"Allahu akbar.....Allahu akbar...."Alunan syahdu dari arah masjid menjadi sekat pembeciraan kami. Aku dan ibu sama sekali bahkan belum sempat menjawab pertanyaan Susi yang sedari tadi sibuk memperhatikan gambar juragan tanah yang ia tunjuk."Duh, azan....Ayo, Mar. Kita ke masjid, nanti orangtuaku nyariin."Gegas Susi bangkit dari tempat duduknya. Entahlah ia sudah melupakan pertanyaannya, atau karena sengaja mengurungkan rasa penasarannya karena azan maghrib yang sudah menggema.Aku mengikuti gerakannya. Pamit pada ibu dan kembali menaiki sepeda tua yang sedari tadi terparkir di halaman.Suara hewan-hewan kecil dari arah sawah turut meramaikan jalanan yang sudah mulai menghitam, sesekali bahkan tak sabar untuk menepuk makhluk betina yang suka menghisap darah manusia. Susi sedari tadi sudah mengomel, memaki hewan kecil itu seolah akan mengerti perkataannya. "Iiih....Dasar nyamuk tidak tahu diri. Kalau mukaku membengkak karena gigitan kalian bagaimana? Mar...Cepatin lagi dong, nyamuk b
"Jadi bagaimana, Tari? Maryam yang ngajarin atau Bapak?"Tanya ayah setelah beliau selesai mengobrol melalui telvon. Entah dengan siapa, tapi sempat terdengar olehku jika yang di bahas ayah mengenai kebun sawit yang harus di panen sabtu depan."Bapak sajalah. Kalau sama Maryam ribet, gak sabaran." "Lah...Kamu aja kali Say yang susah nangkepnya. Udah di jelasin malah gak ngerti-ngerti." protesku."Habis susah kali. Kenapa sih di dunia ini harus ada yang namanya matematika, bahasa inggris? Huffh..." Ia mulai menyerungut. Mengeluarkan bukunya dari dalam tas beserta pena dan tipe-x"Silahkan baca soalnya."Perintah ayah akhirnya. Selama ini Ayah memang sering mengajari kami matematika, bahkan sejak kami duduk di bangku kelas satu Sd. Padahal, seharusnya ibulah yang duduk di sini secara beliau seorang sarjana lulusan S2 di universitas ternama di Jakarta. Namun, setiap di minta di ajarin PR ibu selalu mengelak. Kata beliau, ayah jauh lebih cerdas di bandingkan dirinya. Sarjananya katanya
"Maryam....."Baru saja mau masuk ke dalam kelas, suara pak Askari sudah terdengar dari belakang hingga membuatku dan Tari seketika menoleh.Tari mulai meremas-remas jemariku dengan tatapannya yang lurus ke arah depan sambil senyum-senyum tak jelas. Mungkin sudah kemasukan jin qorinnya pak Askari ini bocah."Iya."Jawabku seadanya. Aku masih kesal padanya, mengingat dia satu jam yang lalu berduaan dengan bu Meri menghilangkan keramah tamahanku. Sebenarnya, aneh bukan sih? Aku cemburu pada orang yang belum tentu menyukaiku. Hufh....Netralkan fikiran ini Tuhan...."Ba'da zuhur kita ke acara akekahan ponakan saya. Kamu siap-siap." ujarnya yang langsung membuatku dan Tari langsung tatap.Ini maksudnya bagaimana, ya? Ada yang bisa jelasin gak, nih?Setelah mengatakan itu, pak Askari main pergi begitu saja bahkan tanpa meminta persetujuan dariku. Sedangkan Tari, langsung tancap gas mengejar langkahnya guru muda itu. "Pak, masa iya cuma Maryam saja yang di ajak. Tari, tidak?" ujarnya cengeng
Mataku sampai tak bisa berkedip menatap layar ponsel yang berisi pesan singkat pak Askari itu. Entah kalimat apa lagi yang harus aku ketik, cukup dengan kalimat terakhirnya memusnahkan semua kamusku. Tapi, kalau di fikir-fikir pak Askari ini memang tak ada pekanya sama sekali. Aku fikir, cara fikirnya akan sama seperti di fim-film romance yang ada di tipi tipi. Peka jika di katakan tidak ada baju dan berakhir mengajak ke mall atau ke boutique, misalnya. Nah ini, solusinya malah di luar ekspetasi.Akhirnya aku memutuskan mengambil gamis abaya Turki berwarna hitam longgar dan jilbab segi empat berwarna salem. Hanya warna ini yang sedikit nyangkut di mataku yang menurutku bisa menemani pak Askari ke acara kekahan kemenakannya selain aku yang memang mencintai baju-baju warna gelap. Tapi nanti sebelum pergi bisa ku minta dulu pendapat ibu mengenai penampilanku. [Pak, sabar sebentar lagi ya. Ini aku udah selesai.]Ku kirim satu pesan pada pak Askari. Berharap ia bisa sabar sebentar lagi k
"Kalau mau nangis, nangis aja Mar. Jangan di tahan-tahan." ujar pak Askari dengan santainya. Setelah membuat hatiku acak-acakan begini bukannya nenangin malah di suruh nguras air mata. Ya Tuhan....Kenapa sih guru satu ini nyebelinnya over banget, melebihi mulut-mulut para netizen. Tahu gini gak bakalan mau tadi di ajak ke acara akekahan keluarganya."Gak ada yang mau nangis." sahutku secuek mungkin.Padahal mah kondisi hatiku sudah meraung-raung sedari tadi. Gak tau, kesel aja bawaannya. Dikirain bakalan tambah kepincut jika jalan bareng begini. Nah ini, kayaknya malah makin sebel."Masa? Itu bibir udah kedut-kedut loh dari tadi nahan nangis. Kalau mau nangis, nangis aja. Nih, banyak stok tisu. Tapi, jangan kelamaan juga nangisnya. Entar malah kesurupan." ujarnya lagi sembari memperlihatkan lima kotak tisu dan meletakkannya di hadapanku."Kalau Maryam kesurupan enak dong, Pak. Biar bisa nyekek Bapak sekalian." timpalku sok sengit.Namun, di detik kemudian senyum lebar seketika terb
Sebelum pak Askari benar-benar mengabulkan ucapannya aku lebih dulu melepas sepatu dan berjalan setengah berlari ke arah mereka. Siapa pula yang mau di gendong di khalayak ramai begini. Malu. "Mar...Aku ke sana dulu ya. Sepertinya ada saudara mamaku deh di sana sama suaminya. Entar aku gabung lagi. Dadah pak ganteng..." Tari menunjuk segerombolan para tamu yang tengah duduk di ujung halaman dan berlari begitu saja bahkan belum sempat ku setujui. Jadi, ini ceritanya aku akan jalan berduaan gitu, sama pak Askari? Duh, udah gak kebayang gimana nanti ceritanya kalau udah ketemu sama keluarga baru. Eh, ngarep."Pak, kita gak makan dulu, nih? Maryam udah laper banget dari tadi. Cacing di perut udah pada demo." tanyaku pada pak Askari yang menembus kerumunan begitu saja tanpa berniat singgah untuk mengambil makanan. Padahal sedari tadi aroma rendang daging sudah menguar ke penciuman, membuat selera makanku semakin naik 180 derajat. "Kita ke tempat keluarga saya dulu. Emangnya gak mau kenal
Bel istirahat akhirnya berbunyi juga. Aku sudah sedari tadi menahan pipis karena tidak di izinkan keluar oleh pak Askari. Aku tidak menyatakan alasanku karena masih memendam sakit hati, aku fikir pak Askari mendekatiku bukan karena suka padaku kecuali karena ingin menjadi suami dari kak Anjela. Obrolan mama Renata dan mbak Rachel hampir saja membuatku tidak bisa tidur semalaman. Rupanya begini rasanya sakit hati yang sering di keluhkan orang-orang.Usai pak Askari mengucapkan salam aku langsung lari ke arah pintu. Sama sekali tak ku hiraukan panggilannya karena sudah tak mampu menahan."Untuk apa, sih Bapak manggil-manggil anak penggarap sawah itu?"Masih terdengar Thalita berkomentar. Namun, karena aku sudah keburu lari entah apa lagi jawaban pak Askari menanggapi kalimat siswinya itu.Toilet sekolah letaknya di lantai satu, berdekatan dengan kelas dua belas yang sengaja ruangannya terpisah dari kelas SMA yang lain. Tujuannya karena mereka harus fokus belajar dan tidak terganggu ole
"Papa saya yang cerita. Satu minggu yang lalu beliau membeli tanah sama juragan yang bernama bapak Abidzar Mahavir. Di saat perjumpaan itulah papa saya bertanya banyak hal pada ayahmu, dan katanya dia juga memiliki putri yang bersekolah di sini. Namanya Maryam. Di sekolah ini hanya kamu, kan yang bernama Maryam? Dan setelah saya cari tahu, hanya kamu juga yang memiliki nama ayah seperti juragan tanah itu. Benar, Mar. Saya saja sempat kaget," ceritanya panjang lebar sembari terkagum-kagum.Aku dan Tari hanya manggut-manggut mendengarkan ceritanya. Entah kenapa saat mendengar penuturannya seakan tengah ada udang di balik batu. Kenapa mengajakku bertemu seperti ini setelah tahu siapa ayahku sebenarnya? Dulu, kemana saja? Bahkan melirikku saja mungkin tidak pernah."Ah, iya. Surat ini kamu bawa saja, baca di kelas atau saat berada di rumah saja. Entar malah shock lagi," lanjutnya masih tersenyum ramah.Aku menautkan alis, mencoba menerka-nerka isi dalam amplop ini hingga kak Vino terliha
"Terima aja, kali bisa ngilangin suntuk." sahut Tari. Mendengarnya, aku kembali berfikir. "Bagaimana kalau dia punya niat buruk?""Masa iya kak Vino kayak gitu?""Yah, namanya juga laki-laki." aku bergidik ngeri mengatakan itu. Pasalnya, akhir-akhir ini sudah cukup banyak para remaja yang punya kelakuan di luar batas. Berprilaku brutal, mengedepankan ego, emosi, dan juga nafsunya. Hingga tak sedikit para wanita yang menjadi korban akibat peegaulan yang tak terjaga.Ku tahu wanita di dalam Islam sangat dijaga kehormatannya, karena dalam Islam wanita dipandang sebagai perhiasan yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Sebagai bukti bahwa wanita didalam Islam diwajibkan untuk menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya, secara tidak langsung semua itu menandakan bahwa wanita dalam Islam adalah suatu hal yang berharga.Wanita di dalam Islam memiliki aurat yang harus dijaganya dari orang-orang yang bukan mahramnya. Karena dikhawatirkan bisa mengundang hawa nafsu kaum A
"Belajar yang baik. Saya yakin suatu saat nanti kamu bakalan menjadi gadis yang sukses dan mendapatkan jodoh yang terbaik."Pak Askari mengelus kepalaku. Ia tersenyum namun bukan denganku. Ku tahu kalau sebentar lagi ia akan menjadi milik wanita lain, namun salahkah jika perasaan ini masih memiliki sisa cinta untuknya? Di balkon ruang kelas ini, aku dan pak Askari menikmati hembusan angin dengan segelintir cahaya yang menyapa kulit. Tak ada perjanjian awalnya, tiba-tiba setelah bel istirahat berbunyi beliau menemuiku dan mengajakku berbicara empat mata.Satu minggu setelah kepergian ayah, aku baru masuk sekolah hari ini. Itupun bukan karena batin dan fisik kembali kuat namun tuntutan pendidikan yang harus bagaimanapun akan aku kejar. Selain demi menjalani permintaan terakhir ayah, tentunya demi masa depan. Ku harap, akan ada pelangi yang menerpa setelah sekian lama di guyur hujan. Semangat memang mungkin sudah berkurang, tapi bukankah tetap akan sampai walau hanya berjalan terseok-seo
[Mar...Kalau sudah pulang sekolah, datang ke rumah sakit, ya. Ayah nanyain kamu dari tadi.]Satu pesan dari ibu di aplikasi hijau membuatku segera menukar seragam sekolah. Sebenarnya belum sampai lima menit aku tiba di rumah, namun sebelum mengganti baju aku lebih dulu menyantap makan siang karena saat di sekolah malas ke kantin. Sekejam itu rupanya jika bermasalah dengan hati. Pantas saja orang-orang bilang lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati.Di rumah ini hanya ada aku dan Bibi. Bang Rofiq memang dari semalam belum juga pulang dari rumah sakit karena tak mau membiarkan ibu di sana sendirian. Sedangkan para pekerja perkebunan yang biasa nginap di sini sudah kembali bekerja. Hari ini adalah hari panen sawit dan coklat yang mana besok pagi harus di antarkan langsung ke pabriknya."Mbak Anjela tadi jam sepuluh pulang loh, Neng. Tahu, kan?"Saat aku memasang kaos kaki baru, bibi mendatangiku. Ia tengah membawa mangkok kecil berisi bibit cabe rawit juga bibit terong kampung."Pulan
Usai kedatangan pak Fajri ke rumah sakit, akhirnya pihak polisi memutuskan untuk mengamankan Thalita di penjara. Pak Fajri lah sebenarnya yang ikut mengurus semua permasalahan ini, sedangkan aku masih saja sungkan untuk mengusut lebih jauh karena Thalita anaknya pak Fajri. "Saya ikhlas jika Thalita menerima semua ganjaran atas apa yang sudah ia lakukan. Saya akan ikut mencari keberadaannya agar segera di proses hukum." titah pak Fajri waktu itu."Maaf, Pak. Anggap saja apa yang sudah menimpa kami ini sebagai musibah. Masalah Thalita, sudah kami maafkan." ujar ibu berusaha menenangkan. Tapi, pak Fajri tidak mau menerima kalimat ibu. Katanya, Thalita hanya akan terus-terusan merasa enjoy jika setiap kesalahannya di beri maaf.Dua hari setelah pertemuan itu, akjirnya jejak Thalita bisa kami ketahui. Rupanya, ia berada di rumah kosan bu Meri yang berada tak jauh dari komplek Rizano."Akhirnya musuh terbesarmu minggat juga, Say. Gak sabar melihatmu hidup tenang kayak dulu lagi." ujar Tari
"Maaf, Pak. Maryam tidak bisa jika syaratnya harus seperti itu." tukasku dengan bibir bergetar. Dalam hati ini cukup perih mengatakan kalimat itu, namun apa daya? Pendidikanku harus aku utamakan. Seperti Tari bilang, andai pak Askari benar-benar menyukaiku pastilah ia sabar menungguku dan bisa menenangkan mama Renata.Kepala pak Askari seketika mendongak. Matanya tak kalah berkaca-kaca dan siap turun membasahi wajahnya. "Ja-jadi kamu mau mundur?""Jika syaratnya seperti itu, saya mundur. Maaf, Pak."Aku membungkukkan sedikit kepala dengan kedua tangan aku telungkupkan. Lalu, beranjak dari kursi dan mengajak Tari untuk pulang. Percuma berlama-lama berada di sini. Hanya akan menambah goresan di hati yang akan susah di sembuhkan. Aku percaya, jika pak Askari tidaklah akan memilihku di bandingkan mamanya. Karena ia tipe lelaki yang tak bisa membantah keinginan orangtua ataupun kakak-kakaknya selama ini.Dari halaman cave ini, aku masih melihat pak Askari berdiri di samping meja yang sedar
Aku tidak menyangka jika ponsel ini milik Thalita. Ponsel yang dulunya ia bilang hilang karena aku curi. Kini, malah ada di tanganku. Membuat kecurigaan besar jika ialah pelaku kebakaran waktu itu."Kita harus menyelidiki semua ini, Say. Jangan biarkan lagi penjahat seperti Thalita berkeliaran." ujar Tari antusias."Terus kita harus ke kantor polisi sekarang?"Ia mengangguk. Lalu mengajakku berangkat menuju kantor polisi yang ada di pusat kabupaten. Kata Tari, kasus ini akan mudah di selidiki jika kami pergi ke kantor kabupaten. Soalnya di sana ada adik ibunya yang bekerja sebagai polisi daerah.Cukup tiga puluh menit waktu yang kami butuhkan untuk sampai di halaman kantor. Untungnya, pamannya Tari mudah kami jumpai karena ia tengah berada di lapangan bersama teamnya.Permasalahan ini langsung di adukan oleh Tari seditel mungkin. Tak lupa ia menyerahkan barang bukti yang aku temukan pagi tadi juga membeberkan masalah demi masalah yang selama ini Thalita torehkan."Baiklah. Sekarang ka
"Akhirnya.....Gak berpaling juaranya, Say." Tari memelukku saat aku maju ke depan. Setelah pengumpulan nilai ulang dari seluruh majlis guru yang mengajar ke kelas sepuluh, akhirnya hasil konkritnya sudah bisa di ketahui. Bahagia sekali, pasrah yang sedari tadi ku tanamkan kini malah berubah jadi hamdalah.Seperti biasa, kami para juara kelas akan mendapatkan piala, piagam, juga hadiah uang tunai. Dan hadiah itu, di berikan langsung ke tangan wali siswa yang berhadir hari ini."Alhamdulillah. Semua ini karena pertolongan Allah, Say. Padahal tadi aku udah pasrah, loh." ujarku membalas pelukannya."Pasrah tapi tak rela, bukan?" ledeknya."Persis." ujarku yang membuat ia cekikikan.Bang Rofiq sudah menerima reward dari sekolah, begitupun para wali siswa yang lain. Kini, saatnya pulang ke rumah untuk mengganti baju, lalu berkunjung ke rumah sakit untuk memperlihatkan semua ini pada ibu.Baru saja mobil terparkir di halaman, mama Renata dan kakak perempuannya pak Askari menghampiri yang bar
Sudah dua minggu lamanya ayah di rawat di rumah sakit, dan sampai kini belum ada tanda-tanda kebaikan yang bisa kami lihat dari perkembangannya. Ayah tak sadarkan diri, semua itu akibat benda keras yang mengenai kepalanya. Andai sudah sadarpun, kata dokter besar kemungkinan akan lupa ingatan, tapi semoga saja Allah beri perlindungan agar hal buruk itu tidak terjadi.Dari tiga hari yang lalu, aku pun tak lagi tinggal di rumah Tari. Kini kami memulai hidup baru di sebuah komplek Villa Gorden yang letaknya tak cukup jauh dari rumah sakit ini. Rumah itu kata ibu di dirikan atas namaku, sengaja ayah sembunyikan selama ini karena akan di jadikan surprise saat pernikahanku nanti yang entah tahun ke berapa akan terjadi. Ayah tak hanya mendirikan rumah untukku, tapi juga untuk bang Rofiq dan kak Anjela. Hanya saja, rumah mereka cukup jauh dari sini dan tak mungkin kami bisa bolak balik dari rumah sakit ke sana.Rumah ini cukup bagus menurutku. Nuansanya yang menyerupai rumah-rumah klasik pilar
IUU....IUUU...IUUU....Suara mobil pemadam kebakaran yang beruntun melewati jalanan desa membuat bang Ramli menepi ke samping halaman masjid. Jika tidak, tentu saja mobil itu tidak akan bisa lewat padahal tampaknya mereka sedang buru-buru.Masyarakat pun berlari berduyun-duyun ke arah barat sana, ke arah rumahku yang letaknya memang di penghujung kampung. Perasaan tak enakku semakin menjadi-jadi, apalagi beberapa bapak-bapak tang tengah berlari menyebut nama ayah. Ku panjatkan do'a berulang kali meminta keselamatan atas segala mara bahaya, setelah jalanan bisa di lalui barulah mobil bisa meluncur dan tiba di halaman yang kini sesak dengan manusia.Amukan api terlihat menjulang hampir mencapai langit yang kini sudah tak berwarna biru. Hempasan kayu juga atap yang beradu ke bawah sebab di lalap api mengundang suara bising luar biasa. Rumah mewah yang dari dulu menaungiku kini sudah menghitam, menjadi santapan api yang entahlah masih ada nanti yang tersisa. Tubuhku gemetar, berteriak mem