"Alana?" Rasya kembali mendekati istrinya. Dia mengerti perasaan gadis itu kini, sehingga tidak mau menambah masalah. "Baiklah, kamu mandi dulu biar kita nyusul mama sekalian aku mau ngabarin mama Devita. Oke?"Rasya merasa tidak ada pilihan lain, dia juga memberi isyarat pada mertuanya untuk mengiyakan saja. Dalam keadaan seperti itu, Rasya harus memikirkan diri Alana juga.Untung saja gadis itu setuju, dia kemudian melangkah ke kamar mandi, sementara Rasya mengemasi pakaian. Tangannya berhenti di udara melihat baju pemberian Devita di hari ulang tahunnya. Ada perasaan sedih berkecamuk di dalam dada.Benarkah sekarang Rasya harus menuruti keinginan Alana demi kebahagiaan gadis itu? Entah kenapa, hatinya merasa goyah tentang perasaan yang baru diakuinya tadi malam.Sejak dulu Rasya menduga bahwa mencintai seseorang setelah perkenalan singkat itu palsu, yang ada hanya rasa nyaman atau kagum sesaat. Dia menjadi takut kalau saja perasaannya pada Alana juga bersifat sementara."Lain kali,
Siti dan kawan-kawan seketika saling pandang sambil mengerutkan kening. Alana menduga kalau sebagian dari mereka mungkin saja tidak mengerti maksud pembicaraan Alana. Baiklah, sepertinya memang harus sedikit tegas dan gamblang."Itu loh buat tetangga yang suka bicara nggak jelas, julid, suka ngefitnah orang. Barangkali mulutnya kotor penuh sampah, jadi mau dibawa ke salon. Abis tetangga suami semuanya mata duitan," lanjut Alana lagi dengan nada menyindir dan menekan suara pada kalimat 'mata duitan'."Untung tetangga kamu nggak gitu ya, Na? Makanya aku nggak segan berbagi ke mereka termasuk Bu Leha, Bu Siti ... karena mereka paling baik sih menurut aku." Rasya menambahkan dengan senyum palsunya.Salah satu dari mereka menyikut lengan Siti, lalu bertepuk tangan tanpa suara. Dia memberi apresiasi atas pengakuan palsu Rasya yang sebenarnya menertawakan dalam hati.Siti sendiri tidak terlihat tersinggung, wajahnya dihiasi senyum yang mengambang sempurna. Uang satu juta di tangannya dia tat
Pagi yang cerah di hari senin, Alana akhirnya bisa tersenyum manis pada Rasya karena kini lelaki itu sudah siap dengan pakaian kerjanya. Meskipun belum tahu harus bekerja sebagai apa, yang pasti dia sudah semangat untuk berkunjung ke kantor Bahzar.Alana sedikit merapikan dasi Rasya sebelum akhirnya bersorak, "yey, udah beres. Kalau rapi begini tuh kamu kayak cakep banget.""Kayak cakep banget?""Iya-iya, maksudnya tuh capek banget. Udah sana ke kantor sebelum telat, bisa-bisa kena marah sama boss!"Rasya tertawa kecil mendengar omelan istrinya pagi itu. Dia pun mengulurkan tangan pada Ranti yang ikut berdiri di dekat mereka, lalu salim pada istrinya. Rasya berangkat dengan sepeda motornya karena Bahzar melarang memakai mobil.Setelah Rasya sudah hilang dari pandangan, Alana menarik tangan ibunya ke kursi karena merasa ada hal yang harus dibicarakan. Ekspresi wajahnya menandakan keseriusan, tetapi Ranti malah terlihat tenang seolah tahu apa yang akan putrinya tanyakan."Ma, menurut Ma
Alana mengerutkan kening karena supir grab memintanya turun padahal jarak ke rumahnya masih sekitar enam puluh meter. Saat melihat ke depan, banyak kerumunan dan juga kepulan asap tebal di atas langit."Pak, ini maksudnya lagi kebakaran apa gimana ini?" Alana panik, sambil membuka pintu mobil tanpa menunggu jawaban dari supir itu. Tidak lupa dia meletakkan selembar uang merah di kursi samping supir tadi, lalu berlari mendekati kerumunan.Di sana sudah ada pemadam kebakaran, Alana belum tahu rumah siapa yang dilalap jago merah itu. Sekalipun sulit, dia terus berusaha menerobos karena ada firasat buruk dalam hati Alana. Air matanya bahkan sudah jatuh membasahi pipi, entah kenapa."Ini yang kebakaran rumah siapa?" Alana bertanya pada mereka semua. Tidak ada jawaban karena terlalu banyak suara.Hampir tiga puluh menit menunggu, akhirnya api itu padam sempurna. Menurut cerita yang Alana dengar, ada dua rumah yang habis terbakar sementara satu lainnya hanya sedikit."Alana, rumah kamu kebak
"Kalau kita nggak usut siapa pelaku kebakaran itu, bisa-bisa besok kita yang dibakar seperti kata aku tadi, Ma. Sabar itu boleh, tapi jangan sampai bodoh. Sabar juga ada batasnya, Ma dan melindungi diri itu harus. Kalau kita mati dibakar gimana? Kita bakal dianggap manusia paling o'on di muka bumi!" Alana tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.Kenapa Ranti harus merahasiakan pelaku dari pihak berwajib? Kalau melindungi Albian karena takut aib Alana terbongkar itu bukan alasan yang tepat. Bukankah seharusnya mereka semua tidak percaya kalau gadis itu hamil di luar nikah? Sekarang ada Rasya yang melindungi.Gadis itu semakin resah dan meminta Rasya untuk datang lebih cepat. Dia tidak peduli apakah nanti akan mendebat orangtuanya atau tidak, yang pasti Rasya harus segera datang."Mama bilang jangan ya jangan. Kalau Pak Bahzar sama Bu Devita tahu gimana? Mereka emang baik, tapi kita malu lah kalau minta pertolongan mulu. Mereka emang mertuamu, tetap saja–""Rasya, Ma. Aku cukup minta tol
"Manasinnya pake rice cooker atau panci nih?" celetuk Alana berusaha menahan tawa."Jangan bercanda, Yang!"Deg!Alana menelan saliva. Dia tahu hatinya berdesir untuk pertama kalinya ketika dipanggil seperti itu oleh Rasya. Akan tetapi, Alana belum tahu pasti apakah itu tanda cinta atau sebatas desiran halus saja.Ketika Albian sudah pergi, semua orang langsung menyerbu dengan banyak pertanyaan, kenapa Rasya menuduh tanpa bukti bahkan sampai memukulinya. Namun, lelaki itu acuh tak acuh pada mereka semua karena menjawab satu pertanyaan saja bisa membuatnya viral di kalangan tukang gosip.Mereka disuruh bubar karena ada hal rahasia yang harus disampaikan. Alana menghela napas berat, mengikuti Rasya dan ibunya untuk menjauh dari kerumunan. Di ujung dekat mantan dapur mereka, Ranti meminta untuk berhenti."Nak Rasya terlalu baik mau bayarin 200 juta itu, mama janji bakal ganti suatu hari nanti.""Ma? Aku ini menantu Mama. Kalian berdua itu tanggungjawab aku. Lupakan tentang uang itu, yang
Sudah dua hari Bella tidak mau mengangkat telepon dari Alana. Gadis itu selalu kesal dibuatnya, belum lagi masalah di rumah sewaan itu karena Ranti merasa tidak nyaman.Rasya sendiri terlalu sibuk di kantor seolah dia memanglah OB. Terlepas dari apa pekerjaan Rasya, Alana lebih fokus pada pelaku kebakaran itu yang sialnya tidak dilapor ke pihak berwajib."Na, di depan ada yang mau ketemu sama kamu!"Ranti membuka pintu kamar membuyarkan lamunan gadis itu. Dengan santai Alana bertanya, "siapa, Ma?""Liat aja ke depan, kamu nggak bakal rugi kok."Dalam keadaan pusing memikirkan pelaku kebakaran, Alana harus bertemu dengan seseorang yang entah penting atau tidak. Dia menghentakkan kaki tiga kali sebelum benar-benar meninggalkan kamar.Tiba di ruang tamu, bola matanya berputar malas. Tamu yang sama beberapa bulan lalu dan entah dengan tujuan apa. Alana melipat tangan di depan dada, kenapa harus datang padahal saat ibunya dipecat saja, dia sama sekali tidak memunculkan batang hidungnya."P
Pukul enam petang, Rasya akhirnya tiba di rumah. Alana langsung menyambar pintu, menatap tajam pada lelaki yang baru saja tersenyum padanya."Suami baru pulang langsung judes gitu, sapa kek kasih senyum sama sediain air buat mandi."Alana tertawa licik. Setelah merenung hampir tiga jam, kini dia menyadari semuanya. Rasya yang tidak pernah salat dan tidak takut pada apa pun karena memiliki banyak uang, kemudian langsung mengajaknya kerjasama sekalipun mereka memiliki tujuan yang sama. Bukan kah itu suatu keganjilan?"Kamu kerasukan ya?" Rasya menyentuh dahi Alana dengan punggung tangannya.Gadis itu sudah meminta pada ibunya untuk tidak ikut campur, maka sekarang dia menarik tangan Rasya masuk kamar dan mengunci dari dalam. Dia memberi sorot mata tajam, ada luka yang bergemuruh dalam dada.Kedua tangan terkepal kuat, napasnya memburu dan sekarang Alana berteriak tidak bisa mengendalikan amarah. Rasya sigap memeluknya berusaha untuk menenangkan, tetapi hati Alana terlalu sakit. Dia mema
Selesai mandi sore, Alana memilih mengurung diri dalam kamar bersama putra kesayangannya karena Ali sedang terlelap. Merasa jenuh, akhirnya dia membuka aplikasi sosial media. Mulai dari Instag-ram, Face-book hingga aplikasi hijau yang dikenal dengan sebutan Whats-App.Alana membuka story teman-temannya. Mereka memang masih saling menyimpan kontak, tetapi tidak pernah bertukar pesan selain menonton story masing-masing. Terutama Alana yang memang tidak mau mempublish masalahnya ke media sosial.Menyebar masalah ke sosial media bagi Alana itu buruk. Selain mengundang gibah, beberapa dari mereka juga bertanya bukan karena peduli atau ingin memberi solusi melainkan kepo saja. Lagi pula, masalah rumah tangga itu hal privasi.Alana menekan layar ponselnya ketika tiba di story Whats-App milik Rasya. Ada foto mereka berdua di sana dengan caption 'Bidadari Surgaku' yang disertai emotikon love dan bunga mawar merah."Lah, ini bener?" tanya Alana menatap tidak percaya.Entah kenapa, tiba-tiba hat
"Sepertinya, aku harus pergi lagi sebelum perasaan ini tumbuh sangat dalam dan untuk itu aku butuh kamu," jawab Shaka dengan perasaan sedih.Hasna terdiam beberapa saat, kemudian melirik ke kanan dan kiri. Sayang sekali karena tidak ada pembeli agar dia bisa menghindari Shaka.Jujur saja, dia belum bisa membuka hati untuk orang baru. Memang benar kalau saat ini Hasna butuh seseorang untuk menemaninya menjalani hidup. Dia bosan menumpang pada Siti karena selalu dijadikan kambing hitam, dituduh dalang dari setiap masalah yang ada.Hidupnya kacau balau, terkadang Hasna ingin menyerah jika saja iman tidak ada dalam dada. Hasna mendesah kesal, entah mengapa. Saat kembali menatap Shaka, ada rasa iba dalam dirinya. Lelaki itu setengah mati berjuang melupakan Zanna, haruskah dia mengorbankan perasaan sendiri demi membantunya kembali ke hakikat diri?Berat. Hasna rasa tidak mudah mengubah pendirian seseorang. Apalagi sosok seperti Shaka yang setahu Hasna sudah lama alpa dari perintah Tuhan yak
I lay my love on youIt's all I wanna doEvery time I breathe I feel brand newYou opened up my heartShow me all your love and walk right throughAs I lay my love on you....Shaka sengaja mendengarkan lagu romansa dari Westlife sebagai gambaran perasaannya saat ini. Memang benar bahwa Alana lah yang membuka hatinya untuk tidak larut mencintai Zanna yang telah tiada. Sayang sekali, dia tidak bisa memiliki wanita itu.Mencintai seseorang yang sudah menikah dan suaminya adalah adik sendiri itu menyakitkan. Shaka diam-diam menghela napas berat tanpa memudarkan senyum di bibirnya. Dia ingin menikmati kesempatan itu dengan bahagia."Andai saja aku pulang lebih cepat dan ketemu sama kamu, aku yakin kita akan menjadi pasangan romantis. Aku nggak bakal ngebiarin Rasya buat nikahin kamu karena kesempatan itu nggak datang dua kali.""Andai saja kita bisa kembali ke masa lalu," gumam Alana membuang pandangan ke arah samping."Bahkan kamu lebih menginginkan aku daripada Rasya. Jelas sekali karen
Sesampainya di rumah, Ranti langsung menemui menantunya yang sedang duduk di samping ayunan Ali sambil menonton YouTube. Melihat kesedihan di wajahnya membuat wanita tua itu mengurungkan niat, kemudian menyerahkan ponselnya pada sang anak."Tadi mama sempat rekam pembicaraan kita di rumah Siti. Kamu kasih sama Rasya sebagai bukti, mama mau balik ke rumah dulu," bisik Ranti, lantas melangkah cepat meninggalkan Alana.Wanita itu melipat bibir. Jujur saja, dia sedikit kesal pada tingkah suaminya yang sangat mudah termakan omongan tetangga. Padahal, dia sudah tahu bagaimana perangai Siti selama ini. Lulusan sarjana, tetapi begitu mudah dikelabui.Alana tidak habis pikir, hatinya pun masih menyimpan perih setelah mendapat tamparan tadi. Kalau saja bukan mau bersikap dewasa, dia pasti sudah balas menampar Rasya. Ah, pikirannya kalut. Kini, pandangan mereka bertemu ... masih terlihat binar cinta di kedua matanya."Dengerin sendiri!" Alana meletakkan ponsel ibunya, kemudian ikut duduk di deka
Rasya tentu tidak mau kalah, dengan cepat dia menyusul Alana ke kamar, kemudian membawanya ke tempat semula dengan sedikit paksaan. Dia bisa saja melanjutkan perdebatan itu dalam kamar, tetapi Ali tidak boleh ditinggal sendirian.Kembali, Rasya membuang napas berat. Ada perasaan sedih dalam hatinya karena dia percaya pada apa yang Siti katakan. Mengingat Shaka pernah menganggap Alana adalah Zanna, maka tidak menutup kemungkinan apa yang diadukan Siti benar adanya dan Alana sedang mencoba untuk lari dari masalah.Apa gunanya bertanya pada Ranti jika dia akan membela anaknya sendiri karena takut kalau Alana menjadi janda di usia muda apalagi pernikahan mereka belum terlalu lama ditambah Ali masih kecil. Memikirkan itu semua semakin menambah pikiran Rasya saja."Kalau kamu nggak percaya, ya sudah.""Hari itu saja aku lihat kamu dipeluk sama Shaka padahal ada banyak pelayan di rumah. Sementara tadi, hanya ada kalian. Setan selalu hadir sebagai orang ketiga saat ada yang berduaan. Okelah a
"Bu Siti tahu dari mana kalau Alana romantis-romantisan?"Siti mengibaskan kipasnya, padahal cuaca biasa saja. "Ya aku lihat sendiri lah. Tahu sendiri kan kalau Hasna kerja di warung mertua kamu, sebagai tante yang baik untuk Hasna dan tetangga baik buat kalian, jadinya beli nasi uduk ke sana. Eh, sebelum kesampean malah liat laki-laki lagi gendong Ali, terus Alana malah senyum-senyum tidak jelas. Agak lama sih posisi mereka kayak gitu, sesekali Alana bercandain Ali. Pokoknya aku nggak bisa gambarin secara gamblang, intinya mereka romantisan. Mungkin karena Hasna sama mertua kamu lagi keluar jadi mereka mikirnya dunia cuma milik berdua. Iya, toh?"Mendengar itu semakin menambah amarah di hati Rasya. Kedua matanya berubah merah, rahang pun mengetat sempurna. Bagaimana mungkin Alana bersikap romantis pada lelaki lain?Satu hal yang membuat Rasya bingung. Dia belum bisa menebak siapa lelaki yang berhasil merebut posisinya. Sejak dulu Rasya sudah berpesan agar Alana tidak pernah tersenyum
Hari kedua Shaka bekerja, dia ternyata sosok yang rajin. Datang lima menit lebih cepat dan pulang lebih lambat karena membantu Ranti membereskan warung terlebih dahulu.Sebenarnya Ranti masih sungkan mempekerjakan saudara menantunya, tetapi dia terus mendesak. Sudah berulang kali Ranti memintanya pulang ke rumah atau bekerja di kantor, Shaka tidak pernah mengindahkannya.Sekarang, jam sudah mendekati pukul tiga sore dan Shaka belum juga kembali sejak empat jam yang lalu. Ada rasa khawatir yang menyelimuti jiwa Ranti dan juga Hasna karena makanan-makanan itu diantar tidak terlalu jauh dari rumah dan jumlahnya pun tidak banyak.Dalam waktu normal, Ranti memperkirakan Shaka sudah tiba di rumah sejak setengah jam yang lalu. Entahlah, dia mendesah ingin putus asa terutama ketika Hasna mengatakan kalau nomor telepon Shaka tidak aktif. Ke mana dia? Apa dia baik-baik saja?"Kalau Shaka kenapa-napa?""Hust!" Ranti menempelkan jari telunjuknya di bibir Hasna beberapa detik, kemudian melanjutkan
Hari sabtu, hari yang biasanya Alana nantikan karena Rasya tidak harus berangkat ke kantor. Bagaimana dengan sekarang? Mungkin sedikit sulit karena sudah beberapa hari ini tidak ada canda dan tawa di antara keduanya.Rasya hanya akan berbicara pada Alana ketika ada sesuatu yang penting, begitu juga sebaliknya. Alana bukan tidak mau meraih rida suami, tetapi Rasya yang terlihat menghindari.Tepatnya karena merasa bersalah. Entah kenapa lelaki itu sangat sulit mengurai kata maaf di hadapan Alana. Rasa bersalah yang terlalu dalam, mungkin. Sekarang pun dia sengaja berlama-lama di kamar mandi karena khawatir berpapasan dengan Alana.Sementara Alana sendiri melipat pakaian yang dia cuci kemarin karena Ali terlelap di dalam ayunan. Untung saja pangeran mereka tidak lagi rewel, mungkin saja berusaha mengerti keadaan orangtuanya.Jam sudah menunjuk angka delapan, Ranti yang berada di penjualan terlihat penat. Dia pun memilih duduk sebentar karena tadi malam harus begadang setelah menerima pes
"Tidak mungkin, Na. Aku nggak yakin ada yang suka sama aku. Kamu tahu sendiri aku nggak ada kelebihan selain jago jualan." Hasna tertawa renyah, kemudian melanjutkan, "sulit. Aku harap tidak ada."Alana tersenyum hangat. Kalau dia jadi Hasna, mungkin akan merasakan hal yang sama pula. Hidup di perantauan bersama seorang tante yang sangat cerewet dan senang memfitnah orang itu tidak menyenangkan, hari-hari berlalu pasti dipenuhi dengan tekanan yang membebani pikiran apalagi jika dijadikan babu karena hidup menumpang.Sebenarnya bukan menumpang semata, Hasna juga menyisihkan gajinya untuk membeli beras atau lauk, tetapi tetap saja Siti menganggapnya beban dan kalau suatu hari nanti ada yang berniat baik, tentu merupakan berita baik.Ada satu masalah, Hasna tidak akan semudah itu mendapat restu. Dia yang kini hidup jauh dari kota kelahirannya memaksa diri untuk tetap tenang, sabar dan selalu semangat dalam keadaan apa pun. Hasna sebenarnya sangat butuh dukungan dari keluarga, hanya takdi