Kamar ICU yang dingin, membuat Pak Rahmat harus merapatkan jaket kulitnya. Maklum saja, petani seperti mereka mana terbiasa dengan ruangan berpendingin. Terlihat beberapa kali lelaki tua tersebut bersin dan mengoleskan minyak angin untuk menghangatkan tubuhnya.Tatapan lelaki itu datar, terdengar dengusan napas yang cukup kasar darinya. Ia terus memeriksa ruangan di balik kaca riben tersebut. Ada tubuh sang anak yang terbaring lemah di sana. Pak Rahmat begitu gelisah dengan perkembangan putrinya—Sarah."Selamat siang, Pak Rahmat," sapa dokter Frans yang sengaja mendatanginya siang itu."Pak Dokter," sahut Pak Rahmat yang kembali berdiri setelah beberapa detik yang lalu sempat duduk kembali."Putri Bapak, terlalu baik. Tuhan pasti memberikan kesempatan kepadanya, agar Sarah bisa memiliki kehidupan yang lebih baik," hibur dokter Frans ketika melihat ada raut kesedihan di wajah, Pak Rahmat."Dia belum membuka matanya, Pak Dokter …." ujar Pak Rahmat yang menoleh ke arah kaca riben kembali
"Hei! Siapa Kamu?! Kenapa Kamu berada di atas ranjangku?" Entah bagaimana awal ceritanya, tubuh dokter Frans terguncang dengan hebat. Ia hanya mengingat kejadian semalam sebelum ia memejamkan mata. Jadwal operasi yang padat, membuat dokter muda tersebut langsung terlelap di samping tubuh, Rose.Dokter Frans Reyga mengerjapkan kelopak matanya berulang kali. Ia merasa ada sesuatu yang menimpa wajahnya. Saat dokter Frans membuka matanya yang masih terasa berat, ia mendapati penampakan seorang perempuan cantik dengan rambut ikal terurai.“Apakah aku sedang bermimpi? Ada bidadari di hadapanku,” dokter Frans bermonolog, ia merasa ada sebuah sinar yang menerangi pandangannya saat ini.“Hei! Kenapa masih tertidur, hah? Bangunlah!” suara itu terdengar begitu memekakkan telinga, bersamaan dengan jatuhnya sebuah bantal yang telah menimpa wajahnya tanpa permisi.Plak ….!Pria berusia 27 tahun tersebut langsung tergagap dan terbangun dari mimpi indahnya. Dokter Frans duduk dengan kondisi setengah
Zain melempar lembaran kertas yang semula berada di tangannya. Wajahnya berubah merah padam karena amarah yang meletup-letup di ubun-ubun. Ia tidak bisa menyembunyikan kekesalannya, ketika Alex datang menemuinya di kantor siang ini. Pria bernama Alex tersebut menyunggingkan senyuman di sudut bibirnya, senyuman licik yang dipasang dengan paksa.“Katakan padaku, dimana Kamu mendapatkan semua ini?” Zain menunjuk lembaran foto berukuran postcard yang telah dibawa oleh kakaknya.Sudah bisa diduga, jika tidak akan mudah ketika berhubungan dengan pria berusia 30 tahun tersebut. Alexander Dimitri terlalu lihai dalam memanipulasi keadaan, bahkan dana anggaran sebesar 200 triliun yang sempat diperkarakan oleh Zain di meja hijau bisa disangkalnya dengan mudah.Bibirnya mengerucut, ia berjalan ke arah jendela. Diabaikannya Zain yang tengah serius menanggapi itikad baiknya kali ini. Alex memandang keluar jalanan yang penuh sesak dengan asap knalpot. Tangan kanannya menopang di bawah dagu, rupanya
Ceklek!Bunyi dari pelatuk Revolver berwarna hitam itu terdengar lemah di ruangan berukuran 7 x 15 centimeter. Senjata api laras pendek tersebut mengarah ke pelipis Alex tanpa goyah sedikitpun.Alex tidak gentar, ia terlihat begitu santai menanggapi emosi Zain yang di luar kendali. Bagaimana tidak? Jika Alex menuntut warisan dari mendiang ayahnya kembali. "Aku tidak bermaksud mempersulit, Zain. Tapi semua informasi yang aku bawa tidaklah gratis," ucapnya tanpa mengalihkan pandangan, ia masih bisa merasakan ujung airsoft gun itu masih menempel di sisi keningnya."Bisa saja aku menjebloskan Kakak ke dalam penjara. Tapi ada mama Hana yang harus aku jaga, tidak bisakah Kakak berpikir secara rasional?" Zain masih berdiri dengan senjata apinya. Ia tidak akan terkecoh kali ini, batas kesabaran pria muda tersebut rasanya sudah menipis, bahkan hampir habis."Terserah padamu, aku tidak memaksa. Aku hanya datang dan memberikan penawaran terbaik," ia merogoh saku celananya dan memainkan kembali
Zain turun dari dalam mobil, ia melihat sekeliling dengan tatapan yang dingin. Ramon yang sudah bersiap di sampingnya segera menutup kembali pintu mobil dengan satu kali gerakan. Keduanya bergegas masuk ke dalam sebuah gedung apartemen.Perth, Ibukota negara bagian Australia barat adalah negara terbesar di Australia. Banyak gedung pencakar langit menghias di sudut kota. Zain menyukai negara tersebut karena Perth menyuguhkan pantai berpasir yang lembut, dan juga kilang minyak anggur yang menggiurkan.Derap langkah Zain terdengar begitu tergesa. Hingga ia masuk ke dalam lift untuk menuju ke lantai 15. Tidak ada satu katapun yang terucap dari bibirnya. Zain, telah menyimpan rapat-rapat emosinya di dalam dada untuk sementara.Dalam waktu beberapa detik saja, pemuda tersebut sudah berada pada lantai yang dituju. Segera ia berjalan melewati satu lorong dengan langkahnya yang tegap.Sret ….!Ia berhasil membuka kunci salah satu apartemen di gedung tersebut. Sepertinya, Nadia sengaja tidak me
Suasana hatinya yang bergemuruh, membuat Nadine menghentakkan kakinya dengan kesal. Dua orang petugas kepolisian telah menuntunnya hingga ke arah mobil. Tiba-tiba saja, kerumunan datang tanpa disangka. Hal tersebut membuat Nadia semakin marah dengan perlakuan Zain kepadanya."Sial! Dasar laki-laki gila! Bisa-bisanya dia melaporkan masalah ini ke polisi," gerutunya sepanjang jalan, sesekali ia mengelak ketika tangan polisi tersebut menyentuh lengannya.Ia tidak peduli dengan pandangan semua orang kepadanya saat ini. Yang ia pikirkan adalah, bagaimana caranya membalaskan dendam atas perlakuan, Zain. Baru kali ini, Nadia merasa masa bodoh."Dasar lelaki sombong! Memangnya siapa dia? Kamu tidak akan pernah menjadi siapa-siapa dengan uangku. Lihat saja pembalasanku, Zain. Aku akan menggunakan pengacara terbaik. Bersiaplah untuk menjadi gembel kembali!" ia menatap laju jalan ketika mobil polisi sudah merangkak meninggalkan basement apartemen miliknya. "CK, ….!" mulut Nadia mencebik ketika
BRUK!Tubuhnya yang ramping dihempaskan begitu saja ke dalam sel tahanan. Mulut Nadia berdesis ketika dirinya menyentuh lantai yang dirasa begitu menjijikkan. Ia mengelus lengannya yang terasa sakit akibat cengkraman tangan dari salah satu petugas.“Sialan! Mereka belum tahu siapa aku sebenarnya,” gumam Nadia yang sudah berdiri menghadap ke arah depan jeruji besi.Nadia melihat beberapa petugas medis tiba tepat waktu. Dan tak lama kemudian mereka membawa korban menuju mobil ambulans yang telah disiapkan di depan kantor kepolisian.“Hei, Nona! Berani juga Kau melakukan itu, ya?” sapa salah satu tahanan yang berada di belakangnya.Nadia menengok ke belakang, ada beberapa tawanan perempuan yang duduk di sebuah karpet yang lusuh. Nadia memberengut tak suka, ia memperlihatkan jarak di antara mereka. Dan salah satu yang menyapanya memiliki sebuah tato bunga mawar berduri di tangan sebelah kiri.“Jangan berlagak di sini anak baru! Apalagi sok jagoan seperti Kamu,” perempuan yang memiliki pie
"Tolong ….!" Suara teriakan dari arah kamar pasien, terdengar lirih. Pak Rahmat berusaha untuk menghentikan pendarahan yang terjadi pada putrinya."Ya Tuhan, Pak Rahmat!" Dokter Frans dan suster Kirana berlari kecil ke arah mereka."Cepat, ambilkan peralatan dan juga obat, Suster!" wajah Pak Rahmat begitu panik, ketika dokter Frans dan suster terlihat kelabakan saat menangani putrinya."Bapak, saya minta tolong. Tekan ini dengan pelan, agar pendarahannya tidak terlalu banyak." Dengan cekatan dokter Frans membaringkan Sarah yang tampak gemetar dan pucat."B-Baik, Pak Dokter," Pak Rahmat mengambil sebuah waslap panjang, lalu membalut luka putrinya."Biarkan saya duduk!" Sarah kembali duduk di tepi ranjang. Ia tidak ingin tidur di atas kasur seperti orang payah. Dokter Frans terkejut, ia berhenti sebentar ketika hendak mengambil kapas. Tak lama kemudian dokter muda tersebut mengangguk kecil tanda mengiyakan."Mbok yang nurut gitu loh, Nak. Jangan keras kepala begini!" ujar Pak Rahmat
BUG!"Hentikan segera! Ini bukan arena tinju, Tuan." Salah satu petugas yang berjaga di barak bagian tahanan pria, berlari kecil sambil mengacungkan jari telunjuknya."Saya mohon jaga sikap kalian berdua, Tuan-Tuan!" teriaknya sekali lagi.Tapi ada yang aneh saat petugas tersebut sudah sampai untuk melerai dua saudara beda ibu itu. Zain dan Alex tetap bergulat dan saling memukul tanpa ada yang memisahkan keduanya."Biarkan saja, Opsir! Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya. Kita lihat saja hasilnya seperti apa." Cynthia menghadangnya dengan sebelah tangan. Petugas kepolisian itu pun menghentikan langkahnya dengan tatapan yang aneh. "Tapi Nona, mereka bisa saling menyakiti …." “Tenang saja Opsir. Mereka akan berhenti jika sudah merasa puas.” Ujar Cynthia dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh petugas tersebut. Ia pun menuruti saran dari Cynthia yang memintanya untuk tidak ikut campur. Terpaksa petugas itu membiarkan perseteruan yang
Biarkan aku menemuinya! Biarkan aku masuk ke dalam sana, sebentar saja. Aku mohon ….” Zain berusaha menerobos penjagaan di sel tahanan sementara khusus laki-laki. Setelah mendapatkan informasi dari Rose soal kakaknya, ia langsung kembali ke gedung tahanan kota Perth.“Maaf Tuan, Anda harus mematuhi jam berkunjung. Apakah Anda adalah keluarganya? Tolong tenanglah, Tuan!” cegah salah satu petugas itu dengan menarik pergelangan tangan, Zain. Ia tidak mengizinkan pria itu untuk masuk begitu saja tanpa izin.“Bagaimana aku bisa tenang, jika yang ada di dalam sana adalah kakakku. Kakak tiriku yang telah dinyatakan telah meninggal beberapa bulan yang lalu. Aku harus memastikan kalau yang ada di dalam sel tahanan itu adalah orang yang sama.” Zain menatap tajam pada petugas itu. Dari cara pandangnya, Zain menunjukkan keseriusan.“Aku hanya ingin melihatnya, Opsir. Aku ingin memastikannya, itu saja. Aku yakin jika Anda memiliki keluarga yang telah dinyatakan menghilang atau meninggal. Kalian ak
“Mau apa kamu ke sini? Apa belum puas kalian menyakitiku? Belum puaskah kamu sudah mengambil putriku?” Zain menghentikan langkahnya. Benar saja, Rose menatapnya dengan sorot mata yang tajam. Ada banyak luka dan dendam yang tidak bisa dibicarakan secara transparan. “Jika kamu datang hanya untuk menyakitiku, maka kamu datang di waktu yang tidak tepat. Pergilah dari hadapanku!” Rose telah mengusirnya dengan cara yang tidak hormat.“Dengarkan dulu, Rose! Aku mohon,” Zain mencoba untuk bisa mendapatkan kesempatan kembali. Tapi sayang, Rose sudah terlanjur sangat kecewa kepadanya.“Jangan mendekat!” tunjuk Rose dengan tatapan yang sengit. Rose berusaha untuk menghentikan niat, Zain. Ia sudah muak selalu dicekoki oleh janji manis yang tidak berujung. “Kalian berdua sama saja,” gumamnya sambil melengos. Zain menghentikan langkahnya, ia memiringkan kepala dengan dahi yang berkerut. “Apa maksudmu, Rose? Siapa yang kamu samakan denganku? Apa yang kamu bicarakan saat ini adalah dokter, Frans?
“Apa kamu sudah tidak laku? Sampai dirimu merebutnya dariku?” Kalimat itu, masih diingatnya dengan baik. Ia menatap dokter Frans dengan menitikkan air mata. Ucapan dokter Rhea Zalina kala itu, membuat Rose melayangkan sebuah tamparan yang cukup keras. Ia tidak bermaksud merebut siapapun, hingga terjadi miss komunikasi di antara keduanya.“Dokter ….” Rose memanggilnya berulang kali setelah ia mengusap titik embun di sudut kelopak matanya.Dokter Frans terkesiap, ia menoleh ke arah Rose yang menatapnya dengan bola mata berkaca-kaca. Tujuannya menyusul ke Australia untuk membebaskan Rose dari segala tuduhan, ia sangat yakin jika perempuan itu tidak bersalah meski sifatnya sedikit keras kepala. Tapi apa yang didapatinya setelah sampai di tujuan? Perempuan itu seperti telah menolaknya mentah-mentah.“I-Iya, maafkan aku. Tidak seharusnya aku berada di sini, aku hanya ….”“Terima kasih banyak, Dok. Dokter telah menyelamatkan hidupku untuk yang kedua kalinya.” Rose menyela ucapan dokter, Fr
“A-Ampun! Tolong ampuni saya!” Alex mencoba untuk bangkit, tapi ia kesulitan. Kerumunan itu tiba-tiba terbentuk dengan sendirinya. Rose dan Alex sudah berada di dalam lingkaran. Rose mengambil alih kembali, ia melayangkan bogem mentahnya pada Alex.“Hei ….! Berhenti! Apa yang sedang kalian lakukan, hah?! Bukankah kalian itu seharusnya saling menyemangati demi kepulanganmu Nona.” Salah satu petugas itu pun menyusup masuk ke dalam lingkaran. Ia melihat ada dua orang tengah adu kekuatan di antara tahanan yang lain.“Huuu ….” suara sorak sorai disertai tepuk tangan menggema di seluruh ruangan. Mereka berkumpul di satu titik yang dianggap sangat menarik. Bagi mereka, sudah lama tidak ada tontonan yang membuat mereka terlihat sangat bergairah seperti saat ini. Apalagi posisi Rose yang berada di atas tubuh, Alex. Para tahanan itu semakin memberinya semangat untuk meneruskan aksi heroiknya.“Apa-apaan kau ini, Nona?! Ikutlah denganku!” tarik salah satu petugas yang sudah menggenggam erat le
“Suster, tenanglah ….!” dokter Frans berusaha mencegah agar suster Karina menghentikan aksinya. “Tiba-tiba mataku sakit saat melihat suster mondar mandir seperti layangan putus,” ujar dokter Frans dengan menghembuskan napasnya dengan perlahan. Sepertinya ucapan dokter Frans sangat manjur, suster Karina langsung menghentikan aksinya. Ia memandang dokter Frans dengan tatapan yang — entah. “Apa ….?” ia memiringkan wajahnya sedikit. Suster Karina merasa aneh dengan apa yang diucapkan oleh dokter, Frans. Apa benar dokter Frans saat ini sedang sakit mata? Bisa-bisa rencana kepergian mereka gagal hanya karena sakit mata. “Eh, apa-apaan ini, Sus? Apa yang kamu lakukan, hah ….?” tanya dokter Frans yang menyadari jika suster Karina mendekat padanya hanya berjarak sepuluh sentimeter. “Dokter sakit ….? Apa perlu saya ambilkan obat? Kalau sedang sakit mata, jangan dibiarkan begitu saja! Bisa semakin bahaya nantinya, Dok.” Ujar gadis perawat itu memberikan sebuah penjelasan. “Ish, apa sih, S
BRUK ….!Tanpa sengaja Zain telah menabrak seseorang saat ia hendak berjalan ke luar ruangan. Ia sudah berhati-hati dalam melangkahkan kakinya, tapi sepertinya tidak seperti itu. Suasana hatinya yang buruk telah membuat dirinya tidak bisa berpikir dengan jernih apalagi berjalan dengan benar. Walau bagaimanapun Zain harus minta maaf pada pria yang telah ditabraknya itu.“M-Maaf Tuan, saya tidak sengaja melakukannya.” Zain berhenti dan membalikkan tubuhnya untuk lekas minta maaf.Pria yang mengenakan topi itu tidak menjawab, ia hanya mengangguk kecil lantas kembali melanjutkan perjalanannya. Wajahnya yang tertutup masker membuat Zain memicingkan kedua kelopak matanya. Timbul rasa curiga saat pria itu berusaha mengalihkan tatapan, Zain. Ia seakan mengenal gestur pria itu, tapi entah di mana?Tapi apa peduli Zain saat ini. Ia pun berjalan menuju area parkir dan menjumpai Jack yang diperintahkan untuk menunggu di sana. Jack menyambutnya dengan hormat, tidak ada basa-basi di antara keduanya
“Rose, tunggu! Setidaknya berikan aku penjelasan untuk ini,” Zain mencegahnya kmbali, ia tidak terima jika perempuan itu menolaknya secara mentah-mentah.Hening untuk beberapa saat, hingga Rose mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia pun mengangguk kecil, lalu mengatakan sesuatu yang semestinya tanpa bermaksud menentang hukum yang sedang berjalan.“Aku tidak membunuhnya! Sudah berapa kali aku bilang padamu. Aku tidak membunuh istrimu,” ujar Rose yang terpaku untuk beberapa saat.Ia meninggalkan Zain di tengah ruang sidang sendirian, pria itu tidak bisa berbuat banyak. Ia pun harus mematuhi aturan yang berlaku di negeri orang. Dan ia baru menyadari jika telah melakukan satu kesalahan yang fatal.***“Hei, Tuan! Jaga sikap Anda!” kedua petugas itu terkejut saat melihat Zain melompati pagar pembatas. Pria itu nekat mendatangi Rose yang tidak mau bertegur sapa dengannya. Entah ia mendapatkan keberanian dari mana, Zain sudah berdiri tepat di hadapan Rose dengan napas yan
Proses hukum yang kini telah membelitnya membuat Rose tidak dapat berbuat banyak selain satu kata—menunggu."Kenapa rasanya sangat sakit? Apakah aku benar mencintai pria berengsek itu?" gumam Rose sambil duduk di tepi ranjang yang ada di dalam sel tahanan kota."Aku hanya ingin bertemu dengan putriku," tatapannya berubah menjadi nanar, bola matanya berkaca-kaca."Tidak. Aku tidak akan menangis, apalagi menyesali tentang semua masa laluku dengannya." Ia menggeleng pelan, Rose bertarung dengan perasaannya sendiri.Rose mendengus dengan kasar. Rasa kesal di dalam hatinya, membuat tekad Rose mengalahkan emosinya yang begitu besar."Mau sampai kapan kau mendiamkan kopi ini? Aku tidak mau membuang makanan dengan sia-sia." Suara seseorang membuyarkan lamunan Rose seketika.Ia menoleh ke sumber suara, perlahan ia menatap wanita paruh baya yang bekerja sebagai office girl di kantor tahanan kota Perth itu dengan lirikan yang tajam. Rose tidak menjawab, ia pun kembali menghabiskan waktunya denga