“Lalu di mana Camelia sekarang?” tanya Rainer. Suaranya terdengar penuh amarah dan penekanan.
“Bu Camelia se-sedang makan siang, bersama Pak Danar Andrian, Pak,” jawab anak buah Rainer.Suara pria itu sedikit gugup saat menjawab pertanyaan Rainer.“Apa? Di mana mereka makan siang?”Pria itu menyebutkan nama sebuah restoran kecil yang tak jauh dari kantor firma hukum yang didatangi oleh Camelia.“Kenapa baru sekarang kamu bilang?” kesal Rainer lalu menutup panggilan tersebut tanpa aba-aba.Pria itu kembali melajukan mobilnya, mencari jalan memutar dan menuju ke lokasi yang disebutkan oleh anak buahnya. Hatinya berkecamuk, Danar seperti mengajaknya berperang, di kondisi seperti ini pria itu selalu muncul di dekat Camelia.Bukan, bukan, bisa jadi Camelia-lah yang mencari perhatian pada Danar seperti yang wanita itu lakukan padanya. Karena tak bisa mendapatkan hatinya, Camelia mencari mangsa baru. Pikiran tentang segala kemSetelah sampai di apartemen sahabatnya Camelia langsung masuk ke dalam kamar mengeluarkan semua kekesalan dalam hati dengan menangis sepuasnya. Camelia menarik napas dan menghembuskan secara perlahan untuk mengakhiri tangisnya. Perasaannya sudah sedikit lebih lega, dia hanya tinggal menunggu Maura pulang dan mengeluarkan semua unek-unek dalam hati. Wanita itu keluar dari kamar dan mengambil air minum di dapur. Melihat isi kulkas, mencari sesuatu yang bisa dinikmati atau setidaknya membuat makanan dari bahan yang ada. Saat sedang asyik membuat sesuatu yang manis, perhatian Camelia teralih saat pintu utama terbuka. “Ca? Kenapa kamu di sini?” Maura memindai penampilan sahabatnya, “apa-apaan wajahmu itu? Kamu habis nangis?” Camelia mendesah, lalu menunjukkan es buah yang baru saja dia buat di sebuah mangkuk besar. “Kita makan ini sambil membahas hal itu.” “Ok.” Maura duduk di mini ba
“Diamlah! Sudah kukatakan aku tak pernah main-main.” “Baiklah, baiklah, turunkan aku. Mari kita pulang.” Camelia lebih baik mengalah ketimbang harus digendong sepanjang jalan menuju ke parkiran, malu. Dengan kesal Camelia merapikan diri setelah turun dari gendongan suaminya, dan meraih tas yang berada di tangan Maura. “Terima kasih, Ra.” Maura tersenyum, gemas. Di matanya dua orang itu seperti saling menyayangi hanya saja si pria gengsi atau entah belum menyadari perasaannya sendiri. “Good luck, Ca,” Maura mendekat kemudian berbisik, “pertimbangkan ucapanku tadi.” “Cepatlah sedikit.” Rainer meraih tangan istrinya dan menggenggam erat. Sepasang suami istri itu berjalan menuju parkiran. Rainer terus menggenggam tangan Camelia. Seperti seorang ibu yang menggandeng tangan anaknya, khawatir anaknya akan pergi dan hilang. Keduanya hanya tanpa kata meski j
“Apa semua itu karena Danar? Karena kamu tidak berhasil mendapatkanku, lantas menjadikan pria itu objek barumu?” hardik Rainer.Camelia justru tertawa sumbang dan berkata, “Duh, Rai, jangan denial, sudah jelas kalau semua ini karena dirimu sendiri, kamu yang ingin bercerai sejak satu tahun yang lalu, mungkin kamu lupa, jangan melemparkan sesuatu pada orang lain.”“Seharusnya kamu intropeksi diri, bukan mencari-cari kesalahanku, kalau pun iya aku dan Kak Danar ada apa-apa, tidak ada urusannya denganmu. Kamu punya Agnes yang selalu menjadi prioritasmu, memangnya salah jika aku juga memiliki pria idaman lain dan menjadi objek baruku?” Balas Camelia dengan tenang.Rainer mengepalkan tangan, menahan segala emosi dan rasa dalam dada.“Kamu masih istriku, jangan berbuat sesuka hatimu.” Hanya itu yang bisa Raimer ucapkan.“Istri?” lagi-lagi Camelia tertawa sumbang, “bukankah kamu sendiri yang mengatakan tidak akan pernah menganggapku istri, kamu juga lupa tentang ini?”Sepasang suami istri it
“Aaarrggghhhh!” Rainer memporak-porandakan meja yang masih penuh dengan makanan, menyalurkan segala amarah dalam jiwaMarah! Dia marah pada Camelia yang berani meninggalkannya dan pergi begitu bersama pria lain.“Camelia Agatha!” erang Rainer.Segera pria itu membersihkan tangannya lalu menghubungi seseorang. Memerintahkan orang tersebut untuk mengawasi Camelia dan membereskan kekacauan di rumah makan.Rainer pikir, ini adalah perkara mudah, ternyata setelah Camelia pergi bersama Danar, dia tak bisa lagi menemukan istrinya itu. Anak buahnya tak berhasil menemukan Camelia setelah kehilangan jejak saat wanita itu pergi dari rumah.Beberapa minggu telah berlalu, Rainer selalu saja uring-uringan.Suara ketukan pintu terdengar, membuyarkan konsentrasi yang sudah Rainer bangun setengah mati.Rossa masuk dengan membawa sebuah amplop coklat. “Ada kiriman lagi, Pak,” ujar wanita itu.“Taruh saja.”Set
Camelia terdiam sejenak, merenungi usalan Danar. Pikiran tentang bagaimana Rainer selalu meremehkan dan tak pernah menganggap keberadaannya kembali memuncak. Tentu saja, perceraian bukan hanya soal kertas dan tanda tangan, ini soal harga diri. Camelia merasa harus membuktikan sesuatu, bukan hanya pada Rainer, tetapi juga pada dirinya sendiri dan dunia.“Aku tidak bisa terus membiarkan dia menggantungku seperti ini. Mungkin kamu benar, aku butuh langkah yang lebih besar,” ucap Camelia pelan, tetapi ada ketegasan dalam nada bicaranya.Danar menatapnya serius dan bertanya, “Kamu siap melakukan apa pun untuk itu?”Camelia mengangguk, matanya penuh tekad. “Aku sudah terlalu lama terperangkap dalam hubungan yang sia-sia. Sekarang saatnya aku bertindak.”Di kantornya yang sunyi, Rainer duduk di belakang meja, menatap dokumen perceraian yang sudah semakin menumpuk. Dia memang sengaja menemui Vanessa Marcella–pengacara yang akan mengurus percerai
Rainer menatap layar tablet itu dengan tatapan tak percaya. Camelia? Wanita yang selama ini dianggapnya lemah dan tidak punya kuasa? Wanita yang dia remehkan selama pernikahan mereka? Kini dia muncul di berita sebagai "Pengusaha Wanita Baru yang Mengguncang Industri Kreatif". Namun, Rainer sempat melupakan jika sejak kecil Camelia selalu menjadi bintang karena otaknya yang cerdas.“Shit!!!” Rainer mengumpat.Rainer membaca lebih lanjut. Artikel itu menjelaskan tentang pencapaian besar Camelia dalam waktu yang singkat sejak kepergiannya dari kehidupan Rainer. Camelia memulai bisnis ilustrasi yang langsung mendapat perhatian besar di dunia kreatif. Banyak perusahaan besar, baik di dalam maupun luar negeri, mulai bekerja sama dengannya. Dia menjadi wajah baru yang diperbincangkan di dunia bisnis, dan tampaknya ini hanya permulaan.Amarah Rainer kembali menggelora. Bukan hanya karena kesuksesan Camelia, tapi karena fakta bahwa dia sama seka
Di sebuah rumah mewah nan megah yang terletak di pinggiran kota, Kakek Wijaya sedang duduk di beranda, menikmati teh hangat sembari membaca berita pagi ini di tablet pintarnya.Udara pagi yang masih segar dan gemericik air dari kolam kecil di dekatnya membuat suasana pagi itu begitu tenang. Namun, ketenangan itu pecah ketika matanya tertumbuk pada sebuah artikel besar di halaman bisnis. "CAMELIA AGATHA: PENGUSAHA MUDA YANG MENGGUNCANG DUNIA KREATIF."Mata tua Kakek Wijaya membola, tangannya mencengkram kuat tablet pintarnya, lalu tertawa jenaka. Nama Camelia Agatha, cucu menantu yang beberapa bulan belakangan ini menghilang dari kehidupan keluarganya, tiba-tiba muncul dengan cara yang sama sekali tak terduga."Daisy, kemari sebentar!" seru Kakek Wijaya, nada bicaranya terdengar mendesak. Suara yang biasanya tenang kini mengandung kegembiraan yang sulit disembunyikan.Daisy–ibu Rainer, datang dengan langkah cepat dari ruang tengah. Waja
Rainer bangkit dari kursinya, dengan sorot mata yang penuh dengan kekesalan yang semakin memuncak. "Kalau ini yang dia inginkan, maka aku akan melawannya."Levi menatap bosnya dengan cemas. "Pak Rainer, apa yang akan Anda lakukan?" tanya pria itu.Rainer mendekati jendela besar di kantornya, menatap ke arah langit yang mendung. "Aku tidak akan membiarkan dia menghancurkan semuanya. Jika Camelia ingin bertarung, maka kita akan bertarung."Rainer mengepalkan tangan kuat-kuat, pertempuran ini tidak hanya tentang bisnis. Namun, juga harga diri, rasa kehilangan, dan tentang satu hal yang telah diabaikan terlalu lama, perasaannya terhadap Camelia.Di kantornya, pagi ini Camelia tampak sibuk. Para staf terlihat berlarian ke sana kemari, menyiapkan berkas-berkas penting. Di dalam ruang utama, Camelia dan Danar tengah berdiskusi dengan serius, ada sebuah papan yang penuh dengan diagram dan strategi pemasaran baru. Kesuksesan
Tirai putih menjuntai dari langit-langit, menghiasi aula dengan kemewahan yang menenangkan. Rangkaian bunga mawar putih dan lilin-lilin tinggi menghiasi sisi-sisi jalan menuju altar. Denting piano mengalun lembut, menggiring langkah Levi yang berdiri tegap menanti di ujung sana. Jas hitamnya melekat rapi, dasi kupu-kupu menghiasi lehernya, dan senyum gugup itu tidak bisa bersembunyi meski wajahnya berusaha tampak tenang.Anne melangkah perlahan, gaun putihnya jatuh anggun menyapu lantai, taburan payet menyala lembut. Mata mereka saling mengunci, dan dunia seakan hening, hanya mereka berdua, dan debar yang berkejaran di dada.Suara tawa kecil menyelingi isakan haru, ketika Levi dengan suara sedikit gemetar mengucapkan janji suci. Anne menatapnya, mata yang dulu ragu kini bersinar penuh keyakinan. Ketika mereka saling mengikat janji, tamu-tamu bersorak dan di antara mereka, Camelia mengusap sudut matanya yang basah, sementara Rainer menepuk punggung Levi saat keduanya turun dari altar
Suara kursi yang digeser Clay terdengar tegas. Bocah itu berdiri, menatap ayahnya dengan ekspresi serius yang jarang muncul di wajah polosnya.“Aku nggak setuju, Pi,” ucap Clay langsung pada intinya.Danar mengangkat alis, meletakkan dokumen kerjanya ke samping. “Apa yang kamu maksud?”“Aku nggak setuju punya mama baru, kalau bukan Tante Camelia,” jawab bocah itu, tegas.Wajah Danar melembut, bibirnya membentuk senyum kecil yang tak sepenuhnya ceria. “Kamu masih suka Tante Camelia karena dia baik, dan karena kamu terbiasa sama dia. Tapi kamu juga harus ingat, Tante Camelia sudah bahagia bersama Om Rainer dan juga Reyaga. Orang lain bisa salah paham jika kamu bicara seenaknya seperti itu,” balas Danar dengan penuh pengertian.Clay memeluk tubuhnya sendiri, menghindari tatapan Danar. “Iya aku tahu tapi aku tidak suka liat Papa dekat dengan perempuan lain.”Danar menghela napas, bangkit dari sofa, lalu berjongkok di depan putranya. “Clay, dengarkan Papi. Papi juga tidak sedang dalam
Dua insan duduk saling berhadapan. Gelas mocktail dengan irisan jeruk nipis itu diletakkan kembali sebelum isinya menyentuh bibir. Cahaya remang menggantung di antara keduanya, seolah ikut menahan napas. Suasana restoran seharusnya membantu, namun hati Levi justru berdebar semakin kacau. Tangannya terlipat di atas meja, matanya menatap lurus ke arah gadis di hadapannya.“Jadi apa yang ingin kamu bicarakan sampai mengajakku makan malam di tempat seperti ini?” tanya Anne yang mulai tidak sabar karena Levi lebih banyak diam hari ini, berbeda dengan biasanya.Sebelum menjawab pertanyaan itu, Levi menghela panas lalu berdehem.“Kamu pernah suka pada seseorang, tapi takut itu cuma perasaan sepihak?” Ternyata yang keluar dari bibirnya bukanlah jawaban. Melainkan sebuah pertanyaan.Anne membulatkan mata, seolah tidak menduga arah pembicaraan. Jemarinya yang memegang sendok tiba-tiba berhenti. “Kamu sedang bertanya soal aku, atau soal kamu?”Levi menautkan jemarinya di atas meja.“Aku hanya
Sunyi.Mata Camelia menyapu wajah suaminya. Di dalam pantulan manik kelam itu, ada satu bahasa yang tidak perlu diterjemahkan, cinta yang utuh, dan kebanggaan yang tidak bisa ditutupi.Rainer membalas pandangan itu, ujung bibirnya naik pelan.“Namanya akan kami umumkan saat acara syukuran nanti,” jawab Rainer diiringi dengan senyuman.Levi mengangkat alis.“Nggak asyik. Padahal aku sudah tidak sabar ingin memanggil namanya.”“Makanya menikah, biar kamu juga bisa merasakan betapa bahagiannya punya junior dan memanggil namanya untuk pertama kali,” balas Rainer.Levi berdecak, tapi tidak menanggapi, daripada dia harus mendengar ucapan Rainer yang menjengkelkan.*Gelak tawa menggema, aroma bunga segar dan makanan rumahan memenuhi udara, berbaur dengan hangatnya percakapan para tamu. Beberapa rekan bisnis Rainer berdiri dengan gelas di tangan, menyelam dalam obrolan santai. Daisy tampak sibuk mempersilakan orang-orang untuk duduk, sementara Anne dengan cekatan menjaga jalannya hidangan.
Di sepanjang perjalanan, tangan Rainer tidak pernah lepas dari Camelia. Jari-jarinya mengusap punggung istrinya, suaranya terus berbisik lembut, meskipun kegelisahan jelas terbaca. Sesampainya di rumah sakit, semuanya terasa seperti kekacauan yang teratur. Rainer pikir Camelia bisa segera melakukan persalinan ternyata mereka harus menunggu karena belum waktunya. “Dokter, apa tidak bisa lebih cepat? Lihatlah istriku sudah sangat kesakitan,” ujar Rainer. Dokter hanya tersenyum, sepanjang dia menjadi dokter, sudah sering melihat suami yang panik seperti itu. Rainer terus menemani Camelia menjalani proses menuju persalinan, seakan-akan ikut merasakan kesakitan yang dialamai istrinya. Setelah lebih dari sepuluh jam berada di rumah sakit, Camelia akhirnya siap untuk melakukan persalinan. Dokter dan perawat sigap membawa Camelia ke ruang bersalin. Rainer tidak peduli pada siapapun selain wanita yang sekarang terbaring di ranjang dengan ekspresi menahan sakit. Dia menggenggam tan
Rainer tersenyum, melirik istrinya, lalu mengaduk minumannya dengan santai. "Kamu terlalu memikirkan mereka, Sayang. Benar-benar seperti emak-emak yang sedang mencarikan jodoh untuk anaknya," ujar Rainer. "Jelas aku memikirkan mereka! Anne itu orang terdekatku saat ini setelah kamu. Levi orang terdekatmu setelah aku, apalagi dia memohon-mohon cuti pada bosnya yang kejam ini agar bisa berkencan dengan seorang wanita," balas Camelia cepat. "Oh iya, tentang Levi, dia selalu bersikap seolah-olah paling mengerti hubungan, paling berpengalaman, layaknya pakar cinta seperti yang kamu bilang. Tapi sekarang? Kenapa dia malah seperti ini? Bikin aku gregetan," imbuh Camelia. Rainer terkekeh, mengangkat bahu. "Levi selalu berhati-hati dalam setiap langkahnya. Dia bukan tipe yang terburu-buru. Terlalu banyak berpikir sebelum bertindak, itulah sebabnya dia belum memiliki kekasih padahal usianya sudah kepala tiga." "Ya, tapi kalau terus seperti ini, Anne bisa bosan, bisa-bisa aku jodoh
“Selamat malam, Nyonya-nyonya.” Suara berat itu menyusup di antara obrolan, membuat Camelia dan Vanessa menoleh. Danar berdiri dengan setelan abu-abu yang rapi. Ekspresinya santai, tapi sorot mata itu tidak bisa menyembunyikan perasaan yang bergulat di dalam dada. Danar dan Camelia bertemu pandang, wanita itu menyunggingkan senyum yang celakanya masih membuat hati Danar berdesir. "Kamu benar-benar sulit ditemui sekarang,” ujar Danar. "Wajar, dia sekarang lebih sibuk dengan keluarga kecilnya," kata Vanessa menimpali sambil tersenyum. Tatapan Danar turun ke perut Camelia yang mulai membuncit. Ada kebahagiaan yang dia rasakan karena itu sebuah tanda jika hidup wanita itu lebih baik dan yang pasti, bahagia. Tetapi juga sesuatu yang tertahan di balik senyum tipisnya. Sejenak, hatinya terasa kosong. Camelia menangkap tatapan itu, tetapi memilih untuk bersikap biasa saja. “Apa kabar, Pak Danar?” Ada sesuatu di hati Danar, Camelia bahkan sudah tidak memanggilnya ‘kakak’ lagi.
“Selamat malam, Nyonya-nyonya.” Suara berat itu menyusup di antara obrolan, membuat Camelia dan Vanessa menoleh. Danar berdiri dengan setelan abu-abu yang rapi. Ekspresinya santai, tapi sorot mata itu tidak bisa menyembunyikan perasaan yang bergulat di dalam dada. Danar dan Camelia bertemu pandang, wanita itu menyunggingkan senyum yang celakanya masih membuat hati Danar berdesir. "Kamu benar-benar sulit ditemui sekarang,” ujar Danar. "Wajar, dia sekarang lebih sibuk dengan keluarga kecilnya," kata Vanessa menimpali sambil tersenyum. Tatapan Danar turun ke perut Camelia yang mulai membuncit. Ada kebahagiaan yang dia rasakan karena itu sebuah tanda jika hidup wanita itu lebih baik dan yang pasti, bahagia. Tetapi juga sesuatu yang tertahan di balik senyum tipisnya. Sejenak, hatinya terasa kosong. Camelia menangkap tatapan itu, tetapi memilih untuk bersikap biasa saja. “Apa kabar, Pak Danar?” Ada sesuatu di hati Danar, Camelia bahkan sudah tidak memanggilnya ‘kakak’ lagi.
“Halo, dengan Tuan Rainer Wijaya, kami dari rumah sakit, ingin memberi tahu jika Nyonya Camelia pingsan dan dibawa ke rumah sakit.” Jantungnya berdegup lebih cepat. “Ada apa, Rai?” “Camelia dibawa ke rumah sakit, Lev.” Tidak menunggu waktu yang lama Rainer langsung bergegas menuju rumah sakit. Tangan Rainer mencengkram kemudi dengan erat, buku-buku jarinya memutih. Napas memburu, tubuh terasa panas, tapi bukan karena udara di dalam mobil—melainkan ketakutan yang perlahan-lahan merayap naik. Camelia pingsan. Rumah sakit. Mungkin aritmianya kambuh? Tiga hal itu terus berputar di kepalanya, memukul saraf-saraf kewaspadaan hingga jantungnya berdegup tak karuan. Steve. Itu pasti karena pria itu. Jika dia tahu pertemuan sialan itu akan membawa dampak sebesar ini, dia tak akan membiarkan Camelia keluar rumah. Sial. Harusnya dia lebih waspada. Harusnya dia tidak meremehkan dampaknya. Mobil berhenti dengan hentakan kasar di depan pintu gawat darurat. Rainer keluar tanpa