"Bapak tadi lihat......""Enggak. Cuma karena viral aja," potongnya cepat yang membuatku semakin gugup."Duh, Pak. Maafin Maryam, ya. Semua ini gak seperti yang Bapak dengar dari cerita orang lain, kok.""Kenapa harus minta maaf? Toh hati tidak bisa dipaksakan, bukan?""Sebagaimana hati Bapak yang gak bisa dipaksakan untuk mencintai Maryam?"Ups!Kenapa sampai kelepasan begini. Aduuh!Tanpa pamit aku langsung mengambil langkah seribu, menaiki jenjang menuju lantai dua. Semoga saja perkataanku tadi tidak di dengar pak Askari, jika ia dengar bisa-bisa hancur harga diri.Tari turut berlari mengejar langkahku hingga kini kami berjalan bersisian. Detak jantungku masih jauh di atas normal, aku harus butuh penarikan nafas dalam secara berulang-ulang sebelum memutuskan masuk ke dalam kelas."Ciee....Yang udah mulai jujur dengan perasaan sendiri." ejek Tari merangkul pundakku."Ih...Mana ada. Tadi itu kecoplosan doang, Tar.""Karena kecoplosan itulah, Say. Tanpa sengaja unek-unek di hati tersa
Pak Burhan terlihat kikuk, dan sama sekali tak menjawab pertanyaan pak Askari. Namun, di detik berikutnya beliau meminta izin kepada kami untuk keluar sebentar dengan mengikuti langkah pak Askari yang sudah lebih dulu meninggalkan ruang kelas. Perasaanku jadi tidak enak dibuatnya, masalah kecil seperti ini malah mengakibatkan perpecahan pula di antara dua guru muda itu."Pak Askari tiba di waktu yang tepat," lirih Tari yang membuatku seketika menoleh."Maksudmu?""Aku yang memberitahu pak Askari kalau kamu di omeli sama pak Burhan," ujarnya tanpa merasa berdosa."Ya ampun Tari.....Gimana kalau hubungan mereka sampai renggang?""Salah pak Burhan sih, kenapa memutuskan masalah secara sepihak."Aku mendengkus, kemudian meminta izin pada ketua kelas untuk keluar sebentar. Aku ingin tahu apa yang terjadi di pojok balkon sana, mereka tak sepatutnya ribut hanya karena persoalan siswanya."Aku ikut, Say...." Tari mengejarku."Eh Tari! Gak boleh izin dua orang. Kembali lagi ke kursimu!" panggi
"Maksud saya, Bapak belum bisa menjelaskan pembelajaran dengan baik hingga siswa belum ada yang mengerti," jelas Afkar tegas. Sedangkan kami semua sudah merasa merinding. Takut jika tiba-tiba emosi pak Burhan meledak dan menghukum kami semua."Kalau anda protes, silahkan keluar!"Pak Burhan mengarahkan sebelah tangannya ke ambang pintu yang sedikit terbuka. Wajahnya merah padam, giginya bergeletuk dengan sebelah tangan yang terlihat mengepal."Saya memang harus keluar. Tapi, alangkah baiknya jika Bapaklah dulu yang angkat kaki dari kelas ini. Percuma kami datang jauh-jauh ke sini jika penjelasan bapak hanya untuk diri bapak sendiri.""Kamu yang salah! kenapa tidak belajar duluan di rumah?" protes pak Burhan. "seharusnya, kalian belajar lebih dulu di rumah hingga saat pembelajaran di berikan guru kalian sudah faham.""Jika kami mengandalkan belajar di rumah, untuk apa lagi ada bapak di sini?"Pak Burhan terdiam. Dadanya terlihat naik turun menahan gejolak amarah. Dan detik berikutnya,
Bu Meri terdiam. Begitu pun pak Burhan yang wajahnya sudah merah padam. Afkar sama sekali tak gentar mengomentari pak Burhan di hadapan para guru seperti ini, tak biasanya ia mau berbicara tegas dan mengatakan apa adanya mengenai persoalan guru dalam mengajar. "Anak seperti ini harus di skor, bu Meri. Tidak punya adab sama sekali," tunjuk pak Burhan ke arah Afkar setelah lama terdiam. Beliau memukul meja di hadapannya setelah itu hingga membuat kami semua tersentak dan mengangkat kepala."Tidak bisa seperti itu, pak Burhan. Tidak boleh asal menskor siswa sebelum permasalahan sebenarnya terungkap. Bu Meri, mungkin kita bisa tanya sama siswa yang lain apakah tuduhan Afkar tadi benar. Jika ia memang sengaja berbohong karena ingin memfitnah tentu saja itu salah dan harus kita tindak lanjuti. Namun, jika apa yang ia katakan ternyata benar, mungkin kita bisa mempertimbangkan pak Burhan untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah ini," sambut pak Askari yang langsung di setujui bu Meri."Pak A
"Assalamu'alaikum....."Aku membuka pintu rumah yang memang tak pernah di kunci dari dalam jika siang hari. Mungkin, ibu sudah cukup lama menungguku karena jam di tangan sudah hampir menunjukkan pukul dua."Wa'alaikumussalam...."Loh, ramai sekali? Di atas mejapun banyak makanan. Apa ibu kedatangan tamu?Di ruang tamu ada ibu, ayah, Tari dan orangtuanya, serta dua orang bapak-bapak paruh baya yang tidak aku kenal. Namun, melihat jumlah gelas yang terletak di atas meja tampaknya ada satu orang lagi yang tidak ada di sini. Mungkin saja sudah pulang atau karena tengah ke kamar mandi.Mereka hanya memandangku sekilas dengan senyuman. Terlihat sedikit kikuk dan melanjutkan obrolan. Aneh sekali, ada apa ini?Untuk memudarkan rasa canggung ku putuskan untuk menyalami semuanya, lalu turut duduk di dekat ibu agar bisa nimbrung dalam obrolan mereka."Bu, ada acara apa?" bisikku pada ibu yang sedari tadi senyam-senyum mendengarkan cerita salah satu bapak-bapak. Bapak itu memang terlihat sengaja
"Apa maksudmu menuduh saya seperti itu, Ta? Saya tidak ada mengambil ponselmu. Walaupun kamu anggap saya ini anak orang miskin, tapi saya tidak serendah itu." Aku menghampiri Thalita yang hendak berdiri dari kursinya setelah bel istirahat berbunyi. Tadi, aku sudah menahan emosi agar jangan sampai meledak selagi guru pertama dan ke dua masih berada di dalam kelas. Aku biarkan lirikan cemeeh teman-teman sekelas yang pastinya sudah termakan fitnah Thalita. Thalita ini sudah terlalu kejam, akalnya terlalu licik. Bahkan mau melakukan apa saja agar ia selalu berdiri di urutan pertama. Entah siapa yang mengajarinya bersifat demikian, karena pak Fajri sama sekali tak punya karakter yang sama dengannya."Loh, kok kamu datang ke meja saya langsung marah-marah gitu?" ujarnya sok tak mengerti. Padahal aku yakin, seluruh siswa di yayasan ini sudah mengetahui masalah ini akibat termakan fitnahnya. Hal itu terlihat dari cara mereka memandangku setelah tiba di lingkungan sekolah pagi tadi.Ia menged
"Bukan anak ini pelakunya," ujar pak Tarjo yang membuatku langsung berucap syukur. Alhamdulillah, semoga saja masalah ini bisa segera selesai dan Thalita mendapatkan ganjarannya atas tuduhan yang ia buat."Dan tidak pernah ada anak sekolahan yang datang kemari untuk menanyakan barangnya yang hilang. Saya yakin anak itu hanya ingin membuat masalah saja," lanjut pak Tarjo lagi yang membuat para guru saling pandang."Benar gak ada anak sekolahan yang datang kemari, Pak?" ulang bu Meri lagi. Tampaknya, ia tak begitu percaya jika murid kesayangannya berperilaku buruk seperti itu."Ya, tidak ada. Dalam setahun ini bahkan tidak ada anak sekolahan ke sini kecuali ibu-ibu atau remaja dewasa yang meminta pelet jodoh dan meminta obat.""Terimakasih pak Tarjo atas jawabannya. Kami pamit dulu dan ini ada sedikit ucapan terima kasih dari kami," ucap bu Dewi menyerahkan sebuah amplop putih.Setelah keluar dari rumah itu, aku fikir kami akan kembali pulang pada rumah masing-masing. Rupanya, bu Meri b
"Guys!""Ada juragan tanah! Yuk, minta foto bareng!"Kami yang baru saja menyelesaikan pembelajaran di jam pertama mendadak bangkit dan berkerumun ke balkon saat mendengar teriakan Thalita. Tidak ada satupun siswa yang mau ketinggalan, semua berdesak-desakan karena ingin melihat juragan tanah yang di maksud.Dari balkon ini, jelas aku melihat ayah dan bang Rofiq keluar dari dalam mobil Bugatti la voiture noire berwarna kuning. Mobil yang di beli ayah sekitar lima bulan lalu seharga 227,5 Milyar yang membuat geger seluruh indonesia. Mobil itu ayah beli langsung saat pergi ke Molsheim, Prancis bersama ibu. Mereka sengaja berlibur ke sana karena memberi hadiah ulang tahun ibu yang ke 45 tahun. Waktu itu, aku sengaja tidak mau ikut. Sesekali, membiarkan mereka berdua berlibur lebih menyenangkan bagiku. Mana tahu, pulang dari sana ibu sama ayah bisa punya dedek bayi lagi, he...he..."Waww....Keren abis! Mobilnya bagus banget guys. Itukan harganya lebih dari dua ratus milyar. Di Indonesia
"Terima aja, kali bisa ngilangin suntuk." sahut Tari. Mendengarnya, aku kembali berfikir. "Bagaimana kalau dia punya niat buruk?""Masa iya kak Vino kayak gitu?""Yah, namanya juga laki-laki." aku bergidik ngeri mengatakan itu. Pasalnya, akhir-akhir ini sudah cukup banyak para remaja yang punya kelakuan di luar batas. Berprilaku brutal, mengedepankan ego, emosi, dan juga nafsunya. Hingga tak sedikit para wanita yang menjadi korban akibat peegaulan yang tak terjaga.Ku tahu wanita di dalam Islam sangat dijaga kehormatannya, karena dalam Islam wanita dipandang sebagai perhiasan yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Sebagai bukti bahwa wanita didalam Islam diwajibkan untuk menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya, secara tidak langsung semua itu menandakan bahwa wanita dalam Islam adalah suatu hal yang berharga.Wanita di dalam Islam memiliki aurat yang harus dijaganya dari orang-orang yang bukan mahramnya. Karena dikhawatirkan bisa mengundang hawa nafsu kaum A
"Belajar yang baik. Saya yakin suatu saat nanti kamu bakalan menjadi gadis yang sukses dan mendapatkan jodoh yang terbaik."Pak Askari mengelus kepalaku. Ia tersenyum namun bukan denganku. Ku tahu kalau sebentar lagi ia akan menjadi milik wanita lain, namun salahkah jika perasaan ini masih memiliki sisa cinta untuknya? Di balkon ruang kelas ini, aku dan pak Askari menikmati hembusan angin dengan segelintir cahaya yang menyapa kulit. Tak ada perjanjian awalnya, tiba-tiba setelah bel istirahat berbunyi beliau menemuiku dan mengajakku berbicara empat mata.Satu minggu setelah kepergian ayah, aku baru masuk sekolah hari ini. Itupun bukan karena batin dan fisik kembali kuat namun tuntutan pendidikan yang harus bagaimanapun akan aku kejar. Selain demi menjalani permintaan terakhir ayah, tentunya demi masa depan. Ku harap, akan ada pelangi yang menerpa setelah sekian lama di guyur hujan. Semangat memang mungkin sudah berkurang, tapi bukankah tetap akan sampai walau hanya berjalan terseok-seo
[Mar...Kalau sudah pulang sekolah, datang ke rumah sakit, ya. Ayah nanyain kamu dari tadi.]Satu pesan dari ibu di aplikasi hijau membuatku segera menukar seragam sekolah. Sebenarnya belum sampai lima menit aku tiba di rumah, namun sebelum mengganti baju aku lebih dulu menyantap makan siang karena saat di sekolah malas ke kantin. Sekejam itu rupanya jika bermasalah dengan hati. Pantas saja orang-orang bilang lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati.Di rumah ini hanya ada aku dan Bibi. Bang Rofiq memang dari semalam belum juga pulang dari rumah sakit karena tak mau membiarkan ibu di sana sendirian. Sedangkan para pekerja perkebunan yang biasa nginap di sini sudah kembali bekerja. Hari ini adalah hari panen sawit dan coklat yang mana besok pagi harus di antarkan langsung ke pabriknya."Mbak Anjela tadi jam sepuluh pulang loh, Neng. Tahu, kan?"Saat aku memasang kaos kaki baru, bibi mendatangiku. Ia tengah membawa mangkok kecil berisi bibit cabe rawit juga bibit terong kampung."Pulan
Usai kedatangan pak Fajri ke rumah sakit, akhirnya pihak polisi memutuskan untuk mengamankan Thalita di penjara. Pak Fajri lah sebenarnya yang ikut mengurus semua permasalahan ini, sedangkan aku masih saja sungkan untuk mengusut lebih jauh karena Thalita anaknya pak Fajri. "Saya ikhlas jika Thalita menerima semua ganjaran atas apa yang sudah ia lakukan. Saya akan ikut mencari keberadaannya agar segera di proses hukum." titah pak Fajri waktu itu."Maaf, Pak. Anggap saja apa yang sudah menimpa kami ini sebagai musibah. Masalah Thalita, sudah kami maafkan." ujar ibu berusaha menenangkan. Tapi, pak Fajri tidak mau menerima kalimat ibu. Katanya, Thalita hanya akan terus-terusan merasa enjoy jika setiap kesalahannya di beri maaf.Dua hari setelah pertemuan itu, akjirnya jejak Thalita bisa kami ketahui. Rupanya, ia berada di rumah kosan bu Meri yang berada tak jauh dari komplek Rizano."Akhirnya musuh terbesarmu minggat juga, Say. Gak sabar melihatmu hidup tenang kayak dulu lagi." ujar Tari
"Maaf, Pak. Maryam tidak bisa jika syaratnya harus seperti itu." tukasku dengan bibir bergetar. Dalam hati ini cukup perih mengatakan kalimat itu, namun apa daya? Pendidikanku harus aku utamakan. Seperti Tari bilang, andai pak Askari benar-benar menyukaiku pastilah ia sabar menungguku dan bisa menenangkan mama Renata.Kepala pak Askari seketika mendongak. Matanya tak kalah berkaca-kaca dan siap turun membasahi wajahnya. "Ja-jadi kamu mau mundur?""Jika syaratnya seperti itu, saya mundur. Maaf, Pak."Aku membungkukkan sedikit kepala dengan kedua tangan aku telungkupkan. Lalu, beranjak dari kursi dan mengajak Tari untuk pulang. Percuma berlama-lama berada di sini. Hanya akan menambah goresan di hati yang akan susah di sembuhkan. Aku percaya, jika pak Askari tidaklah akan memilihku di bandingkan mamanya. Karena ia tipe lelaki yang tak bisa membantah keinginan orangtua ataupun kakak-kakaknya selama ini.Dari halaman cave ini, aku masih melihat pak Askari berdiri di samping meja yang sedar
Aku tidak menyangka jika ponsel ini milik Thalita. Ponsel yang dulunya ia bilang hilang karena aku curi. Kini, malah ada di tanganku. Membuat kecurigaan besar jika ialah pelaku kebakaran waktu itu."Kita harus menyelidiki semua ini, Say. Jangan biarkan lagi penjahat seperti Thalita berkeliaran." ujar Tari antusias."Terus kita harus ke kantor polisi sekarang?"Ia mengangguk. Lalu mengajakku berangkat menuju kantor polisi yang ada di pusat kabupaten. Kata Tari, kasus ini akan mudah di selidiki jika kami pergi ke kantor kabupaten. Soalnya di sana ada adik ibunya yang bekerja sebagai polisi daerah.Cukup tiga puluh menit waktu yang kami butuhkan untuk sampai di halaman kantor. Untungnya, pamannya Tari mudah kami jumpai karena ia tengah berada di lapangan bersama teamnya.Permasalahan ini langsung di adukan oleh Tari seditel mungkin. Tak lupa ia menyerahkan barang bukti yang aku temukan pagi tadi juga membeberkan masalah demi masalah yang selama ini Thalita torehkan."Baiklah. Sekarang ka
"Akhirnya.....Gak berpaling juaranya, Say." Tari memelukku saat aku maju ke depan. Setelah pengumpulan nilai ulang dari seluruh majlis guru yang mengajar ke kelas sepuluh, akhirnya hasil konkritnya sudah bisa di ketahui. Bahagia sekali, pasrah yang sedari tadi ku tanamkan kini malah berubah jadi hamdalah.Seperti biasa, kami para juara kelas akan mendapatkan piala, piagam, juga hadiah uang tunai. Dan hadiah itu, di berikan langsung ke tangan wali siswa yang berhadir hari ini."Alhamdulillah. Semua ini karena pertolongan Allah, Say. Padahal tadi aku udah pasrah, loh." ujarku membalas pelukannya."Pasrah tapi tak rela, bukan?" ledeknya."Persis." ujarku yang membuat ia cekikikan.Bang Rofiq sudah menerima reward dari sekolah, begitupun para wali siswa yang lain. Kini, saatnya pulang ke rumah untuk mengganti baju, lalu berkunjung ke rumah sakit untuk memperlihatkan semua ini pada ibu.Baru saja mobil terparkir di halaman, mama Renata dan kakak perempuannya pak Askari menghampiri yang bar
Sudah dua minggu lamanya ayah di rawat di rumah sakit, dan sampai kini belum ada tanda-tanda kebaikan yang bisa kami lihat dari perkembangannya. Ayah tak sadarkan diri, semua itu akibat benda keras yang mengenai kepalanya. Andai sudah sadarpun, kata dokter besar kemungkinan akan lupa ingatan, tapi semoga saja Allah beri perlindungan agar hal buruk itu tidak terjadi.Dari tiga hari yang lalu, aku pun tak lagi tinggal di rumah Tari. Kini kami memulai hidup baru di sebuah komplek Villa Gorden yang letaknya tak cukup jauh dari rumah sakit ini. Rumah itu kata ibu di dirikan atas namaku, sengaja ayah sembunyikan selama ini karena akan di jadikan surprise saat pernikahanku nanti yang entah tahun ke berapa akan terjadi. Ayah tak hanya mendirikan rumah untukku, tapi juga untuk bang Rofiq dan kak Anjela. Hanya saja, rumah mereka cukup jauh dari sini dan tak mungkin kami bisa bolak balik dari rumah sakit ke sana.Rumah ini cukup bagus menurutku. Nuansanya yang menyerupai rumah-rumah klasik pilar
IUU....IUUU...IUUU....Suara mobil pemadam kebakaran yang beruntun melewati jalanan desa membuat bang Ramli menepi ke samping halaman masjid. Jika tidak, tentu saja mobil itu tidak akan bisa lewat padahal tampaknya mereka sedang buru-buru.Masyarakat pun berlari berduyun-duyun ke arah barat sana, ke arah rumahku yang letaknya memang di penghujung kampung. Perasaan tak enakku semakin menjadi-jadi, apalagi beberapa bapak-bapak tang tengah berlari menyebut nama ayah. Ku panjatkan do'a berulang kali meminta keselamatan atas segala mara bahaya, setelah jalanan bisa di lalui barulah mobil bisa meluncur dan tiba di halaman yang kini sesak dengan manusia.Amukan api terlihat menjulang hampir mencapai langit yang kini sudah tak berwarna biru. Hempasan kayu juga atap yang beradu ke bawah sebab di lalap api mengundang suara bising luar biasa. Rumah mewah yang dari dulu menaungiku kini sudah menghitam, menjadi santapan api yang entahlah masih ada nanti yang tersisa. Tubuhku gemetar, berteriak mem