Sometimes life doesn't give you what you want, not because you don't deserve it, but because you deserve so much more. Usia 10 tahun dengan gempita luka yang ditorehkan oleh sosok paling berarti dalam hidup ada dalam tragisnya hidup Lyla Anyelir. Oleh seorang ibu yang seharusnya menjadi panutan. Lyla Anyelir juga terperosok pada getirnya pengkhianatan oleh seseorang yang sudah 6 tahun dalam jalinan kasih. Bahkan setelah koyak luka diberbagai sudut hati, pun aku masih menenggelamkan diri dalam kehinaan lainnya. Mencintai seseorang yang sudah memiliki istri. Mungkin memang benar bahwa apa yang aku lewatkan, apa yang Tuhan tidak berikan saat itu, semata-mata memang karena itu bukan untukku. Atau bila boleh berjumawa sedikit, mungkin ada yang lebih baik yang sedang Tuhan siapkan untukku.Dan hari ini, Jaden dalam keseriusannya menjadi 'hal lebih' yang Tuhan berikan sebagai reward. Atas kesadaranku meninggalkan apa yang bukan lagi milikku. Atau atas relaku untuk menggenapkan lupa perihal
Bukan Thailand.Tapi Bali.Dulu, saat semua skandal yang aku ciptakan membuat kegaduhan di berbagai sisi, negara Thailand adalah tujuanku untuk bersembunyi. Sekedar melepas penat di hati. Menghibur diri yang masih terus tertuju pada Micko. Meski pada akhirnya, Paris adalah tujuan yang tercapai. Juga yang mempertemukanku dengan Jaden yang tampan.Tapi kali ini pun, aku tidak ke sana. Kami memusatkan liburan berubah jalur menjadi ke Bali. Menikmati liburan eksotis dan menyenangkan di pulau Dewata.Dengan tumpukan koper, dua squishy dan para sahabat juga adikku yang turut meramaikan. Entah beruntung atau malah menyengsarakan. Mereka tanpa tahu malu 'menumpang' liburan di acara paling bersejarah dalam hidupku.Sialan!"Dari tadi kau cemberut terus Nye. Kau tidak suka kami ikut?" sindir Sella tanpa tahu malu. Aku menatap kesal ke arahnya, namun dia hanya tertawa tanpa rasa bersalah. "Kau lupa, dia memang si pelit yang perhitungan," timpal Naeema sama menyebalkannya."Keterlaluan sekali, K
The Ritz Carlton Bali, pukul 7 malam. Aku masih sibuk mematut diri di depan cermin tatkala dua squishy datang menyapa. Memakai pakaian kembar dengan nuansa putih, Anna dan Thea datang dengan tatapan mengiba. Keduanya menyuguhkan rambut masing-masing agar dibuat menjadi cantik seperti biasanya."Auntie sangat cantik malam ini," tutur Anna sambil terus memainkan ujung rambutnya. Aku terkekeh dan membalik badannya. Thea juga turut mendekat."Bukankah seharusnya kalian tidak memanggil dengan sebutan itu lagi?" tanyaku dengan nada pura-pura marah. Keduanya nampak tertawa sambil menutup mulut, saling tatap sesaat untuk kemudian memelukku bersamaan."Tentu saja, ibu."Ah ... hatiku berdesir.Dua anak manis yang tanpa sengaja aku temui di bandara itu kini memanggilku dengan sebutan ibu. Rasanya aneh namun mengharukan. Seperti pertama kali Jaden mengungkapkan perasaannya padaku. Mendebarkan juga menyenangkan."Kenapa ibu berkaca-kaca?" tanya Thea penasaran. Anna turut menatapku lekat."Ibu men
Jaden menghela napas. Pandangannya sempat ia buang ke arah lain, namun akhirnya berhenti tepat di bolamataku. "Kau terlalu mempesona, Nye. Itulah sebabnya, aku takut banyak orang yang akhirnya menyadari pesonamu dan terpikat olehmu. Ah ... sial! Pokoknya aku takut kehilanganmu. Entah kenapa si bodoh ini jadi laki-laki posesif, sih. Perempuan benci sekali laki-laki seperti ini," rutuknya seraya memukul kepalanya berkali-kali. Aku menghentikan tangannya dari kegiatan bodoh memukuli dahi sendiri. Mengecup dahinya sekilas dan memberikan senyum terbaik. "Aku menyukaimu tanpa batas, Jaden Pradipta. Aku senang menyadari bahwa kau juga begitu menyukaiku. Aku senang sekali."Dan aku menghadiahinya sebuah kecupan lembut di bibir. Membuat ia seketika berubah menjadi tegang untuk beberapa sekon, namun kemudian mengambil alih keadaan. Dan semua hal manis yang sedang kami lakukan tiba-tiba harus terhentikan."Bisakah lakukan itu di kamar kalian nanti?"Naeema brengsek!Aku dan Jaden kembali duduk
Aku diam. Dio diam. Dan Jaden bergeming.Suasana aneh ini tercipta sebab pelukan perpisahan yang aku berikan pada Dio. Benar. Hanya sebuah pelukan untuk menguatkan Dio, untuk membantunya mengatasi masalah cinta bertepuk sebelah tangannya selama ini. Tidak lebih. Dan bila pun itu terlihat lebih, maka perspektif Jaden yang memandangnya demikian. Ia bahkan masih menatapku dengan mata yang penuh kecemburuan berlebihan.Menakutkan!"Menurutmu pelukan apa itu?" Dio bersuara. Aku tidak berani memandang ke arah manapun. Laut masih setia menjadi bentuk pengalihan."Kau ingin mengartikannya apa?""Sesuai persepsimu saja."Ah ... atmosfer macam apa ini. Dio dan Jaden saling pandang dengan tatapan yang menakutkan. Aku mencoba mencari bantuan dengan menoleh ke kanan dan ke kiri, sialnya baik Sella, Mark, Naeema bahkan dua squishy asik dengan kegiatan mereka masing-masing. Aku benar-benar terjebak di sini. Bersama suami dan sahabatku dalam suasanan aneh."Dia istriku." Jaden nampak datar saja dalam
Aku menghentikan langkah. Jaden juga. Kita berdua saling menatap dalam temaram. Mata Jaden yang pekat menunjukkan keraguan. Di sana bersemayam, seluruh tanya yang menjadi satu. Perihal Dio, atau mungkin bahkan Micko. Terlebih, kejadian beberapa saat lalu, saat aku justru tertawa heboh ketika dokter justru mengatakan bahwa aku belum hamil. Jaden nampak kecewa."Apa karena aku tertawa?""Karena kau nampak tak kecewa," gumamnya.Aku menghela napas. Melangkahkan kaki dalam hitung jari ke depan, melepaskan pelukanku pada lengannya. "Kau boleh meragukanku sebanyak apapun, Jaden. Tapi kau tidak bisa meragukanku hanya karena aku lebih realistis.""Realistis?""Yah ... kau mungkin terlalu terbawa perasaanmu dan bahagia bukan kepalang hingga tidak bisa berpikir realistis, Jaden. Tapi aku tahu diriku sendiri. Kita menikah pun baru hitungan hari. Aku sudah memikirkan itu matang-matang. Jadi bila aku tak kecewa, itu bukan karena aku tidak menginginkan anak darimu. Bukan karena aku tidak bersungguh
Manusia itu hidup dengan terus melihat ke depan. Sebanyak apapun kebahagiaan di masa lalu, waktu tetap berputar seperti biasanya. Pun kesedihan. Sesakit apapun masa lalu memberikan luka, waktu terus berjalan dengan sebagaimana mestinya. Sudah takdirnya seperti itu. Dan akan tetap begitu.Oke.Begitu juga dengan hidup seorang Lyla Anyelir. Kematian ibuku yang menyesakkan dada itu telah berlalu. Meraung seperti orang gila sekalipun, tetap tidak akan membawa kembali sosoknya padaku. Menjerit sampai suara di tenggorokan terputus sekalipun, tetap tak akan membuatnya bisa menghampiriku lagi. Sampai kapanpun.Itulah sebabnya, hari ini, tepat satu bulan kepergiannya, aku mulai memilih merelakan. Hari-hari sebelumnya yang terasa begitu mendung, sedang aku coba buat cerah kembali. Tawaku yang sirna, lelucon-lelucon bodoh yang entah pergi ke mana, atau semangatku yang tiba-tiba sekarat, kini sedang aku usahakan agar utuh kembali. Sebab ada dua squishy, teman-teman dan adikku, juga suamiku tercin
Lihat dua mempelai di altar itu!"Dio!" Aku kembali menjadi Lyla Anyelir yang tidak tahu tempat. Tamu-tamu yang datang bahkan mengalihkan sepenuh atensi mereka padaku. Jangan lupakan Mark, Naeema dan Sella yang tertawa penuh ejekan."Anna benar, kan, ibu? Auntie Sella dan uncle Dio yang menikah. Kenapa ibu tidak percaya padaku?" Anna dan Thea berjumawa. Keduanya berlari ke arah Naeema dan memeluknya seketika. Aku dan Jaden akhirnya mendekat juga."Kau terkejut?" tanya Naeema. Aku memukul lengan gadis itu dan ia kembali tertawa. Lanjutnya, " bukan hanya kau yang terkejut. Kita semua sama terkejutnya."Aku, Naeema, Jaden dan pasang mata tamu lainnya akhirnya benar-benar terfokus ke depan sana. Di mana, Dio dan Sella sedang berjalan bersama menuju pendeta. Keduanya sedang berjalan menuju janji sumpah setia.Aku menyikut Naeema dan setengah berbisik, "Kenapa mereka menikah?""Kau pikir hanya kau yang ingin menikah," bisik Naeema sarkas."Maksudku ... sejak kapan mereka menjalin hubungan?"
Jaden mungkin pernah gagal membina rumah tangganya dengan Mina, tapi ia tentu saja, tidak akan pernah membenci buah hati yang ia dapatkan dari pernikahan itu. Ia sangat mencintai si kembar, Anna dan Thea. Apalagi setelah keduanya mengalami banyak nasib buruk 12 tahun silam, Jaden jadi semakin protektif demi menjaga keduanya. 'Kami merasa sesak ayah.' Kemarin Thea bercerita sambil menangis saat ia mengatakan permasalahan Anna. 'Kami merasa sesak karena sikap posesi ayah. Tapi aku juga nggak menyangka bahwa Anna akan senekat ini hanya karena seorang laki-laki.' Jaden mengusap wajahnya kasar. Perjalanan dari Colmar ke Paris terasa lama sekali, padahal ia sudah dikejar waktu. Tidak mungkin sekali, Jannieta yang selama ini tenang, diam-diam mengirimi istrinya sebuah foto dengan Dylan Louise. Perempuan itu pasti sudah mengetahui bahwa Jaden menemukan asal usul Dylan. Si nak adopsinya. "Ini semua salahku." Suara Anye, di sisinya, tiba-tiba terdengar parau. Perempuan itu, menangis di leng
Jaden tidak bisa mentoleransi lagi. Ini Jannieta. Perempuan gila yang hampir membunuhnya, keluarganya, sahabat-sahabatnya. Perempuan gila yang dulu menculik anak-anak dan istrinya. Jaden bergerak cepat. Ia mencari keberadaan Dylan Louise dan mengajak Mark untuk mendatangi tempat tersebut. Sebuah apartemen kecil di sudut kota Paris. Apartemen yang bahkan tak layak untuk ditempati putri kesayangannya. Duh ... Jaden merasa perih. Bisa-bisanya Anna lebih memilih laki-laki itu, dengan keadaan yang tidak lebih baik, dibandingkan keluarganya sendri. Jaden menoleh sesaat pada Mark. Ia meminta persetujuan untuk memulai. Dan sang adik ipar mengangguk sebagai tanda setuju. Jaden mengetuk. Satu kali, dua, hingga lima. Jaden mengetuk namun tak ada jawaban dari dalam sana. Hening saja. Jaden merasa heran. Ia lantas mengencangkan ketukan jemarinya di pintu. Atau lebih tepatnya jika disebut dengan menggedor. Jaden tidak punya waktu untuk bersopan santun setelah si laki-laki brengsek itu
Thea tidak punya banyak pilihan selain akhirnya beringsut menuju rumah sang ayah. Meski awalnya ia memang ingin merahasiakan kepergian Anna, dan berusaha sendiri untuk membujuk sang kembaran pulang. Tapi kini, melihat hasil nihil tersebut, Thea jadi berpikir ulang. Ayahnya yang harus turun tangan. Ia yang bisa menyeret Anna kembali kepada keluarga mereka. Meski tentu saja, sebagai akibat perbuatan Anna ini, kebebasannya pun akan dipertaruhkan. Oh ayolah, sang ayah akan menjadi lebih superrrr strict. Ia dan Anna mungkin tidak akan pernah mendapatkan izin untuk tinggal terpisah kembali. Langkah Thea berhenti di depan pintu rumah orang tuanya. Mematung sesaat, ragu melingkupinya. Ia kembali menimbang soal apakah akan mengadukan sang saudara kembar atau membiarkannya saja. Saat Thea masih membeku, tiba-tiba pintu terbuka. Suara bersorak yang muncul dari adik laki-lakinya; Bhumi, menyadarkan Thea. "Kak, kapan kakak datang? Ayo main game denganku." Thea mengusap puncak kepala Bhumi.
Hujan turun perlahan di luar jendela. Butiran airnya membasahi kaca, menciptakan pola-pola abstrak yang tak beraturan. Thea duduk di ujung tempat tidur, ponselnya tergenggam erat di telapak tangan. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Anna, dan untuk kesekian kalinya hanya nada tunggu yang menjawab. Namun kali ini, saat ia hampir menyerah, suara di ujung sana akhirnya terdengar. "Halo?" suara Anna pelan, nyaris berbisik. Thea menghela napas panjang, menekan rasa kesal yang mengendap dalam dirinya. "Anna, kamu di mana? Pulanglah. Sebelum Ayah tahu, sebelum semuanya bertambah buruk." Ada jeda sejenak sebelum Anna menjawab. "Aku tidak akan pulang, Thea. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin hidup bersama Dylan." Dada Thea terasa sesak. Ia berusaha menahan diri agar tidak meledak di telepon. "Kamu gegabah, Anna. Kamu baru mengenal Dylan sebentar. Kamu tidak bisa memutuskan sesuatu yang sekritis ini begitu saja." "Aku sudah cukup dewasa untuk tahu apa yang aku inginkan, Thea. Aku me
Hembusan angin musim semi menggoyangkan rambutnya yang sedikit berantakan, tapi sorot matanya tajam. Langkahnya ringan, seolah seluruh dunia sedang berjalan mengikuti iramanya.Semua seperti sedang memberi hormat padanya. Karena satu langkah pencapaian yang ia dapat dengan mudah.Ia trtawa. Riang. Matanya jelas menunjukkan sisi gelap dan misterius, tapi tawa kekanak-kanakan itu justru lebih menakutkan.Saat ia mendengar apa yang terjadi pada sang ibunda, ia kira, mengemban tugas ini akan sangat menyulitkan. Ia mungkin butuh banyak tahun. Dengan segala pengorbanan di dalamnya. Ternyata, hey, hanya butuh satu dua bulanIa sudah hampir menang. Saat ia berhenti di depan sebuah apartemen di sudut kota Paris, jauh dari hingar-bingar mahasiswa ENS lainnya, tawanya yang penuh itu mendadak menghilang. Ia memasang wajah yang jauh lebih manis, melunak, penuh kehangatan. Setelah beberapa ketukan, pintu terbuka, dan di baliknya berdiri seorang gadis dengan rambut panjang tergerai, wajahnya sediki
Malam itu, angin Paris bertiup lirih, menyusup ke celah-celah jendela apartemen yang lengang. Thea menghempaskan tubuhnya ke sofa, melepas sepatu dengan gerakan malas, lalu memejamkan mata sejenak. Ia baru saja pulang dari kediaman orang tuanya, setelah semalaman mendengarkan debat panjang antara Jaden dan Anye soal bagaimana mereka harus menangani sikap Anna yang semakin sulit dikendalikan. Namun, ada sesuatu yang janggal. Ia merasa sesuatu terasa aneh. Seperti perasaan yang tidak biasa. Benar. Apartemennya terlalu tenang. Apartemen terasa terlalu sepi. Sunyi yang berbeda dari biasanya. Biasanya, setidaknya suara lagu dari ponsel Anna akan bergema di salah satu sudut ruangan atau aroma teh melati yang biasa diminum Anna akan menyelinap hingga ke ruang tengah. Atau awal mereka pindah, Anna akan berceloteh soal anak-anak tampan di kelasnya, juga soal si brengsek Dylan, hingga beberapa terakhir ... perdebatan juga meramaikan tempat mereka berdua tinggal. Tapi kali ini ... kosong.
barang-barangnya. Tangannya bergerak cekatan, melipat setiap potong pakaian dengan rapi dan memasukkannya ke dalam koper kecil yang biasa ia gunakan untuk perjalanan singkat. Ia berhati-hati, memastikan bahwa tidak ada suara berisik yang bisa menarik perhatian Thea.Di sudut ruangan, ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan dari Dylan muncul di layar: "Aku sudah di tempat yang kita sepakati. Aku tunggu di dekat Seine."Hati Anna berdegup lebih cepat. Ada ketegangan, ada keberanian yang ia paksakan, dan ada luka yang menganga dalam dadanya. Sejak melihat foto Thea berada dalam pelukan Dylan, ia merasa dikhianati. Meski Thea mengaku membenci Dylan, tapi bagaimana bisa ada foto yang menunjukkan sebaliknya? Thea mungkin hanya berpura-pura. Mungkin Thea juga menginginkan Dylan, dan semua ini hanyalah tipu daya agar Anna menjauh.Perlahan, ia melangkah keluar dari kamar. Apartemen masih sunyi, hanya terdengar suara kipas angin yang berputar pelan. Ia tahu Thea sedang bertemu dengan ayah merek
Hujan turun dengan lembut di luar jendela ketika Thea duduk di ruang tamu rumah orang tuanya, menatap kedua orang yang telah membesarkannya dengan sorot mata serius. Ia sudah mempertimbangkan ini sejak lama, tetapi malam itu, ia tahu bahwa ia tidak bisa menunda lagi."Ayah, Ibu, aku ingin bicara soal Anna," ucapnya, suaranya bergetar sedikit. Ia sebenarnya tidak ingin mengatakan hal ini pada kedua orang tuanya. Salah-salah, ia dan Anna bisa diseret pulang ke rumah dan ttidak akan diizinkan lagi tinggal terpisah di apartemen. Tapi sepertinya, setelah dipikir lagi, ini urgent. Perubahan Anna terlalu menakutkan bagi Thea.Jaden dan Anyelir bertukar pandang. Sudah beberapa hari ini mereka memang merasakan ada sesuatu yang berbeda pada Thea, tapi mereka tidak menduga bahwa itu berhubungan dengan Anna."Ada apa dengan Anna?" tanya Anyelir, suaranya lembut namun penuh perhatian.Thea menarik napas dalam, mencoba merangkai kata dengan hati-hati. "Sejak dia bertemu dengan Dylan Louise, dia ber
Anna tidak pernah menyangka, hanya dalam hitungan detik, dunia yang selama ini ia kenal bisa runtuh begitu saja. Dua hari sudah ia mendiamkan Thea, dan saudari kembarnya itu pun tampaknya menyerah. Biasanya, Thea akan menggedor pintu kamarnya dan memaksa bicara, atau setidaknya menyelinap ke tempat tidurnya dengan alasan ingin tidur bersama seperti dulu. Tapi kali ini berbeda. Thea hanya membiarkan Anna dengan amarah dan kekecewaannya sendiri. Bahkan di kampus, mereka saling menghindar, seolah-olah tidak pernah mengenal satu sama lain. Pagi itu, ketika bel apartemen berbunyi, Anna yang pertama kali membukanya. Dan di sana berdiri ibunya, Anyelir, dengan senyum lembut dan sekantong besar makanan. "Pagi, anak-anak Ibu. Kok cemberut?" tanya Anyelir sambil melangkah masuk. Thea yang baru keluar dari kamar langsung menyambut ibunya, sementara Anna mencoba bersikap biasa, meskipun ada kecanggungan yang tak bisa ia sembunyikan. Anyelir, dengan insting keibuannya, langsung menangkap sesua