****
"Bagaimana perasaanmu sekarang, Din?" tanya Vio."Jauh lebih baik, lihatlah! Apa sekarang aku kurus atau terlihat banyak pikiran?" Dinda dengan senang hati berdiri, lalu memutar badannya di depan sahabat terbaiknya itu."Syukurlah, aku senang mendengarnya, Din.""Mau minum apa?" tanya Dinda, ia mendongak pada wajah sahabatnya yang tiba-tiba muram."Tidak perlu. Aku sengaja mampir ke sini karena aku rindu sama kamu, Din.""Jangan begitu! Kamu duduk yang manis, biar aku buatkan minum untuk kamu, ya!"Vio hanya menganggukkan kepala tanpa menyahut ucapan sahabatnya.Dinda kembali dengan dua cangkir kopi di tangannya, di sambut dengan senyuman yang merekah di bibir Vio."Siapa yang buat?" tanya Vio tiba-tiba, ketika ia telah menyeruput kopinya sebagian."Aku.""Bukan Mbak Sri?""Mbak Sri lagi sibuk, Vio.""Pantas dia betah lama-lama kerja sama kamu, Din.""Cu****"Akhirnya kamu kembali, Hel. Mama dan Mariah sangat merindukanmu." Wulan tak mampu lagi membendung air matanya saat berada dalam pelukan putranya."Mas," sapa Mariah.Alih-alih Helmi membalas sapaan Mariah, wajahnya malah mencelos ke sembarang arah, menghindari tatapan Mariah. "Istrimu sudah lama menunggu kepulanganmu. Kamu dari mana saja, Hel?" tanya Wulan kemudian."Maaf, aku tidak mau membahas masalah itu sekarang, permisi." Helmi melewati Mariah begitu saja. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan Galuh yang sampai saat ini masih belum sadar juga.Sepeninggalnya Helmi, Mariah tampak menangis. Buliran air bening tumpah begitu saja ketika sikaf Helmi yang begitu dingin terhadap dirinya."Ma, aku salah apa? Kenapa Mas Helmi berubah dingin seperti ini?" tanya Mariah pada Wulan."Kamu sabar dulu, Mar! Mama mohon beri dia waktu sampai dia mau berbicara dengan sendirinya."Mariah hanya sa
****"Ikat mereka di pojokan!" titah lelaki bertubuh penuh tato. Ternyata, bukan hanya dua orang yang menyeret Amel saja yang menjadi penjahat di sini, masih ada beberapa lagi yang tempangnya lebih sangar menyeramkan.Alif masih pingsan ketika Amel sadar dari pingsannya. Entah apa yang mereka lakukan pada Alif. Ia juga merasakan tengkuknya sakit luar biasa akibat pukulan di taman tadi."Bos, sepertinya luka di tengkuk perempuan ini berdarah banyak, apa nggak pa-pa dibiarkan begitu saja?" tanya lelaki yang menyeret Amel tadi."Gak pa-pa biarkan saja! Lagian si Bos nggak masalah kalau mereka berdua mati saat ini juga, hahaha." Tawa yang menggelegar membuat Alif terbangun dari pingsannya."Mbak, Alif takut." Tubuh mungil itu berusaha mendekat pada Amel dengan susah payah karena tangan dan kakinya dalam keadaan terikat dengan kuat."Jangan takut, ada Mbak di sini!""Kenapa mereka mengi
****Bram kembali menerima sebuah telepon. Bibirnya tersenyum saat mendengarkan lawan bicara dari seberang telepon sedang menjelaskan sesuatu padanya. "Adinda, bersiap-siaplah! Titik terakhir tempat yang di singgahi Amel sudah di temukan. Apa kamu keberatan jika aku meminta bantuan temanku yang jago karate mengamati terlebih dahulu, dan memastikan keberadaan mereka?" tanya Bram.Dinda menggelengkan kepalanya, tanda ia setuju-setuju saja dengan ide Bram saat ini. Binar di matanya menjelaskan ia sangat bersyukur Bram mau membantunya menemukan Alif dengan cepat."Kamu siap berangkat sekarang, Din!" "Aku siap, Bram."Bram tampak khawatir dengan keadaan Dinda yang kacau, andai saja ia dapat memeluknya untuk sedikit menenangkan pikirannya saat ini.'Argh, aku mikir apa?' gerutu Bram dalam hatinya.Bram, memfokuskan dirinya untuk menyetir mobil yang akan membawanya menemuk
****Mariah begitu kaget ketika mendengar kabar penculikan itu diungkap Bram di depan Helmi. Bahkan, Bram tak segan-segan menyebut dirinya sebagai perempuan kriminal. Namun, ia harus berusaha bertingkah seolah tidak tahu menahu dengan apa yang dituduhkan Bram padanya. Beruntung, Mama Wulan keluar tepat waktu dan menyelamatkannya dari tuduhan-tuduhan Bram."Ma, bantu aku bangunkan Mas Helmi!" rengek Mariah. Sengaja ia buat seolah kepayahan saat membangunkan Helmi, untuk mengalihkan perhatian Bram."Kalian itu seperti anak kecil saja, apa-apa selalu pakai kekerasan. Lihat, di dalam sana Istri kamu sedang terbaring lemah, Bram!" bentak Wulan.Bram sengaja diam dan tak menanggapi ucapan mertuanya, berdebat dengannya hanya akan buang-buang waktu saja. Percuma, bukan?Mariah sibuk mengobati luka-luka Helmi yang di sebabkan oleh Bram. Hatinya mulai gelisah, bagaimana bisa penculikan ini bisa tercium cepat oleh Bram? Lalu, kenapa orang-oran
****Dinda sudah berusaha untuk mengalah, mengesampingkan semua luka yang kian mendera. Mendengar namanya saja seolah membuat luka itu kembali berdarah, apalagi bertatap muka. Namun, demi anak-anaknya ia rela melakukan semuanya. Memang, naluri seorang ibu, mampu merubuhkan tingginya keegoisan."Maaf, Mas. Aku sudah memberimu kesempatan berulang kali, namun kamu sia-siakan begitu saja. Lebih baik, kamu tak perlu lagi menemui Alif, biarkan Alif tenang bersamaku!" Dinda berucap pelan, namun dadanya terasa bergemuruh karena rasa kecewa yang terus memuncak hingga ke ubun-ubun."Apa maksudmu? Anak kita hilang karena kelalaian kamu sendiri, kok, malah nyalahin aku. Tidak bisa begitu, dong!" Tanpa rasa bersalah, Helmi menyalahkan Dinda atas kasus penculikan yang menimpa anak keduanya itu."Ini bukan masalah aku lalai atau tidaknya, tapi ada yang salah dengan istri kamu. Apa sampai sejauh ini kamu tidak menyadarinya? Cuku
****,"Mbak, bilang sama aku, anak itu anak kamu 'kan, Mbak? Dia anaknya Mas Helmi 'kan?" cecar Dinda lagi."Dia, dia ....""Mbak, lihat aku! Mbak sengaja menyembunyikan rahasia besar ini dari aku 'kan?" Dinda terus bertanya, ia lupa kondisi mental Amel tak sekuat dirinya."Maaf, Bu, aku permisi. Sepertinya aku salah telah masuk ke dalam rumah ini, jelas-jelas orang yang sedang kukejar tak ada di sini." Amel beranjak, ia mengayunkan langkahnya masuk ke kamarnya. Isakan tangisnya terdengar nelangsa di telinga Dinda, namun ia seperti terhipnotis oleh kata-kata Amel barusan."Maksudnya apa? Siapa orang yang di kejarnya?" gumamnya pelan.Dinda tercekat, saat benar-benar sadar akan kata-kata yang Amel ucapkan. Dia mengejar orang yang sudah pergi dari rumah ini dan hanya mantan suaminya lah yang sudah keluar dari rumah ini.'Astaga, kenapa aku mendadak selemot in
****"Tetap tinggal di sini, ya, Mbak. Alif mohon!" ucap Alif lirih, ia memeluk Amel dengan erat, seolah takut Amel tiba-tiba akan pergi meninggalkannya.Amel sibuk menghapus air matanya sambil menciumi pucuk kepala bocah itu, ada ketulusan dan cinta di sana."Iya, Mbak tolong di pikirkan lagi! Insya Allah aku tidak akan membencimu, aku hanya butuh waktu saja untuk menerima semuanya. Lagipula, ini bukan salah kamu juga." Dinda berusaha membujuk Amel dan berharap Amel membatalkan niatnya."Tapi, Bu," "Sudah, nggak ada tapi-tapian. Insya Allah aku tidak apa-apa. Lagipula, lelaki itu sudah kubuang jauh-jauh dari hidupku." "Makasih, Mbak. Aku memang masih membutuhkan pekerjaan ini untuk menghidupi putriku," ucap Amel. raut kesedihan jelas terlihat di matanya."Aku paham, makanya aku ingin kamu tetap di sini. Jika kamu mau, bawa saja putrimu tinggal di sini, biar Alif bisa menge
****"Kamu sedang berbicara dengan siapa? Dan siapa yang masih hidup, Mar?"Mariah begitu kaget saat Helmi dan Bram sudah berdiri di dekatnya. Ia tak menyadari entah sejak kapan mereka ada di sana? Apa jangan-jangan mereka mendengar semua pembicaraannya tadi? Ah, seketika saja Mariah ingin menghilang dari hadapan mereka berdua."Itu, tetangga kontrakan kita yang dulu, nanyain kabar aku, kita memang terbiasa bercandanya begitu. Kamu sudah selesai?" Mariah hanya butuh waktu beberapa detik untuk mengendalikan kegugupannya."Sudah," jawab Helmi datar.Berbeda dengan Bram, ia tak percaya sepenuhnya dengan jawaban Mariah barusan. Ia tampak masih menyelidik gerak-gerik Mariah.'Helmi itu memang kadal bodoh yang bisa di bodohi dengan gampang!' batin Bram. Ia gemas ketika tak menangkap secuilpun kecurigaan pada Helmi atas bahasa tubuh perempuan yang bergelar sebagai istri sirinya itu.
****"Mariah, kamukah itu?" Dinda mengernyitkan keningnya, melihat Mariah yang berdiri di depannya, jelas banyak berubah dengan Mariah yang di kenalnya selama ini."Iya, ini aku, Mbak!" ucap Mariah sambil tersenyum.Dinda terdiam. Ia khawatir Mariah akan melakukan hal yang membahayakannya seperti dulu."Mbak jangan takut, aku sengaja datang ke sini untuk meminta maaf sama Mbak Dinda!" ucapnya lagi.Dinda masih bergeming. Mariah menurunkan anak kecil itu dari gendongannya hingga anak itu duduk beralaskan rumput taman. Kemudian Mariah menurunkan tubuhnya sampai berjongkok. Tidak sampai di situ, Mariah seperti hendak bersujud tepat di kakipermpuan yang dulu telah di sakitinya."Mar, Bangun, Mar! Kamu mau ngapain, Mar?" teriak Dinda. Ia mundur beberapa langkah demi menghindari Mariah yang masih bersimpuh."Mbak Dinda, Maafkan aku! Aku memang salah sudah merebu
****"Dua minggu lagi aku akan menikahi Dinda, Ma. Aku harap, Mama bisa menerima keputusan ini dengan hati yang lapang!" ucap Bram. "Hm, apa kamu sudah pikirkan baik-baik? Masalahnya, Helmi mengidap penyakit kelam*in. Ada kemungkinan Dinda juga sudah tertular, Bram!" sahut Wulan."Beberapa hari lalu, Dinda sudah melakukan cek darah di sebuah klinik. Alhamdulilah, hasilnya negatif.""Apa? Jadi Dinda baik-baik saja?" seru Helmi. Ia baru saja datang dan ikut bergabung dengan Wulan dan Bram."Ya, Dinda negatif, Hel!""Lalu, dari mana sumber penyakit ini? Karena akhir-akhir ini aku tidak pernah melakukan hubungan itu dengan perempuan manapun!" umpat Helmi kesal."Coba kamu ingat-ingat lagi! Mungkin kamu pernah transfusi darah atau menggunakan jarum suntik yang tidak steril? Karena penularan penyakit itu tidak melulu dari hubungan badan saja, Hel!""Aku bukan pem
****"Bram, silakan duduk!" sambut Abi Ahmad terdengar ramah.Bram mengangguk dan mengikuti perintah Abi Ahmad. Ia sedikit demi sedikit berusaha mengurai kegugupannya di depan orang tuanya Dinda.Bibi datang dengan nampan berisi minuman di tangannya. Dinda dengan cekatan membantu pekerjaan ART-nya.'Sungguh, calon istri idaman!' puji Bram dalam hati."Maksud kedatangan Nak Bram sudah kami dengar dari Dinda. Namun, kali ini kami ingin mendengarnya langsung dari Nak Bram. Apa keberatan?" Pertanyaan Abi Ahmad mampu meluluh lantakkan pertahanan Bram untuk tetap tenang di depan orang tua kekasihnya. Namun, detik kemudian Bram berhasil menguasai dirinya kembali."Bismillahirrohmanirrohim, saya datang kesini karena saya ingin meminta restu dari Abi dan Umi. Saya mencintai Adinda dan berniat menikahinya dalam waktu dekat. Itupun jika Abi dan Umi memberikan restu."Singkat, padat dan j
****Samudra bertamu dengan membawa kabar baik untuk Dinda, ia akan melakukan pernikahan dengan Amel dalam waktu dekat ini."Selamat, ya, Sam. Akhirnya kamu menemukan cinta sejatimu di rumahku!" kelakar Dinda setelah memberi ucapan selamat untuk Samudra."Haha, kamu bisa aja, Din! Tapi ... Maaf,nih, mungkin setelah aku menikahi Amel, Amel akan berhenti bekerja sebagi baby sitternya Alif. Kamu nggak pa-pa, kan?" tanya Samudra ragu-ragu."Nggak pa-pa, Sam. Lagipula, aku sudah memprediksikan ini. Mana mungkin istri seorang pengusaha masih bekerja jadi baby sitter di rumahku?" sahut Dinda."Makasih, untuk pengertiannya, Din. Kamu memang sahabat terbaikku!""Sama-sama, tapi jangan lupa kamu harus jaga Amel layaknya berlian!" tegas Dinda."Siap!"Dinda semringah melihat lembaran undangan berwarna cream di tangannya. Nama Amelia dan Samudra tertulis di sana dengan indah. Ia jadi membayangkan bagaimana pernikahannya nanti dengan Samudra? Apa harus meriah atau han
****"Hai, Om Bram!" Alif menyambut Bram dengan sangat ramah. Bahkan, kadang-kadang ia tak akan sungkan untuk memeluk lelaki dewasa itu."Apa kabarmu? Bagaimana sekolahmu?" tanya Bram pada bocah itu."Kabarku baik dan sekolahku sangat menyenangkan. Aku sudah bilang pada teman-temanku, kalau Om Bram sebentar lagi menjadi papaku!" Dengan polosnya Alif bercerita."Wow! Alif di ajarin siapa cerita-cerita begitu?" Dinda tampak bertanduk mendengar cerita dua lelaki beda usia di depannya."Memangnya nggak boleh, ya, Bunda?" Alif balik bertanya, tatapannya berubah menjadi sendu."Sutt!" Bram memberi kode isyarat."Em, boleh. Tapi cuma ke teman dekat saja ,ya!" jawab Dinda sedikit terpaksa karena kode dari Bram."Siapa teman dekatnya Alif?" Bram menyela pembicaraan antara Dinda dan Alif."Itu, anaknya Bu RT. Namanya Salwa, Om."
****"Pak, bangun, Pak! Ini sudah siang, Pak Helmi sudah melewatkan sarapan dan minum obat setengah jam yang lalu." Rena memberanikan diri untuk membangunkan Helmi."Hoam!" Helmi menguap sambil menggeliat. Entah kenapa akhir-akhir ini ia sering mengantuk padahal semalam tidurnya sangat nyenyak."Ini sarapan dan obatnya saya taruh di sini, ya!" ucap Rena lagi. Lalu, ia kembali keluar kamar karena ada pekerjaan yang harus di selesaikannya.Helmi berjalan tertatih, tangannya bertumpu pada tembok. Ia melakukan terapi sendirian. Dari tempat tidur ke kamar mandi saja, Helmi membutuhkan waktu yang lumayan lama, karena kakinya terasa sangat lemas."Argh, andai saja aku tak ceroboh,tak mungkin aku akan menderita seperti ini!" gerutu Helmi. Dengan penuh perjuangan, akhirnya ia sampai juga di kamar mandi.Di dapur Rena berpapasan dengan Wulan, jangankan menyapa dengan ramah, sekadar senyum pun tidak.
****Seminggu kemudian dari kejadian Bram mengenalkan Dinda sebagai calon istrinya, kesehatan Helmi kembali menurun. Kepalanya yang sering tiba-tiba sakit dan demam tinggi sering menyerangnya malam-malam. Beruntung ia sudah mendapatkan orang yang bersedia untuk merawat serta mengurus semua keperluannya. Dari mulai makan, menyiapkan pakaian, juga hal-hal kecil lainnya."Hel, apa kamu yakin ingin mengurus Amera sedangkan kondisi kamu saja seperti ini?" tanya Wulan. Ia tiba-tiba masuk kamar dengan wajah yang kusut. Pasti gara-gara belum di kasih jatah bulanan."Terus kalau bukan kita yang urus, mau siapa lagi, Ma?" Helmi balik menatap mamanya."Ya, misal di titip di panti asuhan. Kita bisa menjenguknya kapanpun kita mau. Iya, kan?" ucap Wulan sambil menunduk.Sebenarnya ia tak enak memberi ide seperti ini kepada Helmi. Apalagi, dulu ia sangat menginginkan cucu perempuan dari Helmi. Tetapi ketika Helmi
*****Sore hari, Helmi pulang ke rumah. Baru saja ia sampai di ruang tamu, Wulan menyambutnya dengan bibir yang mengerucut."Hel, bagaimana kabar si Amera? Apa sudah ada kemajuan hari ini?" tanya Wulan dengan mata yang sedikit mendelik."Belum, Ma.""Harus berapa lama lagi dia di rawat di NICU? Lama-lama bisa tekor persediaan uang kita, tabungan Mama sudah mulai berkurang, loh!" sungut Wulan, tampak sedikit kesal."Sabar, ya,Ma. Kita berdo'a untuk Amera agar berat badannya cepat stabil dan bisa di rawat di rumah saja.""Pasti," sahut Wulan datar."Aku mandi dulu, ya, Ma.""Hm!"Helmi mengayuh roda kursi yang ia duduki dengan dua tangannya. Ia harus belajar mandiri, apalagi nanti kalau Amera sudah pulang ke rumah, ia harus bisa mengurus diri sendiri dan mengasuh Amera sekaligus.Helmi mengguyur tubuhnya yang terasa lengket dengan air hangat. Aroma sabun mandi yang menyegarkan menguar dari t
****Bram tampak segar sore ini, setelah mandi dan bersiap-siap ia segera melangkah ke kamar putrinya dengan cepat."Kamu sudah siap, Laura?" teriak Bram sambil mengetuk pintu kamar putrinya yang mulai beranjak remaja."Sedikit lagi, Pa!" teriaknya dari dalam tanpa membukakan pintu untuk papanya."Huh, perempuan sama saja! Masih bocah atau dewasa sama saja, sama-sama suka lama kalau dandan!" gerutu Bram di depan pintu kamar anaknya."Papa tunggu di depan saja, ya!" "Iya, Pa."Bram berjalan ke depan dengan gontai sambil bersiul-siul. Wajahnya kali ini tampak riang tak sekusut sebelumnya, berharap apa yang telah di susun rapi dengan putrinya berjalan sesuai dengan keinginannya.Setengah jam kemudian, Laura menghampirinya sambil senyum-senyum. Dandanan Laura kali ini bikin sakit mata. Bagaimana tidak? Dia memakai rok selutut warna kuning, di padukan dengan atasan k