Hidup Jaden sudah cukup sulit dengan kondisi Anye yang masih terbaring koma selama berbulan-bulan. Dia harus mengatur waktunya untuk mengurus Bhumi, bayi laki-lakinya yang baru lahir, sekaligus menjaga kedua anak kembarnya, Anna dan Thea, yang masih berusia tujuh tahun. Kehidupan mereka yang sudah penuh dengan perjuangan itu kini harus menghadapi badai baru: Mina, ibu kandung Anna dan Thea, kembali untuk menuntut hak asuh atas kedua anak mereka.Ketika jelas, dulu sekali, Mina tidak pernah peduli pada dua anak mereka.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Jaden dingin.Mina bergeming. Ia hanya menatap Sella tak suka sebelum akhirnya menatap Jaden kembali. "Karena aku sudah membantu kamu menemukan Jannieta ... sekarang kabulkan keinginanku."Jaden mengernyit. "Keinginan?"Sella dan Dio saling berpandangan. "Kembalikan kedua putriku ... padaku. Karena jelas, sekarang kamu tidak bisa merawatnya ketika istri kamu sendiri antara hidup dan mati, kan?" Mina menunjuk pada pintu ruang ICU, t
Hari itu terasa biasa saja bagi Jaden. Langit cerah menyapa dengan hangat, seolah tidak ada tanda-tanda sesuatu yang buruk akan menambahi bebannya. Itu masih jam makan siang, masih sibuk berdiskusi bersama lawyernya terkait gugatan hak asuh yang dilayangkan oleh Mina, ketika Dio yang berangkat untuk menjemput Anna dan Thea dari sekolah meneleponnya dengan gusar."Jaden," suara dari seberang telepon sana nampak kebingungan. "Anna dan Thea tidak ada di sekolah. Guru mereka bilang mereka sudah dijemput.”Jaden langsung berdiri dari kursinya. “Dijemput? Dijemput siapa?”Dio menggeleng, suaranya bergetar. “Katanya mereka dijemput oleh seseorang yang mereka kenal. Guru itu yakin, karena Anna dan Thea tampak senang saat pergi. Tapi sampai sekarang, Mark, Sella dan Naeema bilang bahwa keduanya belum sampai ke rumah."Sekujur tubuh Jaden terasa dingin. Kata-kata Dio menggema di benaknya. Anak-anaknya—kedua putrinya yang berusia tujuh tahun—hilang.Tanpa berpikir panjang, Jaden langsung menuju
Jaden duduk di ruang tamu, kedua tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Di depannya, layar ponsel menyala, menunjukkan pesan terakhir dari si penculik: “Kami menginginkan 1 miliar dalam waktu 48 jam. Jangan coba-coba menelepon polisi. Jika melanggar, nyawa Anna dan Thea yang akan menjadi taruhannya.”Matanya melirik foto dua gadis kecil kembar berusia tujuh tahun yang terpampang di dinding ruang tamu. Anna dan Thea. Putri kecilnya yang selalu mengisi hari-harinya dengan canda tawa. Kini, mereka berada dalam bahaya, dan Jaden tidak tahu harus berbuat apa."Tenang, Jaden," kata Dio, sahabatnya, yang duduk di sofa di seberangnya. "Kita akan menemukan cara. Kita tidak akan membiarkan mereka menyentuh putrimu sedikit pun."Naeema, berdiri dengan ekspresi cemas di sudut ruangan. "Tapi bagaimana caranya? Kita harus memastikan bahwa kedua squishy baik-baik saja."Sella, mencoba menenangkan semua orang. "Aku punya saudara di kepolisian. Dia bisa membantu kita tanpa membuat
Jaden menggendong Anna di satu lengan dan memegang tangan Thea dengan tangan lainnya, berjalan menjauh dari gudang tua yang penuh dengan kenangan buruk. Kedua anak kembarnya menangis tersedu-sedu, tubuh mereka gemetar dalam pelukan ayah mereka. “Papa... pulang... kita mau pulang,” Anna terisak, menyembunyikan wajahnya di leher Jaden. “Iya, Papa akan bawa kalian pulang,” jawab Jaden, mencoba menenangkan mereka meskipun dadanya terasa sesak. Rasa lega bahwa anak-anaknya selamat bercampur dengan kekhawatiran. Kata-kata si penculik tentang “rencana B” terus terngiang di kepalanya, seperti ancaman tak terlihat yang siap menghantam kapan saja. Namun, sebelum Jaden bisa mencapai mobilnya, Mina tiba-tiba menghadang langkahnya. Perempuan itu terlihat tegang, tapi ada air mata yang mengalir di pipinya. “Jaden, tunggu!” seru Mina. “Kau tidak bisa begitu saja pergi dengan mereka. Aku butuh waktu dengan Anna dan Thea. Aku juga sama takutnya tadi. Mereka anak-anakku juga!” Jaden berhenti, men
Di sebuah lorong rumah sakit yang sepi, seorang pria berjas putih berjalan dengan langkah tergesa-gesa. Wajahnya tertutup masker medis, hanya menyisakan sepasang mata tajam yang sesekali melirik ke sekeliling. Di belakangnya, seorang perempuan dengan seragam perawat mendorong kursi roda di mana seorang wanita terbaring lemah. Wanita itu adalah Anyelir. Meski matanya terbuka, pandangannya kosong dan tubuhnya tampak lunglai. Sadar dari koma selama berbulan-bulan tidak menghapuskan fakta bahwa tubuhnya masih sangat lemah, hampir tidak mampu menopang dirinya sendiri. “Kita harus cepat,” bisik pria itu pada perempuan di belakangnya. “Kondisinya tidak stabil. Kalau kita terlambat, ini akan berbahaya.” Mereka keluar melalui pintu belakang rumah sakit, tempat sebuah mobil van sudah menunggu. Dengan bantuan perempuan itu, pria berjas putih mengangkat tubuh Anyelir ke dalam mobil dengan hati-hati. Setelah memastikan Anyelir terbaring dengan aman, mereka segera melesat pergi. Perjalanan
Anyelir membuka matanya perlahan, merasakan kelemahan yang menjalar di seluruh tubuhnya. Ruangan yang asing menyambut pandangannya—kamar yang luas, dengan dinding berwarna krem lembut, perabotan mewah, dan jendela besar yang memancarkan cahaya matahari. Di sekelilingnya, alat-alat medis berdiri kokoh, monitor berbunyi lembut dengan irama detak jantungnya. Anye mencoba mengingat apa yang terakhir kali terjadi. Kecelakaan. Koma. Suara Jaden yang kadang terdengar di sela-sela tidurnya. Tapi sekarang, tidak ada Jaden. Tidak ada suara anak-anaknya. "Jaden... Anna... Thea..." panggilnya pelan, suaranya serak. Tapi tidak ada yang merespons. "Bayiku ... dimana bayiku," ratap Anye sambil melihat ke perutnya yang kini terasa rata. Seorang perempuan berseragam perawat memasuki ruangan, memeriksa alat-alat medis tanpa sedikit pun memperhatikan Anye. "Maaf... di mana saya? Di mana keluarga saya?" tanya Anye, mencoba mengangkat tangannya yang berat. Namun, perawat itu tidak menjawab, seol
Anyelir terbangun di kamar mewah yang masih asing baginya. Suara alat medis di sampingnya menjadi satu-satunya pengingat bahwa tubuhnya masih jauh dari kata pulih. Sekelilingnya tampak sunyi, hanya ada seorang perawat yang sibuk memeriksa peralatan tanpa memedulikannya."Sus ... Dimana ini?" tanya Anye, suaranya lemah namun penuh kegelisahan.Perawat itu tidak menjawab, seolah tidak mendengar. Anye mencoba bangkit sedikit, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk menahan beratnya sendiri.Setelah beberapa saat, pintu kamar terbuka, dan seorang perempuan dengan rambut panjang bergelombang masuk. Wajahnya cantik, tapi mata yang tajam dan senyum dinginnya membuat Anye merasa tidak nyaman.Wajah yang sangat familiar.Wajah yang bertahun-tahun silam pernah datang menemuinya dengan senyuman cerah lalu mengatakan dengan antusias bahwa dia adalah penggemar aktris Lyla Anyelir Daphne.Wajah yang sangat Anye benci dan juga membenci Anye.Takdir buruk sialan ini, telah membuat mereka saling membenci ba
Micko menatap layar ponselnya dengan keraguan yang jelas terlihat di wajahnya. Ia tahu bahwa menelepon Jannieta adalah ide yang sangat berisiko, tapi itu satu-satunya cara untuk menemukan Anyelir. Di sekitarnya, Jaden berdiri dengan wajah tegang, tatapan tajamnya tak pernah lepas dari Micko. Dio, Mark, dan para polisi, termasuk Raka, juga menunggu dengan penuh harap.Dengan berat hati, Micko menekan tombol panggil, menyambungkan dirinya pada perempuan yang sudah lama menjadi mimpi buruk mereka semua. Mimpi buruk yang ia ciptakan sendiri.Nada sambung terdengar cukup lama sebelum akhirnya sebuah suara perempuan yang familier menjawab, suaranya penuh dengan ironi. Anehnya, untuk seseorang yang sedang dalam pelarian, membiarkan nomor ponselnya aktif adalah kebodohan.Apakah Jannieta sebegitu menunggu laki-laki brengsek bernama Micko itu?“Micko,” suara Jannieta terdengar di ujung telepon. Suaranya nampak terkejut yang bercampur senang.“Apa ini kejutan? Kau meneleponku setelah sekian lama
Tidak pernah ada yang bisa memaksakan hati seseorang, bergerak ke arah mana, berlabuh pada siapa, dan menyimpannya dengan jenis perasaan bagaimana.Segalanya misteri. Sulit untuk ditebak.Saat Anyelir kehilangan Micko --yang tiba-tiba menikah dengan Jannieta-- ia tidak pernah sekalipun akan menyangka bahwa di ujung perjalanan itu akan dipenuhi oleh darah dan duka.Saat Anyelir memutuskan masih bermain belakang dengan Micko --padahal ia sudah menikah dengan Jannieta-- ia tidak pernah membayangkan bahwa akan ada yang hampir mati, yang berbulan-bulan antara sadar dan tidak, hingga ada yang benar-benar terkubur di tanah.Anyelir, saat ia memutuskan pergi ke Paris dan jatuh cinta pada Jaden dan kedua anaknya, ia tidak pernah menyangka bahwa ia akan menyeret mereka semua berada dalam lingkaran setan yang berbahaya itu.Tidak ada yang tahu.Siapapun, termasuk Anyelir.Andai ia tahu, ia tidak akan pernah memulai segalanya. Ia akan merelakan Micko berbahagia dengan Jannieta. Ia juga akan berte
"Ruang operasi?" Jaden kompak berseru bersama Anye. Mereka saling pandang dengan raut penuh keheranan dan cemas. Lanjut Jaden. "Di rumah sakit mana? Anakku kenapa?"Si detektif swasta itu menunjukkan sebuah alamat yang kemudian direbut Jaden dengan tergesa. Lalu ketiganya bergegas menuju rumah sakit yang dimaksud.Hati Jaden dan Anye tentu berdebar tak keruan. Ketakutan, cemas, gelisah, berbagai pikiran buruk yang hilir mudik di kepala. Hingga ketika Dio mengabarkan lewat pesan singkat perihal keadaan Micko yang dinyatakan hilang setahun lalu dengan terduga Jannieta sebagai pelakunya, ketakutan itu bertambah menjadi berkali-kali lipat.Anye menangis di pelukan Jaden. Ternyata, obsesi Jannieta dari 12 tahun silam, mengekori mereka hingga hari ini. Ke Paris. Ke kehidupan mereka yang sebelumnya tenang dan damai.^^^Anna memberontak. Tangan dan kakinya dibebat tali, namun ia masih bisa bergerak-gerak untuk menunjukkan penolakan. Hanya saja, yang ada di sana, di ruangan dengan cahaya-caha
"Dia ibu kamu?"Wajar rasanya bila Anna hampir terpekik saat mendengar Dylan Louise mengatakan perempuan jahat itu adalah ibunya. Bagaimanapun Anna masih mengingat bagaimana rasa takut, gelisah, putus asanya ketika ia mengalami insiden penculikan 12 tahun silam.Dan itu karena perempuan yang diakui Dylan Louise sebagai ibunya."Tentu saja, yang cantik dan berhati hangat itu ... ibuku."Anna melengos, ia meludah kecil mendengar kata' hangat' yang meluncur dari mulut Dylan Louise. Wanita yang menjadi dalang kecelakaan keluarganya, menculik ia dan Thea, juga bahkan menculik ibunya yang koma di rumah sakit. Katakan pada Anna, di mana letak 'baik' dan 'hangat' yang Dylan katakan tadi?"Baik?" Anna mendengus. "Kamu tidak tahu seberapa jahatnya perempuan itu."Dylan mengernyit, menatap tak suka pada Anna. "Jangan membual. Kamu yang tidak tahu apapun soal ibuku."Anna tidak habis pikir. Laki-laki itu, yang kemarin masih bersikap manis padanya, ternyata bisa berubah dengan cepat."Lebih baik k
Jaden mungkin pernah gagal membina rumah tangganya dengan Mina, tapi ia tentu saja, tidak akan pernah membenci buah hati yang ia dapatkan dari pernikahan itu. Ia sangat mencintai si kembar, Anna dan Thea. Apalagi setelah keduanya mengalami banyak nasib buruk 12 tahun silam, Jaden jadi semakin protektif demi menjaga keduanya. 'Kami merasa sesak ayah.' Kemarin Thea bercerita sambil menangis saat ia mengatakan permasalahan Anna. 'Kami merasa sesak karena sikap posesi ayah. Tapi aku juga nggak menyangka bahwa Anna akan senekat ini hanya karena seorang laki-laki.' Jaden mengusap wajahnya kasar. Perjalanan dari Colmar ke Paris terasa lama sekali, padahal ia sudah dikejar waktu. Tidak mungkin sekali, Jannieta yang selama ini tenang, diam-diam mengirimi istrinya sebuah foto dengan Dylan Louise. Perempuan itu pasti sudah mengetahui bahwa Jaden menemukan asal usul Dylan. Si nak adopsinya. "Ini semua salahku." Suara Anye, di sisinya, tiba-tiba terdengar parau. Perempuan itu, menangis di leng
Jaden tidak bisa mentoleransi lagi. Ini Jannieta. Perempuan gila yang hampir membunuhnya, keluarganya, sahabat-sahabatnya. Perempuan gila yang dulu menculik anak-anak dan istrinya. Jaden bergerak cepat. Ia mencari keberadaan Dylan Louise dan mengajak Mark untuk mendatangi tempat tersebut. Sebuah apartemen kecil di sudut kota Paris. Apartemen yang bahkan tak layak untuk ditempati putri kesayangannya. Duh ... Jaden merasa perih. Bisa-bisanya Anna lebih memilih laki-laki itu, dengan keadaan yang tidak lebih baik, dibandingkan keluarganya sendri. Jaden menoleh sesaat pada Mark. Ia meminta persetujuan untuk memulai. Dan sang adik ipar mengangguk sebagai tanda setuju. Jaden mengetuk. Satu kali, dua, hingga lima. Jaden mengetuk namun tak ada jawaban dari dalam sana. Hening saja. Jaden merasa heran. Ia lantas mengencangkan ketukan jemarinya di pintu. Atau lebih tepatnya jika disebut dengan menggedor. Jaden tidak punya waktu untuk bersopan santun setelah si laki-laki brengsek itu
Thea tidak punya banyak pilihan selain akhirnya beringsut menuju rumah sang ayah. Meski awalnya ia memang ingin merahasiakan kepergian Anna, dan berusaha sendiri untuk membujuk sang kembaran pulang. Tapi kini, melihat hasil nihil tersebut, Thea jadi berpikir ulang. Ayahnya yang harus turun tangan. Ia yang bisa menyeret Anna kembali kepada keluarga mereka. Meski tentu saja, sebagai akibat perbuatan Anna ini, kebebasannya pun akan dipertaruhkan. Oh ayolah, sang ayah akan menjadi lebih superrrr strict. Ia dan Anna mungkin tidak akan pernah mendapatkan izin untuk tinggal terpisah kembali. Langkah Thea berhenti di depan pintu rumah orang tuanya. Mematung sesaat, ragu melingkupinya. Ia kembali menimbang soal apakah akan mengadukan sang saudara kembar atau membiarkannya saja. Saat Thea masih membeku, tiba-tiba pintu terbuka. Suara bersorak yang muncul dari adik laki-lakinya; Bhumi, menyadarkan Thea. "Kak, kapan kakak datang? Ayo main game denganku." Thea mengusap puncak kepala Bhumi.
Hujan turun perlahan di luar jendela. Butiran airnya membasahi kaca, menciptakan pola-pola abstrak yang tak beraturan. Thea duduk di ujung tempat tidur, ponselnya tergenggam erat di telapak tangan. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Anna, dan untuk kesekian kalinya hanya nada tunggu yang menjawab. Namun kali ini, saat ia hampir menyerah, suara di ujung sana akhirnya terdengar. "Halo?" suara Anna pelan, nyaris berbisik. Thea menghela napas panjang, menekan rasa kesal yang mengendap dalam dirinya. "Anna, kamu di mana? Pulanglah. Sebelum Ayah tahu, sebelum semuanya bertambah buruk." Ada jeda sejenak sebelum Anna menjawab. "Aku tidak akan pulang, Thea. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin hidup bersama Dylan." Dada Thea terasa sesak. Ia berusaha menahan diri agar tidak meledak di telepon. "Kamu gegabah, Anna. Kamu baru mengenal Dylan sebentar. Kamu tidak bisa memutuskan sesuatu yang sekritis ini begitu saja." "Aku sudah cukup dewasa untuk tahu apa yang aku inginkan, Thea. Aku me
Hembusan angin musim semi menggoyangkan rambutnya yang sedikit berantakan, tapi sorot matanya tajam. Langkahnya ringan, seolah seluruh dunia sedang berjalan mengikuti iramanya.Semua seperti sedang memberi hormat padanya. Karena satu langkah pencapaian yang ia dapat dengan mudah.Ia trtawa. Riang. Matanya jelas menunjukkan sisi gelap dan misterius, tapi tawa kekanak-kanakan itu justru lebih menakutkan.Saat ia mendengar apa yang terjadi pada sang ibunda, ia kira, mengemban tugas ini akan sangat menyulitkan. Ia mungkin butuh banyak tahun. Dengan segala pengorbanan di dalamnya. Ternyata, hey, hanya butuh satu dua bulanIa sudah hampir menang. Saat ia berhenti di depan sebuah apartemen di sudut kota Paris, jauh dari hingar-bingar mahasiswa ENS lainnya, tawanya yang penuh itu mendadak menghilang. Ia memasang wajah yang jauh lebih manis, melunak, penuh kehangatan. Setelah beberapa ketukan, pintu terbuka, dan di baliknya berdiri seorang gadis dengan rambut panjang tergerai, wajahnya sediki
Malam itu, angin Paris bertiup lirih, menyusup ke celah-celah jendela apartemen yang lengang. Thea menghempaskan tubuhnya ke sofa, melepas sepatu dengan gerakan malas, lalu memejamkan mata sejenak. Ia baru saja pulang dari kediaman orang tuanya, setelah semalaman mendengarkan debat panjang antara Jaden dan Anye soal bagaimana mereka harus menangani sikap Anna yang semakin sulit dikendalikan. Namun, ada sesuatu yang janggal. Ia merasa sesuatu terasa aneh. Seperti perasaan yang tidak biasa. Benar. Apartemennya terlalu tenang. Apartemen terasa terlalu sepi. Sunyi yang berbeda dari biasanya. Biasanya, setidaknya suara lagu dari ponsel Anna akan bergema di salah satu sudut ruangan atau aroma teh melati yang biasa diminum Anna akan menyelinap hingga ke ruang tengah. Atau awal mereka pindah, Anna akan berceloteh soal anak-anak tampan di kelasnya, juga soal si brengsek Dylan, hingga beberapa terakhir ... perdebatan juga meramaikan tempat mereka berdua tinggal. Tapi kali ini ... kosong.