Remo membereskan semua pemberkasan kematian suaminya ditemani oleh Erika, semua yang berhubungan dengan rumah lama sudah dia pisahkan dan dia bersiap pindah. Seminggu telah berlalu semenjak kematian suaminya, dia berusaha mengumpulkan sisa akhir tenaganya untuk menata kehidupan baru.Tidak mudah melakukannya, namun waktu tetap berjalan meskipun dirimu sudah ditinggalkan.Dia baru saja masuk ke lobi Rumah Sakit dan disambut oleh beberapa orang petugas yang hari ini bertugas membantunya membereskan berkas-berkas.“Ada beberapa barang yang tertinggal di bawah kasur pak Ega, bu..” Salah satu petugas membawakan satu box tidak terlalu besar dan menyerahkannya pada Erika. Remo hanya mengangguk.“Berkas ini sudah keseluruhan ya?”Petugas itu mengangguk dan kemudian menjelaskan lagi pada Remo apa saja yang harus ditanda tangani dan diselesaikan.Remo melakukannya tanpa banyak bicara, perasaannya masih begitu campur aduk. Ada benarnya, pasangan kita setelah menikah adalah bagian dari diri kita
Tikta mendatangi kediaman ibunya dengan tergesa, dia sudah mendengar sedikit kilasannya dari Erika di telepon. Dia harus memastikannya sendiri, dia harus melihat apa yang ibunya miliki.Erika memberikan sinyal padanya ketika dia baru sampai ke rumah, memberitahu kalau ibunya ada di kamar.Pria itu membuka pintu kamar, mendapati ibunya tengah tertidur diatas kasur. Bahunya masih berguncang dengan kencang, dia menangis.“Bu..” Panggilnya pelan, dia mendekat dan ibunya menengadahkan kepala, memeluknya dengan kencang sambil menangis.“Ta, Tikta astaga!” Dia menangis dengan kencang, tubuhnya bergetar.Tikta tidak mau percaya dengan apa yang dia dengar di telepon. Namun, ketika ibunya menyerahkan amplop, dia tahu kalau hal itu benar terjadi.“Ibu yakin Gata yang mengirimkan atau memberikannya pada bapakmu!” Pekik ibunya.Mata Tikta bergetar, dia tidak mampu berkata apapun melihat isi amplop tersebut. Entah kenapa perutnya terasa mual dan ada kemarahan yang terasa dari dalam dadanya. Semuany
Nina menatap pria yang kini duduk di dalam apartemennya, pria itu bertubuh cukup tinggi dengan bahu yang begitu lebar. Wajahnya terlihat tampan, bibirnya juga seksi, pria itu begitu tampan.Dia menanyakan Tikta ketika datang dan bertanya apakah bisa menunggunya di dalam. Nina tidak bisa menolak, dia takut orang tersebut adalah kenalan Tikta.“Minumnya..” Ucap Nina, menyajikan segelas teh hangat pada pria itu yang kemudian tersenyum lebar.Pria itu melirik ke arah belakang punggung Nina, Ragnala tengah duduk di kursi naik turun miliknya. Bermain dengan mainan yang menggantung.“Wah, putra Tikta sudah besar rupanya.” Ujarnya dengan suara ceria yang terkesan dibuat-buat, Nina menoleh ke arah Ragnala dan tersenyum.“Usianya baru masuk sembilan bulan.”“Oh ya? Sehat sekali nampaknya.” Gata berkata, menaruh cangkirnya ke meja setelah menyesapnya sedikit.Nina duduk agak jauh dari Gata dan mengangguk, “Puji Tuhan sehat, kemarin agak rewel karena giginya tumbuh.”“Tapi…Wajahnya tidak mirip Ti
Bagi Nina, kebersamaannya dengan Tikta sekarang sudah lebih dari cukup. Dia tidak berpikir hubungannya akan bertahan selamanya meskipun pada akhirnya Tikta mau menyambutnya dalam pelukan, bercinta berkali-kali sampai Nina merasa kalau perasaan mereka sama.Tidak mengapa jika perasaan keduanya tidak satu tujuan, yang penting bagi Nina saat ini adalah yang terbaik.Semuanya terasa biasa saja, meskipun hatinya masih takut kalau benar adanya Tikta hanya menjadikannya sebagai pelampiasan karena kepergian ayahnya.Pikirannya mengenai tunangan Tikta yang masih menghubungi pria itu dan keinginan pria itu untuk kembali pada si tunangan setelah bercerai dari Nina membuat wanita itu kehilangan kepercayaan diri. Dia harus tahu tempatnya di keluarga Sahasika, tapi kadang hatinya tidak mampu untuk menahannya.Dia mencintai Tikta.Dia menebak-nebak bagaimana mantan tunangan Tikta sehingga pria itu begitu menginginkannya.“Saya mantan tunangan Tikta, Gata Sambara.” Pria itu mengulurkan tangannya, mat
Dalam hidup Tikta, dia baru dua kali jatuh cinta.Satu dengan Gata Sambara dan kedua dengan Gianina Ekawira.Ketika dia jatuh cinta dengan Gata, dia sedang berada di titik terendahnya. Sesudah selesai berkuliah dan dia ingin melanjutkan ke jenjang atau ke pekerjaan yang dia inginkan, keluarganya menentang.Pertemuan dengan Gata membuatnya memiliki keberanian untuk menyuarakan pendapatnya, Gata adalah orang yang membuatnya berani mengambil keputusan, mengubahnya menjadi pribadi yang lebih baik serta bijak.Dalam urusan jatuh cinta, Tikta tidak memilih jenis kelamin.Baginya, cinta sebegitu murninya sehingga tidak ada batasan dalam mencintai.Rasa cintanya begitu besar pada Tikta sampai dititik dia merasa bahwa hubungannya sudah tidak baik-baik saja, semua yang Gata lakukan jadi hanya berpusat pada dirinya. Pria itu juga jadi terobsesi padanya, cinta itu berubah menjadi sebuah ketakutan.Dia bertahan sampai sepuluh tahun karena merasa bahwa Gata akan mengancam siapapun yang akan mendeka
“Tikta kemana?” Julie bertanya ketika Nina membukakan pintu dan mempersilahkannya masuk, apartemen tampak hening dan tidak ada tanda-tanda orang selain Nina juga Ragnala yang kini mungkin tertidur di dalam kamarnya.“Tikta pergi ke apartemennya, gue cuma sama Aga.”Julie terdiam, di dalam pelukannya ada Kiran yang sudah tertidur. Dia kemudian meminta izin untuk menidurkan Kiran di dalam kamar Ragnala, Julie menutup pintu kamar Ragnala dengan perlahan dan melihat punggung Nina yang masih naik turun karena menangis.Di depannya ada amplop coklat yang Julie yakini sebagai ‘bukti’ yang Nina bicarakan di telepon tadi.“Nin..” Julie berjalan mendekat ke arah Nina, menepuk punggung sahabatnya.“Gue pengen penjelasan yang panjang, dan rinci..”Julie menghela napas dan mulai berbicara.“Gue tahu dari Catur kalau setiap lo mabok dia akan pakai lo, apapun alasannya gue rasa hal itu sudah gak benar. Catur sudah melewati batas, gue sempat bertemu dengan dia berdua saja waktu gue pertama kali tahu
“Gak ada Ta, gak ada yang bisa berhentiin aku untuk milikin kamu.” Gata berkata sambil menatap Tikta yang berada di depannya.Gata sudah menunggu Tikta datang ke apartemen itu. Apartemen yang dulu sekali pernah mereka tinggali bersama, tidak ada yang berubah, masih dengan nomor sandi yang sama. Selama di Indonesia, dia tinggal disana, berusaha menyembunyikan dirinya dari orang-orang suruhan ibu Gata.“Kali ini kamu sudah keterlaluan..” Kata Tikta dengan suara yang lirih, wajahnya yang sedari tadi mengeras menatap Gata kini mulai melunak.Pria itu menatap Gata dengan tatapan yang seolah memohon.Gata tidak menyukainya, tatapan itu terasa memuakkan. Seharusnya, Gata tidak memperlihatkan tatapan itu padanya. Mengapa dia harus ditatap seperti itu?“Aku sudah bilang, kamu hanya sedang bingung. Ta, Nina hanya sedang membuat kamu bingung. Kamu sekarang sedang tinggal bersama dengan khayalan semu rumah tangga yang bahkan kamu gak inginkan.”“Kamu tahu darimana aku gak menginginkan ini?”Gata
Gata mengingat apa yang terjadi ketika dia baru saja mengambil dua amplop dari reporter itu. Amplop yang tadinya akan dia jadikan senjata untuk menghancurkan SSK FOODS, dia berencana untuk memberikannya pada media.Namun, dia mengurungkan niatnya.Tidak ada, tidak ada sex tape di dalamnya. Dia hanya memberikannya pada Nina, tidak ada duplikatnya, di dalam amplop yang dia berikan kepada ayah Tikta hanyalah berisi foto-foto mesranya bersama Tikta saja dan juga sebuah surat berisi permohonan untuk membiarkan Tikta kembali padanya.“Aku harap kita bisa pisah secara baik-baik Ga.” Tikta kembali bersuara, wajahnya terlihat begitu sendu dan memelas membuat Gata seperti orang paling jahat.“Kamu sesayang itu sama Nina, Ta?” Pertanyaan itu akhirnya terlontar dari mulut Gata, pertanyaan yang tidak mampu dia utarakan sebelumnya. Terlalu menyakitkan, dia tidak mampu mendengar Tikta menjawab pertanyaan itu.Tikta menatapnya, kini tatapan itu berubah jauh lebih lembut.“Sama seperti kamu dulu, aku
Aku mencintai keluargaku.Namun ketika tahu kalau papa kami bukanlah orangtua kandung abang, aku sedikit bingung untuk bereaksi apa. Ada kalanya abang bilang kalau dia dan papa tidak begitu mirip, saat itu aku pikir dia terlalu berpikiran negatif karena omongan orang lain mengenai betapa tidak miripnya mereka kerap kali terdengar.“Kamu sudah dengar sendiri, papa bukan orangtua kandungku.”“Tapi, papa tetaplah orangtua kita.”“Orangtuamu.” Katanya menatapku dengan penuh rasa sedih.Aku tahu betapa memiliki seorang ayah adalah harapan terbesar kami, patah hatinya kurasakan meskipun dia tidak bilang dengan terus terang. Tatapan mata penuh kesedihan itu sudah bisa menjadi jawaban bagaimana pada akhirnya dia harus mengiyakan ucapan orang-orang mengenai betapa beda dia dan papa.Dan, pada dasarnya, mereka memang berbeda.“Abang masih marah?” Tanya Ibu ketika melihatku turun dari lantai dua, matanya terlihat bengkak dan suaranya agak serak. Di depan ibu yang tengah duduk di kursi meja makan
“Ga..” Papa memelukku ketika ibu menyampaikan kabar duka tentang kepergian ayah padaku. Ibu sudah menangis dengan begitu histeris, Pavita memeluknya berusaha menenangkan.Papa kemudian membawa kami pulang ke Indonesia, dimana ayah akan dikebumikan. Tidak ada siapapun disana selain kami sebagai keluarganya, hanya ada rasa kesepian yang berat. Tangis yang keluar hanya muncul dari ibu dan juga sahabatnya, tante Julie. Selain itu aku hanya menatap tubuh ayah yang sudah kaku.Ketika pemakaman sudah berakhir, ibu dibawa kembali ke kamar hotel oleh Pavita. Sedangkan aku dan papa masih berdiam diri di depan makam ayah.“Ucapkan salam terakhirmu.” Kata papa sambil mengelus punggungku.“Kenapa dia meninggalkanku?”Papa menoleh, tahu benar kalau aku tidak tengah mencari jawaban atas pertanyaan yang baru saja kulontarkan. Aku tidak menginginkan jawaban.“Aku bahkan belum mengenalnya dengan baik.”Dan sejurus kemudian airmataku mulai meleleh, tangisku pecah.Ayah menghela napasnya, seperti tahu in
“Itu papa?” Tanyaku pada ibu yang kemudian mengangguk pelan sambil menggendong adikku, Pavita.Aku ingat benar momen itu, momen dimana orang yang selama ini aku pikir tidak pernah ada di hidup kami kemudian muncul dengan senyum lebar. Segala kecanggungannya begitu terasa di setiap ujung jari yang merangkul aku dan adikku dengan erat.Selama hanya ada kami bertiga, ibu selalu menghindari pertanyaanku mengenai sosok seorang ayah. Ada kalanya, keperluan sekolah membuatku bertanya apakah aku memiliki seorang ayah yang nantinya akan ibu jawab dengan isakan tangis atau hanya anggukan.Tidak ada penjelasan sampai ia kemudian mulai menyinggung bahwa beberapa orang memiliki ayah lebih dari satu orang. Aku yang masih terlalu kecil tidak begitu mengerti hingga akhirnya menyadari kalau yang ibu maksud beberapa anak memiliki dua orang ayah salah satunya adalah diriku.Pertemuan dengan papa begitu canggung, Pavita sampai tidak berani mendekat karena masih belum terbiasa dan merasa bahwa pria di dep
“Hi, aku ayah kamu. Catur Rangga.”Aku masih begitu mengingat bagaimana akhirnya kami bertemu. Catur Rangga adalah ayah biologisku. Orang yang terlihat biasa saja, tingginya mungkin sekitar seratus tujuh puluh senti sekian, kulitnya seputih susu persis denganku.Ketika aku melihat wajahnya, aku baru mengerti.Ah, itulah kenapa orang-orang bilang aku tidak mirip dengan Pavita karena pada dasarnya aku mirip dengan orang ini. Hampir sembilan puluh persen fitur wajahku benar-benar mirip dengannya.Dia menyondorkan tangannya dengan canggung ketika pada akhirnya aku menyambut uluran tangan itu dan menjabatnya, tangannya berkeringat dan dingin. Aku rasa bukan hanya aku yang merasa gugup.Aku duduk di depannya, kami memilih meja berkursi dua berhadapan di pojok sebuah coffee shop. Papa mengantarku dengan mobil dan tengah menungguku di ujung jalan, dia bilang tidak akan ikut dan hanya ingin membuatku menikmati waktu bersama ayah biologisku.Pria itu masih menunduk di depanku, aku bisa mengerti
Ketika aku mulai tumbuh remaja, ibu selalu bicara mengenai ayah. Bahwa di dunia ini ada beberapa anak yang memiliki dua ayah.“Ada yang punya ayah secara biologis, ada juga yang tidak.”“Maksudnya bagaimana bu?” Tanyaku kala itu ketika ibu tiba-tiba bicara mengenai hal yang baru saja dia ucapkan, kami tengah berada di dalam mobil.Sore sudah menjelang, langit berwarna jingga dan hanya ada kami berdua di parkiran daycare adikku.“Ya, ada yang kita panggil ayah namun bukan orang yang memberi kita kehidupan. Tapi dia adalah sosok yang menjelma sebagai ayah yang kita tahu sebagai anak. Ada juga seorang ayah yang memberikan kita kehidupan dan mungkin karena satu hal dia tidak menjadi sosok yang kita tahu.”Kalimat ibu begitu rumit, aku yang masih kecil tidak mengerti.Pembahasan itu berakhir begitu saja ketika adikku datang dan masuk ke dalam mobil dengan senyum lebar di wajahnya.Pembahasan ibu mengenai
Catur menatap pria di depannya, pria yang selama beberapa bulan terakhir menghantuinya. Pria itu menuntut banyak hal dari Catur termasuk memaksanya untuk ‘membawa’ kembali Nina.“Gue sudah bilang gue gak akan diem aja, lo ngerti maksud gue gak?” Gata melotot, wajahnya terlihat begitu merah karena emosi sudah mencapai puncaknya. Dia berjalan kesana kemari di depan Catur yang masih duduk dengan rokok di sela jarinya.Pria itu sudah berkali-kali datang menemui Catur, ketika dia datang ke warehouse dan Catur mencoba untuk menggertak serta mengancamnya pria itu malah semakin menjadi-jadi ketimbang takut akan hal itu.“Bisa berhenti obsesi sama Tikta gak sih lo?” Catur menghisap rokoknya disela perkataannya, berusaha untuk tetap tenang juga menghadapi pria di depannya yang semakin lama dia yakini sebagai seorang dengan gangguan jiwa.Gata menghentikan langkahnya, dengan penuh kedramatisan dia menoleh pada Catur. Pria itu suda
“Kamu yakin mau menunda?”Pria itu bertanya dengan wajah yang terlihat khawatir. Ferdi, dia suami Kumara.Keduanya bertemu di butik EKAWIRA. Ferdi adalah salah satu klien terbaik butik itu, dia seorang pengusaha yang cukup tersohor. Namun keduanya memutuskan untuk menyembunyikan hubungan mereka.Selain karena peraturan butik untuk tidak menjalin hubungan dengan klien, juga karena Ferdi sudah dikenal oleh publik karena usahanya.“Iya, aku masih punya tanggung jawab di butik..” Jawab Kumara, dia menunduk. Pernikahan mereka baru berjalan beberapa bulan ketika Nina memutuskan untuk pergi meninggalkan Indonesia dan melahirkan di Jepang.Tepatnya pagi ini, Kumara mendapat panggilan dari Julie untuk rapat.Wanita itu menjelaskan mengapa rapat itu diadakan, Nina juga hadir secara online.“Semalam gue sudah ngobrol sama Julie dan gue rasa sekarang gue harus bilang juga ke lo.” Katanya pada Kumara yang membeku, dia menoleh pada Julie.“Jadi, apartemen itu sebagai hadiah pernikahan gue.” Nina me
“Ma, boleh gak?” Ini sudah kesekian kalinya Kiran merengek pada Julie. Mata itu memancarkan belas kasihan yang ingin sekali Julie hindari.CHARAKA KIRAN YOGASWARA.Sudah delapan tahun berceraian itu berakhir, meninggalkan luka menganga yang begitu besar di dada Julie. Bahkan belum mengering meskipun orang bilang waktu akan menyembuhkan segalanya.Lukanya belum juga sembuh.Usia Kiran memasuki usia remaja sekarang, lima belas tahun. Dia tumbuh seperti ayahnya, bagaimana dia bersikap, menanggapi persoalan, namun tentu saja dia jauh lebih manis dari ayahnya.“Ya gak mungkin dong nak mama ngizinin kamu magang di butik EKAWIRA? Lagian kamu masih anak SMP ngapain nyoba kerja?”Kiran cemberut sekarang, mengaduk mie instan yang lagi-lagi hasil rengekannya karena sudah dua bulan tidak memakannya.“Kiran mau belajar kerja ma, nanti setelah lulus sekolah biar gak kaget!”Julie menggeleng, mengibas-ngibaskan tangannya tanda bahwa dia tidak menyutujui hal itu.“Pergi sekolah sejauh mungkin, nanti
Julie tidak pernah absen mendatangi Catur, dia tidak pernah sekalipun mengurangi jatah kesempatan untuk menjenguk pria itu. Semenjak pria itu menyerahkan diri hingga sampai akhirnya dia keluar penjara, Julie selalu ada untuknya.Tentu saja, sama dengan Nina kebenciannya pada Catur begitu besar. Kecewa dan benci jadi satu sehingga dia bahkan tidak tahu mengapa masih dengan sadar mengunjungi pria itu, menengok dan mengecek keadaannya.Julie sadar, mereka sudah terlalu lama bersama.Nina melakukannya juga, meskipun wanita itu membenci Catur namun perasaan peduli tidak bisa dihilangkan begitu saja.“Tidak ada sanak saudara sama sekali?” Tanya salah seorang polisi ketika pengadilan berakhir, penahanan Catur telah diputuskan. Dia akan dipenjara selama kurang lebih dua puluh tahun.Waktu yang cukup panjang untuk menebus semua kesalahannya.“Tidak ada pak, selama disini saya sebagai walinya.” Julie berhadapan dengan salah satu petugas yang membawa semua barang-barang pribadi Catur.Petugas it