Remo menatap suaminya yang dalam tiga bulan terakhir mengalami penurunan kesehatan. Pria itu sudah tidak mampu berdiri dan duduk sendiri, ini sudah kelima kalinya dalam sebulan suaminya menjalani rawat inap.Semakin lama semakin tidak ada perubahan.“Minum..” Suara pria itu begitu lemah, matanya mulai tidak fokus, dia menatap Remo yang buru-buru mengambilkan minum.“Bapak ayo sehat, katanya mau ketemu Aga lagi?” Remo memulai pembicaraan, suaminya kini terjaga dan menatap langit-langit kamar.“Bapak gak kuat..” Ucapnya lemah, napasnya begitu berat.“Aga masih pengen main sama bapak. Sekarang dia sudah bisa duduk pak, ‘kan sudah tujuh bulan.”Ega mengalihkan pandangannya ke arah Remo dan tersenyum, wajah Ragnala terbayang di benaknya. Bayi gemuk berkulit putih susu dengan lesung pipi itu membuatnya bahagia. Setidaknya di sisa hidupnya.“Akhirnya kita bisa lihat cucu kita ya bu..”Remo terdiam sebentar kemudian mengangguk kecil, dia tidak memberitahukan Ega perihal apa yang dia temui ket
Tikta dengan segera keluar dari kamar ketika sambungan telepon baru saja dimatikan.Dia sedang tertidur ketika ponselnya berbunyi. Ini hari rabu dan dia baru saja tidur lepas tengah malam karena Ragnala sedikit rewel. Ketika dia mengangkat telepon itu, Nina juga ikut terbangun karena mendadak dari baby monitor jeritan tangis Ragnala terdengar.Begitu Tikta menoleh padanya, Nina tahu ada yang tidak beres.Dia beranjak menuju kamar Ragnala, mengambil bayinya dan Tikta membereskan pakaian seadanya.“Aku ikut..” Kata Nina, Tikta melirik ke arah Ragnala yang masih terisak dalam dekapan istrinya.“Kamu disini aja dulu ya, aku lihat dulu keadaan bapak. Nanti aku kabari.”Tikta melesat pergi keluar apartemen.Ibunya baru saja menelepon karena mendapat kabar dari Rumah Sakit kalau ayahnya mengalami serangan jantung secara mendadak. Tidak ada tanda-tanda hal itu akan terjadi, dokter meminta persetujuan RJP kepada ibunya, wanita paruh baya itu tengah bersiap pergi ke Rumah Sakit ketika dia menel
Pemakaman berlangsung dengan tertib, Tikta mencoba menguatkan dirinya untuk tidak jatuh menangis ketika peti mati ayahnya masuk ke liang lahat. Dari ujung matanya dia bisa melihat saudara-saudara ayahnya menangis namun dia tahu ini adalah perkara waktu mereka menginginkan jabatan yang kini sedang dia jabat.Bagaimanapun, dia belum secara resmi ditetapkan sebagai penerus perusahaan. Akan banyak sekali rapat yang akan dilakukan untuk menggulingkannya dari kursi yang sekarang tengah dia duduki.Tikta bertemu dengan beberapa petinggi perusahaannya, mereka mengucapkan belasungkawa padanya. Beberapa menyemangatinya, beberapa acuh dan lebih memilih menyapa om atau bibinya.Dari sana sudah terlihat jelas bagaimana dia akan berakhir.Tikta menatap foto ayahnya yang terpasang begitu besar di ruang keluarga. Foto keluarga ketika dia masih SMP sedangkan di sudut kanan ada foto keluarga mereka.Sebulan lalu ketika dia terakhir datang ke rumah ini, ayahnya meminta ibunya menyewa fotografer. Dia ing
Mata Nina terus mengikuti kemana Tikta pergi, ciuman hangat dan panas itu berhenti ketika tangan Tikta sudah mulai masuk ke bawah bajunya. Tangan besar itu tengah menggerayangi buah dadanya saat Ragnala menangis dengan kencang.Tikta seperti kembali pada sadarnya, meminta Nina menenangkan Ragnala sementara dia pergi keluar ruang kerja ayahnya.Sekarang mereka tengah berada di ruang keluarga, adik-adik dari ayahnya ingin berbicara dan Tikta duduk agak jauh darinya.Ragnala bersama pengasuhnya di kamar Tikta, bayi itu masih tertidur.“Om bicara mengenai hal ini bukan tidak menghargai bapakmu Ta, karena momennya sedang pas. Semuanya sedang kumpul.” Suara salah satu adik dari ayah Tikta terdengar, Nina mengalihkan pandangannya, berusaha mengikuti arah obrolan mereka.Di ruangan itu selain om dan tante Tikta, para menantu dan juga anak-anak mereka berada disana. Mereka seperti hyena yang mengintai mangsa untuk segera dihabiskan.“Tapi bapak baru saja dikuburkan beberapa jam lalu.” Kata Tik
Ragnala merengek di tengah malam, Nina terbangun, matanya masih terasa perih dan tubuhnya terasa kaku. Dia membuka matanya perlahan dan mendapati Tikta tengah berdiri, menggendong Ragnala dalam dekapannya dan memberikan bayi itu susu di botol.Tikta tidak mengenakan baju, hanya mengenakan celana boxer selutut, dadanya terbuka lebar dan terlihat begitu lapang serta seksi.Wajah Nina memerah, mengingat apa yang baru saja terjadi.Mereka melakukan hubungan intim, sesuatu yang tidak pernah dia pikirkan sebelumnya akan terjadi. Apakah itu tandanya perasaannya bersambut pada pria itu?“Ah, giginya tumbuh lagi? Aga sudah mau delapan bulan, jam segini kebangun gak enak ya? Gusinya sakit?” Kini suara Tikta terdengar, berbicara dengan bayinya yang mulai menceracau dengan bahasa yang tidak dimengerti.“Jangan lupa sendawanya..” Ucap Nina, tersenyum lebar sambil duduk diatas kasur, tubuh telanjangnya dibalut oleh selimut.“Nah, ibu bangun tuh.” Tikta mendekat ke arah Nina, duduk di samping wanita
Remo membereskan semua pemberkasan kematian suaminya ditemani oleh Erika, semua yang berhubungan dengan rumah lama sudah dia pisahkan dan dia bersiap pindah. Seminggu telah berlalu semenjak kematian suaminya, dia berusaha mengumpulkan sisa akhir tenaganya untuk menata kehidupan baru.Tidak mudah melakukannya, namun waktu tetap berjalan meskipun dirimu sudah ditinggalkan.Dia baru saja masuk ke lobi Rumah Sakit dan disambut oleh beberapa orang petugas yang hari ini bertugas membantunya membereskan berkas-berkas.“Ada beberapa barang yang tertinggal di bawah kasur pak Ega, bu..” Salah satu petugas membawakan satu box tidak terlalu besar dan menyerahkannya pada Erika. Remo hanya mengangguk.“Berkas ini sudah keseluruhan ya?”Petugas itu mengangguk dan kemudian menjelaskan lagi pada Remo apa saja yang harus ditanda tangani dan diselesaikan.Remo melakukannya tanpa banyak bicara, perasaannya masih begitu campur aduk. Ada benarnya, pasangan kita setelah menikah adalah bagian dari diri kita
Tikta mendatangi kediaman ibunya dengan tergesa, dia sudah mendengar sedikit kilasannya dari Erika di telepon. Dia harus memastikannya sendiri, dia harus melihat apa yang ibunya miliki.Erika memberikan sinyal padanya ketika dia baru sampai ke rumah, memberitahu kalau ibunya ada di kamar.Pria itu membuka pintu kamar, mendapati ibunya tengah tertidur diatas kasur. Bahunya masih berguncang dengan kencang, dia menangis.“Bu..” Panggilnya pelan, dia mendekat dan ibunya menengadahkan kepala, memeluknya dengan kencang sambil menangis.“Ta, Tikta astaga!” Dia menangis dengan kencang, tubuhnya bergetar.Tikta tidak mau percaya dengan apa yang dia dengar di telepon. Namun, ketika ibunya menyerahkan amplop, dia tahu kalau hal itu benar terjadi.“Ibu yakin Gata yang mengirimkan atau memberikannya pada bapakmu!” Pekik ibunya.Mata Tikta bergetar, dia tidak mampu berkata apapun melihat isi amplop tersebut. Entah kenapa perutnya terasa mual dan ada kemarahan yang terasa dari dalam dadanya. Semuany
Nina menatap pria yang kini duduk di dalam apartemennya, pria itu bertubuh cukup tinggi dengan bahu yang begitu lebar. Wajahnya terlihat tampan, bibirnya juga seksi, pria itu begitu tampan.Dia menanyakan Tikta ketika datang dan bertanya apakah bisa menunggunya di dalam. Nina tidak bisa menolak, dia takut orang tersebut adalah kenalan Tikta.“Minumnya..” Ucap Nina, menyajikan segelas teh hangat pada pria itu yang kemudian tersenyum lebar.Pria itu melirik ke arah belakang punggung Nina, Ragnala tengah duduk di kursi naik turun miliknya. Bermain dengan mainan yang menggantung.“Wah, putra Tikta sudah besar rupanya.” Ujarnya dengan suara ceria yang terkesan dibuat-buat, Nina menoleh ke arah Ragnala dan tersenyum.“Usianya baru masuk sembilan bulan.”“Oh ya? Sehat sekali nampaknya.” Gata berkata, menaruh cangkirnya ke meja setelah menyesapnya sedikit.Nina duduk agak jauh dari Gata dan mengangguk, “Puji Tuhan sehat, kemarin agak rewel karena giginya tumbuh.”“Tapi…Wajahnya tidak mirip Ti
Aku mencintai keluargaku.Namun ketika tahu kalau papa kami bukanlah orangtua kandung abang, aku sedikit bingung untuk bereaksi apa. Ada kalanya abang bilang kalau dia dan papa tidak begitu mirip, saat itu aku pikir dia terlalu berpikiran negatif karena omongan orang lain mengenai betapa tidak miripnya mereka kerap kali terdengar.“Kamu sudah dengar sendiri, papa bukan orangtua kandungku.”“Tapi, papa tetaplah orangtua kita.”“Orangtuamu.” Katanya menatapku dengan penuh rasa sedih.Aku tahu betapa memiliki seorang ayah adalah harapan terbesar kami, patah hatinya kurasakan meskipun dia tidak bilang dengan terus terang. Tatapan mata penuh kesedihan itu sudah bisa menjadi jawaban bagaimana pada akhirnya dia harus mengiyakan ucapan orang-orang mengenai betapa beda dia dan papa.Dan, pada dasarnya, mereka memang berbeda.“Abang masih marah?” Tanya Ibu ketika melihatku turun dari lantai dua, matanya terlihat bengkak dan suaranya agak serak. Di depan ibu yang tengah duduk di kursi meja makan
“Ga..” Papa memelukku ketika ibu menyampaikan kabar duka tentang kepergian ayah padaku. Ibu sudah menangis dengan begitu histeris, Pavita memeluknya berusaha menenangkan.Papa kemudian membawa kami pulang ke Indonesia, dimana ayah akan dikebumikan. Tidak ada siapapun disana selain kami sebagai keluarganya, hanya ada rasa kesepian yang berat. Tangis yang keluar hanya muncul dari ibu dan juga sahabatnya, tante Julie. Selain itu aku hanya menatap tubuh ayah yang sudah kaku.Ketika pemakaman sudah berakhir, ibu dibawa kembali ke kamar hotel oleh Pavita. Sedangkan aku dan papa masih berdiam diri di depan makam ayah.“Ucapkan salam terakhirmu.” Kata papa sambil mengelus punggungku.“Kenapa dia meninggalkanku?”Papa menoleh, tahu benar kalau aku tidak tengah mencari jawaban atas pertanyaan yang baru saja kulontarkan. Aku tidak menginginkan jawaban.“Aku bahkan belum mengenalnya dengan baik.”Dan sejurus kemudian airmataku mulai meleleh, tangisku pecah.Ayah menghela napasnya, seperti tahu in
“Itu papa?” Tanyaku pada ibu yang kemudian mengangguk pelan sambil menggendong adikku, Pavita.Aku ingat benar momen itu, momen dimana orang yang selama ini aku pikir tidak pernah ada di hidup kami kemudian muncul dengan senyum lebar. Segala kecanggungannya begitu terasa di setiap ujung jari yang merangkul aku dan adikku dengan erat.Selama hanya ada kami bertiga, ibu selalu menghindari pertanyaanku mengenai sosok seorang ayah. Ada kalanya, keperluan sekolah membuatku bertanya apakah aku memiliki seorang ayah yang nantinya akan ibu jawab dengan isakan tangis atau hanya anggukan.Tidak ada penjelasan sampai ia kemudian mulai menyinggung bahwa beberapa orang memiliki ayah lebih dari satu orang. Aku yang masih terlalu kecil tidak begitu mengerti hingga akhirnya menyadari kalau yang ibu maksud beberapa anak memiliki dua orang ayah salah satunya adalah diriku.Pertemuan dengan papa begitu canggung, Pavita sampai tidak berani mendekat karena masih belum terbiasa dan merasa bahwa pria di dep
“Hi, aku ayah kamu. Catur Rangga.”Aku masih begitu mengingat bagaimana akhirnya kami bertemu. Catur Rangga adalah ayah biologisku. Orang yang terlihat biasa saja, tingginya mungkin sekitar seratus tujuh puluh senti sekian, kulitnya seputih susu persis denganku.Ketika aku melihat wajahnya, aku baru mengerti.Ah, itulah kenapa orang-orang bilang aku tidak mirip dengan Pavita karena pada dasarnya aku mirip dengan orang ini. Hampir sembilan puluh persen fitur wajahku benar-benar mirip dengannya.Dia menyondorkan tangannya dengan canggung ketika pada akhirnya aku menyambut uluran tangan itu dan menjabatnya, tangannya berkeringat dan dingin. Aku rasa bukan hanya aku yang merasa gugup.Aku duduk di depannya, kami memilih meja berkursi dua berhadapan di pojok sebuah coffee shop. Papa mengantarku dengan mobil dan tengah menungguku di ujung jalan, dia bilang tidak akan ikut dan hanya ingin membuatku menikmati waktu bersama ayah biologisku.Pria itu masih menunduk di depanku, aku bisa mengerti
Ketika aku mulai tumbuh remaja, ibu selalu bicara mengenai ayah. Bahwa di dunia ini ada beberapa anak yang memiliki dua ayah.“Ada yang punya ayah secara biologis, ada juga yang tidak.”“Maksudnya bagaimana bu?” Tanyaku kala itu ketika ibu tiba-tiba bicara mengenai hal yang baru saja dia ucapkan, kami tengah berada di dalam mobil.Sore sudah menjelang, langit berwarna jingga dan hanya ada kami berdua di parkiran daycare adikku.“Ya, ada yang kita panggil ayah namun bukan orang yang memberi kita kehidupan. Tapi dia adalah sosok yang menjelma sebagai ayah yang kita tahu sebagai anak. Ada juga seorang ayah yang memberikan kita kehidupan dan mungkin karena satu hal dia tidak menjadi sosok yang kita tahu.”Kalimat ibu begitu rumit, aku yang masih kecil tidak mengerti.Pembahasan itu berakhir begitu saja ketika adikku datang dan masuk ke dalam mobil dengan senyum lebar di wajahnya.Pembahasan ibu mengenai
Catur menatap pria di depannya, pria yang selama beberapa bulan terakhir menghantuinya. Pria itu menuntut banyak hal dari Catur termasuk memaksanya untuk ‘membawa’ kembali Nina.“Gue sudah bilang gue gak akan diem aja, lo ngerti maksud gue gak?” Gata melotot, wajahnya terlihat begitu merah karena emosi sudah mencapai puncaknya. Dia berjalan kesana kemari di depan Catur yang masih duduk dengan rokok di sela jarinya.Pria itu sudah berkali-kali datang menemui Catur, ketika dia datang ke warehouse dan Catur mencoba untuk menggertak serta mengancamnya pria itu malah semakin menjadi-jadi ketimbang takut akan hal itu.“Bisa berhenti obsesi sama Tikta gak sih lo?” Catur menghisap rokoknya disela perkataannya, berusaha untuk tetap tenang juga menghadapi pria di depannya yang semakin lama dia yakini sebagai seorang dengan gangguan jiwa.Gata menghentikan langkahnya, dengan penuh kedramatisan dia menoleh pada Catur. Pria itu suda
“Kamu yakin mau menunda?”Pria itu bertanya dengan wajah yang terlihat khawatir. Ferdi, dia suami Kumara.Keduanya bertemu di butik EKAWIRA. Ferdi adalah salah satu klien terbaik butik itu, dia seorang pengusaha yang cukup tersohor. Namun keduanya memutuskan untuk menyembunyikan hubungan mereka.Selain karena peraturan butik untuk tidak menjalin hubungan dengan klien, juga karena Ferdi sudah dikenal oleh publik karena usahanya.“Iya, aku masih punya tanggung jawab di butik..” Jawab Kumara, dia menunduk. Pernikahan mereka baru berjalan beberapa bulan ketika Nina memutuskan untuk pergi meninggalkan Indonesia dan melahirkan di Jepang.Tepatnya pagi ini, Kumara mendapat panggilan dari Julie untuk rapat.Wanita itu menjelaskan mengapa rapat itu diadakan, Nina juga hadir secara online.“Semalam gue sudah ngobrol sama Julie dan gue rasa sekarang gue harus bilang juga ke lo.” Katanya pada Kumara yang membeku, dia menoleh pada Julie.“Jadi, apartemen itu sebagai hadiah pernikahan gue.” Nina me
“Ma, boleh gak?” Ini sudah kesekian kalinya Kiran merengek pada Julie. Mata itu memancarkan belas kasihan yang ingin sekali Julie hindari.CHARAKA KIRAN YOGASWARA.Sudah delapan tahun berceraian itu berakhir, meninggalkan luka menganga yang begitu besar di dada Julie. Bahkan belum mengering meskipun orang bilang waktu akan menyembuhkan segalanya.Lukanya belum juga sembuh.Usia Kiran memasuki usia remaja sekarang, lima belas tahun. Dia tumbuh seperti ayahnya, bagaimana dia bersikap, menanggapi persoalan, namun tentu saja dia jauh lebih manis dari ayahnya.“Ya gak mungkin dong nak mama ngizinin kamu magang di butik EKAWIRA? Lagian kamu masih anak SMP ngapain nyoba kerja?”Kiran cemberut sekarang, mengaduk mie instan yang lagi-lagi hasil rengekannya karena sudah dua bulan tidak memakannya.“Kiran mau belajar kerja ma, nanti setelah lulus sekolah biar gak kaget!”Julie menggeleng, mengibas-ngibaskan tangannya tanda bahwa dia tidak menyutujui hal itu.“Pergi sekolah sejauh mungkin, nanti
Julie tidak pernah absen mendatangi Catur, dia tidak pernah sekalipun mengurangi jatah kesempatan untuk menjenguk pria itu. Semenjak pria itu menyerahkan diri hingga sampai akhirnya dia keluar penjara, Julie selalu ada untuknya.Tentu saja, sama dengan Nina kebenciannya pada Catur begitu besar. Kecewa dan benci jadi satu sehingga dia bahkan tidak tahu mengapa masih dengan sadar mengunjungi pria itu, menengok dan mengecek keadaannya.Julie sadar, mereka sudah terlalu lama bersama.Nina melakukannya juga, meskipun wanita itu membenci Catur namun perasaan peduli tidak bisa dihilangkan begitu saja.“Tidak ada sanak saudara sama sekali?” Tanya salah seorang polisi ketika pengadilan berakhir, penahanan Catur telah diputuskan. Dia akan dipenjara selama kurang lebih dua puluh tahun.Waktu yang cukup panjang untuk menebus semua kesalahannya.“Tidak ada pak, selama disini saya sebagai walinya.” Julie berhadapan dengan salah satu petugas yang membawa semua barang-barang pribadi Catur.Petugas it