“Gak sayang kuliahnya bentar lagi kelar?” Alex tertawa mendengar pertanyaan Fani.
“Sayang itu kalau aku, Fan. Yuda gak usah punya ijazah sarjana saja sudah bisa menghidupi keluarganya kelak. Dia kuliah itu buat menghindari keluarga baru papahnya. Makanya, ngerjain skripsi juga asal. Biar tambah lama dia di sini. Kalau misalnyamaaf, ya, papah dia gak berumur panjang, kayaknya dia benar-benar gak bakal balik lagi, Fan.”
“Oh, gitu, ya?”
“Iya. Kenapa? Kamu merasa kehilangan, ya? Kamu sih, Fan, gak mau terima dia. Dia suka lho sama kamu. Secara ya, tampangnya ‘kan tampan, ditambah lagi udah kelihatan tajirnya. Banyak cewek pedekate sama dia sebenarnya. Tapi, Yuda menjauhi dan cuek gitu. Padahal sering dibawain makanan enak ke kost, lho.”
“Wah, seneng kamu dong. Lex!” kelakar Fani.
“Aku juga kehilangan dia, Fan. Di
Kehilangan Yuda, adalah hal yang terasa berat di hati Fani. Kini, diakuinya kalau sebenarnya, pemuda itu memiliki tempat yang spesial dalam hati. Hanya saja, selama ini tidak ia rasa karena terbiasa bersama. Seakan menganggap jika Yuda biasa saja. Ketika ia tak lagi ada di sisinya, terasa ada banyak hal yang berbeda.Ada ruang yang hampa yang seringkali membuat dadanya sesak bila mengingat sosok pemuda berhidung bangir itu. Hari-hari terakhir Fani di kampus, ia lalui dengan rasa yang sepi. Pada akhirnya, dia merasa bahwa kehadiran Yuda begitu penting dalam hidupnya yang tidak pernah dekat dengan lelaki manapun.*Hari yang dinanti Fani dan teman-temannya pun telah tiba. Sedari pagi, gadis itu sudah bersiap dirias oleh perias yang dipanggil ke kost. Sedianya akan menggunakan jasa salah satu teman yang mengambil jurusan tata rias. Namun, karena belum terlalu mahir maka memilih yang sudah berpengelaman.
Mobil yang dikendarai Yuda memasuki dereta parkir yang sudah mulai memanjang. Sebelumnya Fani telah menghubungi Nia, sehingga, langsung menuju tempat yang dekat dengan mobil Irsya.Saat Fani turun, ia melihat kedua keponakannya telah berada di sana. Juga keluarganya. Irsya terlihat menelisik dengan pandangan, kendaraan yang dibawa oleh teman adik iparnya itu. Ia yang paham harga mobil langsung tahu, bahwa pemuda yang bersama Fani tidak berasal dari keluarga sembarangan.Yuda membukakan pintu untuk gadis yang sangat dipuja itu.“Silakan, calon Nyonya Yuda,” ucap Yuda, membuat pipi Fani bersemu merah. Di tangannya masih membawa bunga yang diberikan oleh pemuda kaya itu.“Tante!” seru Dinta dan berlari kea rah Fani. “Tante cantik sekali,” puji Dinta.“Oh, terima kasih, keponakan Tante yang cantik. Kita emang sama-sama cantik,” jawab Fa
Sembari menunggu, mereka melakukan banyak hal. Melihat-lihat pedagang, berjalan-jalan, atau hanya sekadar main ponsel.Menjelang Dhuhur, Dinda datang. Dan tidak berapa lama, Fani keluar setelah rangkaian acara selesai.“Din, kamu bawa benda yang aku minta, ‘kan?” tanya Fani begitu melihat sahabatnya sudah berada di sana.“Iya. Lipstik, blash on, bedak, sama mascara, ‘kan?” Dinda balik bertanya.“Gak usah disebutkan kenapa sih?” sungut Fani kesal.“Lhah, takut salah,” jawab Dinda.“Kita mau kemana ini? Makan dulu yuk,” ajak Irsya.“Jangan! Kita mau ke studio foto. Kamu udah booking ‘kan, Din?”“Iya,” jawab Dinda lagi.“Kamu asisten Fani, Din?” cibir Nia.“Pemb
Malam hari, sesuai dengan yang telah disepakati, Fani dan kawan-kawannya berkumpul fi rumah kost Hayun. Semua telah dipersiapkan oleh Yuda dengan sempurna. Alat untuk memanggang serta ayam yang sudah siap panggang sudah ia beli.Fani sudah bersiap sejak setelah sholat Maghrib dan menunggu jemputan di teras.“Yuk, Din, ikut,” ajak Fani pada sahabatnya.“Ogah ih,” tolak Dinda.“Kenapa? Takut ketemu Alex?”“Bukan takut, fani. Males,” sungut Dinda dengan muka masam.“Gak papa, ‘kan kamu sama aku,”“Beneran nih, nanti kamu sama aku? Ya kali, Si Yuda gak nempel terus kayak perangko. Berapa tahun kalian enggak ketemu?”“Ya Allah, Din, pikirannya,”“Dah, itu mobil Yuda udah datang. Aku nanti mau k
"Kita akan kemana?” tanya Fani memecah kesunyian.“Fan, apa yang kamu rasakan saat tidak ada aku?” Pertanyaan Yuda terdengar tiba-tiba. Dan fani bingung menjawab.“Biasa-biasa saja,” kilah Fani.“Benarkah?”“Iya,”“Kenapa takut aku pergi?”“Apa kamu akan pergi lagi?”“Bukan pergi, Fani. Tapi pulang.” Jawaban Yuda membuat hatinya sedih. Pemuda itu memang sedari dulu selalu selalu membuatnya kesal.“Iya, kamu akan pulang, aku juga. Kita akan kembali ke rumah masing-masing,”Yuda menepikan kendaraan di jalanan yang lengang. Toko di pinggir jalan sudah banyak yang tutup.“Aku pergi, aku menghilang karena memang Papa membutuhkan aku. Aku tidak mau kalau sampai istrinya mengua
Dengan perasaan campur aduk, Yuda melajukan kendaraan menuju tempat yang diminta Dinda.“Teman kamu itu ada masalah apa , ya? Kenapa apes banget jadi orang,” celetuk Yuda di tengan deru suara mobil yang ia kemudikan.“Waktu ibunya mengandung salah ngidam kali,” jawab Fani asal.“Ngerasa gak sih, kalau sialnya dia kok gitu-gitu terus?” ujar Yuda lagi.“Ya, ‘kan baru dua kali ini,” kilah Fani agak tidak rela temannya diejek.“Ya tapi ,kan berturut-turut.”“Baru dua kali Yuda, siapa tahu yang ke tiga enggak. Kita juga tidak tahu ‘kan, itu kejadian sebenarnya seperti apa,” bela Fani.“Dinda gak bisa gitu lihat cowok yang kira-kira dompetnya tebel? Kok main mau aja gitu diajak jalan, endingnya, dia yang kasihan,”“Ya mana
Dua hari Yuda berada di kost Alex. Dirinya sering menghabiskan waktu bersama Fani. Meskipun bertengkar, tetapi tetap saja, dalam hitungan jam, mereka berdua sudah bisa berbaikan kembali. Pun dengan masalah Dinda, Yuda yang sudah tahu kebenaran ceritanya, meminta maaf pada sahabat Fani.Sore itu, adalah hari terakhir Yuda berada di sana. Karena esok harus segera pulang.“Fan, aku besok pamit, ya?” ucap Yuda di tengah suara deburan ombak yang besar.“Kapan kamu kembali?” Fani merasa itu pertanyaan yang sangat bodoh. Karena nyatanya, yang akan dituju Yuda adalah rumahnya sendiri.“Suatu hari nanti. Aku akan datang ke rumah kamu. Tunggulah aku. Jangan pernah memalingkan hati kamu untuk orang lain,” jawab Yuda memastikan.Semilir angin sore di tepi pantai, tak mampu mendamaikan hati Fani. Dia merasa tidak sanggup lagi untuk berjauhan dari pemuda yan
“Jadi, tujuan kamu bicara sama saya intinya apa?” tanya Rahman mengakhiri pembicaraan yangmembuat kepalanya pusing.“Kan sudah saya sampaikan tadi.” Giliran Yuda yang bingung.“Oh, iya, tapi intinya kamu melamar atau apa?”“Saya titip Fani pada Bapak. Tolong, jangan sampai dia dibawa pergi ataupun ada pemuda yang datang untuk mengambil dia,”Rahman masih menatap pemuda tampan di hadapannya.‘Untung kamu tampan dan terlihat kaya. Kalau tidak, aku sudah meninggalkan kamu di sini,” batin Rahman berujar.“Baiklah, kalau kalian saling cocok, datanglah lain waktu dengan orang tua kamu.” Jawaban yang disampaikan Rahman membuat Yuda tersenyum lebar.Tak lama kemudian, pembicaraan mengalir pada tema lain. Di sanalah, Rahman mulai menemukan kenyamanan berbincang dengan teman de
Sampai pembicaraan itu, Arya paham mengapa Mahira sering berada di bar. Rasa bersalahnya kian besar pada gadis itu. Dan bertekad akan menikahi Mahira setelah urusan perceraian dengan Sheren selesai. “Papanya sudah menikah, Bik?” “Belum. Entahlah, bapak memilih sering di Malaysia untuk urusan bisnisnya sejak cerai dengan ibu. Kasihan Mbak Mahira hidup hanya dengan saya. Itu sebabnya, dia memilih keluar kuliah.” Arya sangat paham, luka hati apa seperti apa yang dirasakan gadis itu. Pantas saja, mencoba mencari pelarian. Beruntung, Mahira bertemu dengan wanita baik yang selalu mencegahnya melakukan semua itu. Pikir Arya. ‘Ah, lagi-lagi, aku harus belajar banyak hal dari orang-orang yang aku anggap buruk.’ Batin Arya bergumam. Sebuah mobil berwarna putih memasuki halam rumah. Sorot lampunya mengenai wajah Arya. Mahira tertegun melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di rumahnya. “Pasti Tante Lisa yang kasih tahu,” dengkusnya kesal. Dengan cepat ia turun. Arya pun tidak kalah k
Wanita itu belum mau menjawab. Terkadang, sorot mata bimbang diberikan saat menatap Arya.“Tolong katakan! Dimana Mahira saat ini,” desak Arya.“Kamu orang yang terhormat! Tapi, jangan selalu memandang kaum sepertiku dengan sebelah mata dan berpandangan buruk atas kami semua. Tidak semua yang berada di sini itu bahagia melakukan pekerjaan ataupun kebiasaan mereka. Bahkan, banyak diantaranya yang harus menyembunyikan tangisan setelah tertawa. Mahira sudah lama ingin menjadi anak yang rusak. Sepertinya, ia pada akhirnya memilihmu untuk hal ini. Karena merasa memberikan sesuatu yang paling berharga dari seorang wanita, kepada orang yang terhormat seperti kamu. Jika kamu memang se-terhormat itu maka, tanggung jawablah pada apa yang sudah kamu perbuat.” Selesai berkata demikian, wanita yang tidak Arya ketahui namanya itu mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuatu. “Datanglah ke rumah ini. Semoga kamu tidak terlambat sampai sana,” ucapnya lagi seraya mengulurkan sebuah kertas.“Terima
“Sheren, hari ini aku ingin menjatuhkan talak pada kamu. Dan mulai hari ini, aku tidak akan menganggapmu sebagai istriku lagi,” ucap Arya lantang dan asal. Ia sudah lelah dengan semua yang terjadi.Setelahnya, pria itu berbalik pergi dan enggan untuk tahu tentang yang terjadi di rumah itu lagi.Di perjalanan pulang, emosinya masih meledak-ledak. Namun, satu hal yang ia syukuri, karena kini, dirinya bebas untuk meninggalkan Sheren. Perasaan lega sedikit terbit di hatinya.***“Jadi yang terjadi seperti itu?” tanya Hamdan ketika Arya telah selesai menceritakan apa yang baru saja diketahuinya. Ia langsung pulang dan urung mencari Mahira.“Iya, Pak. Makanya, kita sekarang tidak usah lagi berhubungan dengan Pak Sandi. Bapak keluar saja dari kantornya. Nanti, aku bantu buat CV kecil-kecilan bila Bapak masih ingin tetap menggeluti dunia itu.”“Tidak, Ya. Bapak ingin buat toko bangunan saja. Sudah pusing dengan rebutan tender. Bapak kenal banyak mandor. Dan juga relasi yang bisa ditawari untu
“Seharusnya, sebuah pernikahan itu terjadi karena sepasang lelaki dan wanita saling mencintai. Karena menjalin rumah tangga harus didasari oleh rasa cinta. Jika salah satu pihak terpaksa dengan itu, maka yang akan terjadi adalah keduanya saling tersakiti. Seperti saat ini. Pernikahan itu selamanya akan kita jalani, menikahlah dengan orang yang mencintaimu, Sheren. Itu yang selalu aku ucapkan sejak dulu. Aku mencoba menuruti apa yang kamu paksakan. Dan nyatanya, inilah hasilnya. Kami saling tersakiti,” jawab Arya tanpa rasa takut dan ragu. Ia lalu mengeluarkan sebuah buku tabungan beserta ATM. “Ambillah, pak Sandi. Titip buat Ibu. Sebagai balas jasa atas semuanya. Ini kunci mobil saya. Jika saya hitung, jumlahnya lebih dari apa yang Bapak berikan untuk kakak saya saat itu. Itu sudah saya hitung dengan nilai uang sekarang. Mengenai biaya kuliah saya, bapak saya bekerja pada Anda. Bukan meminta secara Cuma-Cuma. Jadi, tidak etis rasanya bila hal tersebut ikut diungkit. Namun, apabila Ibu
Arya lalu meninggalkan beberapa lembar uang di mejanya. Ia masih memiliki nomor Mahira. Mudah untuknya menemukan gadis itu lain waktu.Aku akan bertanggung jawab.Bunyi pesan yang dikirimkan Arya untuk Mahira.Sampai di rumahnya, ternyata Sandi sudah berada di sana dan terlihat habis membahas sesuatu penting dengan Hamdan. Tidak ketinggalan, Sasmita juga duduk di samping sang suami dengan raut wajah marah.Arya duduk dan langsung berbicara sebagai seorang yang ksatria. “Saya tahu, apa yang Pak Sandi bahas dengan bapak saya. Sejak awal semua keluarga inti kita sudah tahu, jika saya tidak menghendaki pernikahan ini. Maaf, Pak Sandi, dengan semua hal yang terjadi, termasuk kemewahan di pesta pernikahan kami, saya merasa sangat tersiksa. Tidak ada bahagia sama sekali. Jika saat ini saya harus memilih, silakan ambil yang ingin Bapak ambil dari keluarga saya. Asalkan saya bisa bebas dengan semua ini. Kami memang tidak sepadan dengan keluarga Anda. Seharusnya, pernikahan ini tidak akan perna
Mahira mengekor saja. Ia menjaga jarak dari Arya setelah sebelumnya bertukar nomor ponsel. Saat Arya menyalakan benda pipihnya, puluhan pesan dikirimkan Sheren. Namun, tidak dibaca sama sekali. Dirinya hanya menghidupkan ponsel untuk menyimpan nomor Mahira.“Kamu cari tempat lain dulu. Nanti, aku akan mengirimkan nomer kamar,” ujar ARya.‘Masalah CCTV, aku bisa menyelesaikan setelah ini jika itu berbahaya,’ gumam Arya dalam hati.“Kenapa mengajak aku? Bukankah Anda baru saja menikah, Pak Dosen?” tanya Mahira sopan.Dalam hati Arya bingung, mengapa perempuan itu bisa bersikap demikian, padahal Mahira seorang wanita nakal.“Aku tidak mencintai wanita yang kunikahi. Ia memaksa dan mengancam banyak hal, sehingga aku lelah membantah. Malam itu, malam dimana aku bersamamu, aku sedang frustasi. Karena dia benar-benar tidak mau menerima keputusanku untuk membatalkan rencana pernikahan. Dan kini, aku benar-benar merasa sudah tahan ….” Arya mulai bercerita.“Kalian pasangan yang serasi. Istri A
Dengan canggung, Arya menghadapi tamunya. Basa-basi menawarkan minum yang ia lakukan, hanya diabaikan saja oleh Sasmita.“Arya, kami mengikuti keinginan Sheren menikah dengan kamu, menghabiskan banyak uang. Dan kamu hanya menjadikan pernikahan ini sebagai lelucon, begitu?” tanya Sasmita gerap. Napasnya tersengal menahan emosi. “Andaikan kami membebankan semua biaya pesta pada kalian, sudah pasti kalian akan sangat keberatan,” sambungnya lagi.Arya tertunduk di hadapan Sasmita. Bibirnya tidak mampu mengucapkan sepatah katapun. Lebih tepatnya, ia memilih diam.Sasmita masih terus mengungkit banyak hal. Hingga sebuah kalimat menyakitkan yang diucapkannya, menjadi titik terakhir kesabaran Arya.“Jika bukan karena kami, kalian tidak akan menjadi orang terhormat. Ingat, ya, Arya! Bahkan, baju dalam yang kamu kenakan saat ini, itu semua berkat bantuan kami. Gaji enak dan posisi kamu menjadi dosen, itu tidak akan pernah kamu rasakan bila kami tidak mengulurkan bantuan pekerjaan pada bapakmu.
Sheren masih terbaring di atas kasur, saat Arya berpamitan pulang ke rumahnya. Ia membuka ponsel dan mengamati foto mereka berdua saat hari pertunangan. Di sana, Arya masih tersenyum pada kamera.“Semuanya gara-gara kamu, Fani. Jika Mas Arya tidak bertemu dengan kamu, maka dia tidak akan berpaling dari aku,” ujar Sheren geram. “Dan sekarang, kamu enak-enakan sudah hidup berbahagia dengan orang lain,” lanjutnya.Ia masih terngiang ucapan Arya tentang pilihan lebih baik dipenjara. Kini, Sheren seolah tidak memiliki senjata apapun untuk bisa membuat Arya membuka hatinya.“Sheren ….”Panggilan dari seseorang membuatnya bangun. “Mama …,” sapanya sambil cepat-cepat mengusap mata yang sembab.“Kamu menangis? Apa Arya melakukan sesuatu sama kamu?” tanya wanita bernama Sasmita khawatir.“Tidak, Mama ….” Sheren berusaha menutupi.“Lalu karena apa? Mama tidak pernah melihat kamu menangis seperti ini. Bahkan, setetes air mata tidak pernah jatuh di pipimu karena ulah mama dan papa. Mama yakin, ini
“Apa lagi? Mau yang kedua kalinya? Maaf, aku sudah berselera melakukan hal itu lagi,” jawab Mahira.“Sebenarnya kamu siapa?” tanya Arya penuh kebodohan.“Aku Mahira. Aku penunggu bar. Anggap saja seperti itu,” jawab Mahira lalu melangkah cepat pergi.Arya menghabiskan waktu dengan tidur di kamar hotel hingga malam tiba. Panggilan telepon berkali-kali dari Sheren tak membuatnya bangun dari lelapnya.Dan saat ia terjaga, Arya berada dalam kebimbangan hati. Satu sisi ia sadar telah menjadi suami Sheren dan harus melakukan kewajiban sebagaimana mestinya. Sisi lain , tak ada hasrat untuk hanya sekadar mendekati wanita yang memiliki paras hampir sempurna itu.Ketika sampai kediaman keluarga Sheren, semua orang telah terlelap. Hanya pembantu yang masih menunggunya pulang. “Mbak Sheren baru saja masuk kamar, Mas. Sebenarnya ingin menunggu Mas Arya lebih lama lagi. Tapi, ketiduran. Terus saya suruh beliau ke kamar saja, saya yang menunggu Mas Arya,” ucap wanita berumur tiga puluh lima tahun ya