Sintya melotot pada Wawan. Dia paham apa maksud Wawan mengatakan itu padanya. "Mbak, Pak Bos udah punya cewek, makanya dia ga mikir lagi cari cewek." Rinda, salah satu pegawai wanita yang duduk di counter depan bicara pada Sintya. Dia kasihan juga melihat Sintya terus-terusan mengejar Julian dan tidak mungkin berhasil. "Yang bener?" Sintya menatap dengan kerutan di kening. "Iya, Mbak. Kapan hari ke sini, diajak sama Pak Bos." Hari menimpali. "Kalian ga ngarang?" Sintya masih terkejut dengan kabar itu. Yang dia tahu Julian pria penggila kerja dan dingin. Dan Sintya mengambil kesempatan itu untuk merebut hati Julian. Tetapi informasi yang baru masuk di telinga Sintya, sungguh tidak dia sangka."Buat apa ngarang, Mbak? Apa perlu aku tunjukkan CCTV?" Wawan ikut berkomentar."Iihhh!" seru Sintya. "Orangnya kayak gimana?" Para pegawai Julian saling memandang, lalu melihat lagi pada Sintya. Sintya sepertinya terobsesi dengan bos mereka. Misal dia tahu model kekasih si bos, bisa sesak nap
Darma masuk dalam mobilnya. Sambil mulai menjalankan kendaraan mewah miliknya, Darma menelpon seseorang. "Pastikan aku bisa bertemu dengannya hari ini. Aku bisa jam empat sampai jam enam. Katakan padanya, kerja sama yang akan kita lakukan ini sangat menguntungkan buat dia." Darma bicara tegas, bahkan sedikit terasa nada geram."Tempatnya minta Sintya yang tentukan. Kalau aku yang tentukan dia bisa curiga dan merasa akan dijebak. Kalau dia yang pilih, dia tahu lokasi aman buat dirinya. Kamu paham?" lanjut Darma. Lalu dia matikan panggilan dan meletakkan ponsel di atas dashboard.Darma sudah tahu siapa Julian. Seperti apa kehidupannya. Dan yang seru, wanita yang sedang mengejar cinta Julian. Darma melihat itu menjadi peluang besar untuk mengacaukan hubungan seumur jagung Julian dan Astri. Sesuai waktu yang Darma minta, Sintya ternyata mengiyakan. Sebuah resto di salah satu mal besar di Surabaya menjadi tempat mereka bertemu. Darma sudah menyiapkan strategi jitu yang tidak akan ditolak
Darma girang dengan pertanyaan Sintya. Tentu tidak dia tunjukkan dengan ekspresi berlebihan. Tetap tenang dan terkesan dingin yang tampak dari aura Darma. Sudah waktunya Darma akan melancarkan jurus untuk memulai kerja sama dengan Sintya."Sebelum aku jelaskan, aku perlu keterangan dari kamu tentang Julian. Selama ini, sejauh apa hubungan kamu dengan Julian? Pria seperti apa Julian menurut kamu?" Pertanyaan Darma keluar dari bibirnya.Sintya pun tidak ragu menuturkan bagaimana Julian dan seperti apa hubungan Sintya dengan Julian. Darma ingin tertawa mendengar pengakuan Sintya. Ternyata, belum ada apa-apa di antara Julian dan Sintya. Dekat sebagai teman pun tidak. Buat Darma itu lucu. Tapi di sisi lain, perjuangan Sintya tentu masih berat dan panjang."Berarti harus ekstra dan kamu harus berani." Darma memberikan komentar selesai Sintya menjawab pertanyaan Darma."Aku ga takut apapun, Dar. Apa kamu lupa yang kamu hadapi siapa? Aku cuma belum nemu cara yang tepat meluluhkan Tuan Bos Daws
"Oh, bagus. Tetapi yang aku maksud dengan dirimu sendiri. Menyenangkan adik dan gembira dengan dia, itu bagus. Jika tanpa dia, kamu ambil waktu, tetapi buat diri sendiri, itu juga perlu." Sintya kembali menegaskan maksudnya."Aku mengerti. Aku memang melakukannya juga, Mbak." Julian tersenyum kecil."Nah, aku mau menemani kamu. Aku bisa buat hari menyenangkan untuk melepas semua penat lalu siap bekerja lagi." Sintya makin bersemangat.Julian kembali tersenyum. "Terima kasih perhatian Mbak Sintya. Aku sudah ada teman melakukan healing bersama. Dan tidak lama lagi, aku akan menikah dengannya." Julian tidak mau bertele-tele. Dia katakan saja agar Sintya tidak terus berharap padanya.Dada Sintya seketika berdegup seperti mau melompat. Tidak! Tidak boleh Julian menikah dengan Astri yang sebenarnya adalah tunangan Darma. Sintya harus membuyarkan rencana mereka."Oya? Secepat itu? Apa kamu yakin? Sudah berapa lama kamu mengenalnya? Apa dia sungguh sayang sama kamu?" Sintya dengan serius menan
Eva memperhatikan Wenny. Dari sorot matanya Eva tahu gadis itu minta bantuan dan pembelaan."Salah makan, Pak. Wenny makan makanan terlalu pedas. Juga minum minuman bersoda agak berlebihan. Akhirnya lambung Wenny tidak kuat." Eva menjawab yang Julian tanyakan."Berarti itu bukan makanan dari dapur sekolah, Bu?" tanya Julian lagi."Tidak, Pak. Wenny dan teman-temannya makan sama-sama, beli makanan dari luar sekolah," jelas Eva. Mata Julian balik menatap Wenny. "Wenny, just tell me the truth (Wenny, katakan yang sebenarnya)."Wenny merasa degupan dadanya menguat. Dia tidak bisa lagi lari dari sang kakak. Julian juga paling tidak suka ketidakjujuran, mencari alasan atau dalih untuk membela diri."Aku beli mie pedas, level 10." Dengan wajah mulai memerah Wenny menjawab."Hah? Buat apa beli makanan sampai sepedas itu? Kamu tahu perut kamu sensitif dengan pedas." Julian mengerutkan kening. Geram mulai menyusup."Abisnya ditantangin, Kak. Emosi aku," kata Wenny dengan wajah cemberut bercampu
"Hai, Wenny! Senang lihat kamu pulang. Wah, sudah segar, ya?" Sintya datang ke rumah Julian. Dengan penampilan dia yang baru tetapi dengan gaya khasnya yang ceria dan rame.Wenny melongo melihat wanita itu tiba-tiba muncul bahkan di depan kamar Wenny. Sintya masuk dan mendekat ke sisi ranjang tempat Wenny berbaring. Dia meletakkan kotak yang dia bawa di meja dekat tempat tidur, lalu duduk di tepi kasur."Abu buatkan bubur enak. Ini bubur sehat, kamu pasti segera pulih." Senyum Sintya melebar.Wenny masih bingung dengan yang terjadi tiba-tiba di depan matanya. Wenny tahu pelanggan antik kakaknya yang satu ini. Sesekali kalau Wenny datang ke kantor Julian, para pegawai membicarakan dia juga. Yang Wenny lebih kaget, penampilan Sintya tidak seperti yang Wenny tahu selama ini. Sangat berbeda. Lebih wanita, bukan seperti pria lagi."Aku bantu makan, yuk!" Dengan semangat Sintya berniat meraih kotak yang sudah di meja."Nanti saja, Tante. Aku belum lapar," sergah Wenny cepat."Ih, kok panggil
Julian dan Sintya mengangkat kepala, serentak melihat Wenny berdiri di pinggir pagar pembatas balkon lantai atas. Wajah Wenny merah padam melihat pemandangan yang tak dia duga ada di depan matanya. Julian berpelukan dengan Sintya! Dengan cepat Julian melepas pelukan Sintya dan sedikit mendorong Sintya agar menjauh darinya. Ini benar-benar gawat. Wenny memergoki Julian berpelukan dengan Sintya. Sangat mungkin segera kejadian ini akan sampai di telinga Astri. Tidak! Kemarahan dan kebencian tampak meluap di wajah Wenny. Masih dengan tubuh belum benar-benar pulih, Wenny melangkah turun ke lantai satu. "Kalian gila?" ujar Wenny. "Apa yang kalian lakukan?" "Wenny, aku bisa jelaskan yang sebenarnya. Tidak seperti yang kamu lihat." Julian cepat mencoba memberikan klarifikasi. "Julian, kamu mau menyangkal? Kamu malu mengatakan yang sebenarnya pada adik kamu?" Sintya meraih lengan Julian. Ekspresi wajahnya pura-pura terkejut dengan ucapan Julian. "Aku tidak perlu menjawab apapun yang kamu
Julian menegakkan punggungnya. Kalimat terakhir Astri menbuat Julian bersemangat. Kejutan buat Wenny? Apa yang Astri rencanakan?"Tentu saja. Apa yang kamu mau buat?" tanya Julian."Weekend aku akan mengunjungi Wenny. Apa makanan kesukaannya? Aku akan bawa buatnya," jawab Astri."Hmm, Wenny masih perlu makanan yang lembut. Puding. Salah satu yang dia suka. Aku biasa minta Bu Tami membuat di rumah." Julian menjawab sambil mengingat-ingat."Misal aku buatkan di rumah, apa bisa?" Tiba-tiba Astri mendapat ide. Dia punya resep puding dari mamanya. Mungkin Wenny akan suka kalau dia buatkan saja."Ya, itu ide bagus. Apa saja yang kamu perlu, nanti aku siapkan." Julian tersenyum lebar. Pasti akan sangat menyenangkan menerima Astri di rumah. Lalu dia memasak buat Wenny, juga buat Julian. Mengapa tidak?Hati Astri meletup. Julian bergairah ingin mendukung Astri membuat kejutan untuk Wenny. Rasanya tidak sabar ingin segera tiba hari Sabtu. Astri akan atur baik-baik waktunya sehingga dia bisa cuku
"Hei! Jangan ganggu aku!!" Teriakan itu membuat Astri menoleh cepat dan setengah berlari ke ruang tengah. Matanya melotot lebar melihat apa yang terjadi di sana. Seorang anak laki-laki kira-kira tujuh tahun, berdiri sambil mengangkat tinggi sebuah boneka, sedangkan di bawahnya seorang anak perempuan kurang lebih berusia empat tahun, tengah menengadah dengan tangan terangkat dan kaki berjinjit berusaha mengambil boneka di tangan di anak laki-laki. "Ambil kalau bisa. Lompat, lompat aja!" Anak lelaki itu tertawa sambil makin tinggi mengangkat tangannya. "Mana! Aku mau main, balikin!" Anak perempuan itu mulai berteriak sampai hampir menangis. "Jovan! Apa yang kamu lakukan?" Astri melotot marah pada anak lelaki itu. "Ah, no! Just kidding!" Cepat-cepat anak laki-laki itu memberikan boneka pada anak perempuan di depannya. Begitu boneka princess itu kembali padanya, anak perempuan itu berlari memeluk pinggang Astri. "Kak Jovan nakal, Ma!" satanya manja sembari menengadah memandang Astri
Julian merasa debaran di dadanya berlipat kali. Pertanyaan yang Astri ucapkan, apa artinya? Dia suka seperti yang muncul dalam bayangan Julian atau sebaliknya? Tiba-tiba gambaran Astri galau dan sedih mengganti bayangan sebelumnya."Honey ..." Refleks bibirJulian berucap.Astri sangat terpana dan tak bisa berkata-kata dengan apa yang ada di depannya. Kamar hotel yang sudah indah dan mewah ditata ulang dengan tampilan yang sangat berbeda. Rasanya seperti menjadi kamar raja dan ratu dalam film dongeng yang pernah Astri lihat.Astri memutar badannya dan memandang Julian. "Ini ada apa?" Julian mencermati wajah Astri. Tatapan wanita cantik itu akan memberikan laporan apakah kejutan Julian berhasil atau tidak."You are my queen, so aku mau menjadikan kamu ratu yang sebenarnya. Biarpun cuma malam ini." Julian bicara sambil mengurai senyum. Dia mau Astri tahu dia hanya ingin membuat Astri bahagia lebih lagi. Momen-momen paling manis yang tidak akan terlupakan harus tercipta saat bulan madu me
Rasa tidak nyaman mendera. Julian menggantung kata-katanya. Apa yang akan dia sampaikan? Apapun itu, Astri harus siap. Di awal pernikahan mereka, Astri sudah mengecewakan Julian. Kalau Julian akan bersikap berbeda Astri harus siap menerimanya."But, I really wanna show you, I love you so much." Mata Julian lembut memandang Astri. Ada kasih begitu dalam yang Astri rasakan."I know." Astri mengangguk."Aku mengerti kamu melewati masa-masa sulit. Tidak ada yang tahu. Kamu sendirian. Pasti sangat berat buat kamu. Izinkan aku membalut luka kamu. Trust me," kata Julian dengan nada yang sama.Astri mengangguk. Air matanya kembali menitik. Betapa besar kasih Tuhan untuknya. Setelah semua kepedihan yang harus dia hadapi sendirian, Tuhan membawa Julian padanya. Astri akan terbuka, seluasnya dia rentangkan hati dan jiwa untuk Julian."Let me hold you," bisik Julian.Astri menelan ludahnya. Lalu dia mengangguk. Julian menggeser posisinya, pindah ke sisi Astri. Dia lebarkan tangan dan memeluk Astri
Astri masih berusaha menghentikan air matanya meskipun dia merasa sedikit lebih tenang. Dia lega karena semua pernyataan yang dia ucapkan, Nirma menerimanya dengan terbuka. Tidak ada penghakiman, tidak ada juga sikap iba yang berlebihan."Ingat, yang kamu alami itu bukan kesalahan kamu. Tentu sangat sulit untuk seorang anak tahu bagaimana membela dirinya. Tidak mungkin juga kamu akan lupa. Yang sudah terjadi memang berlalu, tapi tetap bisa muncul lagi dalam ingatan."Tapi, kamu sudah mendapatkan yang terbaik yang kamu butuhkan. Seorang pria yang sangat cinta padamu. Sebagai pasangan, tidak perlu ada yang ditutupi. Karena itu akan jadi ganjalan ketika terbongkar. Jujurlah, meskipun berat itu akan lebih baik."Dia harus bisa menerima apapun keadaan kamu. Kalian sudah terikat janji sehidup semati. Segala hal harusnya bukan penghalang hubungan kalian. Seburuk apapun mesti bisa menerima." Nirma mulai memberikan pandangannya."Bisakah Julian mengerti? Aku sangat takut," kata Astri. Dia memba
Julian berdiri tepat di depan Astri. Tidak ada senyum di sana. Tatapan penuh cinta menghujam Astri. Tatapan itu juga menyiratkan dia ingin segera memulai petualangan cinta yang lebih dengan wanita yang dia cintai. Astrina Talia Kamajaya yang telah resmi menjadi pendamping hidupnya. Tangan Julian bergerak, menarik Astri lebih dekat dalam dekapannya. Astri merasakan debaran luar biasa kuat mendera. Dia memberanikan diri membalas tatapan Julian. Dia tahu Julian cinta dan sayang padanya. Pria itu tidak akan menyakitinya. "Honey ..." Bisikan lembut itu masuk ke telinga Astri. Sentuhan manis terasa di keningnya. Bibir Julian mulai bekerja. Astri memejamkan matanya. Dia merasa ada gelinjang hangat menyusup. Rasa takut mulai menghampiri. Keringat dingin terasa di tangannya. Astri harus bertahan. Dia tidak akan memikirkan yang lain kecuali ... "Uffhhh ..." Astri melenguh saat bibir Julian menyatu di bibirnya. Refleks Astri mendorong Julian, lalu dia mundur, dan jatuh terduduk. Tubuhnya gem
Alarm dari ponsel Astri nyaring berbunyi. Astri terbangun. Dengan mata masih terpejam, Astri meraba-raba di sekitarnya. Biasanya ponsel akan ada tak jauh darinya di dekat bantal. Tapi ponselnya tidak ada di sana. Astri membuka mata. "Aku di mana?" Astri terkejut menyadari dia bukan di kamarnya. Segera Astri duduk dan ... "Ah, aku di hotel. Astaga ..."Astri memandang ke sekeliling. Ingatannya telah kembali. Dia telah menikah dan menjadi istri Julian. Tetapi Astri sengaja menghindar dari sang suami, takut jika dia harus melakukan hubungan dalam dengannya "Juan ..." Astri melihat Julian tidur meringkuk di sofa, bahkan tanpa selimut. "Kamu ga tidur di ranjang. Apa kamu marah? Atau kamu tahu aku menghindar jadi kamu memang menjauh?" Pikiran Astri bekerja. Pertanyaan demi pertanyaan muncul. Ada rasa bersalah yang mencuat di hati. Bukankah pengantin baru semestinya tidur berpelukan dengan mesra? Mereka bahkan tidak tidur di ranjang yang sama.Astri menoleh ke sisi kiri ranjang tempat dia
"Tunggu aku belum selesai!" Astri menyahut lagi."Oke, Honey," balas Julian.Julian kembali ke sofa dengan posisi yang sama. Dia harus menunggu Astri selesai mandi. Tapi rasanya lama sekali. Apa memang wanita selama itu jika mandi?Julian menoleh ke pintu kamar mandi. Tidak ada tanda-tanda Astri muncul di sana. Julian menegakkan badan. Apa sungguh tidak terjadi sesuatu? Bukankah Astri memang merasa kurang sehat?Segera Julian bangun dan mendekat ke pintu. Dia mau mengetuk tetapi dia urungkan. Julian maju selangkah lagi dan menempelkan telinga di pintu. Siapa tahu dia mendengar sesuatu. Bisa jadi Astri mengerang atau menangis disertai merintih menahan sakit.Tidak terdengar suara apapun. Berarti Astri baik-baik saja. Atau jangan-jangan .... Kalau ternyata dia ...Julian mendengar dering ponsel. Maka dia kembali ke arah meja dan sofa mengambil ponsel dan melihat siapa yang berani mengganggu waktu istimewanya dengan sang istri."Wenny?" Julian kesal. Wenny yang menghubungi? Julian enggan
"Selamat bersenang-senang, yaa!! Jangan lupa, dunia bukan milik kalian berdua aja. Masih ada aku dan yang lain di sini!" Wenny melambai dengan senyum lebar ke arah Julian dan Astri.Raja dan ratu sehari itu telah masuk ke mobil pengantin dengan Davin sebagai driver dan Damira yang tidak mau ketinggalan berada di sampingnya. Tampak juga Errin dan Alfonso ikut melambai mengantar Astri dan Julian meninggalkan gedung gereja. "Akhirnya, Kak!" Damira menoleh pada Astri. Mata gadis itu berbinar senang, kakaknya sukses menikah dengan Julian, kekasih pertamanya, tetapi bukan pria kaleng-kaleng.Astri ikut tersenyum. Tentu saja bahagia terpampang di wajahnya. Julian juga tak mau melepas tangan Astri, digenggamya erat. Julian ingin meluapkan kegembiraan telah resmi menjadi suami Astri "Kamu tahu, Kak, mama nangis terus. Dia happy banget beneran kamu nikah. Impiannya terkabul bisa melihat kamu di altar dan di pelaminan." Damira melanjutkan."Iya, Tuhan baik. Mama juga bisa ikut acara, ga sampai
Gedung gereja megah dan tinggi menjulang tampak kokoh di hadapan Astri. Pintu gereja terbuka lebar dengan dekorasi cantik seolah sebuah gerbang menyambutnya datang. Debaran di jantung Astri makin tak karuan. Hari itu dengan gaun pengantin yang elok, Astri benar-benar sampai dan siap melangkah menuju altar menemui pria terkasih."Ayo, Kak. Hampir telat." Damira yang ada di kursi depan, duduk bersebelahan dengan Davin menoleh dan bicara tidak sabar.Mobil pengantin sudah terparkir manis di depan pintu gereja. Astri seperti terpaku dan tidak juga beranjak."Ya, ok. Thank you," ucap Astri gugup.Perlahan Astri membuka pintu mobil dan turun. Galang menunggu di sana dengan senyum lebar. Kebahagiaan tampak dari wajah kakak terbaik Astri. "Akhirnya ..." kata pria itu masih dengan senyum lebarnya. "Ayah ada di pintu menanti. Ayo."Galang menggandeng Astri mengantar sang adik menemui ayah mereka. Pria itu dengan gagah berdiri di muka pintu. Dia terlihat cukup tegang meski senyum terurai manis d