Kami semua sudah berkumpul di ruang guru, tinggal menunggu pak kepala sekolah keluar dari ruangannya agar sidang ini di mulai. Aku duduk bersebelahan dengan Tari. Sedangkan Thalita duduk di tengah-tengah dua dayangnya, Suri dan Nora yang di batasi satu meja panjang dari kami. Dan di hadapan kami berlima, belasan guru sudah menempati tempat duduknya masing-masing. Silih berganti memperhatikanku dan Thalita, dan saling berbisik-bisik.Aku fikir memasuki ruang guru tidak akan semenegangkan ini karena aku jelas tidak bersalah. Namun nyatanya jantungku masih saja deg-degan tidak karuan. Apalagi, tepat di hadapanku ada pak Askari yang sedari tadi sering kali mencuri pandang. Hingga membuatku semakin serba salah."Kita pasti menang, Beb. Tenang sajalah." terdengar Suri menenangkan Thalita yang tak kalah tegangnya dariku. Tangannya tampak meremas ke dua tangan sahabatnya seraya bibirnya yang terus bergerak sedari tadi. Mungkin saja ia berdzikir minta perlindungan. Eh, apa mungkin manusia seli
"Dek, ini uang yang tadi pagi aku bilang. Titip salam sama Mesi, ya." titahku pada Ayana siswi smp yang tadi pagi meminta sumbangan ke kelas.Ia tampak kikuk merima uang yang aku berikan. Lama memperhatikan lembaran uang berwarna merah itu baru mau memasukkannya ke dalam kotak."Tenang saja. Itu bukan uang curian kok." ujarku akhirnya. Aku seperti bisa membaca isi fikirannya. Karena yang mereka tahu aku ini hanyalah anak dari penggarap sawah yang tentunya untuk makan saja susah.Ia tersenyum cengengesan. Nampak sekali jika bibirnya di tarik paksa demi menghargai ucapanku. "Iya, kak. Makasih banyak ya. Nanti kami titipin salam kakak, deh."Aku mengangguk. Lalu beralih mengambil sepedaku di sudut parkiran sekolah. Sore ini aku harus mampir ke pasar sore dulu untuk membeli bahan-bahan kue, kata ayah bahan kue ibu sudah habis dari kemaren. Ibu sebenarnya tidak berjualan kue, namun ibu hobby memasak yang membuatnya seperti seorang pedagang. Seharian bahkan separoh waktunya habis di dapur
Pak Askari hanya menjawab pertanyaanku dengan senyuman. Lalu membuka pintu mobilnya dan mempersilahkanku masuk. Rasa gugup yang sedari tadi tumbuh semakin membuncah, apalagi melihat senyumnya yang tak putus-putus saat menatapku. Membuatku semakin ge er saja. Emangnya kalau aku jatuh cinta benaran dia mau tanggung jawab?"Silahkan masuk, Nona."Selayaknya gerakan seorang prajurit pada ratunya, pak Askari membungkukkan sedikit badannya seraya mengatupkan kedua tangan sejejer dada. Pandai sekali membuatku meleleh begini. Andai ada jurus menghilang, sudah ku putuskan untuk pergi saja dari hadapannya dari pada membuat otakku semakin tak waras."Maryam duduk di belakang saja, Pak. Segan." ujarku, lalu membuka pintu mobil belakang dan memasukinya.Bukan tidak mau duduk bersebelahan dengan guru tampan seperti dia. Namun aku cukup takut jika rasa janggal ini semakin membahana. Cita-citaku masih tinggi, urusan cinta mundur dulu.Pak Askari terdengar mendengkus, dan menutup kembali pintu mobil y
"Hati-hati di jalan nak Aska. Lain kali mampir lagi ke sini." Ayah melambaikan tangan di saat mobil hitam mengkilat itu berangsur dari parkiran samping rumah yang di sambut dengan klakson mobil pak Aska. Senyum ayah selalu terlihat merekah, begitupun dengan ibu. Nampaknya kehadiran pak Aska memang mengurungkan rindu mereka pada kakakku yang kini jauh di negara orang."Pak Aska itu siapa sih, Bu? Nampaknya akrab banget."Aku menggandeng tangan ibu menuju rumah setelah mobil mewah itu menghilang dari ujung halaman. Rasa penasaranku sudah di ubun-ubun. Jika tidak segera ku utarakan pertanyaan bisa-bisa jadi gila.Sedari tadi saat ku tanyakan, ibu hanya banyak alasan agar menunda penjelasan. Kata beliau, tunggu pak Aska pulang dulu baru aku di beritahu. Nah sekarang, mungkin waktu yang tepat."Dia teman kecilnya kakakmu. Masa lupa?"Ibu menautkan kedua alisnya. Sedang aku kembali berfikir untuk kembali ke masa lalu. Namun yang mananya? Rasanya kak Anjela memiliki banyak teman di masa ke
"Bagaimana Mar? Duh....Udah kebelet ini, sampai mau muntah."Susi terus meringis sembari memegangi perutnya. Kasihan juga, tidak tega aku membiarkannya menahan hajat seperti ini hanya karena ia teman komplotannya Thalita. Dengan lemah aku mengangguk, mengajaknya ke rumah dengan meminjam sepeda salah seorang teman masa kecilku agar kami tidak berjalan kaki. Rumahku memang tidak terlalu jauh dari masjid ini, tapi bagi Susi yang tengah kebelet tentu saja akan merasa sangat jauh."Mar.....Kamu yang benar mau boncengin aku pakai sepeda ini?"Susi tampak ragu. Netranya terus menyisir ke arah sepeda tua yang sudah aku keluarkan dari barisan parkiran."Iya. Emangnya kenapa?"Ia tersenyum kecut, "Gak ada motor atau mobil gitu?""Gak ada. Ini saja sepeda milik temanku. Kalau kamu tidak mau ya sudah. Kita jalan kaki." ujarku dan membelokkan kembali sepeda ini ke dalam parkiran."Eh...Eh...Tunggu, Mar...Jangan gitu, dong. Ayo deh. Udah gak tahan ini."Ia mencekal tanganku. Walau masih tampak tak
"Gak, ah. Ogah. Entar kalau kemasukan lintah bagaimana? Iiih..Geli!"Susi bergidik. Mungkin tengah membayangkan bentuk lintah yang memiliki bentuk tubuh pipih di bagian dorsal dan kecil di bagian anteriornya. Ih...Aku saja mengingat bentuk lintah udah membuat bulu romaku meremang. Meski sebenarnya di bandar kecil ini belum pernah kami menemukan hewan licin itu kecuali belut dan sejenisnya serta ular sawah."Hanya ini yang ada, Sus. WC di rumah pada jorok semua. Bagaimana?"Ia tampak menyerungut. Dan aku, sebenarnya sudah ingin terbahak menertawai nasibnya. Tapi, bibir ini masih bisa ku tahan. Salahnya saja yang terlalu banyak maunya.Lama berfikir, akhirnya ia mengangguk setuju untuk berjongkok di atas potongan kayu yang terbentang di atas bandar kecil itu. Aku memutuskan menunggunya di halaman samping karena tak mungkin aku menontonnya membuang hajat. Apalagi, di situ sama sekali tidak ada penutupnya. Awalnya ia menolak ku tinggalkan dengan alasan takut karena matahari sudah hampir
"Allahu akbar.....Allahu akbar...."Alunan syahdu dari arah masjid menjadi sekat pembeciraan kami. Aku dan ibu sama sekali bahkan belum sempat menjawab pertanyaan Susi yang sedari tadi sibuk memperhatikan gambar juragan tanah yang ia tunjuk."Duh, azan....Ayo, Mar. Kita ke masjid, nanti orangtuaku nyariin."Gegas Susi bangkit dari tempat duduknya. Entahlah ia sudah melupakan pertanyaannya, atau karena sengaja mengurungkan rasa penasarannya karena azan maghrib yang sudah menggema.Aku mengikuti gerakannya. Pamit pada ibu dan kembali menaiki sepeda tua yang sedari tadi terparkir di halaman.Suara hewan-hewan kecil dari arah sawah turut meramaikan jalanan yang sudah mulai menghitam, sesekali bahkan tak sabar untuk menepuk makhluk betina yang suka menghisap darah manusia. Susi sedari tadi sudah mengomel, memaki hewan kecil itu seolah akan mengerti perkataannya. "Iiih....Dasar nyamuk tidak tahu diri. Kalau mukaku membengkak karena gigitan kalian bagaimana? Mar...Cepatin lagi dong, nyamuk b
"Jadi bagaimana, Tari? Maryam yang ngajarin atau Bapak?"Tanya ayah setelah beliau selesai mengobrol melalui telvon. Entah dengan siapa, tapi sempat terdengar olehku jika yang di bahas ayah mengenai kebun sawit yang harus di panen sabtu depan."Bapak sajalah. Kalau sama Maryam ribet, gak sabaran." "Lah...Kamu aja kali Say yang susah nangkepnya. Udah di jelasin malah gak ngerti-ngerti." protesku."Habis susah kali. Kenapa sih di dunia ini harus ada yang namanya matematika, bahasa inggris? Huffh..." Ia mulai menyerungut. Mengeluarkan bukunya dari dalam tas beserta pena dan tipe-x"Silahkan baca soalnya."Perintah ayah akhirnya. Selama ini Ayah memang sering mengajari kami matematika, bahkan sejak kami duduk di bangku kelas satu Sd. Padahal, seharusnya ibulah yang duduk di sini secara beliau seorang sarjana lulusan S2 di universitas ternama di Jakarta. Namun, setiap di minta di ajarin PR ibu selalu mengelak. Kata beliau, ayah jauh lebih cerdas di bandingkan dirinya. Sarjananya katanya
"Terima aja, kali bisa ngilangin suntuk." sahut Tari. Mendengarnya, aku kembali berfikir. "Bagaimana kalau dia punya niat buruk?""Masa iya kak Vino kayak gitu?""Yah, namanya juga laki-laki." aku bergidik ngeri mengatakan itu. Pasalnya, akhir-akhir ini sudah cukup banyak para remaja yang punya kelakuan di luar batas. Berprilaku brutal, mengedepankan ego, emosi, dan juga nafsunya. Hingga tak sedikit para wanita yang menjadi korban akibat peegaulan yang tak terjaga.Ku tahu wanita di dalam Islam sangat dijaga kehormatannya, karena dalam Islam wanita dipandang sebagai perhiasan yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Sebagai bukti bahwa wanita didalam Islam diwajibkan untuk menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya, secara tidak langsung semua itu menandakan bahwa wanita dalam Islam adalah suatu hal yang berharga.Wanita di dalam Islam memiliki aurat yang harus dijaganya dari orang-orang yang bukan mahramnya. Karena dikhawatirkan bisa mengundang hawa nafsu kaum A
"Belajar yang baik. Saya yakin suatu saat nanti kamu bakalan menjadi gadis yang sukses dan mendapatkan jodoh yang terbaik."Pak Askari mengelus kepalaku. Ia tersenyum namun bukan denganku. Ku tahu kalau sebentar lagi ia akan menjadi milik wanita lain, namun salahkah jika perasaan ini masih memiliki sisa cinta untuknya? Di balkon ruang kelas ini, aku dan pak Askari menikmati hembusan angin dengan segelintir cahaya yang menyapa kulit. Tak ada perjanjian awalnya, tiba-tiba setelah bel istirahat berbunyi beliau menemuiku dan mengajakku berbicara empat mata.Satu minggu setelah kepergian ayah, aku baru masuk sekolah hari ini. Itupun bukan karena batin dan fisik kembali kuat namun tuntutan pendidikan yang harus bagaimanapun akan aku kejar. Selain demi menjalani permintaan terakhir ayah, tentunya demi masa depan. Ku harap, akan ada pelangi yang menerpa setelah sekian lama di guyur hujan. Semangat memang mungkin sudah berkurang, tapi bukankah tetap akan sampai walau hanya berjalan terseok-seo
[Mar...Kalau sudah pulang sekolah, datang ke rumah sakit, ya. Ayah nanyain kamu dari tadi.]Satu pesan dari ibu di aplikasi hijau membuatku segera menukar seragam sekolah. Sebenarnya belum sampai lima menit aku tiba di rumah, namun sebelum mengganti baju aku lebih dulu menyantap makan siang karena saat di sekolah malas ke kantin. Sekejam itu rupanya jika bermasalah dengan hati. Pantas saja orang-orang bilang lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati.Di rumah ini hanya ada aku dan Bibi. Bang Rofiq memang dari semalam belum juga pulang dari rumah sakit karena tak mau membiarkan ibu di sana sendirian. Sedangkan para pekerja perkebunan yang biasa nginap di sini sudah kembali bekerja. Hari ini adalah hari panen sawit dan coklat yang mana besok pagi harus di antarkan langsung ke pabriknya."Mbak Anjela tadi jam sepuluh pulang loh, Neng. Tahu, kan?"Saat aku memasang kaos kaki baru, bibi mendatangiku. Ia tengah membawa mangkok kecil berisi bibit cabe rawit juga bibit terong kampung."Pulan
Usai kedatangan pak Fajri ke rumah sakit, akhirnya pihak polisi memutuskan untuk mengamankan Thalita di penjara. Pak Fajri lah sebenarnya yang ikut mengurus semua permasalahan ini, sedangkan aku masih saja sungkan untuk mengusut lebih jauh karena Thalita anaknya pak Fajri. "Saya ikhlas jika Thalita menerima semua ganjaran atas apa yang sudah ia lakukan. Saya akan ikut mencari keberadaannya agar segera di proses hukum." titah pak Fajri waktu itu."Maaf, Pak. Anggap saja apa yang sudah menimpa kami ini sebagai musibah. Masalah Thalita, sudah kami maafkan." ujar ibu berusaha menenangkan. Tapi, pak Fajri tidak mau menerima kalimat ibu. Katanya, Thalita hanya akan terus-terusan merasa enjoy jika setiap kesalahannya di beri maaf.Dua hari setelah pertemuan itu, akjirnya jejak Thalita bisa kami ketahui. Rupanya, ia berada di rumah kosan bu Meri yang berada tak jauh dari komplek Rizano."Akhirnya musuh terbesarmu minggat juga, Say. Gak sabar melihatmu hidup tenang kayak dulu lagi." ujar Tari
"Maaf, Pak. Maryam tidak bisa jika syaratnya harus seperti itu." tukasku dengan bibir bergetar. Dalam hati ini cukup perih mengatakan kalimat itu, namun apa daya? Pendidikanku harus aku utamakan. Seperti Tari bilang, andai pak Askari benar-benar menyukaiku pastilah ia sabar menungguku dan bisa menenangkan mama Renata.Kepala pak Askari seketika mendongak. Matanya tak kalah berkaca-kaca dan siap turun membasahi wajahnya. "Ja-jadi kamu mau mundur?""Jika syaratnya seperti itu, saya mundur. Maaf, Pak."Aku membungkukkan sedikit kepala dengan kedua tangan aku telungkupkan. Lalu, beranjak dari kursi dan mengajak Tari untuk pulang. Percuma berlama-lama berada di sini. Hanya akan menambah goresan di hati yang akan susah di sembuhkan. Aku percaya, jika pak Askari tidaklah akan memilihku di bandingkan mamanya. Karena ia tipe lelaki yang tak bisa membantah keinginan orangtua ataupun kakak-kakaknya selama ini.Dari halaman cave ini, aku masih melihat pak Askari berdiri di samping meja yang sedar
Aku tidak menyangka jika ponsel ini milik Thalita. Ponsel yang dulunya ia bilang hilang karena aku curi. Kini, malah ada di tanganku. Membuat kecurigaan besar jika ialah pelaku kebakaran waktu itu."Kita harus menyelidiki semua ini, Say. Jangan biarkan lagi penjahat seperti Thalita berkeliaran." ujar Tari antusias."Terus kita harus ke kantor polisi sekarang?"Ia mengangguk. Lalu mengajakku berangkat menuju kantor polisi yang ada di pusat kabupaten. Kata Tari, kasus ini akan mudah di selidiki jika kami pergi ke kantor kabupaten. Soalnya di sana ada adik ibunya yang bekerja sebagai polisi daerah.Cukup tiga puluh menit waktu yang kami butuhkan untuk sampai di halaman kantor. Untungnya, pamannya Tari mudah kami jumpai karena ia tengah berada di lapangan bersama teamnya.Permasalahan ini langsung di adukan oleh Tari seditel mungkin. Tak lupa ia menyerahkan barang bukti yang aku temukan pagi tadi juga membeberkan masalah demi masalah yang selama ini Thalita torehkan."Baiklah. Sekarang ka
"Akhirnya.....Gak berpaling juaranya, Say." Tari memelukku saat aku maju ke depan. Setelah pengumpulan nilai ulang dari seluruh majlis guru yang mengajar ke kelas sepuluh, akhirnya hasil konkritnya sudah bisa di ketahui. Bahagia sekali, pasrah yang sedari tadi ku tanamkan kini malah berubah jadi hamdalah.Seperti biasa, kami para juara kelas akan mendapatkan piala, piagam, juga hadiah uang tunai. Dan hadiah itu, di berikan langsung ke tangan wali siswa yang berhadir hari ini."Alhamdulillah. Semua ini karena pertolongan Allah, Say. Padahal tadi aku udah pasrah, loh." ujarku membalas pelukannya."Pasrah tapi tak rela, bukan?" ledeknya."Persis." ujarku yang membuat ia cekikikan.Bang Rofiq sudah menerima reward dari sekolah, begitupun para wali siswa yang lain. Kini, saatnya pulang ke rumah untuk mengganti baju, lalu berkunjung ke rumah sakit untuk memperlihatkan semua ini pada ibu.Baru saja mobil terparkir di halaman, mama Renata dan kakak perempuannya pak Askari menghampiri yang bar
Sudah dua minggu lamanya ayah di rawat di rumah sakit, dan sampai kini belum ada tanda-tanda kebaikan yang bisa kami lihat dari perkembangannya. Ayah tak sadarkan diri, semua itu akibat benda keras yang mengenai kepalanya. Andai sudah sadarpun, kata dokter besar kemungkinan akan lupa ingatan, tapi semoga saja Allah beri perlindungan agar hal buruk itu tidak terjadi.Dari tiga hari yang lalu, aku pun tak lagi tinggal di rumah Tari. Kini kami memulai hidup baru di sebuah komplek Villa Gorden yang letaknya tak cukup jauh dari rumah sakit ini. Rumah itu kata ibu di dirikan atas namaku, sengaja ayah sembunyikan selama ini karena akan di jadikan surprise saat pernikahanku nanti yang entah tahun ke berapa akan terjadi. Ayah tak hanya mendirikan rumah untukku, tapi juga untuk bang Rofiq dan kak Anjela. Hanya saja, rumah mereka cukup jauh dari sini dan tak mungkin kami bisa bolak balik dari rumah sakit ke sana.Rumah ini cukup bagus menurutku. Nuansanya yang menyerupai rumah-rumah klasik pilar
IUU....IUUU...IUUU....Suara mobil pemadam kebakaran yang beruntun melewati jalanan desa membuat bang Ramli menepi ke samping halaman masjid. Jika tidak, tentu saja mobil itu tidak akan bisa lewat padahal tampaknya mereka sedang buru-buru.Masyarakat pun berlari berduyun-duyun ke arah barat sana, ke arah rumahku yang letaknya memang di penghujung kampung. Perasaan tak enakku semakin menjadi-jadi, apalagi beberapa bapak-bapak tang tengah berlari menyebut nama ayah. Ku panjatkan do'a berulang kali meminta keselamatan atas segala mara bahaya, setelah jalanan bisa di lalui barulah mobil bisa meluncur dan tiba di halaman yang kini sesak dengan manusia.Amukan api terlihat menjulang hampir mencapai langit yang kini sudah tak berwarna biru. Hempasan kayu juga atap yang beradu ke bawah sebab di lalap api mengundang suara bising luar biasa. Rumah mewah yang dari dulu menaungiku kini sudah menghitam, menjadi santapan api yang entahlah masih ada nanti yang tersisa. Tubuhku gemetar, berteriak mem