"Ah, nice. Ending yang lumayan melegakan." Darma tersenyum lebar. Dia menoleh pada Astri ketika layar lebar menayangkan tulisan The End."Ga rugi nonton. Seru juga." Astri menimpali. Senyum tipis menghiasi bibir Astri."Makasih, Astrina. Kamu memilih film yang aku banget." Senyum Darma belum menghilang. "Sama-sama," kata Astri."Sekarang, boleh aku yang memilih ke mana kita pergi?" Darma memandang Astri.Di sekitar mereka para penonton yang lain mulai bergerak meninggalkan ruangan besar itu."Silakan." Astri mengangguk."Baiklah. Kita jalan saja. Aku tidak akan memberitahu kamu. Tapi kamu ikut saja." Darma berdiri. Astri mengikuti. Entah ke mana Darma akan membawa Astri, Astri akan nurut. Cuma satu yang Astri mau dapat hari itu, sikap atau perkataan Darma yang bisa dia jadikan bukti bahwa Darma tidak melihat pernikahan sebagaimana seharusnya.Perjalanan mereka berlanjut. Mengejutkan, Darma membawa Astri ke museum. Museum 10 November. Menurut Astri aneh orang pergi kencan yang dituju
Astri tertegun. Siapa yang mengetuk pintu? Apa dia terlalu lama di toilet? Jangan sampai pelanggan lain sudah mengantre."Astri! Kamu baik-baik saja?!" Ah, tidak! Itu Darma. Mau apa dia sampai menyusul ke toilet?"Ya, aku baik. Sebentar lagi selesai." Dengan rasa geram dan juga tidak enak hati, Astri menjawab."Tiga menit lagi kita harus balik." Darma bicara tapi terasa memerintah. Lagi-lagi seperti itu."Ya!" Astri menjawab dengan menekan kesal yang terus menyusup di dada.Tidak ada sahutan. Bisa jadi Darma sudah pergi. Astri melihat lagi wajahnya di cermin. Dia menghela napas panjang. "Kamu bisa, Astri. Kamu akan baik-baik saja. Harus lebih sabar. Oke?" Astri menghibur diri sendiri.Kemudian Astri kembali ke meja tempat mereka makan. Dua pria teman Darma masih di sana. Percakapan mereka seperti tidak ada habisnya. Astri duduk lagi di kursi semula. Sudah tidak ada selera makan, jadi Astri hanya menghabiskan minuman saja."Baiklah, kita bisa jalan sekarang. Kita bertemu besok di firm
Wenny berhenti dan berpikir. Apa perlu dia bicara dengan Astri? Julian juga sudah menjelaskan yang sebenarnya terjadi. Astri harus bertunangan karena orang tuanya yang mengatur. Astri tentu sangat sedih, tetapi sebagai anak dia harus patuh. "Lebih baik ga usah. Biar saja. Lama-lama juga akan cair." Wenny bicara sendiri. Wenny memutar badan, dia mau balik ke kamarnya saja. "Wenny?" Suara itu. Suara manis dan menenangkan, suara milik Astri.Wenny terpaksa menghentikan langkah dan kembali memutar tubuhnya. Astri di depan Wenny berjalan mendekat."Kak," ucap Wenny kikuk."Ada yang bisa aku bantu?" tanya Astri. Dada Astri berdetak lebih cepat. Dia tidak menduga Wenny muncul di depannya. Astri keluar kamar karena ingin mengambil pesanan makanan online yang diantar staf sekolah."Eh, kalau aku ngganggu, ga usah aja." Wenny bingung mau bilang apa. Wenny ingat sekali terakhir dia bicara pada Astri, dia memaki dan mengumpat pada ibu asramanya."Sama sekali nggak. Sebentar. Aku mau ambil pesan
"Astri, kamu dengan Darma makin sering komunikasi, bukan?" Pertanyaan pertama. Astri mulai menebak, pembicaraan dia dengan sang bunda akan menuju ke mana."Ga juga, Ma. Dia sibuk, aku juga. Sesekali saja." Astri menjawab."Oya? Kalian sudah bertunangan, seharusnya makin intens dong, komunikasi. Biar saling mengenal dan ga kaget waktu udah married nanti," kata Titi.Astri melihat sang bunda. Jadi ini yang ingin Titi tegaskan? Bagaimana seharusnya Astri bersikap pada Darma bukan bagaimana perasaan Astri melewati hubungan yang dipaksakan itu. Kenapa Astri tidak terkejut?"Ga segampang itu, Ma. Perasaanku pada Julian. Ga bisa tiba-tiba aku beralih ke Darma. Seperti aku dipaksa masuk dunia lain yang aku sama sekali ga ngerti." Astri menjelaskan yang ada di pikirannya."Astri, waktu kamu dan Darma ga banyak untuk saling kenal. Harus jadi prioritas kebersamaan kalian. Kalau ga sering sama-sama pasti ga klik terus," ucap Titi. Dia berusaha meyakinkan Astri apa yang perlu dilakukan.Astri ingi
Titi memandang putrinya. Yang ingin Titi lakukan membuat Astri mengerti, sekalipun pernikahan dimulai seolah-olah adalah kesalahan, tetap bisa berlangsung baik jika hati terbuka menjalani semuanya."Sebenarnya, aku sudah punya kekasih ketika itu. Pria idaman yang lama aku harapkan datang. Dia tampan, baik, dan bertanggung jawab." Titi memulai kisahnya. Astri mendengarkan dengan seksama. "Kami berpacaran dua tahun lalu memutuskan akan masuk ke pernikahan. Saat mempersiapkan semuanya, kekasihku ditugaskan keluar kota untuk satu poyek oleh perusahaan tempat dia bekerja."Sampai di situ, Titi nenarik napas dalam. Dia menata lagi hati untuk meneruskan."Empat bulan dia pergi. Semua baik-baik saja. Sampai ketika dia pulang, dia mengabarkan hal yang membuat aku terpuruk. Dia jatuh dalam hubungan dengan wanita lain hingga wanita itu hamil." "What?" Astri tercengang. Sungguhkah itu yang Titi alami? Ah, pasti berat sekali menemukan kenyataan itu."Aku hancur. Semua rencana yang kami tata begitu
Damira menepuk lengan Astri. "Jangan khawatir. Kamu tahu yang harus kamu lakukan. Jangan terpancing, tetap tenang."Damira berpesan. Tetapi jujur saja, hati Damira tidak tenang. Pengacara itu bisa bertindak apa saja pada Astri."Astri!" Sekali lagi panggilan Titi terdengar."Yq, Ma." Astri menyahut. Astri turun dari kasur, melangkah ke pintu.Saat pintu dibuka, Titi berdiri dengan senyum lebar."Tunangan kamu menunggu. Dia tahu saja makanan kegemaran di rumah. Lihat itu, dia bawa macam-macam." Titi menunjuk ke meja ruang tengah. Di atas meja, tampak berjajar macam-macam makanan ringan dan buah-buahan buah tangan Darma."Sana, temui Darma. Ga enak kalau dia lama nunggu," kata Titi. Wajahnya kembali ceria. Sendu yang sempat muncul saat bicara dengan Astri telah menghilang.Astri menuju ruang depan. Terdengar suara tawa renyah dari dua pria yang duduk di sana. Andika dan Darma berhadapan, tampak asyik berbincang."Ah, ini dia, yang ditunggu datang," kata Andika melihat Astri muncul."Hai
Astri balik masuk ke kamar. Dia membaca sekali lagi pesan yang Julian kirimkan. - Sintya mengatakannya, Astri. Tidak sengaja, tapi akhirnya aku tahu, Sintya kenal Darma. Darma yang mengambil foto-foto itu. "Ya Tuhan ... Pak Pengacara itu memang gila," kata Astri lirih dengan dada bergemuruh. Marah tak bisa dicegah memuncak di sana. Ini sungguh kabar di luar dugaan Astri. Sintya kenal dengan Darma? Sejak kapan? Mereka berteman selama ini? Astri harus dapat kejelasan segera.Astri hampir mengirim pesan pada Julian, pesan baru masuk lagi. - Aku harus terus mengorek Sintya. Aku akan beri kabar lagi nanti. Kamu baik-baik, Honey. Deg! Jantung Astri bergemuruh lagi. Dan gemuruh yang terakhir jelas berbeda. Julian menuliskan kata 'honey'. Panggilan istimewa untuk Astri. Di situasi itu, ketika semua masih belum jelas, masih carut marut, Julian makin berani menunjukkan rasa sayangnya. Astri merasa seperti melayang. Senyum manis penuh pesona Tuan Dawson terpampang di pikiran Astri. Rasa rin
Julian geram mendengar yang Sintya ucapkan. Pengacara pilihan ayah Astri ternyata pintar bermain intrik. Yang ditipu dan dibohongi sebenarnya adalah Sintya. "Upps! Kok, aku kasih tahu kamu?" Sintya kaget kenapa dia sampai membuka rahasianya.Julian menarik napas dalam. "Untuk apa dia lakukan itu? Dan kamu ga masalah dengan itu?" "Awalnya aku protes. Tapi setelah dengar alasan Darma, aku paham, sih." Sintya kembali bicara dengan nada normal."Kenapa? Jelas itu melanggar privasi. Melanggar hukum. Rasanya aneh, dia lakukan itu," ucap Julian."Darma hanya mau kekasihnya kembali padanya. Dia juga bilang, kasihan kamu, dibohongi selama ini. So, sekarang kamu ga usah pusing soal wanita itu. Darma sudah mampu menaklukkannya." Sintya tersenyum lebar.Julian tidak berkata apa-apa. Hatinya kesal luar biasa. Tapi sandiwara harus tetap dijalankan."Aku ga habis pikir, wanita itu kerja di sekolah, bukan? Di tempat Wenny, betul? Berarti ga sembarangan bisa jadi pegawai di sana. Kenapa bisa kelakuan
"Hei! Jangan ganggu aku!!" Teriakan itu membuat Astri menoleh cepat dan setengah berlari ke ruang tengah. Matanya melotot lebar melihat apa yang terjadi di sana. Seorang anak laki-laki kira-kira tujuh tahun, berdiri sambil mengangkat tinggi sebuah boneka, sedangkan di bawahnya seorang anak perempuan kurang lebih berusia empat tahun, tengah menengadah dengan tangan terangkat dan kaki berjinjit berusaha mengambil boneka di tangan di anak laki-laki. "Ambil kalau bisa. Lompat, lompat aja!" Anak lelaki itu tertawa sambil makin tinggi mengangkat tangannya. "Mana! Aku mau main, balikin!" Anak perempuan itu mulai berteriak sampai hampir menangis. "Jovan! Apa yang kamu lakukan?" Astri melotot marah pada anak lelaki itu. "Ah, no! Just kidding!" Cepat-cepat anak laki-laki itu memberikan boneka pada anak perempuan di depannya. Begitu boneka princess itu kembali padanya, anak perempuan itu berlari memeluk pinggang Astri. "Kak Jovan nakal, Ma!" satanya manja sembari menengadah memandang Astri
Julian merasa debaran di dadanya berlipat kali. Pertanyaan yang Astri ucapkan, apa artinya? Dia suka seperti yang muncul dalam bayangan Julian atau sebaliknya? Tiba-tiba gambaran Astri galau dan sedih mengganti bayangan sebelumnya."Honey ..." Refleks bibirJulian berucap.Astri sangat terpana dan tak bisa berkata-kata dengan apa yang ada di depannya. Kamar hotel yang sudah indah dan mewah ditata ulang dengan tampilan yang sangat berbeda. Rasanya seperti menjadi kamar raja dan ratu dalam film dongeng yang pernah Astri lihat.Astri memutar badannya dan memandang Julian. "Ini ada apa?" Julian mencermati wajah Astri. Tatapan wanita cantik itu akan memberikan laporan apakah kejutan Julian berhasil atau tidak."You are my queen, so aku mau menjadikan kamu ratu yang sebenarnya. Biarpun cuma malam ini." Julian bicara sambil mengurai senyum. Dia mau Astri tahu dia hanya ingin membuat Astri bahagia lebih lagi. Momen-momen paling manis yang tidak akan terlupakan harus tercipta saat bulan madu me
Rasa tidak nyaman mendera. Julian menggantung kata-katanya. Apa yang akan dia sampaikan? Apapun itu, Astri harus siap. Di awal pernikahan mereka, Astri sudah mengecewakan Julian. Kalau Julian akan bersikap berbeda Astri harus siap menerimanya."But, I really wanna show you, I love you so much." Mata Julian lembut memandang Astri. Ada kasih begitu dalam yang Astri rasakan."I know." Astri mengangguk."Aku mengerti kamu melewati masa-masa sulit. Tidak ada yang tahu. Kamu sendirian. Pasti sangat berat buat kamu. Izinkan aku membalut luka kamu. Trust me," kata Julian dengan nada yang sama.Astri mengangguk. Air matanya kembali menitik. Betapa besar kasih Tuhan untuknya. Setelah semua kepedihan yang harus dia hadapi sendirian, Tuhan membawa Julian padanya. Astri akan terbuka, seluasnya dia rentangkan hati dan jiwa untuk Julian."Let me hold you," bisik Julian.Astri menelan ludahnya. Lalu dia mengangguk. Julian menggeser posisinya, pindah ke sisi Astri. Dia lebarkan tangan dan memeluk Astri
Astri masih berusaha menghentikan air matanya meskipun dia merasa sedikit lebih tenang. Dia lega karena semua pernyataan yang dia ucapkan, Nirma menerimanya dengan terbuka. Tidak ada penghakiman, tidak ada juga sikap iba yang berlebihan."Ingat, yang kamu alami itu bukan kesalahan kamu. Tentu sangat sulit untuk seorang anak tahu bagaimana membela dirinya. Tidak mungkin juga kamu akan lupa. Yang sudah terjadi memang berlalu, tapi tetap bisa muncul lagi dalam ingatan."Tapi, kamu sudah mendapatkan yang terbaik yang kamu butuhkan. Seorang pria yang sangat cinta padamu. Sebagai pasangan, tidak perlu ada yang ditutupi. Karena itu akan jadi ganjalan ketika terbongkar. Jujurlah, meskipun berat itu akan lebih baik."Dia harus bisa menerima apapun keadaan kamu. Kalian sudah terikat janji sehidup semati. Segala hal harusnya bukan penghalang hubungan kalian. Seburuk apapun mesti bisa menerima." Nirma mulai memberikan pandangannya."Bisakah Julian mengerti? Aku sangat takut," kata Astri. Dia memba
Julian berdiri tepat di depan Astri. Tidak ada senyum di sana. Tatapan penuh cinta menghujam Astri. Tatapan itu juga menyiratkan dia ingin segera memulai petualangan cinta yang lebih dengan wanita yang dia cintai. Astrina Talia Kamajaya yang telah resmi menjadi pendamping hidupnya. Tangan Julian bergerak, menarik Astri lebih dekat dalam dekapannya. Astri merasakan debaran luar biasa kuat mendera. Dia memberanikan diri membalas tatapan Julian. Dia tahu Julian cinta dan sayang padanya. Pria itu tidak akan menyakitinya. "Honey ..." Bisikan lembut itu masuk ke telinga Astri. Sentuhan manis terasa di keningnya. Bibir Julian mulai bekerja. Astri memejamkan matanya. Dia merasa ada gelinjang hangat menyusup. Rasa takut mulai menghampiri. Keringat dingin terasa di tangannya. Astri harus bertahan. Dia tidak akan memikirkan yang lain kecuali ... "Uffhhh ..." Astri melenguh saat bibir Julian menyatu di bibirnya. Refleks Astri mendorong Julian, lalu dia mundur, dan jatuh terduduk. Tubuhnya gem
Alarm dari ponsel Astri nyaring berbunyi. Astri terbangun. Dengan mata masih terpejam, Astri meraba-raba di sekitarnya. Biasanya ponsel akan ada tak jauh darinya di dekat bantal. Tapi ponselnya tidak ada di sana. Astri membuka mata. "Aku di mana?" Astri terkejut menyadari dia bukan di kamarnya. Segera Astri duduk dan ... "Ah, aku di hotel. Astaga ..."Astri memandang ke sekeliling. Ingatannya telah kembali. Dia telah menikah dan menjadi istri Julian. Tetapi Astri sengaja menghindar dari sang suami, takut jika dia harus melakukan hubungan dalam dengannya "Juan ..." Astri melihat Julian tidur meringkuk di sofa, bahkan tanpa selimut. "Kamu ga tidur di ranjang. Apa kamu marah? Atau kamu tahu aku menghindar jadi kamu memang menjauh?" Pikiran Astri bekerja. Pertanyaan demi pertanyaan muncul. Ada rasa bersalah yang mencuat di hati. Bukankah pengantin baru semestinya tidur berpelukan dengan mesra? Mereka bahkan tidak tidur di ranjang yang sama.Astri menoleh ke sisi kiri ranjang tempat dia
"Tunggu aku belum selesai!" Astri menyahut lagi."Oke, Honey," balas Julian.Julian kembali ke sofa dengan posisi yang sama. Dia harus menunggu Astri selesai mandi. Tapi rasanya lama sekali. Apa memang wanita selama itu jika mandi?Julian menoleh ke pintu kamar mandi. Tidak ada tanda-tanda Astri muncul di sana. Julian menegakkan badan. Apa sungguh tidak terjadi sesuatu? Bukankah Astri memang merasa kurang sehat?Segera Julian bangun dan mendekat ke pintu. Dia mau mengetuk tetapi dia urungkan. Julian maju selangkah lagi dan menempelkan telinga di pintu. Siapa tahu dia mendengar sesuatu. Bisa jadi Astri mengerang atau menangis disertai merintih menahan sakit.Tidak terdengar suara apapun. Berarti Astri baik-baik saja. Atau jangan-jangan .... Kalau ternyata dia ...Julian mendengar dering ponsel. Maka dia kembali ke arah meja dan sofa mengambil ponsel dan melihat siapa yang berani mengganggu waktu istimewanya dengan sang istri."Wenny?" Julian kesal. Wenny yang menghubungi? Julian enggan
"Selamat bersenang-senang, yaa!! Jangan lupa, dunia bukan milik kalian berdua aja. Masih ada aku dan yang lain di sini!" Wenny melambai dengan senyum lebar ke arah Julian dan Astri.Raja dan ratu sehari itu telah masuk ke mobil pengantin dengan Davin sebagai driver dan Damira yang tidak mau ketinggalan berada di sampingnya. Tampak juga Errin dan Alfonso ikut melambai mengantar Astri dan Julian meninggalkan gedung gereja. "Akhirnya, Kak!" Damira menoleh pada Astri. Mata gadis itu berbinar senang, kakaknya sukses menikah dengan Julian, kekasih pertamanya, tetapi bukan pria kaleng-kaleng.Astri ikut tersenyum. Tentu saja bahagia terpampang di wajahnya. Julian juga tak mau melepas tangan Astri, digenggamya erat. Julian ingin meluapkan kegembiraan telah resmi menjadi suami Astri "Kamu tahu, Kak, mama nangis terus. Dia happy banget beneran kamu nikah. Impiannya terkabul bisa melihat kamu di altar dan di pelaminan." Damira melanjutkan."Iya, Tuhan baik. Mama juga bisa ikut acara, ga sampai
Gedung gereja megah dan tinggi menjulang tampak kokoh di hadapan Astri. Pintu gereja terbuka lebar dengan dekorasi cantik seolah sebuah gerbang menyambutnya datang. Debaran di jantung Astri makin tak karuan. Hari itu dengan gaun pengantin yang elok, Astri benar-benar sampai dan siap melangkah menuju altar menemui pria terkasih."Ayo, Kak. Hampir telat." Damira yang ada di kursi depan, duduk bersebelahan dengan Davin menoleh dan bicara tidak sabar.Mobil pengantin sudah terparkir manis di depan pintu gereja. Astri seperti terpaku dan tidak juga beranjak."Ya, ok. Thank you," ucap Astri gugup.Perlahan Astri membuka pintu mobil dan turun. Galang menunggu di sana dengan senyum lebar. Kebahagiaan tampak dari wajah kakak terbaik Astri. "Akhirnya ..." kata pria itu masih dengan senyum lebarnya. "Ayah ada di pintu menanti. Ayo."Galang menggandeng Astri mengantar sang adik menemui ayah mereka. Pria itu dengan gagah berdiri di muka pintu. Dia terlihat cukup tegang meski senyum terurai manis d