[Mas, aku hamil]Pesan dari Tika sukses membuatku nyaris pingsan, bagaimana tidak? pesan itu datang ketika acara lamaranku dengan Dahlia hanya kurang dua hari lagi.Tak cukup sampai disana, Tika dan kedua orang tuanya datang ke rumah orang tuaku. Perasaanku menjadi tak enak dengan kedatangan mereka, dan benar mereka datang untuk meminta pertanggungjawaban dariku.Awalnya kedua orang tuaku juga tidak percaya dengan perkataan Tika, mengingat aku sudah mau menikah dengan Dahlia. Terlebih Tika mengatakan kalau dirinya dirayu olehku.Setelah kuceritakan semua dengan versiku, kedua orang tuaku percaya padaku, walaupun akhirnya mereka tetap menyuruhku bertanggung jawab dan membatalkan pernikahan dengan Dahlia. Setelah keluarga Tika pulang, ayah memghajarku habis-habisan, sementara ibu hanya menangis disudut sofa.Kekecewaan mendalam dirasakan kedua orang tuaku. Setelah menghajarku, ayah menangis sejadi-jadinya, ini kali pertama aku melihat pria
GunturWarung untuk jualan Dahlia sudah hampir selesai, aku tak menyangka jika para tetangga ringan tangan membatu kami, Setiap mereka pulang kerja pasti menyempatkan diri untuk membatuku dan bapak. Walau hanya dengan modal pas-pasan tapi warung yang kami bangun cukup memuaskan.Satu saung dari bambu dengan beratapkan rumbia sudah berdiri kokoh di depan halaman rumah dikami. Dan disetiap pinggir aku hiasi dengan lampu warna kuning yang biasa digunakan di cafe-cafe, sementara di sampingnya ada satu meja berbentuk L untuk masak dan sisi sebelah kiri ada etalase kecil untuk meletakkan mie mentah dan ayam yang sudah dimasak, sementara samping etalase akan digunakan sebagai kasir. Bapak dan ibu mertua yang paling berjasa membatu modal untuk kami, walaupun keadaan ekonomi mereka juga tidak begitu berpunya. Dahlia memang anak tunggal, dulu dia mempunyai adik laki-laki, tatapi sudah meninggal ketika masih kecil. Jadi sekarang kasih sayang orang tuanya tercurah semuanya pada Dahlia dan kami-
"Dek ... Ada apa? Kenapa murung begini?" Wanita berambut kecoklatan itu masih setia dengan aktivitasnya, melamun.Perlahan dia mentapku, tanpa menjawab sepatah kata, air matanya luruh begitu saja, aku yang tak tahu apa-apa semakin bingung dengan sikap Dahlia."Cerita sama Mas, ada apa?" tanyaku lagi."Daganganku gak ada yang beli Mas." Wanita yang hobi berdaster jika di rumah itu semakin tergugu. Aku membalikan badan, melirik etalase yang masih penuh dengan mie mentah.Kuraih pundaknya dan kubawa kepelukanku. "Sabar, baru sehari," hiburku."Tapi waktu aku promo, banyak banget yang nanggapi mau mampir, tapi tak satupun yang datang. Para tetangga juga datang kesini cuma tanya-tanya aja, terus icip-icip, tapi gak ada yang mau beli," adunya."Mungkin mereka lagi gak ada uang untuk beli, maksudnya uang mereka ada, tapi untuk kegunaan lainnya." Aku masih memberi istriku pengertian, walaupun sebenarnya aku juga merasakan hal sama. Bayanganku, dagangan Dahlia habis terjual, tapi sepertinya Al
"Mbak Tika," desisku.Aku berbegegas turun dari mobil dan mengikuti mereka, namun sebelumnya aku berpesan pada Winar, "Win, nanti kalau Haji Mansur datang, bilang aku ada urusan sebentar, nanti aku naik ojek.""Mau kemana memang Mas?""Ngikutin orang itu." Aku menunjuk dua orang yang tengah bermanja-manjaan. Tiba-tiba aku ada ide cemerlang."Pinjam topimu ya." Tanpa menunggu persetujuan Winar, aku mengambil topi lebarnya dan memakai di kepalaku.Dengan mengendap-endap aku terus mengikuti dua manusia beda jenis kelamin itu. Makin dekat, aku bisa mendengar percakapan mereka."Mas, kok cepat bener sih? Padahal suamiku lama ke luar kotanya." Suara mbak Tika membuatku naik darah, menjijikan!"Mas harus pulang, sayang. Besok lagi ya." sahut bandot tua itu tak kalah menjijikan."Maaf pak, sedekahnya." Aku tiba-tiba muncul dihadapan manusia yng tengah bermanja-manjaan itu. Awalnya aku akan merekam mereka, tapi aku lupa, handphone-ku bukan handphone canggih, hanya bisa digunakan untuk menelfon
"Guntur ...." Aku dan mas Gilang sama terkejut dengan pertemuan ini.Mas Gilang adalah suami pertama mbak Tika. Sepengakuan mbak Tika, mas Gilang pergi begitu saja dengan selingkuhannya tanpa kabar, hanya surat talak datang ke rumah mbak Tika.Tadinya aku ingin sekali menghajar mas Gilang, tetapi setelah melihat sendiri dengan mata kepalaku, maka aku yakin jika mbak Tikalah sesungguhnya yang bertingkah."Duduk Tur, pasti kamu mau minta kejelasan kenapa aku ninggalin Tika dulu." Ternyata mas Gilang salah paham dengan kedatanganku."Bukan mas, bahkan aku tidak tahu kalau ini rumah mas Gilang.""Jadi kedatangan kamu kesini?" Mas Gilang memasang wajah penuh tanya."Dia mau tanya tentang Tika, Pa," potong mbak Hera."Oh, apa Tika berulah lagi?" "Memang dulu pernah berulah mas?" Akupun penasaran dengan cerita versi mas Gilang."Mbakmu dulu ketahuan chek in di hotel sama om om, kamu tahu sendiri kan Tur bagaimana sifat Mas?" "Iya Mas," jawabku. Mas Gilang memang orangnya tidak suka ribut-r
"Itu untuk kalian, bisa untuk tambahan modal," ucap mbak Tika masih dengan gaya sombongnya. Padahal katanya kedatangannya kesini untuk meminta maaf.Aku melirik Dahlia yang masih sibuk meracik mie ayam, entah untuk siapa mie ayam itu, aku belum sempat tanya-tanya tentang penjualan hari ini, namun wanitaku itu tak menanggapi. Aku yakin uang ini adalah sogokan agar aku tak membocorkan rahasianya di hotel tadi."Untuk apa semua ini Mbak?" Aku mengangkat uang yang sedang aku pegang."Kan sudah aku bilang, untuk kalian. Terima aja, uang segitu sudah pasti sangat berguna kan buat kalian. Kalian bisa sewa lapak di pinggir jalan besar, daripada jualan disini. Nyapein badan doang, dapet hasil juga gak." Hatiku benar-benar panas mendengar ucapan mbak Tika."Kenapa? Kurang? Ini aku tambahin." Mbak Tika kembali mengeluarkan uang dari dalam tasnya, "nih, terima!" Wanita yang DNA-nya sama denganku itu meraih tanganku dan memaksaku untuk menerima uang darinya lagi.Mbak Tika mendekat dan berbisik di
Aku semakin menunduk dalam, Haji Mansur memandangku tajam, seolah kesalahanmu sangat fatal, padahal belum terjadi, hanya aku kurang teliti saja."Tur, sudah berapa lama kamu ikut saya?" Aku beranikan diri mengangkat wajah."Sudah 10 tahun lebih Ji," jawabku hati-hati."Apa kamu gak punya keinginan membuka tokomu sendiri?" "Keingin pasti ada, tapi ...." Aku menggantung kata-kataku, "untuk hidup sehari-hari saja pas-pasan."Haji Mansur hanya mengangguk-angguk. "Tur, kamu adalah karyawan terlama disini, itu kenapa saya selalu bawa kamu ketika antar pesanan ke orang-orang penting, agar kamu kenal sama mereka, jadi kalau kamu nantinya punya modal dan ingin membuka tokomu sendiri, kamu sudah punya akses ke mereka.""Tapi seandainya saya buka toko saya sendiri apa Haji gak takut kesaing?""Hahahaha ... Guntur, Guntur." Haji Mansur malah terkekeh panjang."Apa saya salah biacara ya Ji?" tanyaku dengan memasang mimik tak bingung."Saya ini tidak punya anak, kamulah yang saya anggap anak, kam
Dahlia masih terdiam mendengar bentakan dari si ibu yang menelfonnya. Segera aku ambil alih handphonenya dan meminta maaf."Maaf bu, soal kuah mie ayam tadi ya? Maafkan kami, tadi kebetulan istri saya jaga warung sendirian, jadi karena buru-buru kuahnya sampai tertinggal. Waktu istri saya telfon ibu, tapi nomonya tidak aktif," jelasku."Eh gimana sih ini, saya ini mau tanya, kuahnya memang ketinggian apa sengaja gak dikasih kuah ya?" "Maaf sekali, kuahnya ketinggalan.""Owalah, dikira memang benar tidak pakai kuah, tapi ini enak lho mas. Baru kali ini makan mie ayam tanpa kuah malah enak banget. Engga enek. Temen-temen pada ketagihan. Rencana besok mau pesan lagi 20 bungkus.""MasyaaAllah, ini beneran Bu?" Dahlia tiba-tiba memgambil handphone dari tanganku."Iya mbak, benar. Besok mau pesan yang kayak tadi ya, yang pedas semua. Mie ayam goreng ya tanpa kuah," jelas ibu itu mengulang pesanannya."Baik bu, siap. Mau diantar jam berapa?" jawab Dahlia."Seperti tadi, besok biar saya yang
Guruh mendudukan ibunya di kursi khusus pelanggan, "Mbak tolong pangkas habis rambut Ibu saya!""Hah? Jangan! Jangan lakukan itu pada Ibu, Ruh!" Tega kamu Ruh. Darinkecil Ibu sayang-sayanh, udah besar, mentang-mentang kamu udah bisa cari uang sendiri malah mau berbuat seenaknya sama Ibu," Sri masih saja meronta-ronta.Pegawai salon hanya bingung melihat Guruh dan ibunya. Mereka belum berani mendekat. Mereka hanya berbisik-bisik antar sesama karyawan.Sri semakin meronta ketika melihat seseorang di luar salon tampak tengah merekam aksi Guruh yang ingin membotaki rambunya. Wanita paruh baya itu teriak meminta tolong untuk melepasnya dari Guruh."Tolong, anak saya mau membotaki rambut saya," ujar Sri.Pria jangkung itu akhirnya geram melihat seseorang yang tengah merekamnya. Dia bergerak menuju pintu masuk salon dan menghardik perekaman video itu."Apa? Kalian mau memviralkan saya?" Melihat Guruh melotot, orang tersebut langsung mematikan kameranya. Dan tanpa berkata sepatah katapun dia
****Dua tahun kemudian "Sin, Mbah minta ayamnya sedikit saja.""Ngak boleh, kata Mama, Mbah tu cuma boleh makan tempe goreng!" Wanita tua itu hanya menelan ludahnya berkali-kali karena melihat sang cucu menikmati gurihnya ayam krispi. Sudah sangat lama sekali Sri ingin sekali mencicipi ayam berbalut tepung yang renyah itu. Suara krenyes-krenyes di dalam mulut Sindi membuat liur Sri tak mampu ia tahanNamun angan hanya tinggal angan, ketika Sindi sang cucu lebih memilih memberikan sisa ayamnya kepada Cery--kucing kesayangannya dibanding memberikan oada neneknya.Hati Sri berdesir melihat pemandangan itu, teringat kejadian beberapa tahun silam, ketika dia lebih memilih memberikan beras yang dibelikan Guntur anak tengahnya kepada ayam kesayangan."Yaa Allah, apa ini balasan untukku?" Lirih Sri dalam tangisnya.Sudah dua tahun terakhir, Sri tinggal besama Guruh, anak bungsunya. Dan selama itulah dia hanya memakan makanan sisa anak dan menantunya makan. Bahkan lezatnya ayam gorengpun sud
"Nah ini orangnya datang." Ternyata di sana ada Fahri dan keluarganya. Apa mereka tengah membicarakan perihal tanah itu?Aku dan Dahlia dipersilahkan masuk oleh Ibunya Nia. Wanita berjilbab instan itu kemudian masuk ke dalam dapur.Di ruang tamu rumah orang tua Nia ada Fahri dan juga kedua orang tuanya. Laki-laki itu menatap sinis ke arahku. Sementara Nia tidak terlihat. Mungkin dia sedang menidurkan bayinya.Beberapa saat kami hanya saling diam. Aupun bingung harus memulai dari mana. Karena aku dan Dahlia merasa tidak enak jika memamg mereka datang untuk membicarakan masalah rumah tangga Nia dan Fahri.Fahri yang tadinya terlihat seperti ingin menerkamku, kini laki-laki itu diam seribu bahasa. Hanya menatap tak suka dengan kehadiranku dan Dahlia."Maaf, Pak. Saya boleh menyusul Ibu ke dapur," ucap Dahlia akhirnya membuka suara"Oh. Silahkan Lia. Itu si Nia lagi di kamar, tadi anaknya rewel," jawab Bapaknya Nia.Dahlia memang sudah akrab dengan orang tua Nia sejak mereka SMA dulu. Da
Aku tidak peduli dengan jal*ng itu. Dia sudah kuceraikan.""Jangan bercada kamu Fahri!"Fahri melirikku sinis, "sudah jangan banyak bicara! Sekarang katakan kau setuju yang mana?"Aku menatap laki-laki bermata bengis itu sejenak. Sepertinya pria ini tidak bisa di ajak berunding. Percuma saja aku menghubungi Nia, toh dia sudah di cerai dan tanah itu memang belum balik nama atas nama dia.Aku kira hanya dengan surat kuasa, maka semuanya akan beres, ternyata Nia memalsukan surat itu."Aku akan berunding dengan Dahlia terlebih dahulu," jawabku kemudian."Oke, satu hari. Kalau sampai besok belum juga ada keputusan, maka semua yang ada di sini akan aku robohkan rata dengan tanah!""Iya," jawabku. Laki-laki itu bangkit dari duduknya dan keluar tanpa berpamitan.Aku menarik nafas panjang dan kuhembuskan perlahan. Bersamaan dengan itu, Dahlia masuk tanpa Mariam di gendongnnya. Sudah di pastikan anak bayi itu sudah menjadi bahan candaan para karyawan di depan."Mas, ayo pulang!" Tiba-tiba Dahli
Guruh bicara tanpa jeda. Nada bicaranya sangat tinggi dan berapi-api. Sementara taku hanya terdiam mendengar penuturan adik bungsuku itu. Apa maksud semua yang di bicarakan Guruh? Aku benar-benar tak mengerti."Maksud kamu apa, Guruh?" bentakku."Halah, nggak usah pura-pura beg0 gitu, Mas. Kurang apa lagi sih Ibu di mata kamu? Di sudah berubah, tapi kamu malah buang Ibu. Kamu mau balas dendam, hah?" teriak Guruh di seberang telepon. Pernyataannya semakin membuatku tak mengerti apa yang sedang terjadi."Hei, Guruh. Jangan belibet. Ngomong yang jelas!" balasku"Memang, kalau dari dulu pembawa sial ya seperti ini!" Tut ... Tut ... Tut. Sambung telepon di putus sepihak. Hampir saja kata-kata kasar keluar dari mulutku. "Astaghfirullah," ucapku sambil mengelus dada, menahan amarah yang sudah sampai ubun-ubun. Dahlia mendekat dan mengusap bahuku pelan, "ada apa, Mas? Kenapa ngomongnya sampai teriak-teriak begitu?""Ini si Guruh, bilang kalau aku buang Ibu. Apalah yang Ibu katakan sama Guru
Sepeninggalan Ibu, aku da Dahlia bersiap untuk membuka kedai yg ada di depan rumah. Jam delpan, Mariam sudah tidur serelah di mandikan Dahlia.Bayi berumur tujuh bulan itu memang suka bangun di kala subuh dan akan tidur setelah makan dan mandi pagi. Siang setelah dzuhur bisanya dia akan tidur lagi. Begitulah rutinitasnya setiap hari. Kesempatan itu Dahlia ambil untuk mempersiapkan jualan mie ayam kami. Selesai mempersiapkan jualan, aku langsung berangkat menuju kedai pinggir pantai. Di sana bisanya ramai ketika jam makan siang. Jadi dari jm sepuluh pagi sampai jam sebelas waktunya santai-santai, karena di jam-jam tersebut, pelanggan masih sepi.Jam sembilan kurang aku sudah sampai di kedai pinggir pantai. Di sana beberapa karyawan sudah menunggu. Mereka langsung menurunkan barang yang sudah aku siapakan di rumah. Sembari mengawasi para karyawan, aku membuka laptop untuk mengecak penjualan yang roti milik Haji Mansur. Aku lihat sekilas omset di toko roti milik Haji Mansur mengalami p
Lagi-lagi aku dibuat melongo dengan pernyataan Ibu barusan. Wanita itu mempersilakan Haji Mansur masuk ke dalam rumah, sementara aku masih diam terapku di teras rumah."Mas, ayo masuk! Kita sarapan." Tepukan di pundakku membuat aku tersadar."Mana Ibu?" tanyaku linglung. Padahal aku tahu mereka sudah masuk ke dalam rumah."Apa mereka janjian Mas?" bisik Dahlia. Aku menggeleng."Nggak tahu, Dek. Tiba-tiba yang datang kok Haji Mansur, aku kira malah brondong," balasku. Dahlia menatapku heran."Yaudah ayo ajak Pak Mansur sarapan dulu." Akupun mengangguk. Kemudian masuk ke dalam rumah.Ketika aku masuk, Kedua insan di ruang tamu itu tengah mengobrol hal yang seru. Ibu terkekeh riang, sementara Haji Mansur hanya menimpali dengan tawa lirihnya."Lia, biar Mami saja yang menyiapkan sarapan. Kamu urus Mariam aja," ucap Ibu ketika Dahlia hendak masuk ke dapur.Setelah Ibu sudah tak telihat dari pandangan mata, akupun duduk di sebelah Haji Mansur."Memangnya ada acara apa Pak? Kok sepagi ini su
"Pokoknya Mami mau tinggal sama Guruh. Kalian jahat!" rajuk Ibu. Ck ... benar-benar seperti anak kecil. "Udah malam, Bu. Kalau mau ke tempat Guruh besok saja," balasku, tanpa menghiraukan ibu yang masih saja mengoceh. Aku menghidupkan mesin mobil dan bersiap untuk keluar dari parkiran."Besok sebelum ke rumah Guruh, kita pengajian rutin di rumah Bu RT dulu, ya Bu. Minggu kemarin Ibu nggak datang, ditanyain lho sama ustadzah Khadijah." Aku dengar Dahlia mencoba membujuk Ibu untuk hadir ke pengajian.Aku baru ingat, sudah dua Minggu kemarin Ibu tidak datang ke pengajian rutin setiap hari Jum'at sore. Semenjak tinggal bersamaku, Ibu selalu ikut Dahlia ke pengajian. Semakin hari sikap Ibu semakin berubah dan hingga saat ini, entah bagaimana ceritanya Ibu berubah menjadi seperti ini. Teman-temannya yang aku temui di cafe tadi, sama sekali aku tak mengenal. Entah darimana ibu bisa dapat teman-teman model seperti tadi."Mami! Pokoknya aku maunya dipanggil Mami!" protes Ibu dengan suara dib
Wanita itu sangat mirip sekali dengan Ibu, pakaian dan dan juga tas yang dia jinjing, tapi ada yang berbeda. Wanita itu tidak berjilbab dan rambutnya ....""Astaghfirullah ...."Perempuan setengah baya lebih itu mengecat rambutnya dengan kombinasi berbagai warna. Hampir saja aku di buat pingsan dengan ulah nenek-nenek itu."Mas Dodo ke Ibu ya, Bapak mau ngejar Mbah uti dulu." Aku menunjuk Dahlia yang sedang mengantre."Iya, Pak." Bocah laki-laki itu berlari menuju dimana Dahlia berdiri.Setelah memastikan Dahlia melihat Ridho menyusulnya, aku bergegas naik ke lantai dua dengan sedikit berlari. Sampai lantai dua aku sedikit kesulitan mencari keberadaan Ibu, karena di lantai dua ini merupakan pusat perbelanjaan pakaian dan dan semacamnya. Selain itu ada beberapa kafe, arena bermain anak dan juga tempat karaoke.Aku putari tempat demi tampat perbelanjaan disana, tetapi tak jua menemukan sosok yang Ibu kini menjelma menjadi ABG dengan fashion kekinian itu.Kakiku sudah mulai lelah, perutk