Wina mengernyit heran. Memandangi wajahku yang tenang dan tak terlihat gusar seperti biasanya.“Jangan main-main, Yu. Aku serius. Kamu nggak tahu bagaimana Mbak Sinta itu. Dia selalu menggunakan kekuasaan untuk menyingkirkan orang-orang yang tidak dia suka.” Dia masih saja terlihat cemas.“Eh, tapi ngomong-ngomong, Pak Fandi beneran nggak datang?”“Iya, Yu .Mana nggak ada kabar sama sekali. Kompak banget sih kalian. Suka ngilang tiba-tiba tanpa ngasi tahu,” ledeknya.“Hush! Nanti suamiku dengar lho.” Aku terkikik geli.“Dih, canggih amat suami kamu,sampe masang penyadap segala. Suami kamu mafia, ya?” Kami berdua kembali terkikik.Eh, tapi kenapa Fandi tidak masuk hari ini? Apa karena kejadian tadi pagi? Apa dia begitu shock, hingga tak datang dan menghindari aku dan Mas AryoKan, lagi-lagi aku merasa bersalah. Kenapa sih, Fandi harus mencampur adukkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Padahal selama ini Mas Aryo tak pernah melakukan hal yang bukan-bukan untuk mempersulitnya. Pa
Mata nenek sihir itu langsung membelalak. Terperanjat kaget mendengar ucapan tegas dari Mas Aryo. Bukan hanya tegas, akan tetapi terdengar begitu emosi dan marah. “A_apa maksud kamu, Mas? M..maksud saya Pak. Anda sedang bercanda, kan?” Wajahnya langsung memucat seperti buntut ayam yang baru saja direbus. Bibirnya bergetar ketakutan. Aku menarik sudut bibir, melirik ke arahnya yang tadi bersikap sangat angkuh.“Apa aku terlihat sedang bercanda?” Mas Aryo menantang ucapannya dengan tegas.“Ta..tapi....” “Tidak ada tapi-tapian. Tidak ada maaf bagi kamu yang sudah berani menampar Ayu!”“Aku punya alasan, Mas. Kenapa Mas malah membela dia?” Kini nenek sihir kawe super itu tak lagi bicara dengan bahasa formal.Mendengar dari gaya bicaranya, sepertinya mereka memang sudah akrab sejak awal.“Aku tidak menerima alasan apa pun. Kamu sudah sangat keterlaluan. Aku bisa saja terima kalau Ayu dihukum karena kesalahan dalam bekerja. Tapi, tidak dengan urusan pribadinya.”“Tapi dia bukan wanita ba
Aku dan Mas Aryo sama-sama menoleh, lalu saling berpandangan dengan heran. Para penggibah dan pembuli dari dapur tadi mengejar dan menyusul kami. Dengan wajah memelas, mereka menyesali apa yang sudah mereka perbuat.“Mau apa kalian?” tanya mas Aryo dengan sinis. “Maafkan kami, Pak Aryo. Kami tidak tahu tentang masalah ini sebelumnya,” ucap sang ketua memimpin jawaban.“Terserah!” ketus suamiku. Kemudian kembali merangkul bahuku untuk menaiki anak tangga. “Tunggu, Pak.” Mas Aryo menghentikan langkahnya. “ Ijinkan kami kembali bekerja di sini.”Cih! Dasar tidak tahu malu. Menjilat ludah sendiri. Jorok sekali. Seenaknya saja berkata seperti itu. Aku tidak akan sudi dan tidak akan pernah membiarkannya."Apa kurang jelas yang aku bicarakan tadi? Apa pun yang terjadi, aku tak akan pernah menerima kalian lagi. Jadi, cepat kosongkan dapur sekarang juga!" Mas Aryo kembali merangkul bahuku dan berjalan dengan cepat hingga mereka jauh tertinggal di lantai bawah."Huft... Ayu gemetaran, Mas," r
"Pokoknya Ayu nggak mau, Buk. Ini kan jaman modern. Mana ada lagi jodoh-jodohan," sungutku pada Ibu dan Bapak yang kini duduk di hadapan. "Mau jaman apa pun itu, tetap aja anak nggak boleh ngelawan sama orang tua!" tegas Ibu.Aku terdiam. Memang seperti itulah Ibu. Tak ingin dibantah sama sekali. Aku memandang ke arah Bapak. Mencoba memelas. Namun rasa takut Bapak sama Ibu membuatnya tak bisa berbuat apa-apa. "Ayu sudah punya pacar, Buk.""Memangnya siapa yang ngijinin kamu pacaran? Kan Ibu sudah bilang. Kelak kamu akan menikah sama Aryo. Anak juragan ayam. Titik!"Hish...Aku bangkit dan melangkah dengan mengentakkan kaki menuju kamar. Merasa kesal dengan keputusan Ibu dan Bapak yang tiba-tiba memaksaku menikah secepatnya. Dulu memang sayup-sayup terdengar, bahwa orang tuaku dan orang tua Mas Aryo akan menjadi besan. Hal itu karena Bapak dan Om Triman_Ayahnya Mas Aryo_adalah sahabat lama. Tapi itu dulu. Dulu sekali. Yang aku dengar pun pernikahan akan dilangsungkan setelah aku wi
"Ayu?" Sekali lagi dia memanggil. Kali ini aku sengaja tak menyahut. Bingung harus mengatakan apa. Tiba-tiba rasanya hatiku tak rela menolak laki-laki sepersepuluhnya sultan ini. Begitu bodohnya jika sampai aku menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Ternyata tak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya. Pilihan mereka tetap yang terbaik. Aku masih memandangnya dalam diam. Menatap wajahnya lamat-lamat. Aroma bumbu ayam di penjuru ruangan ini semakin menambah kadar ketampanan wajahnya. Kenapa aku tak menyadari hal itu sebelumnya. Lalu sebuah notifikasi whatsapp membuatku tersentak.[Ayu, yang sabar ya. Aku udah dapet tumpangan. Sebentar lagi aku sampai. Kamu di mana?]Tiba-tiba saja pesan dari Sari membuatku merasa sedang berada dalam masalah. [Nggak jadi, Yu. Rencana kita batal,] balasku dengan cepat. [Kamu balik lagi aja. Mas Aryo nggak bisa berpindah ke lain hati katanya.][Maaf, ya, Sar.]Aku langsung menutup ponsel ke atas meja. Tak ada satu pun balasan yang masuk, meski
"Mas, pulang kuliah, Ayu kerja di restoran, ya?" pintaku saat kami bersantai di balkon kamar. "Ngapain kerja, Yu. Kalau mau apa-apa bilang aja sama, Mas," sahutnya dengan lembut. "Biar nggak bosan, Mas. Dari dulu Ayu ingin sekali bekerja bantu Ibu sama Bapak. Tapi nggak pernah diijinin.""Itu kan karena kamu harus fokus kuliah dulu.""Lho, Mas kok tau?""Tau dong. Semua orang tua kan inginnya begitu.""Boleh ya, Mas?""Belum ada lowongan yang kosong, Yu. Lagian kan kamu kuliahnya pagi. Gimana mau kerja di kantor?"Kenapa sih Mas Aryo selalu peka. Selalu tahu tentang keinginan dan cita-citaku bekerja sebagai pegawai kantor. "Ayu kan belum jadi sarjana, Mas. Mana mungkin Ayu minta posisi di kantor."Lagi pula mana mungkin aku berani, sedangkan aku tahu bahwa Fandi sudah duluan bekerja di kantor mereka. Aku tidak mungkin bertemu dengannya. Apa lagi membiarkan Mas Aryo sampai tahu kalau kami pernah pacaran. "Boleh ya, Mas?" Aku kembali merengek. Dia diam sejenak, lalu tersenyum menga
Oh, ya ampun! Bagaimana ini? Kenapa Fandi bisa ada di sini? Bukannya kemarin dia bertugas di kantor pusat? Kenapa tiba-tiba pindah ke tempatku? Dia mulai menyapa kami satu persatu dengan senyuman. Sampai pada akhirnya ia sampai ke arahku. Raut keterkejutan terlihat di wajahnya. Sejurus kemudian mata kami saling beradu. Aku langsung menunduk, menjatuhkan pandangan ke lantai. Apa-apaan ini. Kenapa dia harus berada di tempat ini. Kalau ketahuan sama Mas Aryo kami pernah pacaran, bagaimana? Bukan hanya dia yang terancam dipecat. Tapi juga posisiku sebagai Nyonya Bos Ayam, atau bahkan di hatinya. Aku harus apa? Atau aku saja yang resign dari tempat ini? Tapi aku baru saja beradaptasi. Atau sebaiknya aku jujur saja, agar Mas Aryo mengembalikan Fandi ke habitatnya semula di kantor pusat. Ah, tidak. Iya kalau Mas Aryo mengerti dan mengembalikannya baik-baik. Kalau ternyata dia marah dan cemburu, merasa dibohongi, dan akhirnya memecat Fandi, bagaimana? Kasihan juga Fandi. Kehidupannya jug
Lagi-lagi Mas Aryo mempertanyakan hal-hal yang seharusnya tak perlu kujawab. Kupikir semuanya sudah berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Menikahi pengusaha muda merupakan hal keberuntungan buatku. Kenapa harus terusik karena masalah dengan Fandi?"Ayu lupa, Mas. Mahasiswa di sana kan banyak. Mana bisa Ayu tandai satu persatu. Apa lagi bukan teman seangkatan. Ayu kan jarang bergaul." Aku terpaksa berdusta demi kebaikanku dan juga Fandi."Oh, ya udah kalau nggak kenal." Mas Aryo tersenyum memandangku.Tapi kali ini senyumnya terkesan datar. Bibirnya tak sampai membentuk bulan sabit seperti biasa."Mas Aryo mau Ayu pijat?" bujukku, mengalihkan perhatian."Nggak usah, Yu. Mas nggak capek kok. Kita tidur aja, yuk.""Oh, ya udah, Ayu juga udah ngantuk kok.".Aku kembali mengangkat piring kotor bekas santapan gerombolan ibu-ibu arisan. Bayangkan, berapa banyak tisu yang mereka habiskan dan berserakan di atas meja. Air-air dalam gelas bertumpahan membasahi benda berbahan kayu tersebut. Mem
Aku dan Mas Aryo sama-sama menoleh, lalu saling berpandangan dengan heran. Para penggibah dan pembuli dari dapur tadi mengejar dan menyusul kami. Dengan wajah memelas, mereka menyesali apa yang sudah mereka perbuat.“Mau apa kalian?” tanya mas Aryo dengan sinis. “Maafkan kami, Pak Aryo. Kami tidak tahu tentang masalah ini sebelumnya,” ucap sang ketua memimpin jawaban.“Terserah!” ketus suamiku. Kemudian kembali merangkul bahuku untuk menaiki anak tangga. “Tunggu, Pak.” Mas Aryo menghentikan langkahnya. “ Ijinkan kami kembali bekerja di sini.”Cih! Dasar tidak tahu malu. Menjilat ludah sendiri. Jorok sekali. Seenaknya saja berkata seperti itu. Aku tidak akan sudi dan tidak akan pernah membiarkannya."Apa kurang jelas yang aku bicarakan tadi? Apa pun yang terjadi, aku tak akan pernah menerima kalian lagi. Jadi, cepat kosongkan dapur sekarang juga!" Mas Aryo kembali merangkul bahuku dan berjalan dengan cepat hingga mereka jauh tertinggal di lantai bawah."Huft... Ayu gemetaran, Mas," r
Mata nenek sihir itu langsung membelalak. Terperanjat kaget mendengar ucapan tegas dari Mas Aryo. Bukan hanya tegas, akan tetapi terdengar begitu emosi dan marah. “A_apa maksud kamu, Mas? M..maksud saya Pak. Anda sedang bercanda, kan?” Wajahnya langsung memucat seperti buntut ayam yang baru saja direbus. Bibirnya bergetar ketakutan. Aku menarik sudut bibir, melirik ke arahnya yang tadi bersikap sangat angkuh.“Apa aku terlihat sedang bercanda?” Mas Aryo menantang ucapannya dengan tegas.“Ta..tapi....” “Tidak ada tapi-tapian. Tidak ada maaf bagi kamu yang sudah berani menampar Ayu!”“Aku punya alasan, Mas. Kenapa Mas malah membela dia?” Kini nenek sihir kawe super itu tak lagi bicara dengan bahasa formal.Mendengar dari gaya bicaranya, sepertinya mereka memang sudah akrab sejak awal.“Aku tidak menerima alasan apa pun. Kamu sudah sangat keterlaluan. Aku bisa saja terima kalau Ayu dihukum karena kesalahan dalam bekerja. Tapi, tidak dengan urusan pribadinya.”“Tapi dia bukan wanita ba
Wina mengernyit heran. Memandangi wajahku yang tenang dan tak terlihat gusar seperti biasanya.“Jangan main-main, Yu. Aku serius. Kamu nggak tahu bagaimana Mbak Sinta itu. Dia selalu menggunakan kekuasaan untuk menyingkirkan orang-orang yang tidak dia suka.” Dia masih saja terlihat cemas.“Eh, tapi ngomong-ngomong, Pak Fandi beneran nggak datang?”“Iya, Yu .Mana nggak ada kabar sama sekali. Kompak banget sih kalian. Suka ngilang tiba-tiba tanpa ngasi tahu,” ledeknya.“Hush! Nanti suamiku dengar lho.” Aku terkikik geli.“Dih, canggih amat suami kamu,sampe masang penyadap segala. Suami kamu mafia, ya?” Kami berdua kembali terkikik.Eh, tapi kenapa Fandi tidak masuk hari ini? Apa karena kejadian tadi pagi? Apa dia begitu shock, hingga tak datang dan menghindari aku dan Mas AryoKan, lagi-lagi aku merasa bersalah. Kenapa sih, Fandi harus mencampur adukkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Padahal selama ini Mas Aryo tak pernah melakukan hal yang bukan-bukan untuk mempersulitnya. Pa
Reaksi macam apa itu? Nggak mungkin Mas Aryo tidak tahu apa yang terjadi saat itu. Bukankah dia selalu mengawasi setiap gerak-gerikku, bahkan seluruh karyawan dari monitor CCTV di ruangannya? Lalu, kenapa dia bersikap seolah-olah baru mendengar semua ini dariku?“Katakan, Ayu. Kapan Sinta melakukan semua itu sama kamu?” Tangannya masih setia berada di pipiku, bekas tamparan Mbak super.“Mas Aryo jangan pura-pura. Semua orang melihatnya.”“Iya, tapi kapan? Sumpah, Sayang. Mas nggak tahu apa-apa soal itu. Sekarang cepat katakan, kapan dan jam berapa dia melalukan itu.”“Kemarin sore. Sebelum Ayu nyerahin uang itu. Jangan bilang, kalau Mas pura-pura nggak liat. Ayu sama sekali nggak percaya.” Emosiku kembali meluap. Lalu menepiskan tangannya dari wajahku.“Sore kemarin Mas sedang keluar, Yu. Dari sebelum kamu datang, Mas sudah berangkat ke kandang, karena ada pertemuan para distributor. Hari hampir senja baru Mas kembali. Itu pun Mas nggak sempat ngecek cctv. Kamu liat sendiri kan, Mas
Mas Aryo sudah berdiri kokoh dengan wajah tegang di hadapan kami. Matanya terus-menerus menatap tanganku yang masih memegangi lengan Fandi agar tubuhnya tak rubuh. Lalu, aku bergegas menarik peganganku, agar pikirannya tak semakin salah paham sama Fandi."Mas Aryo ngapain di sini? Ayu nggak mau pulang. Mas Aryo nggak punya hak lagi menyuruh Ayu balik ke rumah Mas Aryo. Semua permintaan Mas Aryo udah Ayu turutin. Ayu nggak punya hutang apa-apa lagi, kan?" Aku mengucapkan langsung ke titik permasalahan."Tega kamu, Yu. Mengkhianati Mas dengan cara seperti ini. Atau jangan-jangan, kalian sekongkol ingin mempermainkan Mas selama ini?" tudingnya dengan wajah penuh amarah."Udah la, Mas. Mas Aryo nggak usah cari-cari alasan lagi buat nyalahin Ayu. Mas Aryo boleh bilang apa pun ke orang tua Ayu. Ayu terima semuanya. Tapi setelah ini, Mas Aryo nggak usah nyari-nyari Ayu lagi!"Aku melangkah pergi meninggalkan mereka berdua. Tak jadi masuk ke kampus untuk mengajukan cuti. Lalu tiba-tiba saja t
Dia sangat kaget dengan kelakuanku. Lalu, memungut amplop tadi. Menghitung lembaran demi lembaran uang merah yang aku berikan. Mas Aryo tampak tercenung sejenak, seperti sedang memikirkan sesuatu, lalu mengangguk.Dia bahkan tak bertanya sama sekali dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu sekejap."Jangan main-main dengan kata cerai, Ayu! Kita selesaikan di rumah saja, nanti!" Dia memasukkan uang itu ke dalam laci. Lalu membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas meja dan menutup laptopnya."Mas tunggu di rumah!" tegasnya kemudian. Dia melangkah pergi meninggalkan ruangan, tanpa memberi penjelasan apa-apa sama sekali. Meninggalkanku sendiri, tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi. Apa dia pikir aku masih mau pulang ke rumah itu, setelah semua yang aku alami beberapa hari ini?.Sepulang kerja, aku langsung menuju tempat kost-kosan yang baru. Masih bisa kutempuh dengan berjalan kaki dari restoran, karena posisinya masih satu lingkungan dengan area kampus. Aku memb
Malam ini aku kembali mengurung diri di dalam kamar. Tak ingin rasanya berhubungan dengan Mas Aryo. Cukup sudah semua ini. Aku tak mau berharap apa-apa lagi darinya. Dan malam ini pun Mas Aryo sama sekali tak menegur atau meminta sesuatu padaku. Kami berdua saling diam dan tak mau meminta maaf. Terserah!.Kebetulan hari ini aku tidak ada mata kuliah. Akhirnya aku memberanikan diri menghubungi Fandi untuk bertemu, mumpung Fandi belum masuk kerja.Aku menunggu di bawah pohon di area kampus, di mana aku dan Fandi sering bertemu dan mengobrol dulu."Ada apa, Yu? Tumben ngajak ketemu?" Fandi menatapku curiga. Setelah pernikahan, aku memang tak pernah lagi mengajaknya bertemu. Merasa mengkhianati suami jika hal itu aku lakukan. Namun kenyataannya sekarang berbeda. Aku dan Mas Aryo akan segera berpisah. Sudah tak ada kecocokan di antara kami."Anu, Fan. Aku mau minta tolong sama kamu," ucapku ragu-ragu."Ngomong aja, Yu. Ada apa?""Fandi, kamu punya uang, nggak?" Kulihat dia mengernyit. Ma
Aku terkejut mendengar apa yang baru saja dia ucapkan. Hak apa yang dia inginkan? Oh, iya. Bukannya sejak aku menginap di kampung, kami memang tidak pernah lagi beribadah?"Ish, nggak boleh!" Dengan cepat aku mendorong tubuhnya yang sudah separuh masuk, lalu kembali menutup pintu dan langsung memutar anak kunci."Yu, kok ditutup lagi?" Mas Aryo kembali mengetuk.Aku yang masih bersandar sambil memegangi dada yang berdebar-debar karena ucapannya tadi, masih terdiam tak menjawab."Yu," panggilnya dari balik pintu."Apa? Ayu capek. Mau tidur," sahutku."Mas juga capek, Yu.""Kalau capek tidur aja.""Mau ngambil hak dulu.""Nggak mau!""Bentar aja, Yu.""Enggak!""Mas kan masih punya hak, Yu.""Tapi, kita kan udah pisah ranjang.""Iya, di kamar Mas yang sekarang aja."Dih, mau enak-enaknya saja. Kalau ngomong tidak pernah mau mikirin perasaan orang. Apa memang seperti itu semua laki-laki?"Yu?""Pokoknya enggak.""Masa Mas harus minta sama Mbok Nah sih, Yu. Kan nggak sopan. Mbok Nah udah
Kami berdua langsung terdiam. Aku kembali mengusap air mata. Tak berani menatap wajah Mas Aryo. Kata-kata terakhirnya tadi masih meninggalkan luka di hatiku. Dia bahkan sudah tak menganggapku siapa-siapa lagi sekarang."Maaf, Pak. Kalau suara kami mengganggu ketenangan Bapak," ucap Fandi mewakili permohonan maaf kami."Kalian ini apa benar-benar pacaran?" tanyanya kemudian.Aku langsung melotot tajam ke arahnya. Merasa tak percaya dengan kata-kata jahat yang keluar dari mulutnya. Bukankah kemarin dia sendiri yang bilang kalau percaya dan sudah memaafkanku? Kenapa sekarang dia malah menuduhku seperti ini?"Tidak, Pak. Tidak ada hubungan apa-apa di antara kami.""Tapi saya perhatikan, kamu kelihatan perhatian sekali sama Ayu. Atau jangan-jangan, kamu memang suka sama dia?"Dadaku semakin panas dibuatnya. Kenapa Mas Aryo begitu tega bicara lancang seperti itu di hadapanku. Apa sebenarnya yang dia inginkan."Bukan seperti itu ceritanya, Pak. Sebenarnya saya tidak ingin bilang, tapi hubung