"Tadi saya pikir, Mas Kenzi sudah mau tidur, jadi tidak perlu apa-apa lagi."
Ya kali perlu di nina boboin kaya bayi!
"Daripada ngobrol sama Adi, nanti sore kan, harus ikut saya ketemu Alsha. Lebih baik kamu istirahat, Disty!"
"Hah? Saya ikut juga?" Aku melongo tak percaya.
"Mau bagaimana lagi? Itu udah perintah Mami."
Makin cool nih Bos, nggak suka ngebantah Maminya! Tapi apa tadi? Nemenin dia pacaran?
"Udah sana, istirahat!" perintahnya lagi.
Kulangkahkan kaki menuju kamar perlahan. Sambil berjalan, aku terus berpikir. Sepertinya ada yang aneh dengan sikap majikanku itu. Ah ... aku nggak mau kegeeran, takut sudah terbang tinggi, nanti malah dijatuhkan lagi!
Lelah. Aku baru saja hendak masuk ke dalam kamar. Tapi saat melewati kamar Bude Ning, aku malah ingin masuk ke sana.
Begitu kubuka sedikit pintunya, Bude sedang tiduran sambil mengoleskan balsam di pinggangnya.
"Kalau sudah tidak kuat bekerja, sebaiknya pulang ke kampung saja Bude, istirahat!" kataku sembari mengambil alih pot balsam dari tangannya, lalu membantu dia menggosok bagian belakang tubuhnya.
Bude ini sudah berumur lebih dari lima puluh tahun. Suaminya meninggal saat anak-anaknya masih kecil. Sejak itu, Bude merantau ke sini dan langsung bekerja pada keluarga Bu Arini.
Sementara dua anaknya, dia titipkan pada ibuku.Setahun sekali, Bude akan pulang kampung dan menemui anak-anaknya. Tapi setelah besar dan punya keluarga masing-masing, ternyata kedua anak lelaki Bude terlalu nyaman karena sering dikirimi uang sejak dulu. Mereka jadi tergantung dengan tangan tua Bude sampai malas bekerja."Cuma sakit pinggang, Dis. Sebentar juga sembuh! Oya, bagaimana hari pertama kamu kerja?"
"Biasa saja Bude. Mas Kenzi orang yang baik seperti Bu Arini."
"Ya, Mas Kenzi memang orang baik, Nduk. Karena itu, Bu Arini ingin kamu terus mengawasinya. Termasuk dari Mbak Sa—. Sopo njenenge pacar Mas Kenzi iku, ya?"
"Mbak Alsha Bude! tadi di lapangan, Disty sempat kenalan lewat panggilan video. Tapi ... kenapa Mas Kenzi harus diawasi dari dia?"
"Bu Arini sebetulnya nggak suka sama dia, Dis! Kakak-kakaknya juga. Tapi Mas Kenzi ini udah bucin akut sama dia, jadi nggak bisa di bilangin!"
Ya ampun Bude gaul banget, sampai tahu bucin gaes!
"Jadi ... Bu Arini sengaja minta aku buat buntutin Mas Kenzi karena nggak menyukai Mbak Alsha, Bude?"
"Hooh, Dis!"
"Oh iya, Tania sekretarisnya Mas Kenzi juga. Dia itu masih sepupunya Mbak Alsha. Jadi sebelas dua belas lah, Bu Arini nggak suka sama mereka."
"Heuuum ...."
Aku mengerti sekarang. Kenapa sampai aku yang harus dipekerjakan di sini, karena Bude adalah orang kepercayaan Bu Arini. Tapi aku heran, kenapa keluarga Mas Kenzi bisa tidak menyukai wanita cantik itu?
Baru saja aku mau bertanya lagi sama Bude, dengkuran kecil terdengar. Aih, ternyata Bude sudah tertidur pulas, mendengkur pula!
Karena malas beranjak dari sana lagi, aku memilih tidur di samping Bude.
***
"Dis, bangun Dis!" seru Bude panik.
Aku terperanjat mendengar suara Bude yang terdengar terburu-buru itu."Ada apa Bude?"
"Kamu ada janji sama Mas Kenzi? Dia sudah nungguin lho!"
Ya ampun, benar juga!
"Astaghfirullah! Jam berapa ini, Bude?"
"Jam empat, Nduk. Bude pikir kamu nggak ada janji, jadi Bude anteng biarin kamu tidur."
"Aduh, gimana ini Bude? Mana belum ashar, belum mandi, belum makan juga ...!"
Di tengah kebingungan dengan nyawa yang masih setengah berada di alam nyata, Mas Kenzi datang dan terus berujar.
"Saya kasih waktu setengah jam ya, untuk kamu siap-siap! Kalau makan, biar nanti di mobil!" ujar Mas Kenzi sambil berlalu.
Dari wajah dan cara dia berbicara, kelihatan sekali kalau sedang kesal. Gegas, aku pun segera bersiap. Setengah jam cukup untuk mandi dan salat.
***
"Kamu itu suster saya, Disty. Masa saya yang harus ingetin kamu untuk makan? Apa nggak kebalik?" kata Mas Kenzi sambil memberikan kentang goreng yang dia minta pada Bude Ning tadi.
Ternyata kali ini, dia bukan minta bekal untuk dirinya sendiri, tapi malah buat aku. Perhatian juga sih. Meski begitu, wajahnya tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.
"Jangankan ngingetin saya, kamu sendiri aja sampai nggak makan. Kalau Mami tau—"
Benar juga! Ya ampun, kenapa aku nggak ingat? padahal itu tugas utamaku. Bisa mati kalau Bu Arini mecat dan minta aku untuk mengembalikan uang yang sudah dibayarkan hutang Bapak!
"Jadi, Mas Kenzi juga belum makan?!" tanyaku panik.
"Belum. Tapi kalau saya sudah biasa, beda sama kamu. Kalau sakit bagaimana?"
Aku tersenyum mendengar ucapan Mas Kenzi. Ternyata, diperhatikan hal sekecil ini saja sama dia, sudah buat aku senang setengah mati.
Aku jadi iri sama Mbak Alsha, betapa beruntungnya mendapat pria sebaik Mas Kenzi.Tiba-tiba saja aku merubah standar pria yang akan mendampingiku kelak. Kalau dulu aku sudah terhanyut oleh ketampanan Jaka, mantan pacarku dulu. Dan merasa bahwa lelaki yang telah mengkhianati ku itu adalah satu-satunya orang yang berhasil membuatku gagal move on, sekarang tidak lagi.
Setidaknya, kalau Adi terus mendekatiku, dia harus perhatian juga seperti Mas Kenzi. Pokoknya standarku naik dua kali lipat!
"Mas, kalau saya boleh tahu, kita ketemu Mbak Alsha dimana?" tanyaku begitu selesai makan beberapa potong kentang goreng.
Tadinya mau dihabisin, tapi gengsi sama Pak Darmo dan Mas Kenzi.
"Saya sama Alsha mau nonton."
Aku melongo lagi. Membayangkan nantinya akan jadi obat nyamuk saat mereka duduk bersama berdua. Nasib jadi suster bayi gede.
Setengah jam berlalu, kami akhirnya sampai di tempat tujuan. Di sebuah mall besar di pusat kota Jakarta. Namun, karena tidak mendapati kekasihnya di tempat yang mereka janjikan, Mas Kenzi terlihat sibuk menghubungi wanita itu.
"Sayang, kamu di mana?" tanya Mas Kenzi. Pandangannya meluas mencari sosok yang dia cari.
"..."
"Kamu kenapa nggak kabarin aku dari tadi?"
"..."
"Aku nggak marah sayang, cuma aku udah terlanjur sampai disini sama suster!"
Dari pembicaraannya di telepon, aku bisa menangkap, kalau Mbak Alsha nggak jadi datang. Syukurlah ... batal jadi obat nyamuk!
"Alsha ada urusan mendadak, Dis!"
"Alsha ada urusan mendadak, Dis!" kata Mas Kenzi memberitahuku. Padahal dari tadi sudah tahu. Mau ketawa malah, tapi sebisa mungkin kutahan."Jadi sekarang pulang lagi, Mas?""Kita belum makan. Bagaimana kalau cari makan di sini dulu?""Makan?"Aduh, gimana ini? Masa makan berdua aja sama Mas Kenzi?Rasanya gimana gitu. Aku takut nggak bisa buka mulut, makan di depan orang ganteng kaya dia."Nggak ajak Pak Darmo sekalian, Mas?" usulku. Semoga saja dia mau ajak Pak Darmo, biar nggak gugup berduaan sama Mas Kenzi."Nih!" Mas Kenzi menyodorkan ponselnya. Dari layarnya terlihat jelas story WA Pak Darmo yang menunjukan aktivitasnya saat ini.Ya ampun ...ternyata diam-diam Pak Darmo alay juga. Masa dia foto selfi bareng semangkuk soto mie? Tapi itu artinya, dia sudah makan siang duluan."Kamu mau makan apa, Disty?" "Apa aja, Mas!""Sushi bagaimana?""Aduh ... enggak ah! Tapi kalau Mas Kenzi mau makan itu ya nggak apa-apa. Saya temenin aja.""Mau steak?""Saya nggak makan daging, Mas.""Te
"Astagfirullah!" Aku memekik ketika bayi besarku itu datang dari belakang tanpa mengenakan atasan. Mungkin dia habis ke toilet. Ada yang sobek, tapi bukan kertas. Ada roti, tapi bukan yang dibakar kaya dipiring yang lagi aku bawa. Duh, mataku ternodai. Ampuni Disty Ibu ...."Biasa aja lihatnya!" imbuhnya sambil mengetuk bahuku dengan handuk kecil yang dipilin.Sadar tengah bertelanjang dada, dengan cepat dia menyambar dan mengenakan kaus dalam berwarna putih."Tapi bukannya hari ini Mas Kenzi mau tour?""Jangan disingkat Adisty, artinya beda!" protesnya dengan nada kesal."Bukan mau disingkat, tapi saya lupa.""Kamu pelupa akut, malah nekat jadi baby sitter saya. Saya nggak jadi ikut tournamen!"Nah kan, itu lagi yang dibahas. Aku nggak bisa bayangin kalau Mas Kenzi ini sampai ngadu sama maminya. Bisa malu aku sama Bu Arini nanti."Lho, kenapa nggak jadi?""Mbak Kanaya melahirkan, saya harus kesana hari ini. Sama kamu juga!""Nggak sama Mbak Alsha?" tanyaku spontan. Duh.Aku jadi ke
Setelah kembali berbincang sebentar, Mas Kenzi mengajakku untuk ikut ke kantornya. Sayang sekali, padahal aku baru saja mulai nyaman bergabung dengan keluarganya.Tidak ada jarak di antara kami, karena semuanya sangat baik. Termasuk Pak Irfan, suami Mbak Kanaya. Kalau suami Mbak Fira dan Mbak Nala, mereka tidak ada di sini karena masih bekerja."Mami masih tinggal di sini beberapa hari lagi ya, Ken," kata Bu Arini saat Mas Kenzi pamit pulang."Jangan lama-lama ya, Mi!" rengeknya manja. Persis seperti anak kecil.Ya ampun, sejak hari pertama bekerja, aku baru lihat dia bisa manja begitu!"Sudah besar Ken, kamu yang seharusnya mengurus Mami. Nggak malu sama Disty?"Aku tersenyum. Lucu juga. Mas Kenzi itu seperti sedang mencari perhatian dari ibu dan ketiga kakaknya."Jangan lupa ingatkan dia ya Dis, Mami khawatir dia lupa makan."Duh, jangan sampai Mas Kenzi cerita masalah kemarin. Bisa malu aku sama Bu Arini. Mataku mengerjap, bersiap menunggu kalimat selanjutnya yang keluar dari Mas
"Jadi bagaimana, mau kan saya ajak jalan?" tanya Adi kembali memastikan. Karena sejak tadi, pikiranku masih bercabang-cabang. "Kapan?" "Kalau sekadar makan bakso, sekarang juga boleh." "Saya nggak suka bakso." "Cari makanan lain yang kamu suka 'kan bisa?" Ternyata Adi beneran niat. Dia terus saja mencari cara agar aku menyanggupinya. "Bukannya kamu lagi jaga?" Aku menoleh untuk menghilangkan rasa gugup. Karena setiap kali bicara, Adi selalu menatapku dengan lekat. Entah kenapa wajah Adi sekarang berubah lebih ganteng dua kali lipat daripada Mas Kenzi. Bisa jadi karena mau ngajak aku jalan, jadi tambah ganteng. Atau karena Mas Kenzi habis marah-marah jadi gantengnya berkurang? Aduh, Adisty! Kenapa perasaan ini cepat sekali berubah? "Gampang, tuh lihat!" Adi menunjuk Pak Bambang yang baru saja berganti pakaian dan keluar dari pintu belakang. "Pak Bambang kan, sudah mau pulang?" "Saya bisa ganti pakai uang rokok." "Kalau Mas Kenzi cari gimana?" Aku terus saja berkelit mencar
"Ya, Mas Kenzi!" sahutku dari luar kamar.Segera kusampaikan perintahnya kepada Bude yang masih berada di dapur. Sepertinya, makan sebelum tidur sudah menjadi kebiasaannya.Sambil menahan kantuk, aku menemani Bude menyiapkan pesanan nasi goreng itu, sampai Mas Kenzi datang untuk menyantapnya."Maaf, saya tahu kamu pasti kaget tadi," katanya sambil makan nasi goreng buatan Bude."Nggak perlu minta maaf Mas Kenzi, saya ngerti." Lagipula, tidak ada urusannya denganku. Toh, aku hanya menuruti perintah Bude saat itu."Saya cuma mau kamu tahu, kalau saya nggak mungkin melakukan sesuatu sama Alsha, apalagi di rumah ini," jelasnya lagi tanpa kuminta. "Saat saya mengajak kamu ke rumah Mbak Kanaya, kamu pasti sudah tahu kalau keluarga saya itu nggak ada yang menyukai Alsha."Ini yang aku tunggu-tunggu. Aku sudah kepo setengah mati sejak kemarin mengetahui tentang bagaimana hubungan Mas Kenzi dan Mbak Alsha sebenarnya. Tapi, apa dia benar-benar ingin menceritakan semuanya padaku?"Kenapa, Mas?
Pesan dari Mas Kenzi semakin membuatku penasaran dan terus memikirkannya. Kenapa jadi aku yang sakit hati melihat dia terluka?Berpikir realistis Adisty, kamu tak lebih dari seorang pengasuh!***Jam setengah enam pagi, aku dan Mas Kenzi sudah berada di lapangan golf. Saat berada di restoran, Mas Kenzi mengenalkan aku pada seorang temannya."Ini Rico, teman saya."Mas Rico mengulurkan tangannya lebih dulu.Seperti waktu itu, Mas Kenzi meminta Nina yang menjadi caddy-nya. Sedangkan Pak Rico, dia memilih caddy laki-laki untuk membantunya dalam permainan kali ini.Dari Nina, aku tahu kalau Pak Rico juga cukup sering main di sini. Dia juga masih belum menikah seperti Mas Kenzi.Sejak pertama bertemu, aku merasa Pak Rico terus memerhatikanku. Bukan kegeeran, hanya saja, aku jadi merasa tidak nyaman."Dis, boleh saya minta nomor handphone kamu?" tanya Pak Rico saat Mas Kenzi berada di tengah lapangan.Seharusnya, tadi Mas Kenzi membiarkan aku menunggu bersama Pak Darmo saja di mobil. Darip
[Adisty, save nomor saya. Rico]Kutatap lagi pesan dari Pak Rico di ponsel.Balas nggak, balas nggak?Kalau dibalas, rasanya aku masih malas menanggapinya. Tapi kalau tidak dibalas, kasihan juga. Ditambah lagi nggak enak sama Mas Kenzi.[Baik, Pak][Rico saja. Bisa saya telpon?]Tuh kan! Sekalinya dibalas, malah mau telepon![Maaf, saya nggak enak, sudah malam. Ada Bude di samping saya] balasku berbohong. Aku masih kurang nyaman untuk berbicara dengan Pak Rico, lelaki bertubuh atletis yang tingginya lebih tinggi sekitar lima centi dari Mas Kenzi itu.Kalau majikanku berkulit putih seperti salju, Pak Rico lebih mirip Adi, hitam tapi nggak manis, lebih manis Adi. Kalau Pak Rico, terlihat lebih 'cowok', dengan janggut dan jambang tipisnya."Bagaimana, Rico sudah hubungin kamu?" tanya Mas Kenzi saat aku sedang menemaninya sarapan. Aku mengangguk sambil terus memerhatikan penampilan Mas Kenzi pagi ini. Melihatnya memakai kemeja, membuatku terpesona setengah mati. Sayang, lelaki di depank
"Dis, kalau kita makan siang dulu, bagaimana?" tawar Mas Rico, setelah baju beserta perlengkapan lainnya yang akan aku gunakan di pesta sudah kami dapatkan."Maaf Mas, saya mau langsung pulang aja. Nggak enak kalau nanti tiba-tiba Bu Arini dateng, terus saya nggak ada di tempat." Aku mencoba memberi alasan, semoga saja Mas Rico mengerti.Walaupun dia bersikap sopan, aku masih canggung kalau harus terus berdua dengannya.Mas Rico menuruti permintaanku. Dia hanya mengantarku sampai di depan rumah Bu Arini. Begitu membuka pagar, aku melihat Adi seperti tengah bersiap mencecarku dengan berbagai pertanyaan."Duh, tipis nih harapan?" sindir Adi."Kenapa?" Aku duduk di sampingnya. Di bangku pos seperti biasanya."Saingan nambah, mana kelas kakap pula ...," kata Adi sambil melihat ke depan. Tidak biasanya dia bicara sambil memalingkan wajahnya dariku seperti itu."Kamu masih mikir aku matre?" dengkusku kesal."Ya nggak gitu, Mbak. Hanya saja, saya jadi kecil hati ...," ungkapnya pelan."Say
Setelah menyalami mereka, aku dan Mas Kenzi langsung kembali ke rumah. Berganti pakaian, lalu mengajak Ibu, Deni dan Dinda jalan-jalan ke Mall.Raut bahagia terpancar dari ketiganya. Apalagi, Mas Kenzi terus menuruti kemauan mereka. Membeli mainan dan perlengkapan sekolah. Juga ponsel baru untuk ketiganya.Rasa bahagia dan sangat bersyukur. Bukan karena materi yang didapatkan, tapi perhatian Mas Kenzi dan Bu Arini.Setelah kepergian Bapak, kami harus terpuruk dan hidup prihatin karena ternyata meninggalkan hutang yang begitu besar. Di tengah keadaan yang menyedihkan, Jaka malah meninggalkan aku untuk menikah dengan wanita lain. Dan kini, melihat Mas Kenzi berada di sini dengan segala kelebihan yang dimilikinya, aku sangat bersyukur."Kapan-kapan, aku sama Dinda boleh ikut ke Jakarta ya, Kak?" celoteh Deni membuyarkan lamunanku."Tentu. Liburan sekolah nanti, jangan lupa ingatkan Mas, untuk jemput kalian, oke?"Dinda dan Deni mengangguk kegirangan.Puas berjalan-jalan, kami kembali seb
"Kalau begitu kenapa nggak pasang AC aja sekalian di rumah kamu?" tanyanya santai sambil berjalan menuju mobil. Segera kutarik tangannya karena dia salah paham."Eh, bukan begitu maksud saya!"Mas Kenzi berhenti sejenak, dia menatapku, lalu berujar."Nggak usah dipikirin. Pokoknya kita kembali ke Semarang sekarang!"Kalau sudah begini, bagaimana cara aku bisa mencegahnya lagi? Dia terus bersikeras memenuhi keinginannya sendiri.Begitu tiba di Semarang, mataku terbelalak melihat perubahan yang begitu kentara pada rumahku. Cat berwarna kuning gading cerah dan sedang dalam proses memasang pagar. Masuk ke dalam rumah, aku semakin terkejut saat mendapati barang-barang di seluruh ruangan sudah berganti dengan furniture baru, bahkan sudah terpasang AC di setiap kamar. "Ini semua untuk apa?" tanyaku pada Mas Kenzi yang langsung diserbu oleh kedua adikku."Saya nggak tahu, mungkin ini kiriman dari Mami?"Kalau melihat wajah Mas Kenzi, sepertinya dia memang tidak tahu apa-apa. Tapi Bu Arini?
Berjalan sebentar di sepanjang Malioboro, Mas Kenzi lalu mengajakku makan angkringan di dekat stasiun Tugu. Menurutnya, nasi kucing di sini terkenal enak.Benar saja, begitu kami tiba di sana, tempat makan lesehan itu sudah ramai pengunjung. Membuatku harus duduk berdekatan dengan Mas Kenzi.Sambil menikmati makanan, sesekali aku melirik lelaki tampan di sampingku ini.Benarkah dia dijodohkan sama aku?Kenapa aku masih ragu dan merasa kalau ini seperti mimpi yang tidak akan pernah berubah nyata?Apa Mas Kenzi terpaksa menerima perjodohan ini, atau memang benar-benar menyukaiku?Entahlah ... semakin banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku, semakin pusing juga memikirkannya. Sebagai orang kampung, aku masih nggak yakin bisa mendapatkan keluarga kaya seperti mereka."Makan, jangan lihatin saya terus!" seru Mas Kenzi yang menyadari aktivitasku. Orang-orang yang ada di hadapan kami pun langsung melirik ke arahku. Mereka pasti bisa melihat, kalau wajahku memerah menahan malu.Setelah me
"Saya baru tahu, saat berada di rumah Mbak Kanaya, secara tidak sengaja, saya dengar obrolan mereka tentang pendapatnya mengenai kamu ketika saya sedang ke toilet," jelas Mas Kenzi tenang. Tidak seperti aku yang gemetar, setiap kali mendengar kalimat yang meluncur dari bibirnya."Tapi Mbak Alsha?"Raut wajah Mas Kenzi tiba-tiba saja berubah. Dia seperti sedang menyembunyikan sesuatu."Saya sudah putuskan mengakhiri hubungan sama dia kemarin. Setelah saya sadar, kalau ucapan Mami benar, saya memang hanya membutuhkan kamu untuk terus berada di samping saya. Bukan Alsha, atau siapapun."Jadi Mas Kenzi sudah mengakhiri hubungan dengan Mbak Alsha? Aku paham sekarang, kenapa tatapan Mbak Tania kemarin bisa menyeramkan seperti itu."Apa Bude dan Ibu tahu tentang perjodohan ini?" Aku masih terus saja penasaran."Kamu ini terlalu naif, Disty. Jelas mereka tahu. Papi itu mengenal Bapak kamu karena Bi Ning. Bahkan mereka berdua sempat menjalankan bisnis bersama dan Papi berinvestasi di sana."Ak
Jogja pagi ini terasa menyejukkan dengan kabut tipis yang menyelimuti, saat aku memandangnya dari jendela kamar hotel. Suasana sepanjang Malioboro terlihat dari atas hotel bintang lima ini.Aku baru saja selesai mandi dan menunggu perintah Mas Kenzi untuk turun ke bawah. Namun, pesan masuk darinya, malah membuatku berpikir ulang.[Kamu tunggu di hotel saja, saya hanya sampai jam 3 sore. Sarapan dan makan siang di kamar saja, oke? Kamu sudah ngerti 'kan cara pesannya? Jangan kemana-mana, saya nggak mau kamu nyasar!] Begitu tulisnya dalam pesan.Aku menatap layar ponsel sambil terus berpikir. Kalau Mas Kenzi pergi sendiri, kenapa harus mengajak aku ke sini? Kenapa dia tidak menjemputku sekembalinya dari Jogja saja? Berbagai pertanyaan terus berputar-putar di kepalaku. Seolah menunjukkan bahwa ada sesuatu yang janggal di sini. Tapi, buru-buru kutepis semua perasaan itu. Namanya juga hanya bekerja. Aku bisa apa selain menerimanya?Malam harinya, Mas Kenzi memintaku ke luar dari kamar hot
Aku terperanjat begitu melihat Mas Kenzi sudah berdiri di ambang pintu. Di sampingnya, ada Pak Darmo yang ikut menemani."Silahkan masuk. Begini adanya rumah saya Mas Kenzi, Pak Darmo ...," kataku sambil menunduk. Malu rasanya menyambut kedatangan mereka, saat aku masih mengenakkan celana selutut dan kaos butut favoritku jika berada di rumah.Benar saja, Mas Kenzi menatapku penuh kasihan. Apa dengan penampilan begini aku terlihat menyedihkan? Padahal ... ini adalah kostum ternyaman yang tidak mungkin aku gunakan saat berada di rumah Bu Arini."Ibu buatkan minum dulu ya. Pasti capek jauh-jauh dari Jakarta," kata Ibu sambil berlalu.Tadinya aku ingin menahan Ibu. Saat aku mengingat, kalau di dalam mobil Mas Kenzi, sudah tersedia berbagai makanan dan minuman. Apa dia akan mau kalau disuguhi segelas teh manis yang biasa disajikan kalau kami kedatangan tamu?Begitu Ibu pergi, Pak Darmo ikutan keluar. Mau cari angin, katanya. Ada-ada saja dia, angin dicari, giliran masuk angin nanti susah-s
"Cari orang kaya Dis, biar motor bututnya diganti! Tuh lihat, si Jaka mau nikah sama Intan, semuanya dikasihkan sama dia."Sambil menyiram motor yang kotor terkena tanah merah, aku hanya tersenyum mendengar omongan Bude Lasmi. Dia adalah tetanggaku yang rumahnya hanya terhalang sepetak tanah dengan rumahku. Bude Lasmi sebetulnya baik, tapi kadangkala dia tidak menyaring ucapannya terlebih dulu."Belum mau memikirkan kesana, Bude. Jaka sudah bahagia dengan pilihannya, biarkan saja!" balasku yakin."Bude yakin dia tidak bahagia, Dis. Wong dia nikah sama Intan karena disuruh si Mbok-nya! Kamu ya jangan mau kalah. Kalau bisa, cari yang lebih baik!"Lagi-lagi aku hanya tersenyum mendengarnya memprovokasi. Banyak tetangga yang masih mengaitkan aku dengan Jaka. Padahal, sejak dia memutuskan hubungan, aku biasa saja. Tidak ada kesedihan sedikitpun untuk lelaki seperti dia.Pun ketika terdengar kabar kalau dia ingin menikah dengan Intan. Tidak ada sedikit rasa iri, ataupun merasa ingin menyain
[Dis, jawab telepon saya!]Terlalu banyak pesan dari Mas Kenzi, membuatku malas membacanya dari atas satu persatu.[Maaf, Mas Kenzi, saya lupa pamit.]Tidak butuh lama, setelah aku membalas pesan, Mas Kenzi langsung meneleponku. Membuatku semakin bingung, haruskah aku menjawab panggilan telepon darinya?"Kamu kembali ke Jakarta sekarang, Adisty!" perintah Mas Kenzi setelah sebelumnya menjawab salam dariku."Maaf, Mas tapi untuk sekarang ini saya nggak bisa!""Karena Mami? Saya sudah bicara sama Mami, Dis. Kamu bisa kembali ke rumah ini secepatnya!"Dia terus saja memaksa dan tidak mengindahkan penjelasanku."Maaf Mas Kenzi, tapi—""Saya sudah terbiasa dengan adanya kamu di sini. Kembali besok, saya tunggu kamu di rumah!""Maaf Mas Kenzi, tapi saya nggak bisa kembali dalam waktu dekat ini." Aku masih terus mencoba menolak dengan halus, tapi dia malah salah paham."Kamu menolak permintaan saya? Kamu masih marah hanya karena saya kelupaan?""Maaf Mas Kenzi, bukan karena itu.""Apapun ala
Kuabaikan pesan Mas Kenzi dan memilih memberi penjelasan pada Bude."Maafkan Disty, ya Bude. Dusty tahu pasti Bude kecewa banget. Terlebih sama Bu Arini. Disty merasa nggak enak sekali, Bude ....""Bu Arini memang begitu kalau sedang marah. Menghindarinya lebih baik, Nduk! Sekarang sebaiknya kamu bersiap, besok habis subuh, Pak Darmo yang akan mengantar kamu sampai ke terminal."Meski perasaanku masih tidak enak, aku berusaha memahami perkataan Bude.Ponselku kembali menyala. Lagi-lagi Mas Kenzi mengirim pesan.[Kenapa tidak dibalas? Saya perlu bicara sama kamu. Sudah tidur belum?]Kutunjukan pesan dari Mas Kenzi pada Bude agar dia membacanya sendiri."Bagaimana Bude?""Abaikan saja, Dis! Oya, jangan sampai dia tahu kalau kamu pulang kampung besok!" pesan Bude."Lho, kan Disty dianter sama Pak Darmo?""Pak Darmo nggak akan bilang sampai kamu tiba di tujuan. Kalau sudah naik bis, itu urusan lain, Nduk!""Sekali lagi, Disty minta maaf, Bude ...." Aku benar-benar menyesal telah mengecewa