Anyelir terbangun di kamar mewah yang masih asing baginya. Suara alat medis di sampingnya menjadi satu-satunya pengingat bahwa tubuhnya masih jauh dari kata pulih. Sekelilingnya tampak sunyi, hanya ada seorang perawat yang sibuk memeriksa peralatan tanpa memedulikannya."Sus ... Dimana ini?" tanya Anye, suaranya lemah namun penuh kegelisahan.Perawat itu tidak menjawab, seolah tidak mendengar. Anye mencoba bangkit sedikit, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk menahan beratnya sendiri.Setelah beberapa saat, pintu kamar terbuka, dan seorang perempuan dengan rambut panjang bergelombang masuk. Wajahnya cantik, tapi mata yang tajam dan senyum dinginnya membuat Anye merasa tidak nyaman.Wajah yang sangat familiar.Wajah yang bertahun-tahun silam pernah datang menemuinya dengan senyuman cerah lalu mengatakan dengan antusias bahwa dia adalah penggemar aktris Lyla Anyelir Daphne.Wajah yang sangat Anye benci dan juga membenci Anye.Takdir buruk sialan ini, telah membuat mereka saling membenci ba
Micko menatap layar ponselnya dengan keraguan yang jelas terlihat di wajahnya. Ia tahu bahwa menelepon Jannieta adalah ide yang sangat berisiko, tapi itu satu-satunya cara untuk menemukan Anyelir. Di sekitarnya, Jaden berdiri dengan wajah tegang, tatapan tajamnya tak pernah lepas dari Micko. Dio, Mark, dan para polisi, termasuk Raka, juga menunggu dengan penuh harap.Dengan berat hati, Micko menekan tombol panggil, menyambungkan dirinya pada perempuan yang sudah lama menjadi mimpi buruk mereka semua. Mimpi buruk yang ia ciptakan sendiri.Nada sambung terdengar cukup lama sebelum akhirnya sebuah suara perempuan yang familier menjawab, suaranya penuh dengan ironi. Anehnya, untuk seseorang yang sedang dalam pelarian, membiarkan nomor ponselnya aktif adalah kebodohan.Apakah Jannieta sebegitu menunggu laki-laki brengsek bernama Micko itu?“Micko,” suara Jannieta terdengar di ujung telepon. Suaranya nampak terkejut yang bercampur senang.“Apa ini kejutan? Kau meneleponku setelah sekian lama
Malam itu, Anyelir terbangun dengan tubuh yang terasa lemah. Suara monitor medis yang berdenting monoton menjadi satu-satunya irama yang mengisi ruangan mewah namun sunyi itu. Lampu di sudut ruangan menyala redup, memancarkan cahaya yang hampir tidak cukup untuk melihat wajah sendiri di cermin.Jannieta baru saja meninggalkan ruangan dengan senyuman puas di wajahnya. Perempuan itu berkata sesuatu tentang bagaimana nasib Anye sekarang sepenuhnya ada di tangannya. Ucapannya dingin dan mengandung ancaman terselubung yang membuat Anyelir bergidik.Namun, di balik ketakutan itu, ada api kecil yang menyala di dalam hati Anyelir. Ia tidak bisa terus terperangkap di tempat ini. Ia harus kembali kepada Jaden, Anna, Thea, dan bayinya.Saat malam semakin larut, Anye pura-pura tertidur ketika perawat yang biasa berjaga di kamarnya memeriksa alat-alat medis. Sesekali, Anye mengintip melalui kelopak mata yang setengah tertutup, memastikan gerak-gerik perawat itu. Setelah beberapa menit, perawat men
Malam itu, Jaden, Micko, Dio, dan tim polisi bergegas menuju sebuah vila terpencil milik keluarga Jannieta. Mereka baru saja mendapatkan informasi akurat tentang lokasi persembunyian Jannie setelah melacak panggilan terakhirnya. Selama perjalanan, suasana di mobil terasa tegang.Jaden duduk di depan, menggenggam setir dengan erat, wajahnya menunjukkan amarah yang hampir meledak. Di kursi belakang, Dio berusaha menenangkan Micko yang tampak gelisah."Kita harus menemukannya malam ini," gumam Jaden, nadanya dingin."Kami sudah mengepung area vila," kata salah satu polisi yang duduk di samping Jaden. "Tidak ada yang akan lolos."Namun, Jaden tidak hanya ingin menangkap Jannieta. Ia ingin menemukan istrinya, Anyelir.Ketika mereka tiba di vila, suasana sunyi. Tim polisi bergerak hati-hati, mengepung sekeliling bangunan besar itu. Lampu di beberapa ruangan masih menyala, menandakan bahwa ada orang di dalam.Dengan isyarat tangan dari komandan polisi, penyergapan dimulai. Pintu vila didobra
Hujan deras mengguyur malam itu, membasahi hutan lebat di sekitar vila tempat Anyelir ditawan. Tubuhnya yang lemah dan penuh luka memaksa terus berjuang setelah berhasil melarikan diri. Pakaian rumah sakit yang dikenakannya kini kotor dan sobek. Langkahnya tertatih-tatih di jalan setapak yang hampir tertutup semak belukar.Namun, keberaniannya membawa risiko. Jalanan yang licin membuatnya kehilangan keseimbangan. Ia tergelincir dan jatuh ke jurang yang curam. Tubuhnya berguling-guling di lereng bukit, menghantam batu dan dahan pohon sebelum akhirnya berhenti menabrak batang besar di dasar jurang.Pagi itu, tiga pria tengah memancing di sungai kecil yang mengalir di dekat jurang. Mereka adalah warga desa yang tinggal beberapa kilometer dari lokasi. Salah satu dari mereka, Pak Sulaiman, memperhatikan sesuatu yang tampak seperti tubuh manusia terbaring di dasar jurang.“Pak, lihat itu!” serunya sambil menunjuk.Keduanya langsung menghentikan aktivitas memancing dan bergegas mendekati tub
Pagi itu, sinar matahari yang lembut menembus tirai ruang ICU, memeluk segala sudut dengan cahaya keemasan. Di balik kaca bening, Jaden berdiri, matanya tak lepas dari tubuh lemah yang terbaring di atas tempat tidur. Wajah Anyelir tampak pucat, tetapi ada ketenangan di sana. Selama berbulan-bulan, hanya harapan yang membuat Jaden bertahan—harapan bahwa istrinya akan kembali membuka mata dan memanggil namanya.Lalu, keajaiban itu terjadi. Perlahan, kelopak mata Anyelir bergerak. Dengan usaha yang terlihat berat, ia membuka matanya, menatap langit-langit putih yang asing. Ia merasa bingung, tubuhnya terasa berat dan nyeri di setiap inci. Tapi sebelum sempat berpikir lebih jauh, pandangannya tertuju pada sosok di balik kaca itu.Jaden.Mata mereka bertemu. Wajah Jaden yang lelah tiba-tiba berubah. Mata pria itu membelalak, seolah tak percaya. Detik berikutnya, ia berlari keluar ruangan, memanggil dokter dengan suara yang penuh emosi.“Doctor! She’s awake! My wife is awake!”Tim dokter se
Di ruang interogasi yang sunyi, hanya ada suara detak jam dinding yang memecah keheningan. Jaden berdiri di balik meja, memandangi sosok Jannie yang kini tampak sangat berbeda dari sosok perempuan angkuh dan penuh percaya diri yang dulu ia kenal. Wajah Jannie tampak kuyu, rambutnya acak-acakan, dan matanya sembap karena menangis. Dalam balutan pakaian tahanan, perempuan itu terlihat seperti bayangan dirinya yang dulu.Jaden menghela napas panjang, menahan emosi yang masih membara dalam dadanya. "Jannie," panggilnya dingin.Jannie mengangkat wajahnya perlahan. Begitu melihat Jaden, ia menangis lagi, tubuhnya berguncang hebat.“Jaden…” suaranya serak dan gemetar. “Kenapa kamu ke sini? Apa yang kamu mau?”Jaden melipat tangannya di dada, memandang Jannie dengan tatapan tajam. "Aku ingin jawaban. Tidak lebih, tidak kurang."Jannie terdiam. Tangisnya semakin pecah, tetapi ia tetap tidak mengeluarkan sepatah kata pun."Aku sudah memastikan seluruh kejahatan keluargamu tersebar ke media," la
Di ruang interogasi yang pengap, Mina duduk dengan tangan terborgol di depan meja besi. Wajahnya yang dulu angkuh kini tampak penuh guratan penyesalan dan lelah. Namun, tatapan matanya tetap menunjukkan ketidaksukaan saat Jaden dan Anyelir masuk ke dalam ruangan.Jaden, yang mengenakan setelan sederhana, terlihat dingin dan penuh dendam. Di sampingnya, Anyelir mencoba tetap tenang meski hatinya terasa berat melihat perempuan yang telah menghancurkan keluarganya.“Mina,” Jaden membuka percakapan dengan nada rendah namun tegas. “Aku tidak akan membuang waktumu—dan waktuku. Aku hanya ingin kamu tahu, gugatanmu soal hak asuh Anna dan Thea sudah dibatalkan. Pengadilan akhirnya melihat kebenaran setelah semua yang kamu lakukan.”Mina tersenyum tipis, penuh kepahitan. “Jadi kamu di sini untuk menyombongkan kemenanganmu, Jaden? Setelah semua yang kita lalui, kamu tetap saja ingin menjatuhkanku lebih dalam.”Jaden mengepal tangannya. Rasa marah bercampur jijik membuatnya sulit berkata-kata. "K
Tidak pernah ada yang bisa memaksakan hati seseorang, bergerak ke arah mana, berlabuh pada siapa, dan menyimpannya dengan jenis perasaan bagaimana.Segalanya misteri. Sulit untuk ditebak.Saat Anyelir kehilangan Micko --yang tiba-tiba menikah dengan Jannieta-- ia tidak pernah sekalipun akan menyangka bahwa di ujung perjalanan itu akan dipenuhi oleh darah dan duka.Saat Anyelir memutuskan masih bermain belakang dengan Micko --padahal ia sudah menikah dengan Jannieta-- ia tidak pernah membayangkan bahwa akan ada yang hampir mati, yang berbulan-bulan antara sadar dan tidak, hingga ada yang benar-benar terkubur di tanah.Anyelir, saat ia memutuskan pergi ke Paris dan jatuh cinta pada Jaden dan kedua anaknya, ia tidak pernah menyangka bahwa ia akan menyeret mereka semua berada dalam lingkaran setan yang berbahaya itu.Tidak ada yang tahu.Siapapun, termasuk Anyelir.Andai ia tahu, ia tidak akan pernah memulai segalanya. Ia akan merelakan Micko berbahagia dengan Jannieta. Ia juga akan berte
"Ruang operasi?" Jaden kompak berseru bersama Anye. Mereka saling pandang dengan raut penuh keheranan dan cemas. Lanjut Jaden. "Di rumah sakit mana? Anakku kenapa?"Si detektif swasta itu menunjukkan sebuah alamat yang kemudian direbut Jaden dengan tergesa. Lalu ketiganya bergegas menuju rumah sakit yang dimaksud.Hati Jaden dan Anye tentu berdebar tak keruan. Ketakutan, cemas, gelisah, berbagai pikiran buruk yang hilir mudik di kepala. Hingga ketika Dio mengabarkan lewat pesan singkat perihal keadaan Micko yang dinyatakan hilang setahun lalu dengan terduga Jannieta sebagai pelakunya, ketakutan itu bertambah menjadi berkali-kali lipat.Anye menangis di pelukan Jaden. Ternyata, obsesi Jannieta dari 12 tahun silam, mengekori mereka hingga hari ini. Ke Paris. Ke kehidupan mereka yang sebelumnya tenang dan damai.^^^Anna memberontak. Tangan dan kakinya dibebat tali, namun ia masih bisa bergerak-gerak untuk menunjukkan penolakan. Hanya saja, yang ada di sana, di ruangan dengan cahaya-caha
"Dia ibu kamu?"Wajar rasanya bila Anna hampir terpekik saat mendengar Dylan Louise mengatakan perempuan jahat itu adalah ibunya. Bagaimanapun Anna masih mengingat bagaimana rasa takut, gelisah, putus asanya ketika ia mengalami insiden penculikan 12 tahun silam.Dan itu karena perempuan yang diakui Dylan Louise sebagai ibunya."Tentu saja, yang cantik dan berhati hangat itu ... ibuku."Anna melengos, ia meludah kecil mendengar kata' hangat' yang meluncur dari mulut Dylan Louise. Wanita yang menjadi dalang kecelakaan keluarganya, menculik ia dan Thea, juga bahkan menculik ibunya yang koma di rumah sakit. Katakan pada Anna, di mana letak 'baik' dan 'hangat' yang Dylan katakan tadi?"Baik?" Anna mendengus. "Kamu tidak tahu seberapa jahatnya perempuan itu."Dylan mengernyit, menatap tak suka pada Anna. "Jangan membual. Kamu yang tidak tahu apapun soal ibuku."Anna tidak habis pikir. Laki-laki itu, yang kemarin masih bersikap manis padanya, ternyata bisa berubah dengan cepat."Lebih baik k
Jaden mungkin pernah gagal membina rumah tangganya dengan Mina, tapi ia tentu saja, tidak akan pernah membenci buah hati yang ia dapatkan dari pernikahan itu. Ia sangat mencintai si kembar, Anna dan Thea. Apalagi setelah keduanya mengalami banyak nasib buruk 12 tahun silam, Jaden jadi semakin protektif demi menjaga keduanya. 'Kami merasa sesak ayah.' Kemarin Thea bercerita sambil menangis saat ia mengatakan permasalahan Anna. 'Kami merasa sesak karena sikap posesi ayah. Tapi aku juga nggak menyangka bahwa Anna akan senekat ini hanya karena seorang laki-laki.' Jaden mengusap wajahnya kasar. Perjalanan dari Colmar ke Paris terasa lama sekali, padahal ia sudah dikejar waktu. Tidak mungkin sekali, Jannieta yang selama ini tenang, diam-diam mengirimi istrinya sebuah foto dengan Dylan Louise. Perempuan itu pasti sudah mengetahui bahwa Jaden menemukan asal usul Dylan. Si nak adopsinya. "Ini semua salahku." Suara Anye, di sisinya, tiba-tiba terdengar parau. Perempuan itu, menangis di leng
Jaden tidak bisa mentoleransi lagi. Ini Jannieta. Perempuan gila yang hampir membunuhnya, keluarganya, sahabat-sahabatnya. Perempuan gila yang dulu menculik anak-anak dan istrinya. Jaden bergerak cepat. Ia mencari keberadaan Dylan Louise dan mengajak Mark untuk mendatangi tempat tersebut. Sebuah apartemen kecil di sudut kota Paris. Apartemen yang bahkan tak layak untuk ditempati putri kesayangannya. Duh ... Jaden merasa perih. Bisa-bisanya Anna lebih memilih laki-laki itu, dengan keadaan yang tidak lebih baik, dibandingkan keluarganya sendri. Jaden menoleh sesaat pada Mark. Ia meminta persetujuan untuk memulai. Dan sang adik ipar mengangguk sebagai tanda setuju. Jaden mengetuk. Satu kali, dua, hingga lima. Jaden mengetuk namun tak ada jawaban dari dalam sana. Hening saja. Jaden merasa heran. Ia lantas mengencangkan ketukan jemarinya di pintu. Atau lebih tepatnya jika disebut dengan menggedor. Jaden tidak punya waktu untuk bersopan santun setelah si laki-laki brengsek itu
Thea tidak punya banyak pilihan selain akhirnya beringsut menuju rumah sang ayah. Meski awalnya ia memang ingin merahasiakan kepergian Anna, dan berusaha sendiri untuk membujuk sang kembaran pulang. Tapi kini, melihat hasil nihil tersebut, Thea jadi berpikir ulang. Ayahnya yang harus turun tangan. Ia yang bisa menyeret Anna kembali kepada keluarga mereka. Meski tentu saja, sebagai akibat perbuatan Anna ini, kebebasannya pun akan dipertaruhkan. Oh ayolah, sang ayah akan menjadi lebih superrrr strict. Ia dan Anna mungkin tidak akan pernah mendapatkan izin untuk tinggal terpisah kembali. Langkah Thea berhenti di depan pintu rumah orang tuanya. Mematung sesaat, ragu melingkupinya. Ia kembali menimbang soal apakah akan mengadukan sang saudara kembar atau membiarkannya saja. Saat Thea masih membeku, tiba-tiba pintu terbuka. Suara bersorak yang muncul dari adik laki-lakinya; Bhumi, menyadarkan Thea. "Kak, kapan kakak datang? Ayo main game denganku." Thea mengusap puncak kepala Bhumi.
Hujan turun perlahan di luar jendela. Butiran airnya membasahi kaca, menciptakan pola-pola abstrak yang tak beraturan. Thea duduk di ujung tempat tidur, ponselnya tergenggam erat di telapak tangan. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Anna, dan untuk kesekian kalinya hanya nada tunggu yang menjawab. Namun kali ini, saat ia hampir menyerah, suara di ujung sana akhirnya terdengar. "Halo?" suara Anna pelan, nyaris berbisik. Thea menghela napas panjang, menekan rasa kesal yang mengendap dalam dirinya. "Anna, kamu di mana? Pulanglah. Sebelum Ayah tahu, sebelum semuanya bertambah buruk." Ada jeda sejenak sebelum Anna menjawab. "Aku tidak akan pulang, Thea. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin hidup bersama Dylan." Dada Thea terasa sesak. Ia berusaha menahan diri agar tidak meledak di telepon. "Kamu gegabah, Anna. Kamu baru mengenal Dylan sebentar. Kamu tidak bisa memutuskan sesuatu yang sekritis ini begitu saja." "Aku sudah cukup dewasa untuk tahu apa yang aku inginkan, Thea. Aku me
Hembusan angin musim semi menggoyangkan rambutnya yang sedikit berantakan, tapi sorot matanya tajam. Langkahnya ringan, seolah seluruh dunia sedang berjalan mengikuti iramanya.Semua seperti sedang memberi hormat padanya. Karena satu langkah pencapaian yang ia dapat dengan mudah.Ia trtawa. Riang. Matanya jelas menunjukkan sisi gelap dan misterius, tapi tawa kekanak-kanakan itu justru lebih menakutkan.Saat ia mendengar apa yang terjadi pada sang ibunda, ia kira, mengemban tugas ini akan sangat menyulitkan. Ia mungkin butuh banyak tahun. Dengan segala pengorbanan di dalamnya. Ternyata, hey, hanya butuh satu dua bulanIa sudah hampir menang. Saat ia berhenti di depan sebuah apartemen di sudut kota Paris, jauh dari hingar-bingar mahasiswa ENS lainnya, tawanya yang penuh itu mendadak menghilang. Ia memasang wajah yang jauh lebih manis, melunak, penuh kehangatan. Setelah beberapa ketukan, pintu terbuka, dan di baliknya berdiri seorang gadis dengan rambut panjang tergerai, wajahnya sediki
Malam itu, angin Paris bertiup lirih, menyusup ke celah-celah jendela apartemen yang lengang. Thea menghempaskan tubuhnya ke sofa, melepas sepatu dengan gerakan malas, lalu memejamkan mata sejenak. Ia baru saja pulang dari kediaman orang tuanya, setelah semalaman mendengarkan debat panjang antara Jaden dan Anye soal bagaimana mereka harus menangani sikap Anna yang semakin sulit dikendalikan. Namun, ada sesuatu yang janggal. Ia merasa sesuatu terasa aneh. Seperti perasaan yang tidak biasa. Benar. Apartemennya terlalu tenang. Apartemen terasa terlalu sepi. Sunyi yang berbeda dari biasanya. Biasanya, setidaknya suara lagu dari ponsel Anna akan bergema di salah satu sudut ruangan atau aroma teh melati yang biasa diminum Anna akan menyelinap hingga ke ruang tengah. Atau awal mereka pindah, Anna akan berceloteh soal anak-anak tampan di kelasnya, juga soal si brengsek Dylan, hingga beberapa terakhir ... perdebatan juga meramaikan tempat mereka berdua tinggal. Tapi kali ini ... kosong.