Ada apa sebenarnya? Sikap orang-orang saat menatap Mas Zain membuatku terus bertanya-tanya. Aku mengalihkan pandang saat secara tak sengaja bersitatap dengan Mas Zain dari spions. Sepanjang jalan hanya keheningan dan aku yang ketakutan berpegang erat pada bajunya karena ia mengemudi cukup kencang.Ketika tiba di jalan dekat dengan rumahnya, Mas Zain mengurangi laju kecepatan. Tapi ia tak berhenti, melainkan terus melaju pelan menuju gerbang bertulis 'Selamat datang di Sungai Cambai. Ia memarkir motor di bibir jalan mulus cor-cor-ran lalu mengambil alih belanjaanku, meletakkannya di stang motor. Setelah itu, ia melangkah mendekati bibir sungai agak keruh dan melepas tali perahu pada tambatan yang terpacak di tepi sungai. Aku memperhatikannya dengan benak penuh tanya. Mau apa ia dengan perahunya itu?Dengan tatapannya yang tajam mengerikan itu, ia mengisyaratkan agar aku mendekat. Ia sedikit membungkuk di perahu, tangannya terulur hendak membantuku yang ragu-ragu naik."Kita mau ke mana
Takut-takut, aku mendekat. Hanya nyengir kecil saat beradu tatap dengannya. Wajah Mas Zain masih terlihat begitu jengkel."Memangnya ... apa yang kubuang, Mas?"Tangannya mengambil serokan mini lalu menggerakkannya ke comberan. Setelah itu memasukkan hewan-hewan kecil dari serokan ke ember ukuran sedang. Aku mengamati hewan-hewan nyaris tak terlihat jika tak mengamatinya dengan saksama yang bergerak-gerak membuat begidik. Hiii"Memang ... itu buat apa, Mas?" Pandanganku kembali tertuju ke ember berair agak keruh dengan hewan-hewan kecil membuat bergidik. Tanpa mengatakan apa pun, ia menuju dapur. Kok aku dicueki begini, sih? Membuatku merasa semakin bersalah saja. Apa ia marah? Haruskah aku menggantinya? Apa yang kubuang itu adalah sesuatu yang ia jual?Mungkin, lebih baik aku menggantinya dengan uang daripada tak nyaman begini. Akhirnya, aku menuju ke arahnya dengan canggung. Hanya nyengir kecil sambil menggaruk rambut yang tak gatal saat kami beradu tatap. Aku bingung mau memulai pe
Mas Zain mengerutkan kening begitu menyelidik. Tatapannya semakin tajam dan mengerikan. Pelan, kulepas tangannya yang melingkari perutku lalu dengan cepat berdiri. Baru saja mau melangkah pergi, ia kembali menarik tanganku keras. Duduk di pangkuannya begini, aku sama sekali tidak nyaman. Tatapannya lekat ke wajahku. Jangan bayangkan bagaimana tegangnya aku. Keringat dingin bahkan sudah membanjir di tengkuk juga telapak tangan ini.Aku deg deg kan. Juga ...Takut.Ia menyipitkan mata. Duh, Tuhaan. Pleaseee, tolong aku.Deg deg"Bagaimana kamu menemukan ini?"Deg deg. Tatapannya biasa saja apa tak bisa? Tanpa harus membuat orang ketakutan begini. Menghela napas, aku akhirnya berkata dengan gugup. Tanganku meremas androk."Aku ... aku mengambil itu ...." Kutatap sekeliling. Sedikit membeliak karena seprei itu tidak ada di sini. Mas Zain bisa salah faham jika aku tak segera menjelaskan. "Tadi aku mau ganti seprei ini, Mas. La ... lalu itu jatuh dari dalam seprei." Kutatap benda di tanga
POV Cinta"Sudah pulang, Mas?" tanyaku saat lelaki tinggi tegap itu masuk rumah dengan wajah kesal. Ada apa sih dengannya? Apa jangan-jangan dia habis dimarahi oleh perempuan yang meneleponnya pagi-pagi?Mas Zain tak menyahut, hanya memperhatikan wajahku cukup lama, membuatku jadi salah tingkah. Ada apa sih dengannya? Aneh.Atau jangan-jangan, ia masih kesal lagi padaku karena telah memasak ikannya?"Umm, ma-aafin aku ya, Mas? Aku gak tau kalau ikan di kulkas ternyata untuk ... umm ...." Aku menggaruk rambut yang tak gatal. Gugup lah, aku, ditatap terus seperti itu. Ada apa sih dengannya? Pulang-pulang bersikap aneh begitu.Aku mencoba mengusir gugup yang kian menggila dengan tersenyum kecil seolah tak terjadi apa-apa. Tatapannya itu, kenapa tertambat ke wajahku terus, siih? Aku menoleh ke samping memperhatikan Caca yang bermain sendiri, sangat berharap anak itu memanggilku. Setelah tadi terus merengek minta ditelpon kan ayahnya dan kubujuk lalu mengajaknya jalan-jalan di pematang saw
POV CintaWajahku perlahan menghangat saat beradu pandang dengan Mas Zain. Temannya itu menoleh, lantas tersenyum menggoda pada lelaki yang tanpa ekspresi itu. A-duuuh, gimana niih, aku?Akhirnya, aku bergerak menyingkir saat Mas Zain mendekat lalu dengan sedikit membungkuk ia menenggelamkan serok ke dalam air, mendorongnya ke pinggir. Tampak ikan-ikan mini beraneka corak melompat-lompat dalam serok ukuran sedang itu. Saat bersitatap dengan Mas Zain yang menoleh menatapku dengan kening berkerut, aku nyengir kecil. Tanganku terangkat menggaruk rambut yang tak gatal. Lagi, aku kembali nyengir."Yang mana?" Mas Zain kini menatap temannya, menganggap seolah aku tak ada di sini, sepertinya. Sementara temannya itu, sesekali mendongak memperhatikanku. Diulurkan tangan ke arahku dengan bibir menyungging senyum."Yus," katanya. Aku langsung menjabat tangannya diiringi senyum. Sungguh tak nyaman."Cinta."Yus mengangguk. "Siapanya dia?" tanyanya, dengan dagunya menunjuk pada Mas Zain yang tampa
Aku terbatuk-batuk dan muntah saat Mas Zain menekan-nekan dadaku cukup kuat. Aku beranjak duduk sambil terus berusaha memuntahkan air yang tersisa. Sungguh rasa airnya begitu memuakkan, membuat perut terus mengencang lalu mengendur ingin terus mengeluarkan isi perut. Pandanganku yang tadi mengabur juga kepala pening kini agak membaik. "Makasih, Mas, sludah nolong aku." Aku berkata tanpa menatapnya. Tanganku menyilang di dada karena merasa tak nyaman. Bayangkan saja baju basah mengikuti lekuk tubuh, tak ada benda apa pun untuk menutupi.Mas Zain hanya diam. Aku berpaling darinya karena begitu malu. Tanganku menekan-nekan punggung Caca tapi bocah ini sama sekali tak mau bangun. Pelan, Mas Zain melajukan perahu kembali ke rumah. Rasanya, perjalanan ini jauh lebih lama timbang sebelumnya padahal tetap melewati sungai yang sama. Aku bersidekap untuk menghalau dingin. Begitu sampai, ia segera menambatkan perahu. Dengan satu tangan menggendong Caca di pundaknya, Mas Zain mengulurkan tang
"Ada apa, Mas?" Aku memandang Mas Zain yang terus mematung di ambang pintu dengan tak nyaman. Caca menggelendot memeluk lenganku. Kuusap rambutnya."Hanya mau memberi tahu, nanti malam, temanku ingin aku mengajakmu nonton layar tancap.""Iya. Tadi kan, Mas sudah bilang."Dengan sedikit salah tingkah, ia membalikkan badan. Kepergiannya membuatku bernapas lega. Orang itu, selalu saja membuatku tegang."Bunda." Caca mendongak.Kuusap rambutnya."Iya, Sayang?""Lihat Om Zain, aku jadi semakin kangen sama ayah. Kapan kita pulang, Bun?" Matanya menatap penuh harap.Seperti diremas jantungku mendengar penuturan Caca. Terlihat sekali bahwa ia begitu merindukan ayahnya. Kupeluk ia erat Caca lalu mencium ubun-ubunnya."Besok kita ketemu ayah ya, Bun?"Kugigit bibir kuat menahan dorongan untuk menangis. Bukan kamu saja yang kangen, Nak, tapi bunda juga. Tapi, hati bunda masih sangat sakit dan belum siap untuk bertemu ayahmu. Mungkin nanti. Alih-alih mengangguk untuk membuat Caca senang, aku memil
Tanpa sadar, aku sudah terisak. Haruskah kuberi alamat lengkap di mana aku tinggal? Aku menggelengkan kepala. Bingung. Juga serbasalah. Disatu sisi Caca begitu merindukan ayahnya, tapi di sisi lain, hatiku belum siap. Masih sakit terasa.Ting! Notif WA.CinTak lama kemudian, HP-ku berdering. Hanya kupandangi saja foto Mas Yoga tanpa berniat mengangkatnya. Akhirnya, HP mati sendiri.Ting!Angkat, Cin. Jangan menghindari masalah seperti anak kecilTak lama, HP-ku kembali berdering. Dengan tatapan nanar, kuperhatikan saja foto MasbYoga. Ia tersenyum lebar dengan tatapan penuh cinta. Di belakangnya, hamparan laut biru dengan ombat bergulung-gulung. Itu aku yang memotretnya saat kami liburan ke Bali. Saat kami masih begitu bahagia menjadi pengantin baru seolah dunia milik berdua. Tatapannya yang penuh cinta saat memandangku, senyumnya yang selalu terukir di bibir, nyaris tak pernah adab5 bulan belakangan sebelum ia menikahi Anita.Kuhela napas dalam. Mengingatnya, selalu saja menghadirka
Aku menatap ke arah pintu yang perlahan membuka. Mas Yoga masuk membawa jus wortel. Ia duduk di bibir ranjang, sambil tersenyum kecil mengulurkan gelas itu padaku. Aku terus diam menatapnya tanpa ekspresi. Semua tak lagi sama, Mas. Meskipun sekarang kamu bersikap baik, keputusan untuk cerai tak bisa diganggu gugat. Sampai kapan pun, aku tak mau dimadu.Mas Yoga memajukan gelas di tangannya lebih dekat ke arahku. Karena aku terus diam, ia akhirnya menempelkan gelas ke mulutku."Aku selalu ingat hampir tiap pagi dan malam kamu meminum ini." Tatapnya, aku berpaling darinya. Memperhatikan matahari pagi yang menyinari dedaunan."Bundaa!" Itu suara Caca. Aku menegakkan tubuh lalu merentangkan tangan saat putri kecilku itu berlari mendekat. Kucium pipinya dan memangkunya."Caca mau ikut bunda, gak?" Tatapku. Caca memandangku penuh minat."Ke mana, Bun?""Pengadilan agama."Wajah Mas Yoga menegang. Ia menegakkan tubuh. Tangannya meremas gelas cukup kuat. Aku pura-pura tak melihat."Caca tungg
Cinta memandangku dengan wajah jengkel bercampur penasaran. "Apa, Mas? Katakan saja mumpung aku masih mau mendengar."Kugelengkan kepala melihat tingkahnya. Ia bersidekap di dada dan memandangku angkuh."Ayo katakan, Mas?!""Aku menikahi Anita sebenarnya karena ...." Aku menarik napas dalam saat teringat perkataan Mas Yogi tempo hari."Kamu harus menyembunyikan ini dari istrimu. Dia mudah keceplosan. Setelah Anita melahirkan, kamu boleh menceraikannya," kata Mas Yogi kala itu sambil menatap penuh harap."Ayo cepat katakan, Mas.""Cinta, aku ...." Aku menatapnya ragu. Teringat permintaan Mas Yogi agar aku tetap bungkam membuatku bingung. Kalau mengatakannya, aku takut Cinta akan bilang pada Anita bahwa yang dinikahinya bukan Mas Yogi. Anita tipe yang meledak-ledak. Anita bisa saja langsung mendatangai rumah bapak dan mengatakan bahwa ia hamil anak Mas Yogi. Dan bapak pasti akan kecewa dua sekaligus. Pertama karena Mas Yogi berzina sampai berbuah anak di luar pernikahan, lalu kedua kare
"Apa kamu tidak merindukanku, Cin?"Hening cukup lama. Aku dan Mas Yoga saling menatap. Aku rindu, Mas. Sangat rindu. Bahkan saat ini aku sebenarnya ingin sekali memelukmu, tapi menahannya karena semua tak lagi sama. Kembali membuka mati, berarti harus siap menanggung rasa sakit lagi. "Cin?"Ditangkupnya wajahku dengan kedua tangan, tapi aku berpaling menghindari tatap dengannya. Tanganku bergerak pelan menepis tangannya."Di mana Anita?" tanyaku sambil menatap keluar kamar. Mas Yoga mengikuti arah tatapanku. Terlihat jelas bahwa Mas Yoga kecewa dengan sikapku, tapi aku bersikap cuek. Mencoba cuek walau hatiku remuk dan sakit. Perih, andai kamu tahu."Dia sedang ke rumah ibunya.""Kenapa kamu gak mengantar istri kesayanganmu itu?" Nadaku sinis. Mas Yoga memandangku terkejut."Aku sengaja tetap di rumah agar bisa menyambutmu." Ia terlihat menahan kesal.Aku memperhatikannya lama, lalu tersenyum mengejek. "Kamu gak perlu menyambut perempuan jahat sepertiku, Mas." Aku keluar dari kamar.
"Lima belas tahun lalu, aku masih jadi preman pasar bersama Tara dan Redi. Semua orang takut pada kami karena aku tak segan main fisik." Tatapnya."Pistol yang kutemukan itu, apa ...."Ia mengangguk. "Sebelum mengasuh Putri, aku seolah tak punya tujuan hidup, Cinta. Perempuan yang kucintai terus saja menolakku. Aku berbuat semaunya sendiri sampai meresahkan warga. Siapa pun yang berani mengusikku juga keluargaku, dia akan terima akibatnya."Sungguh mengerikan ternyata dia. Aku memilih menatap ke arah lain saat kami beradu tatap. Aku baru menatapnya saat mendengar kekehan kecil."Apa kamu akan mengurungkan niat menikah denganku?" Didongakkannya wajahku menghadapnya. Bertatapan dengan jarak yang begitu dekat, membuatku sangat malu. Aku mengalihkan pandang ke arah lain. Pada rumah-rumah panggung yang terpacak di bibir sunga. Mas Zain naik ke jembatan, ia terlibat pembicaraan pada seorang perempuan tua lalu menerima uang. Mas Zain menuju rumah dengan banyak plastik berisi kerupuk yang dig
Astagaaa, sepertinya aku akan gilaa!" Teriak Neni di pagi hari yang cerah saat aku baru selesai mandi juga memandikan Caca. Caca kini tengah makan tempe goreng sambil menonton televisi. Wajah Caca begitu riang setelah aku mengatakan besok kami akan ke Jakarta bertemu dengan ayahnya. "Ada apa, Nen? Pagi-pagi udah teriak-teriak aja." Aku menatapnya terpana saat ia menuju ke arahku dengan beberapa bunga teratai di tangan. Diulurkannya bunga putih kekuningan itu padaku."Apa ini?""Dari pangeranmu." Luwes sekali ia mengatakan Mas Zain pangeran, astaga. Aku meraih bunga darinya lantas berjalan menuju pintu, tak ada Mas Zain di depan."Dia ke rumah ibunya dulu. Nanti ke sini, katanya. Apa kalian sekarang jadi anak ingusan baru puber yang setiap hari bertemu? Sungguh seperti anak ABG." Ia menggeleng dengan wajah muak.Aku tertawa kecil melihatnya yang pura-pura pingsan di sofa. Kujitak kepalanya sambil duduk lalu menghidu bunga teratai dalam dekapan. Wanginya begitu mendamaikan. Aku terse
Ini yang terakhir aku memintanya padamu. Kamu mau jadi istriku atau tidak?" "Ummp ...."Ia mengerutkan kening. Tanpa mengatakan apa pun, aku menepis tangan agar tak lagi mengungkung tubuhku lalu berjalan ke arah meja, meraih aquarium lalu melangkah cepat meninggalkannya."Aku bertanya bukannya dijawab."Aku tak mengindahkannya."Cinta, ada yang tertinggal," katanya saat aku mencapai ambang pintu. Penasaran apa yang sebenarnya tertinggal, aku pun menoleh. Mas Zain mendekat, ia merebut aquarium dari tanganku dan meletakkan kembali ke meja."Apa yang tertinggal?" Aku menatapnya heran.Mas Zain merogoh saku celananya, lalu dengan cepat menyematkan cincin ke jari manisku. Jantungku berdetak kencang saat kami beradu tatap."Jangan pernah mengembalikan padaku lagi."Aku tak menyahut karena begitu malu. Mas Zain meraih bonsai kelapa juga pisau dan berjalan keluar. Ia menoleh di ambang pintu mengisyaratkan agar aku mengikutinya. Sementara ia duduk di bangku kecil fokus membersihkan serabut ke
Sepertinya, aku baru saja terlelap saat terdengar suara Neni memanggil. Sahabatku itu masih memakai mukena saat aku menghampirinya di kamar salat."Sudah pagi, salat dulu."Aku mengangguk. Selesai melaksanakan salat subuh, aku menuju dapur membantu Ibu dan Neni. Ibu tengah membuat bumbu sementara Neni memetik kacang panjang. Ia mendongak saat aku mendekat padanya. Aku duduk dan segera membantu Neni memotong kacang panjang."Jangan sedih terus," gumam Neni.Aku menggelengkan kepala. "Aku gak sedih. Hanya ngantuk masih baru bangun tidur."Ibu Neni menghampiriku dan meletakkan susu di meja. Aku mengangguk lalu mengucap terima kasih."Biar aku sama Cinta aja yang masak, Bu."Ibu memandangku dan Neni bergantian. Ia akhirnya mengambil dedak untuk pakan ayam di sudut dapur dan keluar rumah. Tak lama kemudian, terdengar suara nyaringnya.Kur kur kur kuuur"Cin, wajahmu gak bisa dibohongi. Kalau kamu cinta padanya, maka jangan dilepas."Aku mengibaskan tangan. "Sok tau kamu."Neni menggelengka
POV ZainSepanjang jalan menuju Simpang pematang, kami terus dalam keheningan. Sesekali aku menoleh ke belakang dan Cinta langsung berpaling, sepertinya ia kecewa karena tindakanku barusan. Bukannya aku ingin menolaknya, hanya saja aku tak mau nanti sampai terlewat batas. Ciuman itu bisa menjadi jalan menuju hubungan terlarang. Cukup hanya Putri, anak yang dilahirkan tanpa pernikahan. Cukup sudah semua orang menuduhku pengecut karena aku tak menikahi Talita. Bukan tak mau, tapi Talita yang menolak keras. Aku tak ingin seperti dulu lagi. Aku ingin menjadi tauladan yang baik untuk Putri.Kini, kami tiba di alun-alun Simpang Pematang. Tampak muda-mudi bercengkerama, sebagaian menatap ke arahku. Aku turun dari motor dan berjalan bersisian dengan Cinta yang sepertinya sengaja mengalihkan tatap dariku."Mau makan apa?" Aku memandangnya."Terserah," sahutnya datar.Pasti dia benar-benar tersinggung dengan tindakanku tadi. Aku menghela napas dan berjalan menuju penjual ketoprak."Dua." Aku me
Neni memandangku lama. "Masa lalunya memang kelam, Cin. Tapi bukan berarti semua tentangnya jelek semuanya.""Iya juga, sih." Aku memandangnya. Merasa deg deg kan saat membayangkan akan menjalani hubungan serius dengannya."Menurutmu, apa dia bisa jadi ayah yang baik untuk Caca dan Farhan?"Neni memperhatikanku lama. Lalu mengangguk perlahan. "Aku sudah tanya banyak hal sama istri saudaraku, katanya, Mas Zain sangat sayang pada Putri. Sejauh ini, apa dia bersikap baik sama Farhan?"Aku mengangguk. Bahkan saat pertama bertemu, ia langsung dekat dengan Farhan. Padahal denganku begitu dingin.Neni memandang ke jariku yang tersemat cincin dari Mas Zain. "Saranku, kamu pikirkan dulu, Cin. Pernikahan itu untuk seumur hidup. Aku setuju kamu cerai dengan si penghianat itu, tapi untuk menikah dengan Mas Zain ... emmp ... kamu harus memikirkannya masak-masak. Kamu benar-benar merasa cocok padanya atau tidak.""Aku sudah memikirkannya, Nen. Aku akan membuka hati. Kami akan saling mengenal dulu,