia kembali tertawa. Menertawai kebodohannya selama ini. Ayah maju dan mendekati putrinya. Memegang kedua bahu sang putri."Yaya, mungkin ini berat bagimu, Nak. Tapi lebih baik gagal sekarang dari pada nanti saat kamu telah berkeluarga. Cinta itu tak bisa dipaksakan. Kamu harus ikhlas melepaskan Rian untuk Ellen. Mungkin dia bukan jodohmu," ucap Ayah mencoba menghibur.Kembali Yaya tertawa mendengar ucapan ayahnya. Apakah hanya ini yang bisa ayahnya lakukan."Jangan takut, Yah. Aku telah ikhlas melepaskan Rian untuk Ellen. Aku juga bersyukur karena Tuhan membukakan mataku sebelum kami menikah. Bagiku Rian tak pantas mendapatkan cintaku yang tulus. Sampah cocoknya dengan sampah!" ucap Yaya dengan penuh penekanan.Mendengar ucapan Yaya, tentu saja Ellen tak terima. Dia dikatakan sampah, baginya ini satu penghinaan. Dia menatap kakaknya itu dengan tajam."Orang yang kau katakan sampah ini sedang mengandung anak dari tunanganmu. Kau yang pantas dikatakan sampah
"Yaya ...," ucap Erik. Dia tampak terkejut melihat kehadiran gadis itu. Biasanya Yaya pulang kerja jam lima sore, tadi dia minta izin karena merasa kepalanya begitu sakit.Rian berdiri dari duduknya, tapi tangannya di tarik Ellen, sehingga dia kembali duduk. Wajahnya cemberut melihat sang pria yang langsung berdiri.Bukan saja Ellen yang terlihat tidak senang atas kehadiran Yaya yang tiba-tiba, tapi juga sang ibu. Ayahnya hanya memandangi dengan tatapan datar tanpa ekspresi."Kenapa Kakak pulang cepat? Sengaja ingin menguping obrolan kami?" tanya Ellen dengan suara ketus. "Aku tak ada waktu hanya sekedar untuk menguping obrolan tak penting!" seru Yaya dengan suara sedikit ketus."Sombong sekali kau, apa kau pikir dirimu sudah hebat karena telah bekerja?" tanya Ibu tirinya Yaya dengan sinis. Rian menarik napas dalam. Dia terlihat gugup. Mungkin tak pernah menginginkan berada dalam posisi saat ini."Yaya, aku minta izin untuk memakai semua persiapan pernikahan kita kemarin untuk perni
"Bukan, Pak. Bapak ada-ada saja. Siapa yang pacaran?" Yaya menjawab pertanyaan Bima sambil tersenyum. Berbeda dengan Joe, mendengar jawaban gadis itu wajahnya tampak cemberut."Hhmmm ...." Hanya itu balasan dari Bima.Setelah makan mereka segera menuju lokasi. Kali ini Bima yang duduk di depan dengan Joe. Yaya yang duduk di belakang. Tak banyak suara di antara mereka, karena Kevin agak canggung bicaranya.Sampai di lokasi, Joe langsung menemui kepala proyek. Bima dan Yaya melihat-lihat pembangunan.Saat akan berjalan melewati banyaknya bahan bangunan di sekitar, tangan Bima terulur untuk menolong Yaya melewatinya. Dengan ragu gadis itu menyambutnya."Terima kasih, Pak." ucap Yaya, setelah mereka sampai ke tempat yang di tuju. Yaya dengan seksama memperhatikan bangunan. Sedangkan di belakangnya justru Bima melirik terus ke arah gadis itu."Ternyata dia cantik. Hanya kurang polesan saja, wajahnya hanya polos dengan sedikit sapuan bedak," ucap Rakha dalam hatinya.Saat sedang asyik menga
Yaya memandangi wajah atasannya dengan penuh tanda tanya. Heran melihat pria itu menepuk jidatnya."Pak, apa saya salah?" tanya Yaya dengan wajah heran."Cepat sarapan setelah itu ke ruangan saya. Hari ini kamu temani saya ke lokasi baru yang akan di bangun hotel!" ucap Bima.Joe masih tampak mengulum senyum, sehingga Yaya bertanya dengan kerlingan mata. Pria itu menjawab dengan mengangkat bahunya, memberi arti tak tahu, tapi senyum masih terus terpancar dari bibirnya."Pak, sekali lagi maaf. Atau Bapak bisa buka celana, biar saya cuci dan keringkan" ucap Yaya."Apa ...?" Joe dan Bima bertanya serempak. Terkejut dengan ucapan gadis itu."Kamu minta aku tanggalkan celana ku, dan itu berarti kamu menyuruh aku telanjang?" tanya Bima dengan nada tinggi.Beruntung mereka berada di lorong sehingga tak begitu menjadi pusat perhatian. Jalan ini menuju ke ruang kerja Yaya."Bukan, Pak. Bukan begitu maksud saya. Kalau Bapak punya celana ganti, atau ada lapisan celana pendek, biar saya cuci dan
Ellen berjalan mendekati ayah tirinya itu dan mengambil alih Tania. Wajahnya cemberut memandangi sang suami. Rian juga ikutan berdiri mengikuti istrinya."Aku pamit kerja," ucap Rian. Dia mengambil tas kerjanya. Pria itu tak sarapan karena istri atau ibu mertuanya jarang memasak atau menyiapkan sarapan. Dia hanya minum teh di kantor sebagai pengganjal perut menjelang makan siang. "Jadi selama ini kau terpaksa menikahi ku? Kau masih selalu ingat Kak Yaya, begitu Mas?" tanya Ellen.Dia meletakkan sang putri ke tempat tidur dan berdiri menghadap sang suami. Rian menarik napas dalam, tak tahu harus menjawab apa. Setiap hari ada saja bahan pertengkaran. Jika tak mengingat putrinya yang sakit-sakitan, Rian sudah minta pisah.Rian takut, jika dia minta pisah, anak mereka akan jadi korban. Sedangkan masih bersama saja, sang putri sering diabaikan."Aku tak mau bertengkar. Aku mau kerja, nanti bisa telat." jawab Rian.Seharusnya dia telah sampai di kantor. Ini saja sudah telat, tapi tadi dia
Di kediaman orang tua Yaya, tampak ayahnya sedang duduk termenung di ruang keluarga. Hari ini ayah Yaya tak masuk kerja karena merasa kurang enak badan.Di dalam kamar tampak Rian yang sedang bersiap-siap untuk kerja. Sejak menikah mereka memang tinggal bersama di rumah ayah kandungnya Yaya itu."Mas, ingat ya, aku mau kamu pinjam uang di koperasi. Aku mau beli gelang. Masa tetangga sebelah itu selalu meledekku, katanya ini karma bagiku karena merebut kamu dari Kak Yaya sehingga hidupku susah terus. Aku mau buktikan jika aku dan kamu bahagia." ucap Ellen.Rian menarik napas berat. Sejak menikah dengan Ellen, ada saja permintaan istrinya itu. Sehingga uang gajinya dari bulan ke bulan selalu saja kekurangan.Apa lagi anak mereka yang sejak lahir sudah menderita penyakit jantung bawaan sehingga harus berobat setiap saat. Beruntung tidak dalam tingkat yang parah. Hanya gejala ringan, tapi tetap saja anak mereka sering sakit dan kelelahan karena penyak
"Ternyata atasan kita adalah pria yang aku maki-maki di kamar mandi tadi" ucap Yaya pelan, tapi masih dapat di dengar dengan jelas. "Apa???" tanya Laras dengan suara keras. Dan lagi-lagi mereka menjadi pusat perhatian karyawan lainnya. Laras menutup mulutnya agar tak bersuara keras lagi. Dia lalu memandangi wajah Yaya dengan tampang memelas. "Mimpi apa kamu semalam? Kenapa sial banget hari ini?" tanya Laras dengan suara pelan takut ada karyawan lain mendengarnya. Yaya masih diam terpaku. Merenungi nasib sial dirinya hari ini. Kenapa juga dia salah masuk kamar mandi, pikir Yaya. Dia takut karena kesalahan ini dirinya akan di pecat. "Entahlah, kenapa aku ceroboh banget. Semua emang salahku sih" ucap Yaya menyalahkan dirinya. Laras mengelus punggung sahabatnya itu. Sebenarnya dia ingin tertawa melihat wajah Ana yang gugup dan pucat, karena kesalahan dia masuk kamar mandi. "Jadi kenapa kamu di panggil tadi? Apa untuk memarahi kamu saja?" tanya Laras. Yaya menepuk jidatnya. Baru sad
"Siapa kamu? Kenapa ada di kamar mandi wanita?" tanya Yaya dengan suara penuh penekanan.Yaya menurunkan bajunya. Bukannya takut, pria itu justru tersenyum simpul mendemgar pertanyaan gadis itu.Melihat pria itu tersenyum, Yaya menjadi geram. Tangannya terkepal menahan amarah."Kenapa tersenyum? Dasar Oom-oom mesum! Pasti sengaja masuk kamar mandi perempuan untuk melihat gadis-gadis yang ke kamar mandi!" ujar Yaya dengan ketus.Pria itu masih diam, tak ada suara. Dia hanya menaik turunkan alisnya dan mengangkat bahunya, seperti mengatakan ketidak peduliannya. Pria itu lalu berjalan menuju pintu keluar.Yaya yang merasa belum puas menegur pria itu tak terima saat melihat dia ingin pergi. Cepat-cepat menahan dengan memegang pergelangan tangannya."Mau lari kemana, Om? Kamu harus dipertemukan dengan pihak keamanan. Jelaskan di pos jaga tujuan dan maksud kamu masuk ke kamar mandi wanita!" ucap yaya dengan penuh keyakinan."Kamu yang harus ke pos jaga! Masuk ke kamar mandi pria, pasti ingi
Satu tahun telah berlaluTak terasa telah satu tahun Yaya bekerja di kantor pusat perusahaan tempatnya bekerja saat ini. Tak ada kesulitan berarti yang dia temukan. Dengan keramahan dirinya, banyak karyawan yang langsung menyukai.Yaya juga tak segan bertanya jika ada yang salah. Dia langsung dapat teman akrab bernama Laras. Mereka tinggal di satu kamar kost yang sama. Tepatnya rumah untuk karyawan single yang disediakan perusahaan."Yaya, nanti makan siang di kafe depan kantor yuk! Bosan kalau di kantin terus, ajak Laras pagi ini."Ras, mikirin makan melulu. Baru aja nyampe. Belum mulai kerja, dah mikirin makan siang" jawab Yaya."Harus dong, kan moto hidupku, "hidup untuk makan" ucap Laras sambil tertawa.Kedua gadis itu lalu tertawa. Walau sambil becanda, mereka tetap melakukan pekerjaan. Sehingga tak ada pekerjaan yang terbengkalai.Yaya dan Laras telah menjadi teman baik sejak dia bekerja di kantor ini. Setiap hari, mereka selalu menyempatkan diri untuk pergi makan siang bersama.
Yaya menyeret kopernya menuju ruang tunggu. Hanya satu tas koper berisi pakaian kerja yang dia bawa. Tak ingin nanti saat mengambil pakaian di rumah ayahnya, akan ada drama lagi. Beruntung tabungannya kembali setelah dia meminta uang yang terlanjur di setor buat penyewaan pelaminan dan tenda. Saat sedang termenung, Yaya mendengar ponselnya berdering. Dia lalu mengambilnya dari dalam tas. Terlihat ada pesan masuk dari Rian. Dia membukanya. Entah di mana pria itu, sehingga bisa mengirim pesan."Ana, dari lubuk hatiku terdalam, aku mohon maaf. Mungkin kata maaf ini tak cukup untuk mengobati luka hati yang aku torehkan, tapi sebenarnya aku tak pernah bermaksud menyakiti hatimu. Aku merindukan setiap momen yang kita habiskan bersama. Aku merindukan sentuharımu, tapi menyakitkan karena aku tidak bisa bersamamu, karena akulah penyebab rasa sakit mu. Aku benar-benar minta maaf."Pesan pertama dari Rian. Ternyata itu terkirim dua jam yang lalu. Dan dibawahnya, ada pesan lain."Sayang, aku tel
Para tamu undangan yang terdiri dari tetangga masih menyicipi hidangan sehingga waktu untuk Yaya bicara masih panjang. Mungkin mereka pikir, Yaya hanya sekedar mengobrol dengan keluarganya saja. Tapi, tak sedikit yang memandang dengan tatapan heran. Mereka tahu jika Rian adalah tunangan Yaya, tapi yang dinikahi adiknya. Yang menjadi pertanyaan, kenapa gadis itu tak tampak sedih. Banyak yang ingin tahu kebenarannya. Yaya menyalami ayah dan ibunya. Berhadapan dengan sang ayah, air matanya tak bisa lagi dibendung. Bukan karena sedih, tapi kecewa. Pria yang seharusnya jadi cinta pertamanya tapi justru orang yang paling banyak menorehkan luka. Jika cinta pertamamu tidak bisa lagi memberikan kenyamanan, untuk apa masih bertahan. Anak hanya ingin menjaga kewarasannya. Jangan sampai dia nekat bunuh diri. "Ayah, aku pamit. Terima kasih atas semua yang pernah kau lakukan untukku. Baik itu kebahagiaan atau pun luka yang kau beri. Bagimu mungkin aku bukan putri yang baik, yang bisa kau bangg