“Di sana, ada keluarga lain mendiang ayahku yang lebih berkuasa. Mereka telah merebut semuanya dari tanganku, mereka pula yang berencana untuk melenyapkan aku dari keluarga, Dimitri.” sorot matanya begitu nyalang, hingga membuat Cynthia merasa—takut.“Aku akan membawa semuanya kembali dalam genggamanku, Cynthia. Aku akan memberi pengobatan terbaik untuk mama, dan membawanya kembali ke kediaman utama yang kini ditempati oleh nenek Lampir itu!” ujar Alex dengan nada yang berapi-api.Sementara itu, Cynthia yang telah menelan salivanya hanya bisa melihat tanpa berani berkomentar apapun. Gadis berkulit bersih itu sempat berpikir, mungkin inilah salah satu penyebab kemarahan Alex yang secara tiba-tiba dan lebih memilih untuk mengurung diri. Alexander mengalami sebuah—trauma.“Apa Anda takut, Tuan?” suara lembut itu mampu membuat Alex seperti berhenti untuk bernapas. Alex menatap lekat ke arah, Cynthia. Gadis tersebut seolah tahu apa yang dirasakannya saat ini. Alex pun menghindar dari tata
“Apa yang sudah Kamu lakukan, Marlon?” James mencoba untuk merebut sebuah bungkusan kertas kecil yang telah dipegang Marlon saat ini. Gadis berusia 24 tahun itu gugup seketika, James telah memergoki aksinya. “Kamu tahu apa ini, hah?!” bentak James yang sudah berhasil mengambil bungkusan itu. Ia menunjukkannya tepat di depan wajah, Marlon. Bola mata gadis itu bergerak tak tenang karena terlanjur tertangkap basah.“Ini sangat berbahaya bagi nona muda, Marlon. Dia hanya anak kecil yang tidak berdosa, kenapa Kamu meracuninya dengan obat tidur?” Marlon terdiam, lalu wajahnya menunduk karena tidak kuasa menatap bola mata James yang menyorotnya dengan tajam. “Shit! Seharusnya Kamu tidak boleh gegabah seperti ini. Kita harus profesional dalam menjalankan pekerjaan, Marlon.” James kesal, ia memukul udara untuk melampiaskan rasa jengkel yang ada. “Sejak kapan Kamu memberikan ini pada nona muda?” tanya James kembali menanyakan soal serbuk putih yang akan dicampur dalam segelas susu strawber
“Nanny, Nanny ada di mana? Mana susu strawberry yang aku minta ….?”Tanpa mereka duga, gadis kecil itu sudah berdiri di tengah dapur. Ia melihat sang pengasuh sedang bermain kuda-kudaan dengan bodyguard keluarganya. Dania terpaku sambil menatap keduanya yang kini kalng kabut dengan kedatangannya.“Kenapa Nanny tidak memakai baju, Paman?” tunjuk Dania dengan polosnya.“Shit ….!” umpat Marlon setelah ia menoleh ke arah gadis kecil itu. Buru-buru ia mengenakan kembali bajunya.Sementara itu, James yang sudah berada di puncak harus bisa mengontrol napasnya yang terdengar memburu. Ia pun melakukan hal yang sama, James merapikan bajunya yang sudah berantakan.“Gadis kecil, kembalilah ke dalam kamarmu! Nanny akan segera mengantar susu strawberry kesukaan, Nona Muda.” Debaran di dada Marlon masih berdegup dengan kencang. Tapi ia berusaha untuk menstabilkan emosinya dan mendekat ke arah, Dania. Marlon mengusap pelan kedua lengan gadis kecil itu. Ia mengulas senyuman, meski ia merasakan kehamb
“Dok! Aku sedang bicara dengan Anda,” suara dari arah belakang menyadarkan dokter Frans dari lamunannya. Dokter muda itu pun menoleh, ia mendapati Erina yang sudah duduk di tepi ranjang.“M-Maafkan aku, aku ….” “Dia siapa sih, Dok? Mukanya kok serem amat, apa nggak bisa senyum dikit aja?” bibirnya manyun, ia merasa sedikit kesal dengan tamu yang baru saja dibawa oleh dokter, Frans.“Apa Kamu tidak mengenalnya, Erina?” tanya dokter Frans dengan kedua alis yang saling bertautan.Kepala Erina menggeleng perlahan, bibirnya yang cemberut semakin terlihat lucu. Perempuan itu duduk dengan santai, kedua kakinya berayun karena badan ranjang yang sedikit tinggi baginya.“Oh my God!” tiba-tiba Erina teringat akan sesuatu, ia menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan.“K-Kenapa? Apa ada yang sakit?” buru-buru dokter Frans menghampirinya, wajah sang dokter terlihat sangat khawatir.Erina terpaku, ia masih membekap mulutnya untuk beberapa saat. “T-Tidak, Dok. Tidak ada yang sakit, a-aku baik-ba
“Jangan gila, Dok! Aku dalam keadaan bingung sekarang. Kenapa Dokter semakin membuat keadaan ini semakin rumit?” Kalimat yang meluncur dari bibir Erina membuat dokter Frans membuka matanya lebar-lebar. “A-Apa ….?” ia harus menelan keinginannya yang telah menguap begitu saja. Erina tidak merespon dengan baik apa yang baru saja ia utarakan. Perempuan itu seolah marah dengan tindakan sang dokter yang terbilang—lancang.“Bukankah sekarang ini Kita sedang sibuk dengan pencarian identitasku, Dok? Kenapa Dokter malah memikirkan hal lain?” Erina memiringkan kepalanya sedikit.“A-Aku ….” “Seharusnya Dokter meminta maaf padaku setelah kejadian kemarin. Bukannya malah mengucapkan kata-kata aneh seperti itu,” ucap Erina dengan wajah ditekuk. Seperti yang terlihat, dokter Frans bisa merasakan kekecewaan di raut wajah perempuan berkulit bersih tersebut. Sehingga ia merasa tidak enak hati dan salah tingkah dengan menggaruk bagian kepalanya yang tidak terasa gatal.“Oh, itu ….” hanya kalimat pen
"Menjauhlah dariku! Dasar perempuan tak tahu diri, ck!" Lirik dokter Rhea dengan sinis ke arah, Erina. Keduanya berhasil ditenangkan dengan bantuan security. Untung saja suster Karina datang tepat waktu, sehingga bisa mencegah keduanya untuk tidak melanjutkan adu gulat di bawah lantai yang dingin.“Ish ….! Najis bagiku menyentuh tubuhmu kembali, aku akan mencucinya setelah ini. Kau dengar itu, Bitch?!” serang Erina yang tidak mau mengalah.“Kau ….!” Buru-buru dokter Frans menarik tangan dokter Rhea, ia harus mencegah agar tidak meladeni pertikaian yang telah terjadi beberapa saat lalu.“Sudahlah, Nona. Lihatlah hasil perbuatanmu itu, tanganmu terluka. Sini! Aku obati dulu dan jangan melakukan hal bodoh seperti itu!” Suster Karina pun mengulur waktu agar Erina bisa berdiam diri sejenak tanpa menimbulkan keributan kembali.“Jangan ikut campur! Shhh …. aduh ….!” saat ia menimpali kalimat yang diucapkan oleh suster Karina, mulutnya berdesis karena merasa sakit. Sepertinya suster Karina
Erina kembali pulang ke Bogor setelah terjadi insiden. Ia memilih menjauh dari Zain untuk sementara waktu. Erina butuh energi agar bisa memecahkan kasus yang dialaminya beberapa bulan ke belakang. “Kalau dokter Frans datang, katakan saja aku sedang istirahat, Bi.” Ujar Erina yang tidak ingin diganggu saat ini.“Tapi Non,” Bi Ratih berdiri sebentar setelah meletakkan secangkir teh hangat di atas meja teras.Erina menatap perkebunan di sekitarnya, lalu ia menghirup udara segar itu banyak-banyak. “Aku ingin sendiri, sebentar saja, Bi ….” “Oh, begitukah? Baiklah, Non.” Akhirnya Bi ratih mengalah, ia akan menuruti perintah Erina sebagai nona muda yang harus ia jaga seperti keinginan dokter, Frans.“Bi Ratih, tunggu ….!” Erina menghentikan langkah wanita paruh baya itu. “Iya, Non. Apa ada yang Non butuhkan, biar Bibi mengantarkannya ke sini.” Tanya Bi ratih saat ia sudah kembali menghadap setelah sempat berlari kecil menuju ke arah dapur.Erina sempat berpikir untuk beberapa saat, lalu i
“A-Aku akan pergi. D-Dokter istirahatlah!” “Tidak! Aku ingin Kamu menemaniku, untuk malam ini saja. Aku mohon, Erina ….” Dokter Frans menahannya di dalam kamar. Ia terlihat begitu lelah dan merebahkan tubuhnya di atas kasur tanpa mengganti setelan jasnya dengan piyama.“Huft ….” Erina menghembuskan napas dengan perlahan. Ia mendekat ke arah ranjang, dimana dokter Frans memilih untuk berada di dunia mimpi.“Setidaknya, lepas dulu sepatumu. Menyusahkan saja!” gerutu Erina sambil melepas sepatu yang masih dikenakan oleh dokter, Frans.“Kemarilah!” Erina jatuh terjerembab ke dalam pelukan dokter Frans ketika hendak melepaskan jas pria itu. Sengaja dokter Frans meraihnya dengan sekali tarik saja. Sehingga kini Erina sudah berada di atas ranjang yang sama.“Aku sangat lelah,” ujar dokter Frans tanpa membuka kelopak matanya. Erina diam membeku berbantalkan lengan kekar dokter, Frans. Ia tidak bisa memejamkan mata karena terlalu takut akan terjadi sesuatu jika ia meladeni ulah dokter muda
BUG!"Hentikan segera! Ini bukan arena tinju, Tuan." Salah satu petugas yang berjaga di barak bagian tahanan pria, berlari kecil sambil mengacungkan jari telunjuknya."Saya mohon jaga sikap kalian berdua, Tuan-Tuan!" teriaknya sekali lagi.Tapi ada yang aneh saat petugas tersebut sudah sampai untuk melerai dua saudara beda ibu itu. Zain dan Alex tetap bergulat dan saling memukul tanpa ada yang memisahkan keduanya."Biarkan saja, Opsir! Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya. Kita lihat saja hasilnya seperti apa." Cynthia menghadangnya dengan sebelah tangan. Petugas kepolisian itu pun menghentikan langkahnya dengan tatapan yang aneh. "Tapi Nona, mereka bisa saling menyakiti …." “Tenang saja Opsir. Mereka akan berhenti jika sudah merasa puas.” Ujar Cynthia dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh petugas tersebut. Ia pun menuruti saran dari Cynthia yang memintanya untuk tidak ikut campur. Terpaksa petugas itu membiarkan perseteruan yang
Biarkan aku menemuinya! Biarkan aku masuk ke dalam sana, sebentar saja. Aku mohon ….” Zain berusaha menerobos penjagaan di sel tahanan sementara khusus laki-laki. Setelah mendapatkan informasi dari Rose soal kakaknya, ia langsung kembali ke gedung tahanan kota Perth.“Maaf Tuan, Anda harus mematuhi jam berkunjung. Apakah Anda adalah keluarganya? Tolong tenanglah, Tuan!” cegah salah satu petugas itu dengan menarik pergelangan tangan, Zain. Ia tidak mengizinkan pria itu untuk masuk begitu saja tanpa izin.“Bagaimana aku bisa tenang, jika yang ada di dalam sana adalah kakakku. Kakak tiriku yang telah dinyatakan telah meninggal beberapa bulan yang lalu. Aku harus memastikan kalau yang ada di dalam sel tahanan itu adalah orang yang sama.” Zain menatap tajam pada petugas itu. Dari cara pandangnya, Zain menunjukkan keseriusan.“Aku hanya ingin melihatnya, Opsir. Aku ingin memastikannya, itu saja. Aku yakin jika Anda memiliki keluarga yang telah dinyatakan menghilang atau meninggal. Kalian ak
“Mau apa kamu ke sini? Apa belum puas kalian menyakitiku? Belum puaskah kamu sudah mengambil putriku?” Zain menghentikan langkahnya. Benar saja, Rose menatapnya dengan sorot mata yang tajam. Ada banyak luka dan dendam yang tidak bisa dibicarakan secara transparan. “Jika kamu datang hanya untuk menyakitiku, maka kamu datang di waktu yang tidak tepat. Pergilah dari hadapanku!” Rose telah mengusirnya dengan cara yang tidak hormat.“Dengarkan dulu, Rose! Aku mohon,” Zain mencoba untuk bisa mendapatkan kesempatan kembali. Tapi sayang, Rose sudah terlanjur sangat kecewa kepadanya.“Jangan mendekat!” tunjuk Rose dengan tatapan yang sengit. Rose berusaha untuk menghentikan niat, Zain. Ia sudah muak selalu dicekoki oleh janji manis yang tidak berujung. “Kalian berdua sama saja,” gumamnya sambil melengos. Zain menghentikan langkahnya, ia memiringkan kepala dengan dahi yang berkerut. “Apa maksudmu, Rose? Siapa yang kamu samakan denganku? Apa yang kamu bicarakan saat ini adalah dokter, Frans?
“Apa kamu sudah tidak laku? Sampai dirimu merebutnya dariku?” Kalimat itu, masih diingatnya dengan baik. Ia menatap dokter Frans dengan menitikkan air mata. Ucapan dokter Rhea Zalina kala itu, membuat Rose melayangkan sebuah tamparan yang cukup keras. Ia tidak bermaksud merebut siapapun, hingga terjadi miss komunikasi di antara keduanya.“Dokter ….” Rose memanggilnya berulang kali setelah ia mengusap titik embun di sudut kelopak matanya.Dokter Frans terkesiap, ia menoleh ke arah Rose yang menatapnya dengan bola mata berkaca-kaca. Tujuannya menyusul ke Australia untuk membebaskan Rose dari segala tuduhan, ia sangat yakin jika perempuan itu tidak bersalah meski sifatnya sedikit keras kepala. Tapi apa yang didapatinya setelah sampai di tujuan? Perempuan itu seperti telah menolaknya mentah-mentah.“I-Iya, maafkan aku. Tidak seharusnya aku berada di sini, aku hanya ….”“Terima kasih banyak, Dok. Dokter telah menyelamatkan hidupku untuk yang kedua kalinya.” Rose menyela ucapan dokter, Fr
“A-Ampun! Tolong ampuni saya!” Alex mencoba untuk bangkit, tapi ia kesulitan. Kerumunan itu tiba-tiba terbentuk dengan sendirinya. Rose dan Alex sudah berada di dalam lingkaran. Rose mengambil alih kembali, ia melayangkan bogem mentahnya pada Alex.“Hei ….! Berhenti! Apa yang sedang kalian lakukan, hah?! Bukankah kalian itu seharusnya saling menyemangati demi kepulanganmu Nona.” Salah satu petugas itu pun menyusup masuk ke dalam lingkaran. Ia melihat ada dua orang tengah adu kekuatan di antara tahanan yang lain.“Huuu ….” suara sorak sorai disertai tepuk tangan menggema di seluruh ruangan. Mereka berkumpul di satu titik yang dianggap sangat menarik. Bagi mereka, sudah lama tidak ada tontonan yang membuat mereka terlihat sangat bergairah seperti saat ini. Apalagi posisi Rose yang berada di atas tubuh, Alex. Para tahanan itu semakin memberinya semangat untuk meneruskan aksi heroiknya.“Apa-apaan kau ini, Nona?! Ikutlah denganku!” tarik salah satu petugas yang sudah menggenggam erat le
“Suster, tenanglah ….!” dokter Frans berusaha mencegah agar suster Karina menghentikan aksinya. “Tiba-tiba mataku sakit saat melihat suster mondar mandir seperti layangan putus,” ujar dokter Frans dengan menghembuskan napasnya dengan perlahan. Sepertinya ucapan dokter Frans sangat manjur, suster Karina langsung menghentikan aksinya. Ia memandang dokter Frans dengan tatapan yang — entah. “Apa ….?” ia memiringkan wajahnya sedikit. Suster Karina merasa aneh dengan apa yang diucapkan oleh dokter, Frans. Apa benar dokter Frans saat ini sedang sakit mata? Bisa-bisa rencana kepergian mereka gagal hanya karena sakit mata. “Eh, apa-apaan ini, Sus? Apa yang kamu lakukan, hah ….?” tanya dokter Frans yang menyadari jika suster Karina mendekat padanya hanya berjarak sepuluh sentimeter. “Dokter sakit ….? Apa perlu saya ambilkan obat? Kalau sedang sakit mata, jangan dibiarkan begitu saja! Bisa semakin bahaya nantinya, Dok.” Ujar gadis perawat itu memberikan sebuah penjelasan. “Ish, apa sih, S
BRUK ….!Tanpa sengaja Zain telah menabrak seseorang saat ia hendak berjalan ke luar ruangan. Ia sudah berhati-hati dalam melangkahkan kakinya, tapi sepertinya tidak seperti itu. Suasana hatinya yang buruk telah membuat dirinya tidak bisa berpikir dengan jernih apalagi berjalan dengan benar. Walau bagaimanapun Zain harus minta maaf pada pria yang telah ditabraknya itu.“M-Maaf Tuan, saya tidak sengaja melakukannya.” Zain berhenti dan membalikkan tubuhnya untuk lekas minta maaf.Pria yang mengenakan topi itu tidak menjawab, ia hanya mengangguk kecil lantas kembali melanjutkan perjalanannya. Wajahnya yang tertutup masker membuat Zain memicingkan kedua kelopak matanya. Timbul rasa curiga saat pria itu berusaha mengalihkan tatapan, Zain. Ia seakan mengenal gestur pria itu, tapi entah di mana?Tapi apa peduli Zain saat ini. Ia pun berjalan menuju area parkir dan menjumpai Jack yang diperintahkan untuk menunggu di sana. Jack menyambutnya dengan hormat, tidak ada basa-basi di antara keduanya
“Rose, tunggu! Setidaknya berikan aku penjelasan untuk ini,” Zain mencegahnya kmbali, ia tidak terima jika perempuan itu menolaknya secara mentah-mentah.Hening untuk beberapa saat, hingga Rose mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia pun mengangguk kecil, lalu mengatakan sesuatu yang semestinya tanpa bermaksud menentang hukum yang sedang berjalan.“Aku tidak membunuhnya! Sudah berapa kali aku bilang padamu. Aku tidak membunuh istrimu,” ujar Rose yang terpaku untuk beberapa saat.Ia meninggalkan Zain di tengah ruang sidang sendirian, pria itu tidak bisa berbuat banyak. Ia pun harus mematuhi aturan yang berlaku di negeri orang. Dan ia baru menyadari jika telah melakukan satu kesalahan yang fatal.***“Hei, Tuan! Jaga sikap Anda!” kedua petugas itu terkejut saat melihat Zain melompati pagar pembatas. Pria itu nekat mendatangi Rose yang tidak mau bertegur sapa dengannya. Entah ia mendapatkan keberanian dari mana, Zain sudah berdiri tepat di hadapan Rose dengan napas yan
Proses hukum yang kini telah membelitnya membuat Rose tidak dapat berbuat banyak selain satu kata—menunggu."Kenapa rasanya sangat sakit? Apakah aku benar mencintai pria berengsek itu?" gumam Rose sambil duduk di tepi ranjang yang ada di dalam sel tahanan kota."Aku hanya ingin bertemu dengan putriku," tatapannya berubah menjadi nanar, bola matanya berkaca-kaca."Tidak. Aku tidak akan menangis, apalagi menyesali tentang semua masa laluku dengannya." Ia menggeleng pelan, Rose bertarung dengan perasaannya sendiri.Rose mendengus dengan kasar. Rasa kesal di dalam hatinya, membuat tekad Rose mengalahkan emosinya yang begitu besar."Mau sampai kapan kau mendiamkan kopi ini? Aku tidak mau membuang makanan dengan sia-sia." Suara seseorang membuyarkan lamunan Rose seketika.Ia menoleh ke sumber suara, perlahan ia menatap wanita paruh baya yang bekerja sebagai office girl di kantor tahanan kota Perth itu dengan lirikan yang tajam. Rose tidak menjawab, ia pun kembali menghabiskan waktunya denga