"Seperti bukan dirimu, At. Mencari tahu seluk beluk seorang perempuan, itu bukan kebiasaanmu.” Atma menatap datar pria yang menyandang status sebagai tangan kanan sekaligus sahabatnya itu.“Aku hanya ingin tahu, apa salah?”Bara menggeleng dan tertawa renyah. “Kau ini tak mengenal dirimu sendiri?” Pertanyaan Bara sukses membuat Atma terdiam tanpa rasa bersalah, Bara meninggalkan sahabat sekaligus bosnya yang tengah merenungi perubahan didirinya.Berbeda dengan Atma, Clarita wanita itu tengah sibuk dengan barang-barang yang ia bawa. Beruntung Yara dan Yandra hari ini tak begitu rewel. Selepas memberinya asi, kedua buah hatinya itu terlelap dengan begitu tenang.“De?” panggil Clarita pada wanita yang belakangan ini dekat dengannya.Dean menoleh, menatap Clarita bertanya. “Kenapa, Mba?”Clarita tampak ragu me
Tubuh Dean dan Clarita menenggang kala mendengar suara yang tak asing lagi di telinga mereka. Clarita menatap pria itu datar, sedangkan Dean menatapnya kesal. Masih tergambar jelas perdebatan sengit antara Dean dengan pria berambur cepak itu.“Apa‼” tantang Dean tak mempedulikan sekitarnya. Ia berjalan mendekati Bara yang menatapnya dengan sebelah alis terangkat.“Kalian kenapa ada di sini?” tanya Bara santai, sangat berbeda dengan sang lawan bicara yang menatapnya sengit.Dean memutar bola matanya malas, merasa pria di depannya begitu bodoh hingga melayangkan pertanyaan basa-basi yang tak berguna. “Kukira dengan pakaian rapi bak orang kantoran membuatmu sedikit lebih cerdas, Tuan.”“Apa maksudmu?”“Kurasa ini masih tempat umum yang terbuka untuk siapa saja. Dan sudah jelas bukan ini tempat apa?” sahut Dean tak peduli pada tatapan Bara yang menyorotnya lekat-lekat.Clarita mendesah malas, wanita yang baru saja melahirkan itu sangat menghindari perdebatan tak penting begini. ia mengham
Tubuh Clarita menengang, ia menatap Dean yang menunjukkan raut kesal. Kening Clarita mengernyit menatap ekspresi wajah Dean. “De?”“Om ngapain ke sini?” tanya Dean dengan nada kesal.“Om?” tanya Clarita, otaknya masih memproses apa yang sedang terjadi di depannya.“Om? Berulang kali kukatakan, aku tak setua itu hingga kau memanggilku om!” sahut seseorang dari arah belakang Clarita, sebuah dengan nada yang berat.Clarita menoleh, bola matanya membulat sempurna melihat sosok yang berdiri di balik tubuhnya. “Ck, tetap saja aku dan kamu beda usianya jauh! Jadi layak kalau kupanggil om. Lagi pula kalian ini siapa? Mengapa terus mendekati kami?”Pria itu mencebikkan bibirnya. “Ini tempat umum kalau kau lupa, di sini semua orang bebas keluar dan masuk.”“Kenapa harus di sini?” tanya Dean semakin kesal.Clarita menghela nafas kasar, bukannya ia kesal dengan Dean, ia hanya menyesali sikap Dean yang begitu mudah terpancing. “Sudahlah, De. Lebih baik kita segera pulang, hari semakin malam.”Dean
“Mba kenapa?” tanya Dean yang terbangun dari tidurnya.Jam dinding yang berada di kamar berukuran 4x4 itu menunjukkan pukul 2 malam, dan suara tangisan bayi terdengar menggema ke seluruh penjuru rumah kontrakan yang baru saja berpenghuni itu.“Eh? Kebangun De? Maaf ya De. Mba juga gak tahu sejak jam 1 Yara menangis, mba sudah beri asi tetap saja Yara menangis.” Penjelasan Clarita membuat Dean bergerak pelan mendekati wanita yang tengah menggendong Yara.Tangan lembut Dean terulur menyentuh kening Yara. “Ya allah, Mba! Yara demam!” ucap Dean membuat Clarita mendelik tak percaya.“Apa? Demam? Duh gimana De?” tanya Clarita panik.“Kita ke rumah sakit sekarang mba, sebentar biar Dean pesankan taksi online. Mba tunggu di sini ya.” Jemari lentik Dean mulai berselancar di ponsel berukuran 7inc itu. Menekan angka dan huruf secara bergantian membentuk jajaran kata yang ia tujukan pada supir taksi yang berhasil mengambil orderannya.Dengan lembut Dean, membawa Yandra ke dalam dekapannya. Tak lu
“Kalian?” ucap Bara meninggi.“Om! Kalian lagi? Kenapa sih dunia ini sempit.” Dean menatap sengit pria berjas di depannya. Begitu juga dengan Bara seakan tengah berperang keduanya sama-sama memancarkan aura permusuhan.Berbeda dengan Atma yang menatap lurus ke arah wanita dengan air mata yang berlinang. Ia tak mempedulikan dua insan berbeda jenis kelamin yang tengah berdebat hal sepele. Atma bangkit dari duduknya berjalan pelan mendekati Clarita.Sosok wanita dengan daster dan cardigan rajut itu hanya tertunduk dengan bahu yang bergetar. “Kenapa?” tanya Atma lirih.Clarita hanya menggeleng ia enggan bersuara. “Sakit?” tanya Atma menatap malaikat kecil yang terbaring di atas ranjang dengan kompres melekat di keningnya.Lagi-lagi, Clarita hanya mengangguk dalam diam, lidahnya seakan kelu. Pikirannya melayang membayangkan nasib sang bu
“Kenapa?” tanya Atma yang secara tiba-tiba muncul dengan Yandra di dalam gendongannya. Dari nada suaranya, Dean dapat menangkap kekhawatiran di sana. Sejenak Dean mengerutkan kening, mengamati sikap pria yang ia sendiri tak tahu berasal dari mana.“Biasakan jika seseorang bertanya itu dijawab bukan hanya diperhatikan,” peringat Atma pada Dean yang masih sibuk mengamatinya.Dean pun mengerjapkan mata cepat, ia kemudian tersadar pada beban yang tertumpu di tangannya. “Mba Cla, pingsan!” ucapnya panik. Atma pun bergegas keluar dari ruang rawat Yara. Ia memanggil perawat yang berjaga di ujung lorong.Tak berselang lama, Atma kembali bersama beberapa perawat yang membawa brankar. Pria berkemeja biru navy itu menyerahkan Yandra pada wanita muda di depannya, dengan gerakan lembut seakan Yandra adalah sebuah kaca yang dapat hancur jika tersenggol. Ia pun membantu perawat mendorong branka
Kedua pria di depan Dean segera membuang muka, ia mencoba mengabaikan keberadaan dan juga pertanyaan Dean. “Tidak usah akting!” sindir Dean melemparkan tatapan sengit. “Dean, sudahlah,” tegur Clarita yang berdiri di belakang Dean. “Loh? Mbak kok sudah bangun mbak kan harus banyak berbaring.” Dean menatap Clarita bingung. Melihat keadaan Clarita yang baru saja sadar dari pingsannya, Dean menaruh rasa khawatir pada kakak berbeda darah itu. “Gak papa, De. Mba sudah baik-baik saja kok. Lagian mba kan cuman kelelahan saja.” Dean pun hanya menghela napas pasrah, ia tak akan pernah menang jika berdebat dengan Clarita. Ibu dua anak itu memang memiliki kelebihan dalam hal berbicara, bahkan seorang Atma saja pernah dibuat mati kutu dihadapannya. “Ya sudah kamu jalan sekarang gih, nanti keburu siang kamu terlambat masuk loh,” perintah Clarita lembut. Dean mengangguk dan bergerak mengambil cardigannya. Sebelum meninggalkan ruangan Yara, Dean berpamitan dengan Clarita ia mengecup punggung tan
“Hallo?” Atma memutuskan untuk menjawab sambungan telepon itu walau ia sendiri tak tahu siapa sosok dibalik deretan angka yang tidak berpemilik itu.Cukup lama, Atma menunggu sahutan dari seberang sana hingga akhirnya ia mengulangi ucapannya sekali lagi. Hingga sambungan telepon terputus secara sepihak. “Ini maksudnya apa sih? Telepon gak jelas!” Atma hendak membanting benda pipih di tangannya namun belum sampai terlepas ia tersadar jika benda tersebut bukan miliknya.Atma hanya menghabiskan waktu dengan duduk di sofa setelah ia selesai menidurkan Yandra, sedangkan Clarita belum juga sadar dari pingsannya. Ia sesekali memeriksa keadaan Yara yang terbaring lemah dengan selang infus menancap di lengan kirinya. Ia merintih lirih membayangkan jarum kecil yang menembus kulit lembut bayi berusia dua minggu itu.Detik berganti menit, menit berganti jam, kini jam di dinding menunjukkan waktu 12 s
“Saya sebagai orang tua kandung Danila Ayudia tentu menyerahkan semua keputusan di tangan putri kami. Kebahagiannya adalah kebahagian kami juga,” sahut Ganesha mengabaikan pertanyaan Danila. “Apa? Orang tua kandung? Maksudnya?” tanya Danila bingung ia pun melemparkan tatapan menuntut ke arah Bram. “Sayang, Tante Ratasya dan Om Ganesha adalah orang tua kandung kamu, yang selama ini disembunyikan oleh Pak Brahma, mereka –“ “Apaa‼” pekik Danila tak percaya. “Jadi? Yang kalian bicarakan saat persidangan itu aku?” tanya Danila tak percaya. “Iya sayang, kami memang orang tua kandungmu. Semua bermula dari … .” Ganesha mulai menceritakan awal mula Brahma merebut Danila darinya. Mulai saat Brahma merebut harta miliknya hingga ke kasus penculikan juga penyekapannya. Danila menyimak ucapan orang tuanya dengan begitu seksama, ia tak mau terlewatkan barang satu kata pun. Hingga ia sampai pada cerita tentang percobaan pembunuhan yang Brahma lakukan pada mereka, Danila mengeram tertahan, selama
“Aku ingin selalu seperti ini selamanya? Bisa ‘kan?” “Kamu ini bikin mas hampir jantungan saja. Sayang, hanya maut yang bisa memisahkan kisah cinta kita. Aku akan selalu berusaha selalu berada di sampingmu,” tutur Byan membuat hati Clarita menghangat dan kupu-kupu si perutnya berterbangan. “Mas nanti malam kita pakai ini saja ya? Acaranya kan di tepi pantai, aku juga gak bisa kalau pakai baju terbuka, alergi dingin. Untung suami aku gak dingin,” canda Clarita seraya menatap sang Suami manja. “Sayangg,” ujar Byan salah tingkah, pria itu menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal itu. Matahari pun mulai bergeser, menyisakan langit berwarna jingga dengan suara hiruk pikuk mobil yang berlalu lalang. Clarita baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di kepalanya, sedangkan sang Suami masih berkutat di meja kerjanya yang bersebelahan dengan kamar tidur mereka, Byan sengaja mendesain ruang kerjanya di dalam kamar hanya dengan memberi sekat kaca yang membatasi antara kama
“Perusahaan koleps, seluruh perusahaan besar menunda penanda tangannya MOU. Harga saham menurun drastis, beberapa vendor menagih pelunasan segera, kau ke mana saja?” ucap Mahen seraya membiarkan putranya membaca seluruh isi mapnya.“Kita bisa menangani ini sem –““Dengan cara apa? Sekarang saja perusahaan sudah tak ada kerja sama, oke masih ada tetapi itu hanya project remahan, kamu pikir itu bisa membayar semua tagihan? Belum lagi gaji pegawai. Seharusnya kamu memikirkan itu, kamu fokus membesarkan perusahaan ini bukan justru sibuk mengurus wanita dan anaknya yang penyakitan itu!”“Shut up, Pah! Apa papah tahu aku jadi seperti ini karena siapa? Karena anda! Anda yang selalu mengagalkan percintaanku anda yang selalu menghancurkan urusan hidupku sendiri. Kenapa? Karena anda terlalu ingin terlihat sempurna, padahal anda jauh lebih busuk daripada bangkai tikus.” Atma ber
“Gak papa kok, ya sudah kita masuk lagi yuk? Kayanya sudah waktunya mulai lagi persidangannya.” Mereka pun mengangguk setuju dengan ucapan Byan. Mereka pun kembali berjalan beriringan memasuki ruang sidang, siang ini mereka akan mendengar keputusam hakim atas perbuatan Brahma bertahun-tahun lalu.“Mas,” lirih Clarita mencekal lengan Byan. Pria itu menoleh dan menatap teduh sang Istri. “Aku takut.”“Pasrahkan semua ke Allah, ya. Semua akan baik-baik saja.” Clarita menghela napas seraya mengeratkan genggamannya di tangan sang Suami.Hakim dan seluruh jajaran pun mulai memasuki ruangan, setelah itu Brahma selaku tersangka utama telah hadir kembali di ruang sidang. Setelah persidangan kembali dibuka Jaksa penuntut umum kembali membacakan dakwaannya.“Dengan ini, kami memutuskan untuk menjatuhkan hukuman kepada Brahma Wijaya dengan pasal tersebut selama 25 tahun kurungan.”Bola mata Clarita nyaris terlepas dari tempatnya kala mendengar putusan hakim kepada pria yang selama ini anggap sebag
“Kita hanya bisa berpasrah diri, Dan. Kita sudah berusaha menegakkan keadilan semoga semua sesuai dengan harapan kita ya.”Waktu seakan begitu cepat berlalu, hari-hari berlalu begitu cepat. Sejak persidangan pertama kemarin kehidupan Danila terasa begitu nikmat dan ringan. Ia masih bekerja di toko kue milik sang Kakak. Sedangkan hubungan asmaranya masih terjalin dengan baik. Bram tak pernah menuntut hubungan ranjang pria itu justru mengarahkan Danila menjadi wanita yang lebih elegant.Lain halnya dengan Atma, pria itu justru semakin gencar mendekati Hanna. Ia bahkan tak peduli dengan penolakan yang terus Hanna berikan padanya. Hanna adalah harapan terakhir untuknya mendapatkan warisan dari sang Nenek, ia pun tak menyerah untuk mendapatkan Hanna kembali.“Han, percayalah padaku. Aku tak hanya membutuhkan Bayu, sejujurnya aku masih menyimpan rasa padamu, tetapi aku terlalu malu untuk mengakuinya. Apa tida
“Katakan apa yang sedang kau rencanakan?” tanya Hanna dengan tatapan penuh selidik.“Begini, aku dituntut untuk memiliki seorang anak. Dan kamu butuh sumsumku bukan? Bagaimana jika kita bekerja sama? Aku akan mencukupi semua kebutuhanmu dan Bayu tetapi menikahlah denganku.”Hanna pun tersenyum miring. “Jadi benar ‘kan dugaanku? Kamu mengejarku dan berbuat baik padaku itu tidak tulus dari dalam hati, apa ini memang sifat aslimu?”“Ayolah, Han. Aku butuh kerja sama ini, agar aku bisa terlepas dari ayahku. Aku akan menghidupi kalian dengan baik, aku juga akan memperlakukanmu dengan baik. Aku hanya butuh Bayu dan status ini agar warisan nenekku bisa segera aku miliki.”“Kamu berubah, At! Ini bukan Atma yang aku kenal!” pekik Hanna seraya berjalan menjauhi pria itu.“Han aku berubah begini karenamu! Aku tak lagi p
Tanpa mendengar ucapan karyawannya Clarita segera berjalan menuju tokonya. Ia menapaki setia anak tangga, samar-samar ia mendengar pertikaian dua orang wanita dan benar saja, ketika langkahnya tiba di lantai dua ia menemukan Danila tengah berdebat dengan seorang wanita paruh baya.“Danila tidak akan mau mencabut tuntutan Danila! Kalian berdua itu licik!” pekik Danila di depan wanita setengah baya. Dari posisinya berdiri Clarita tak dapat melihat dengan jelas siapa sosok yang tengah bertengkar dengannya.Langkah kaki Clarita semakin mendekat ke arah Danila, ia pun tiba di samping tubuh wanita yang menjadi lawan bicara adiknya itu. “Maaf ada apa ya?”“Clarita!” ujar wanita itu terkejut melihat sosok ayu Clarita berdiri di sampingnya. “Kau juga! Mengapa kau tidak tahu terima kasih? Suamiku mengurusmu sejak kecil! Jika tidak ada suamiku maka –“&ldquo
“Kamu ngomong apa sih sayang? Tanpa diminta pun aku akan segera meminangmu. Aku tidak akan membuang kamu begitu saja. Sesuai janjiku padamu, dan juga kamu berhasil membuatku merasakan getaran yang sudah lama tak pernah aku rasakan lagi, bahkan kamu ada untukku di kala aku down kemarin. Kamu ingat ‘kan?” Danila pun mengangguk dan mengulas senyum. Ia lantas kembali melanjutkan aktivitas ranjangnya. Matahari semakin berani menampakkan dirinya, ia mulai menyinari langit kota Semarang menjadi teman warga di sana memulai aktivitasnya. Ada yang berangkat ke sekolah, ada yang berangkat bekerja, ada juga yang berangkat bergosip. Dua insan yang baru saja berubah status percintaannya masih asyik bergelung di dalam selimut tebal dengan tubuh tanpa sehelai benang pun. Selepas shubuh tadi mereka memang kembali mengulang kegiatannya hingga tertidur karena kelelahan. Ketukan dan suara tangis bayi membangunkan keduanya. Clarita mengerjapkan kedua matanya, ia lantas bangkit dari tidurnya dan memilih
“Ini semua adalah dosa yang harus aku tanggung! Tetapi kenapa harus Bayu? Aku … aku tidak bisa hidup tanpanya.”Kening Atma semakin berkerut, ia semakin bingung dengan ucapan Hanna, wanita itu seolah membuat teka-teki untuknya. “Seharusnya malam itu aku tidak melakukan perbuatan dosa, dan berakhir seperti ini. Ke mana aku harus mencari pendonor yang cocok?”“Donor?”Saat Hanna akan menjelaskan ucapannya, pintu UGD terbuka menampilkan sosok wanita setengah baya dengan jas putih yang melekat di tubuhnya. “Dengan keluarga pasien?”“Saya ibunya, Dok!” Hanna berjalan cepat mendekati dokter itu.“Begini bu, kondisi adik Bayu semakin mengkhawatirkan. Kita harus segera menemukan pendonor tulang sumsum belakang untuk keselamatan putra Ibu. Karena kelainan darah bawaan yang Bayu idap sudah di tahap mengkhawatirkan. Saya berharap ibu bisa segera menemukan pendonor yang tepat, untuk saat ini kami hanya bisa memberikan transfusi darah namun itu tidak bisa kita lakukan terus menerus.”Mendengar per