“Aku tunggu di situ saja,” ucapku sesampainya di depan sebuah kamar sambil menunjuk sebuah sofa yang berada di sebuah ruangan seperti ruang keluarga.
“Iya, aku ke kamar dulu ya,” balas Mas Danta, aku menjawabnya dengan anggukan.Mas Danta melepas tanganku dan aku beranjak berjalan pelan menuju ke sofa yang tadi aku tunjuk sembari mengamati setiap sudut ruangan. Ruangan yang aku lihat juga banyak di dominasi oleh warna putih baik warna tembok maupun barang-barang yang berada di ruangan itu. Sesampainya di sofa aku langsung menghempas pelan tubuhku untuk duduk dan kemudian bersandar.Pandanganku lepas ke langit-langit ruangan yang terdesain cukup cantik kemudian turun ke arah layar tv yang terpasang di depanku. Ukuran tv-nya sangat lebar, ada juga set home theatre yang berada di samping-sampinya. Semua furniture yang ada berwarna putih bersih, terlihat cantik dan elegan.Dalam diam muncul banyak pemikiran dalam benakku tentang apa saja yang terja“Tunggu sebentar ya, Sayang. Ini sudah selesai kok, dari rumah sakit aku langsung nyusul kesana.”Sebuah pesan masuk di ke ponselku, pesan dari Mas Danta. Aku sedang keluar ke sebuah mall di tengah kota guna berbelanja beberapa barang untuk di kafe. Mas Danta memintaku untuk naik taksi online karena dia yang akan menjemputku nanti. Sudah hampir dua jam aku berada di sini dan sudah mendapatkan barang-barang yan aku cari.Sebuah coffe shop di lantai tiga menjadi tempatku untuk menyandarkan tubuh lelahku. Sewaktu berkeliling tadi sama sekali tidak terasa capeknya, akan tetapi, setelah selesai baru aku rasakan kaki rasanya pegal meski aku tidak mengunakan alas kaki dengan hak tinggi. Mungkin saking asiknya melihat barang-barang sampai lupa capek tadi sewaktu di toko.“Silahkan milk shake coklatnya, Kak.” Seorang pelayan dengan seragam pink fanta menghampiri mejaku untuk mengantarkan minuman pesananku.“Oh … makasih,” jawabku kemudian.“Untuk
“Sini?” tunjukku kemudian dengan dagu.Mas Danta berhenti di sebuah toko perhiasan yang berda di lantai 1.“Pak titip belanjaan, ya.” Mas Danta berbicara dengan seseorang yang berjaga di depan toko perhiasan.“Baik, Pak.” Pria yang berjaga itu kemudian membantu mendorong troli dan meminggirkan tepat di belakang pria itu berjaga-jaga.Mas Danta kemudian mengandengku masuk ke dalam toko perhiasan yang paling terkenal di kota ini. Pelayan dengan seragam batik menyambut kami dengan ucapan selamat datang dan menanyakan tentang perhiasan apa yang kami cari.“Yang satu set, Mbak,” jawab Mas Danta kemudian.“Silahkan di sebelah sini, Pak.” Dengan tangan kanan pelayan berkulit putih itu menunjuk sebuah etalase.“Buat siapa?” tanyaku pada Mas Danta setengah berbisik.“Buat calon istriku,” jawab Mas Danta, aku menunjuk diriku sendiri dengan jari telunjuk dan pria itu mengangguk.“Kan sudah dapat dari mama,” ucapk
“Bukan mas Satria, tapi, tentang Ibunya dan juga bapak mertuanya,” jelasku memulai cerita.Aku kemudian mulai menceritakan tentang apa yang terjadi dengan mas Satria berdasarkan kabar yang aku terima dari teman-temanku. Juga tentang apa yang aku lihat sewaktu di mall tadi, dimana aku melihat bapak Aleya dan juga melihat Ibu Mas Satria menjual perhiasan. Aku juga mendengar kalau uang itu akan diberikam kepada bapak Aleya sebagai modal untuk usaha. Aku juga menceritakan kecurigaanku atas kecurangan bapak Aleya kepada Mas Danta.“Apa sebaiknya aku memberi tahu Mas Satria tentang hal ini, agar bisa mencegah ibunya memberikan uang itu kepada bapak Aleya?” tanyaku bingung. “Tapi, aku sudah tidak ingin ikut campur dalam hal apapun lagi sebenarnya,” lanjutku.“Sayang, bukan aku melarang kamu untuk memberitahukan hal itu kepada Satria atau membantunya. Tapi, kamu juga harus punya bukti yang kuat, bukan sekedar dugaan atau pun kecurigaan semata. Apa kamu punya bukti
“Terima kasih suamiku tercinta semoga mas kawin yang diberikan memberikan manfaat dan saya mohon jadilah suami yang bertanggung jawab baik lahir maupun batin, terima kasih.” Sama seperti Mas Danta dengan suara sedikit parau karena menahan haru aku mengikuti apa yang penghulu ucapkan dan menerima mas kawin yang diberikan oleh suamiku itu. Untuk kali pertama setelah resmi menjadi nyonya Danta aku mencium punggung tangan suamiku itu dan sebuah ciuman di kening Mas danta berikan sebagai balasannya.Ini bukan yang pertama untukku menjalani prosesi seperti ini, hanya saja kali ini terasa berbeda. Sebuah moment penuh drama … Ah, itu sudah menjadi masa lalu dan sekarang aku sudah membuka sebuah lembaran baru dalam kehidupanku. Penghulu meminta kami duduk karena kami harus menandatangani buku nikah dan juga berkas lainnya. “Sesudah akad nikah saya Danta Pramudya Khalik berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan mempergauli isteri saya bernama Rania
“Mas … aku merinding,” ucapku lalu sedikit melangkah mundur. “Aku bisa sendiri, ntar bantu narik pelan-pelan aja.” Kembali aku melanjutkan, baju ganti yang aku bawa aku letakkan di atas sebuah meja yang berada di dalam kamar.Aku mulai membuka pelan kebaya yang aku kenakan, masih merasa tenang sebenarnya karena aku mengenakan dalaman yang senada dengan warna kulit. Hanya saja kalau tetap dibantu, sentuhan tangan dari mas Danta justru membuatku bergidik karena memang belum terbiasa. Setelah membuka seluruh kancing aku berdiri membelakangi suamiku itu dan memintanya membantu menarik kebayaku dari belakang.“Aku taruk di ranjang ya?” tanya Mas Danta dan akupun mengangguk.“Makasih, aku ke kamar mandi dulu,” ucapku kemudian saat Mas Danta meletakkan kebayaku di ranjang.“Mas nggak usah ikut, disitu saja dulu,” lanjutku kembali saat melihat mas Danta mengikutiku.“Aku nggak akan ngapa-ngapain, Sayang. Tenang aja, lagian kan di luar masih banya
Aku meminta Mas Danta terlebih dahulu untuk keluar menemui keluarganya yang barusan datang, aku menyusul setelah kembali membersihkan diri dan merapikan keadaanku.*Kegiatan hari ini memang cukup padat dan melelahkan aku tidak bisa membayangkan saat pesta resepsi nanti akan seperti apa heboh dan capeknya. Rangkaian acara demi acara hampir selesai di gelar hingga akhirnya semua selesai jam 10 malam. Mama dan Papa meminta aku dan Mas Danta istirahat terlebih dahulu karena sepertinya mereka melihat aku yang sudah cukup kelelahan.“Danta pulang ke rumah aja, ya Mah,” pamit Mas Danta kemudian.“Iya sudah kaliah terlihat lelah sekali, iya disana lebih tenang, di sini masih banyak kerabat.” Mama mengangguk dan mengiyakan. Rumah Mas Danta dan rumah Mama hanya berselang beberapa rumah saja, kami berjalan kaki dari rumaah mama setelah berpamitan dengan keluarga. Bisa dipastikan beberapa keluarga mencandai Mas Danta saat berpamitan dasar Mas Danta buka
“Duh, pengantin baru basah terus rambutnya.” Aku langsung nyengir mendengar ucapan Kak Regina yang berdiri di depan pintu kamarku.Sore ini memang aku pulang ke mama untuk mengambil beberapa pakaian untuk aku bawa ke rumah Mas Danta, yah rumah baruku juga. Juga beberapa barang yang ssekiranya aku perlukan, tidak semua aku bawa karena Mas Danta sudah menyiapkan semuanya lengkap. Mas Danta sedang mengobrol di depan dengan Arya, Mama dan Abang Iparku.“Mana ada basah,” kilahku kemudian, sebelum berangkat tadi aku sudah lebih dulu mengeringkan rambutku dibantu Mas Danta.“Iya tapi, bekas keramas ini.” Kak Sisil mendekatiku dan membaui rambutku. “Bau shampoo,” godanya lagi sambil tertawa, lagi-lagi aku hanya nyengir.“Gimana?” Kak Sisil mengangkat alis dan matanya naik turun, sudah kayak orang cacingan. “Seru kan?!” siku Kakak perempuanku itu menyikut pinggangku pelan.“Apanya?” tanyaku pura-pura tidah paham, padahal aku tahu apa yang dimaks
“Sangat bahagia,” jawabku tanpa melepas pandanganku darinya. Rasanya sesak saat aku harus mengatakan ini semua.“Bukankah aku harusnya bahagia?” ucap Mas Satria memaksakan senyumnya, tapi, air matanya malah semakin deras. “Tapi, kenapa sakit sekali rasanya,” lanjutnya kemudian.“Semua sudah berlalu, aku tidak akan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Mas sudah mengambil jalan mas sendiri dan aku menerima semuanya meski semua itu tidak mudah. Sekarang aku juga sudah menentukan jalanku sendiri. Kita boleh bermimpi, memiliki rencana ini dan itu, akan tetapi, tetap semua kembali ke kehendak Tuhan. Itu dulu yang aku sematkan dalam pikiran saat terpuruk atas semuanya. Sekarang aku sudah bahagia dengan apa yang Tuhan pilihkan untukku, aku berharap mas juga mendapatkan kebahagiaan yang sama. Apa yang pernah terjadi dan yang sudah kita lewati biarkan menjadi bagian dari sebuah kenangan. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah berjalan kedepan meski kita
Pandanganku terhenti pada sosok yang cukup aku kenal, meski mungkin dia tidak mengenalku. Satria, pria dari masa lalu Rania istriku terlihat berada di depan ruang praktek dokter Anna. Di sampingnya terlihat seorang perempuan berperawakan kecil seperti anak SMA, yang jelas itu bukan istrinya yang dulu. Karena kalau istrinya yang dulu aku sempat tahu saat dirawat disini.Tidak mungkin adiknya juga karena setahuku adiknya sudah meninggal, itu aku dapat dari cerita Rania. Apa mungkin itu istrinya dan Satria sudah menikah lagi, tetapi, perempuan itu terlihat sangat muda. Keduanya seperti sedang menunggu antrian periksa di dokter Anna di poli kandungan.Hamil?Kenapa jadi aku yang kepo dan ingin tahu, sudahlah. Aku melanjutkan langkah untuk menuju ruang praktekku. Kalau pun itu memang benar istrinya dan sekarang hamil itu akan lebih baik. Berarti Satria sudah menemukan kebahagiaannya sekarang. Aku tahu masih ada rasa bersalah atau apalah yang Rania rasakan selama ini
PoV Danta Aroma wangi masakan menguar dan menghampiri Indera penciumanku saat aku berjalan mendekat ke arah dapur tempat Rania berada sekarang. Selepas salat Subuh tadi dia sudah berkutat di dapur untuk mengeksekusi resep masakan yang baru dilihatnya semalam di sebuah channel youtube. Wanita yang sudah hampir setahun aku nikahi itu memang punya kegemaran baru sekarang, yaitu mencoba resep masakan. “Wangi banget,” ucapku saat memasuki dapur, Rania menoleh dan tersenyum.“Semoga nggak keasinan lagi seperti kemarin,” jawab Rania dan kembali menarik pandangannya ke arah panci di depannya.Aku tersenyum mengingat kejadian kemarin, entah berapa sendok garam yang dia masukkan ke dalam masakannya. Kalau ada pepatah buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya, hal ini tidak berlaku untuk Rania. Mama mertuaku pintar memasak dan enak bahkan pernah membuka catering juga cerita Rania, tetapi, berbenda dengan anak perempuannya yang juga istriku ini. Tetapi, R
Duda itu Mantan PacarkuPart xtra 22*** Ketukan di kaca mobil sontak membuat dua insan yang tengah terbuai dalam debar asmara itu saling menjauhkan diri satu dengan yang lain. Wajah keduanya menghangat seketika dengan debaran di dada yang semakin kencang terasa. Aletha lekas menurunkan kaca mobil saat melihat keluar telah berdiri sahabatnya, Titan yang mengetuk pintu mobil Satria.“Ada apa?” tanya Aletha yang masih sedikit gugup kaget.“Jangan lewat sepanjang jalan Plaosan Timur ada kegiatan warga nutup jalan katanya, nanti lurus aja terus masuk ke kiri selepas lampu merah dekat pom bensin.” Titan memberi tahu kondisi jalan yang akan mereka lewati nanti ke tempat acara syukuran yang diadakan di sebuah restoran.“Oh … gitu, okay. Ya udah ini mau langsung ke sana.” Aletha mengangguk mengerti, Satria yang duduk di belakang kemudi ikut mengangguk.Sepasang pengantin baru itu tengah menetralisir perasaannya masing-masing karena
Sepertinya ini adalah persiapan pernikahan tercepat dari sebelumnya yang pernah aku lakukan, karena setelah aku melamar Aletha hanya butuh waktu kurang dari 2 minggu saja sampai hari yang di tentukan, yaitu hari ini. Aku dan Aletha sepakat untuk menikah di Masjid samping KUA dengan disaksikan keluarga dekat saja, tidak ada resepesi yang akan digelar karena Aletha tidak menghendakinya. Keluarga Aletha hanya mengundang kerabat dekat untuk syukuran selepas ijab kabul.Ini bukan yang pertama, bukan juga yang kedua aku akan mengucapkan kalimat sakral sebuah janji suci, tetapi, aku berdoa ini menjadi yang terakhir aku melakukannya. Aku tidak ingin mengulang lagi untuk suatu masa nanti, biarlah kegagalan pernikahanku dulu menjadi sebuah pelajaran yang berharga untukku. Hari Sabtu jam 9 pagi ini kesendirianku akan aku akhiri dan aku akan membuka sebuah lembaran baru dengan cerita baru.Aku menyetir sendiri dan mempersiapkan semuanya sendiri, kemeja putih dengan jas d
Pov Aletha *** [Dari kantor aku langsung ke rumahmu] [Aku sudah OTW] Aku membuka aplikasi chat berlogo warna hijau di ponselku, dua pesan masuk dari Mas Satria yang biasa aku panggil dengan sebutan Om itu beberapa waktu yang lalu. [Iya, hati-hati di jalan] Sebuah kalimat balasan aku kirimkan kemudian, belum terbaca setelah beberapa detik. Mungkin dia sedang menyetir. Aku kemudian meletakkan ponselku di meja dan beranjak ke lemasri untuk memilih baju yang akan aku kenakan. Masih merasa aneh dengan semuanya, serasa mimpi, tapi, bukan mimpi. Bahkan beberapa hari yang lalu pria itu masih sangat ketus padaku, tapi, entah apa yang terjadi padanya hinga dia sampai mengatakan hal itu. Lalu bagaimana denganku? Aku juga tidak tahu kenapa mengatakan iya, tapi, aku juga sedang tidak main-main denga
“Tidak.” Aku menggeleng meski Pak agus juga tidak akan melihatnya. “Kami tidak sedang mencari tempat pelarian, tetapi, mencari tempat untuk kami bisa saling mengisi dan melengkapi,” jawabku kemudian. “Aku mengerti, aku senang dengan hal ini. Aku menganggapmu bukan hanya rekan kerja, lebih dari itu dan Aletha adalah keponakan kesayanganku. Yang aku minta jangan pernah membuatnya patah lagi dan berbahagialah kalian. Aku akan bicara dengan mamanya Aletha setelah ini. Lebih cepat juga lebih baik daripada ada apa-apa nanti kalau ditunda- tunda.” Pak Agus memberikan dukungannya dan aku merasa lega untuk itu. Sekarang tinggal bicara lagi dengan Aletha untuk mempersiapkan semuanya dengan lebih matang. Mungkin aku hanya bisa pergi sendiri saat nanti mengutarakan niatku kepada keluarga Aletha karena di kota ini aku tidak memiliki keluarga selain Ibu saja. Aku menutup panggilan selepas mengucapkan salam, sudah jam 6 lebih dan aku haru
“Iya,” jawabku sambil mengangguk. “Rania?” tanya Ibu ragu. “Bukan, Dia sudah bahagia dengan kehidupannya. Mungkin sekarang waktunya aku untuk bisa menata kembali kehidupanku. Ibu pernah meminta aku untuk kembali mendapatkan hati Rania karena dia tidak tahu kalau Rania sudah menikah. Aku mengatakan pada Ibu kalau Rania sudah menikah dengan pria lain dan hal itu membuat Ibu merasa semakin bersalah padaku dan juga Rania. “Kamu yakin bisa mencintai perempuan lain?” tanya Ibu kemudian. Sebuah pertanyaan yang wajar karena Ibu tahu aku sangat mencintai Rania dan betapa terpuruknya aku karena patah hati. “Aku harus bisa meski semua membutuhkan waktu. Rania … sampai saat ini aku masih mencintainya, tetapi, aku juga harus melanjutkan kehidupanku. Dia juga sudah bahagia dengan kehidupannya dan tidak seharusnya aku masih berharap untuk dapat bersamanya.” Aku lega melihat Rania bahagia deng
“Kamu serius?” tanyaku yang sedikit merasa kaget dengan pertanyaan Aletha. “Nggak,” jawab gadis itu enteng. “Ya seriuslah, Om.”“Beneran?” tanyaku lagi, padahal aku yang membuat pembicaraan ini dan aku sendiri pula yang masih merasa belum percaya.“Iya, ada beberapa point yang aku sepakat dengan pemikiran, Om. Karena dunia akan tetap berjalan bagaimanapun keadaan kita. Tidak akan ada yang peduli pada diri kita selain diri kita sendiri dan hidup juga sebuah pilihan bukan? apakah kita akan tetap berdiam membenamkan diri dalam kesakitan atau kita mulai berusaha membebaskan diri dari sebuah belenggu luka.” Aletha terlihat serius dengan bicaranya.“Sebuah hal baik katanya harus disegerakan, setidaknya untuk menghindari fitnah dan membuang waktu hanya untuk sekedar pengenalan. Setidaknya kita memiliki niat yang sama, sama-sama ingin lepas dari masa lalu dan melangkah ke depan untuk kehidupan baru. Aku berharap ini sebuah keputusan yang tepat dan aku ha
Pov Satria “Nggak suka becandanya, bisa bahas hal lainnya.” Raut wajah Aletha berubah. Wajar saja dia berpikir demikian sedangkan kami memang belum lama saling mengenal, apalagi aku selalu bersikap ketus padanya selama ini. Aku juga belum yakin denga napa yang aku katakana, tetapi, ada sebuah dorongan yang tidak aku mengerti untuk aku mengatakan hal ini padanya. Aku merasa tidak ada yang buruk dengan pemikiran dari Pak Agus meski aku tidak tahu dia sedang serius atau hanya mencandaiku. Kami sama-sama terluka oleh masa lalu dan kami butuh seseorang untuk saling menguatkan. Tetapi, aku tidak yakin juga apa dia bisa menerimaku. Tetapi, akan lebih baik aku ungkapkan apa yang menjadi keinginanku masalah diterima atau ditolak itu urusan nanti. Setidaknya aku sudah berusaha keluar dari kubangan nestapa masa lalu yang selalu membayangi perjalanan hidupku. “Aku serius,” jawabku kemudian. “Tapi kenapa?” tanya Aletha, kedua tangannya mengenggam gelas minumnya dengan pandangan mata yang me