Ny. Retno Arum Ningtyas.
Nama itu tertulis sempurna di atas gelang pasien yang baru saja masuk ke ruang perawatan. Selang infus, ventilator pernapasan, dan elektroda yang terhubung dengan monitor hemodinamik dan saturasi, menempel di tubuh rentanya.
Meski gejala krusial serangan jantung sudah berlalu, tapi dokter tetap siaga memantau kondisi pasien.
“Ibu Retno harus dirawat dulu untuk memantau perkembangannya,” terang seorang dokter berkaca mata.
“Iya, iya, Dok. Lakukan apa pun yang memang diperlukan untuk Ibu saya.”
Dokter itu mengangguk mafhum. “Baik, Bu. Kami pasti akan mengusahakan yang terbaik.”
Gendis menyeka matanya yang berkabut. Lalu mengangguk saat dokter dan dua perawat pendampingnya berpamitan.
“Dis?” Suara lemah dari balik gorden membuat Gendis terkesiap. Ia melongokkan kepalanya, menyapa sosok renta di atas ranjang itu. “Mana suamimu?”
Gendis mengerjap be
“Wah, enak yah jadi janda, bisa ganti-ganti pasangan sesuka hati, dan nggak ada yang marah.”“Hus! Jangan suka bener kalau ngomong! Hihihi.”Nilam menghela napas panjang saat mendengar gunjingan orang-orang tepat di belakang punggungnya.Minggu ketiga setelah kepergian pria itu, tapi rasanya seperti sudah 3 tahun berlalu. Kini aroma yang ditinggalnya perlahan mulai terasa samar.Rutinitas Nilam kembali, tapi hidupnya tak lagi sama. Dulu, tidak peduli betapa banyak cemoohan yang ia dapat, ia tetap bisa berjalan dengan langkah tegap. Tidak peduli sekejam apa dunia memperlakukannya, Nilam tetap bisa bertahan tanpa memedulikan hal itu.Namun entah mengapa, sekarang ia merasa begitu letih.Setiap pagi, hal pertama yang Nilam lakukan adalah memeriksa ponselnya seperti orang bodoh. Detak jantungnya bertalu tak menentu, dengan harapan pria itu meninggalkan sebuah pesan atau panggilan tak terjawab saat ia terlelap. Itu menjadi
Edo bersiul pelan sambil menyisir rambut jabriknya. Ia tersenyum di cermin, mengagumi ketampanannya, lalu menjentikkan jari saat merasa sudah sempurna.“Lo emang ganteng, Do,” pujinya sambil tersenyum bangga. Pria itu melompati sofa untuk mengambil kunci mobil, lalu melompat lagi ke tempat semula seperti atlit parkur professional.Plok. Plok.Edo bertepuk tangan untuk dirinya sendiri, seakan ia adalah penonton yang terkagum-kagum. “Terima kasih, terima kasih,” katanya, sambil membungkukkan badan, kini berperan sebagai seorang atlit yang digemari banyak orang.Namun, saat ia membuka pintu studio, hampir saja jantungnya berhenti berdetak. “ANJ*NG! S*ALAN! NGAPAIN LO DI SINI?!” bentak Edo ketika menemukan Putra duduk di depan studionya.Putra menghela napas panjang sambil menghisap dalam-dalam rokok yang hampir habis. Di sekitar kakinya, beberapa puntung rokok berserakan bagai bunga yang ditabur di atas makam. Di sa
“Pak Bara beneran mau resign?” tanya Dianty, staff admin berusia 22 tahun.Gosip itu menyebar dalam sekedipan mata.Setelah cuti hampir 3 minggu lamanya, tiba-tiba saja Bara kembali dengan surat pengunduran diri yang mengguncang semua orang.“Apa dia keterima di law firm yang lebih bagus?” tanya Feby, finance officer yang baru saja menikah dua bulan yang lalu. “Atau mau buka law firmnya sendiri?”Suasana pantry siang itu semurung mendung di luar gedung. Bekal makan siang yang sudah dibuka hanya diaduk tanpa selera. Kesedihan jelas terpancar dari wajah karyawan yang lain, terutama karyawan wanita yang sangat mengidolakan wajah tampan Bara.“Masa kamu nggak pernah dengar apa-apa sebelumnya, Ren?” Dianty beralih kepada Iren yang sejak tadi hanya menatap ketoprak pesanannya.Sebagai paralegal yang bekerja mendampingi Bara, Iren menjadi salah satu orang yang harus
“Saya minta maaf, Nilam.”Nilam menghela napas sambil melirik Leo yang asyik bermain dengan robot kesukaannya di kursi belakang.“Ini check up terakhir Leo, kan?”Nilam mengangguk. “Ya.”“Kalau begitu biar saya antar sekali ini lagi saja.”Pandangan Nilam terpaku ke atas dashboard mobil di hadapanya. Entah bagaimana, rasanya mobil itu tak lagi terasa asing. Mungkin waktu sudah membuat jarak penilaiannya sedikit kabur.“Terima kasih, Mas Putra.”Putra tersenyum tipis. Ia juga berkali-kali melirik Leo dari kaca spion. Tanpa terasa, sekarang tawa Leo sudah menjadi bagian dari kesunyian yang selama ini pria itu lewati. Bahkan, ia tak lagi terkejut melihat satu atau dua mainan Leo yang tertinggal di mobil. Kehidupan abu-abu pria 27 tahun itu jelas ikut berubah sejak kedatangan Leo dan Nilam.Dan ia pasti merindukan warna berbeda yang mereka bawa.&ldquo
Beberapa saat yang lalu.“Dokter Cindy?”Langkah Cindy terhenti seketika.“Dokter Kinan.” Cindy tersenyum manis saat melihat seniornya. Berbeda dengan senyuman sedih di wajah Kinan. “Saya dari tadi cari Dokter.”“Ah, males sebenarnya saya ketemu kamu.”Cindy tersenyum melihat rajukkan seniornya. “Maaf ya, Dok.”Kinan melipat tangan di dada. “Kenapa sampai harus resign sih?”“Kan aku mau ikuti jejak Dokter Kinan dan Dokter Andra.” Cindy menatap cincin berlian yang melingkari tangan Kinan. Kisah Kinan dan Andra memang menjadi kisah romansa terfavorit di rumah sakit mereka. Keduanya adalah dokter muda yang rupawan dan baik hati. Pernikahan mereka yang dramatis membuat semua orang di rumah sakit ikut merasa begitu bahagia.“Kalau kamu mau ikut jejak saya, ya cari suami dokter. Bukan suami pengacara,” gerutu Kinan, masih dengan n
Kardus-kardus menumpuk di depan rumah dinas Bara.Edo menghisap dalam-dalam rokoknya sambil memejamkan mata. Beberapa puntung rokok yang mati berserakkan di sekitar kakinya, dan satu lagi tambahan setelah Edo menghisap rokoknya sampai habis. Ia melemparkan rokok itu, lalu menginjaknya hingga mati.Masih belum terurai, Edo mencari batang rokok yang lain. Berharap kali ini, penat dalam benaknya akan sedikit memudar. Namun, saat ia tidak menemukan batang lain di bungkus rokoknya, ia memaki keras. “B*ngsat!”Edo menendang kerikil dengan ujung sepatu, lalu memungut puntung rokok yang sudah diinjaknya —yang masih cukup panjang— sebelum menyalakannya kembali. Ia tertawa sinis saat menyadari penampilannya pasti seperti penampilan Putra yang terjaga semalaman di depan studionya beberapa waktu yang lalu.Bahkan mungkin, meski ia sudah menghisap seluruh rokok di muka bumi, kusut dalam kepalanya takkan pernah menghilang.Bruk.Fa
Putra : ‘Gue akan nikahi Nilam.’Tidak perlu menunggu lama untuk mendapat jawaban dari pesan yang dikirimnya beberapa saat yang lalu. Putra menghisap dalam-dalam rokok yang terselip di antara jarinya, lalu terkekeh sinis saat melihat nama Bara yang mencoba menghubunginya berkali-kali.Jika ia tau semudah itu memancing Bara keluar dari persembunyiannya, mungkin ia sudah melakukannya sejak dulu.Putra membiarkan teleponnya berdering sedikit lebih lama, meski sebentar, ia ingin pria itu merasakan kegelisahaan yang selama ini mereka rasakan saat mencari keberadaannya.“Apa maksud lo, bangs*t?!” bentakkan itu muncul saat akhirnya Putra menjawab telepon.Senyum sinis Putra melengkung tipis. “Lo nggak bisa baca?”“Jangan main-main, Putra!” geram pria di seberang telepon, yang membuat kekeh Putra terlontar begitu saja.“Gue nggak ma
Beberapa saat yang lalu.Malam semakin larut saat akhirnya Cindy melepas sarung tangan lateks dan maskernya. Ia mengambil air mineral di kulkas ruang perawat, lalu meletakkan uang pecahan 20.000 di dalam kotak yang terbuat dari kardus bekas, tanpa repot-repot mengambil kembalian.Langkah lelahnya membawa ke luar ruang IGD. Akhirnya, setelah sesorean ini ia harus membantu timnya menghadapi keadaan genting karena tumpukan pasien korban kebakaran rusun, sekarang ia bisa kembali menghirup udara segar tanpa aroma darah atau alkohol.Cindy memejamkan mata sambil memijat tengkuk yang pegal. Rata-rata pasien yang masuk mengalami luka bakar, tapi ada satu orag pria tua yang masuk karena serangan jantung, dan dua orang balita yang tidak sadarkan diri karena keracunan asap.Suara sirine ambulans sudah lama berhenti, tapi suara itu masih terus terngiang-ngiang di telinga Cindy. Ia menghela napas panjang, lalu mendongak menatap langit. Lengannya tersemat
Aku mengambil remot tv dari dalam laci, lalu menyalakan tv di belakang mereka. Dan beruntung, tepat di berita tentang kasus yang ditangani pria itu.“Itu,” kataku, menunjuk tv dengan anggukan dagu.“NO WAY! Apa kataku! Itu dia!” Syakilla berteriak dramatis. Pasti seru berteman dengannya di SMA.“Astaga. Itu benar-benar Kak Bara?”Oke. Ini sedikit aneh. Apa mereka tidak melihat namanya? Mengapa mereka seperti melihat mahluk aneh dari mars?“Ya, itu dia,” kataku, sedikit bingung.“Kan! Apa kubilang?!”“Ta… tapi dia beda banget!” Sahara menatap foto di jurnal dan tayangan tv berkali-kali.Ya, kalau dibandingkan dengan masa lalu, pria itu memang yang paling banyak berubah.Aku menghela napas panjang, sambil terus menonton berita tentangnya dan segala kasus kriminal yang dikerjakannya.Ia masih menjadi seorang pengacara, tapi harus
Tok. Tok. “Maaf, Bu, ada dua anak SMA yang mau bertemu. Mereka bilang sudah buat janji kemarin.”Anak SMA?Ah, anak yang mengirim surel ratusan kali itu?“Haruskah saya…?”Tanganku terangkat. “Biarkan mereka masuk,” kataku, seraya melirik jam di ponsel. Setidaknya masih ada waktu 20 menit, itu waktu yang cukup untuk menemui dua murid SMA, bukan?Namun, saat sekretarisku membawa keduanya masuk, aku tau 20 menit tidak akan cukup untuk menjawab keingin tahuan mereka berdua.“Selamat pagi, Kak, saya Syakilla, dan ini Sahara, kami dari SMA yang sama dengan Kakak.”“Kakak?” Aku tersenyum geli saat mendengar panggilan itu.Salah satu gadis itu, yang menggunakan kaca mata berbingkai pink, menyikut lengan gadis di sebelahnya. “Ma-maaf, maksud kami Ibu.”“Oh, no, no. Kalian bisa pakai Kakak. Rasanya saya jadi kembali muda
“Lo pada di sini?!” Hampir saja Edo menabrak pohon mangga di depan rumah Bara saat ia sampai. Ia melompat dari motor bagai orang kesetanan. “Kita harus cari Leo dan Nilam!” katanya, kepada Putra dan Fadlan yang duduk di teras rumah Bara.Putra bersandar ke dinding, menatap jalanan dengan tatapan kosong. Sedangka Fadlan duduk di undakan teras, tak bergeming sama sekali.“HEH, KALIAN DENGER NGGAK SIH?!” bentak Edo sambil membuka helm. “NILAM DAN LEO HILANG! KITA HARUS CARI SEKARANG JUGA!” Edo menghampiri Fadlan, menariknya berdiri. “KALIAN KESAMBET SETAN?! WOY!” Kini giliran Putra yang mendapat dorongan kerasnya. “KITA HARUS CARI NILAM DAN LEO SEBELUM BARA SADAR MEREKA HI—lang.”Suara Edo mendadak menghilang saat menyadari keberadaan Bara di dalam rumah. Jantungnya hampir saja berhenti berdetak karena terkejut.“Ba-Bara? Lo udah keluar rumah sakit?” tanyanya gugup. Ia
“Apa kamu akan terus hidup begini?” Putra menghampiri Cindy yang berdiri di depan ruangan Bara.Cindy menegakkan punggungnya saat menyadari kedatangan pria itu. “Apa maksud kamu?” tanya Cindy defensif.“Apa kamu bisa hidup sama orang yang nggak cinta kamu? Kamu nggak bisa manfaatin Bara karena hutang di masa lalu, Cindy.”Cindy tersenyum sinis. “Memang apa bedanya? Toh, cinta nggak menjamin kamu nggak akan kehilangan orang yang kamu sayangi di masa depan. Jadi apa bedanya?” Cindy mengangkat bahu tak acuh. “Dan, ya. Aku memang manfaatin hutang itu. Kamu juga setuju kan kalau nyawa harus dibayar nyawa? Ibunya punya kesempatan hidup lebih lama karena ayahku, Putra. Apa salah kalau sekarang aku minta balasan atas itu? Aku nggak ngerti kenapa aku harus mundur demi kebahagiaan orang lain. Padahal, nggak ada satu orang pun yang peduli sama kebahagiaan aku.”Putra menatap pilu gadis itu. “Aku pedul
“Apa kamu benci saya?”Pertanyaan itu terus terngiang di kepala Nilam. Padahal sudah lebih dari 4 jam pertanyaan itu ditujukan kepadanya. Namun rasanya, ia terus berputar tanpa akhir.Bagaimana mungkin Nilam bisa membenci tunangan pria itu, saat ia lah yang berdiri di tempat yang salah.Ironisnya, kalau pun Nilam membenci Cindy karena telah merebut hati Bara kembali, ia sama sekali tidak mampu untuk membalikkan keadaan. Cindy memang sosok yang tepat untuk seorang Bara.“Karena rasanya, sekarang saya sangat membenci kamu.” Cindy kembali berbicara. Ia memang menunjukkan sisinya yang kuat, tapi Nilam bisa merasakan getar pahit dari suaranya.Mereka mungkin hanya terpaut 2 atau 3 tahun. Namun, tragedi pernikahan yang Nilam lewati membuatnya bisa berpikir lebih tenang. Ia tau jika cinta saja takkan bisa mempertahankan sebuah hubungan.“Apa Dokter menyesal menolong putra saya?” tanya Nilam, sebagai seorang ibu t
BUK!“B*ngsat!” Edo meninju dinding dengan tangan kosong. Gores bernoda marah di buku-buku jarinya mulai muncul setelah tinju yang keempat. Namun sengatan nyeri itu tidak membuat Edo berhenti. Ia terus melayangkan tinju sambil memaki. Kini noda darah di tangannya berpindah ke dinding.“Edo!” Putra mendesah lelah ketika melihat apa yang dilakukan Edo di area parkiran yang jarang dilewati orang. “Lo ngapain, hah?!” bentak Putra tak habis pikir. Masalah Bara saja belum selesai, apa sekarang pria itu harus menambah beban pikiran dengan kelakuan gila lainnya? Apa tidak bisa sehari saja ia bertingkah normal?“B*ngsat!”Putra menangkap lengan pria itu sebelum ia meremukkan jarinya sendiri ke dinding.“Lepas, s*alan!” teriak Edo frustasi. Wajahnya sekusut pikirannya saat ini. Ia menepis cengkraman Putra, lalu melayangkan tinju yang lain ke dinding yang membisu.“Lo mau m
I don't see you like I shouldYou look so misunderstoodAnd I wish I could help but its hard when I hate my selfPray to God with my arms openIf this is it, then I feel hopelessAnd I wish I could helpBut its hard when I hate myself. NF – Hate Myself***Apakah semuanya baik-baik saja? Apakah ia akan kehilangan orang yang dikasihinya sekali lagi?Pertanyaan itu terus terulang, padahal Cindy tau apa jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya. Namun, entah bagaimana ia sama sekali tidak ingin meyakini itu.Ia tidak bisa.“Keadaannya stabil, sekarang ditangani Dokter Andra langsung,” jelas Yumi, perawat yang menyambut Cindy saat ia sampai di rumah sakit.Mira, yang datang bersama Cindy dari asrama, menggenggam erat lengan gadis itu, khawatir gadis itu akan ambruk sewaktu-waktu.“Syukurlah,&rd
“Dokter!”Pintu ruang IGD terbuka, dan sebuah brankar didorong masuk.Andini, dokter jaga malam itu, langsung datang menghampiri bersama dua orang dokter koas yang baru saja masuk hari ini, dan seorang perawat. Keempatnya menyambut brankar.“Pasien ditemukan tidak sadar di depan rumah sakit, ada cedera kepala,” jelas seorang security yang ikut mendorong brankar. Itu sedikit menjelaskan asal darah yang membasahi pakaiannya.“Identitasnya?”“Tidak ada, Dok. Sepertinya dicuri.”“Astaga.”Sekilas Andini memeriksa kondisi fisik pasien. Tubuhnya sudah mulai membiru pucat, tidak bergerak sama sekali, dan jari-jari yang mulai dingin. “Pak, bisa dengar saya? Saya dokter Dini, anda sedang di rumah sakit sekarang. Pak?”Tak ada jawaban atau bahkan erangan yang terdengar. Andini melirik kedua dokter muda yang sudah panik di sampingnya. Ini bukan kasus yang mudah untuk
Tiga minggu yang lalu.“BARA KAMU DI MANA?!” “Aku di depan rumah sakit, Bu.”“LARI! CEPAT KE SINI!” Tak ada waktu. Ia berlari mengejar kesempatan setipis helaian rambut. Bara sudah berusaha berlari sekuat mungkin, mengabaikan teriakan seorang security yang memintanya berhenti, ia bahkan tidak kembali untuk meminta maaf kepada wanita yang ditabraknya tanpa sengaja. Bara terus berlari, menaiki tangga menuju ruang ICU, saat ia tak tahan lagi menanti angka lift berganti, dan ia tidak pernah bisa mengatakan apakah ia tepat waktu atau tidak. Karena rasanya, tidak ada hal yang tepat pada saat itu. “Bara di sini.” Sapaan lemah itu terdengar bersama sebuah senyuman lirih saat Bara sampai. Mata kabur Retno mulai berkabut. Ia menoleh pelahan kepada cucunya yang terus menangis ketakutan. itu pemandangan yang menyakitkan untuk wanita tua yang sudah hidup