Leina masih memikirkan banyak hal. Tentang perasaan Arsen, kemudian tentang para penculik itu, dan sebutan Ouro waktu itu— apa maksudnya?Dia masih marah kepada Arsen, jadi malas bicara dengannya. Meskipun begitu, dia tetap peduli pada pria itu.Keesokan harinya, dia menyiapkan sarapan di meja seperti biasa serta kopi kesukaan Arsen.Arsen turun dari anak tangga, menuju ke ruang makan akibat tergoda dengan aroma masakan pagi ini. Kepalanya masih sakit akibat alkohol kemarin.Selain itu, dia juga kepikiran Leina. Namun, alih-alih membahas masalah kemarin, dia bertingkah seolah tidak terjadi apapun.Dia melihat Leina membersihkan meja dapur. "Oh, kamu masak banyak hari ini? Apa suasana hatimu sudah membaik?“Mendengar suara Arsen, Leina melepaskan celemeknya. Kemudian, dia segera pergi tanpa menoleh sedikitpun."Hei? Mau ke mana? Kamu tidak sarapan?” Arsen bertanya.Leina berhenti sejenak. "Aku mau pergi belanja. Aku sudah makan tadi. Kamu makan saja sendiri. Kamu lebih suka sendirian '
Hans merasa puas setelah memukul wajah Arsen sekali. Dia tersenyum melihat pria itu yang kelihatan masih sedih."Dia mencintaimu selama tiga tahun— dan sikapmu masih seperti ini? Kamu tidak memberinya jawaban, Arsen," omelnya.Tida ada jawaban dari Arsen.Hans mengangguk paham. "Jujur saja dulu aku paham kenapa kamu selalu bersikap dingin ke Leina, kamu tidak mau dia masuk ke dalam dunia kita ini."Tidak ada jawaban."Tapi, ini sudah bertahun-tahun. Dulu Leina masih baru lulus SMA, sekarang dia sudah dewasa, Bodoh. Jika kamu memang tidak mencintainya, lepaskan dia— berikan jawabanmu padanya, tolak dia, jangan beri harapan."Tidak ada jawaban. Mimik wajah Arsen berubah tak suka mendengar ucapan Hans. Dia mengalihkan pandangan ke luar jendela lagi. Area bekas tinju di sekitar hidung tampak memerah.Hans menghela napas panjang lagi. Dia kadang muak dengan sikap Arsen yang terlalu tertutup. Dia mengomel, "kamu tidak mau melepaskan Leina karena mencintainya, tapi kamu juga tidak mau membe
Usai menghabiskan sarapan, Leina buru-buru berdiri dan berkata pada Arsen. "Aku akan bereskan ini, kamu cepat temui saja tamu kamu. Aku akan buatkan minum sebentar lagi."Dia tidak menunggu jawaban dan langsung sibuk sendiri membawa piring dan gelas kotor ke wasafel meja dapur. Sangat kelihatan kalau dia enggan menatap Arsen.Arsen sadar diri kalau diusir. Daripada membuat situasi makin tegang, dia memilih pergi ke ruang tengah. Berada di sekitar Leina membuatnya sesak napas sekarang.Di ruang tengah, Serena dan Miranda duduk di sofa panjang. Di pelukan Miranda telah tertidur Baby Vera. Mereka sedang menonton acara televisi pagi— berita lokal yang menayangkan deretan pembunuhan berantai."Sebaiknya sampai dokumen paspormu selesai diurus, kamu sementara tinggal di rumahku saja, Miranda. Pembunuh berantai itu belum tertangkap," kata Serena yang seksama mendengarkan presenter berita.Miranda tampak serius. "Agak ngeri juga, sih. Tapi, aku tidak mau merepotkanmu."Arsen mendekati mereka.
Leina membukakan pintu.Liam segera masuk dengan mata yang penuh pancaran kebahagiaan. Sudah lama sejak dia terakhir bertemu wanita itu. Yang lebih membahagiakannya lagi, dia celingukan— dan tidak menemukan Arsen. Tidak ada detektif itu, maka ada kesempatan menggoda Leina.Leina berkata, "Arsen sedang bicara dengan kakakmu di lantai dua. Kalau mau ketemu temui saja sekarang.""Tidak, tidak, justru bagus kalau tidak ada dia." Mimik wajah Leina berubah waspada. Setiap kali berada dekat dengan pria playboy ini, dia merasa harus ekstra hati-hati."Jadi, mau apa? Kamu sampai tidak bekerja dan ke sini bukan untuk basa-basi 'kan?" Dia bertanya."Aku cuti kerja, Leina. Aku sedang cedera otot bahu, tidak bisa banyak bergerak juga.""Hmm, kamu kelihatannya baik-baik saja.""Apa, sih? Kamu tidak percaya padaku? Untuk apa juga aku bohong sama kamu?""Jadi, kenapa ke sini?""Kamu tidak mau memberiku minuman dulu atau bagaimana? Masa tamu dibiarkan saja begini?" "Kamu itu bukan tamu, untuk apa ju
Hari berlalu begitu cepat.Hubungan Arsen dan Leina masih canggung. Arsen tak bisa tenang saat bertemu Leina di meja makan. Tetapi, dia tak bisa berkata apapun. Leina pun demikian— dia tak bisa menatap Arsen dengan pandangan seperti biasa.Meja makan terasa sangat sunyi. Biasanya, Leina akan banyak bicara dan mengomel. Sekarang— wanita itu banyak diam.Arsen tidak suka ini. Namun, bagaimana caranya memperbaiki hubungan mereka?Jauh di lubuk hatinya, dia ingin Leina menjauh dari hidupnya agar tak terjadi peristiwa penculikan lagi— tetapi, dia juga tak mau itu. Rasa bimbang dalam dirinya makin lama makin menggila sampai dia tak bisa konsentrasi."Kamu yakin tidak mau ikut?" kata Arsen memecah keheningan di meja makan. Dia menatap Leina sudah menyelesaikan makan malamnya.Leina merespon, "tidak. Klien itu hanya ingin bertemu denganmu, jadi kamu saja yang datang. Lagipula, Serena pasti sudah menunggu. Kamu harus segera berangkat."Arsen tidak mengira akan datang hari di mana Leina berkat
Demam.Leina sering demam saat perubahan cuaca ekstrim seperti musim penghujan ini. Tetapi, dia biasanya hanya perlu tidur, dan semua akan baik-baik saja.Selama setengah jam telah berlalu, dan selama itu pula— tangan Leina masih menyentuh telapak tangan Arsen. Kalau sudah begini, mana mungkin pria itu meninggalkannya? "Leina?" Arsen memanggil lirih, memastikan kalau wanita itu sudah tidur atau tidak.Tidak ada jawaban. Leina malah menggigau dengan bergumam, "... Arsen ... bodoh ...""Oke." Arsen paham. Salah satu ciri Leina kalau sudah tertidur adalah berkata kasar tentang dirinya. Iya, bahkan di mimpi pun, wanita itu sangat ingin mengomelinya.Tetapi, ini membuat Arsen tersenyum saat menatapnya. Menurutnya, Leina sangat manis ketika sudah tertidur begini— bagai anak polos.Leina terlihat banyak gerak, meremas tangan Arsen seolah mencari kehangatan. "... dingin ..."Arsen sudah mengatur suhu agar sehangat mungkin, tetapi tubuh Leina sudah terlanjur demam. Ini membuat pria itu khawa
Sejak kehadiran Leina di rumahnya, Arsen sudah tak pernah lagi memasak. Sebelumnya, dia masih bisa membuat makanan seperti omelet atau roti isi. Tetapi, sekarang— keahliannya dalam membuat makanan sirna seketika. Dia bahkan sudah tidak ingat bedanya mie matang atau masih mentah.Segala-galanya sudah diurus Leina. Wanita itu tak pernah absen membuat makanan untuk keseharian mereka. Dia memenuhi semua syarat untuk menjadi istri teladan dambaan semua pria.Arsen membuat sup ayam dengan bantuan resep dari YouTube. Langkah demi langkah dia turuti hingga setengah jam berlalu— akhirnya matang juga.Meski tampilan sup tidak sama dengan yang ada di YouTube, dia tetap bangga.Leina turun akibat mendengar suara gaduh di dapur. Dia tidak ingat apapun saat masih tertidur pulas tadi. Karena itulah, dia bersikap biasa saja saat melihat Arsen.Kalau saja dia ingat sudah memeluk, melepaskan kancing kemeja, menciumi lehernya, memanggil-manggul namanya— pasti dia takkan berani bertatapan muka.“Arsen?”
Malam harinya ...Leina sudah pulih sepenuhnya. Dia beraktifitas seperti biasa. Demamnya sama sekali tidak mengancam, tapi memang Arsen saja yang berlebihan.Dia membuatkan makan malam. Selain itu, dia juga melakukan pekerjaannya sebagai asisten detetif untuk memeriksa pesan-pesan masuk dari calon klien lain.Sambil menghidangkan kopi untuk Arsen di atas meja makan, dia berkata, "Arsen, tadi sore ada permintaan kasus, aku harus menolaknya 'kan?"Arsen meletakkan ponselnya di meja, lalu fokus menatap Leina. "Kenapa membahas pekerjaan sekarang? Kamu juga kenapa masak— sudah tidur saja. Biar aku yang melakukan pekerjaan rumah hari ini.""Aku ini tidak sakit, kok. Kamu saja yang berlebihan. Lagian masakanku sudah matang.""Tidak sakit? Tapi tadi siang kamu sampai tidak sanggup makan sendiri, minta disuapi? Masa tidak sakit? Bohong, dong?""Kamu ..." Leina menahan malu dan kesal. Dia langsung balik badan dan mengambil piring-piring penuh dengan ikan bakar. "Mending diam saja— ayo kita maka
Leina menuruti permintaan Arsen untuk menginap di rumah Dokter Tony. Dialah yang menyiapkan makan malam untuk mereka semua.Dokter Tony sampai takjub dengan makanan yang ada di meja. Dia melihat Arsen dan Leina yang sudah duduk di kursi masing-masing."Rasanya seperti punya putra dan menantu yang baik," katanya sesekali tersenyum pada Arsen.Arsen fokus makan saja, tak mau menanggapi ucapan bermakna ganda dari pria itu. Iya, dia tahu kalau kemungkinan Dokter Tony sudah menduga niatnya mengajak Leina bermalam di situ."Ngomong-ngomong Leina, kamu harusnya tidak perlu memasak sebanyak ini, kamu pasti lelah—“ kata Dokter Tony.Leina tersenyum. "Tidak masalah, Dok. Aku suka masak, kok ... Lagian ..." Ucapannya terhenti, mana mungkin dia mengatakan kalau dia memang masak banyak untuk memperingati ulang tahunnya besok. "Tidak apa, pokoknya aku senang masak banyak.”Tidak ada yang bicara setelah itu. Baik Arsen maupun Leina sama-sama diam. Iya, apalagi Arsen yang sedikit gugup. Bagaimana tid
Leina mengunjungi Arsen di tempat Dokter beberapa hari sekali. Itupun dia hanya datang untuk mengantarkan sesuatu, entah itu masakannya atau barang-barang yang mungkin bisa membuat Arsen ingat. Dia jarang berinteraksi dengan Arsen sendiri.Arsen merasa jaraknya menjadi lebih jauh dari Leina. Akan tetapi, itu malah membuatnya merasa kalau wanita itu memang dekat dengannya. Dia ingin mengobrol dengannya.Hari ini, Leina datang hanya untuk mengantarkan saus daging buatannya karena Arsen menyukainya. Setelah itu, dia berpamitan pulang.Akan tetapi, saat berjalan menuju gerbang keluar dari rumah tersebut, dia langsung dihadang oleh Arsen. Leina kaget, kenapa pria itu ada di luar rumah?"Pulang lebih cepat tanpa menemuiku dulu?" tanya Arsen dengan suara datar. Dia sepertinya kecewa karena Leina seolah menjaga jarak.Leina menoleh ke arah rumah, lalu kembali menatap Arsen. Dia bertanya, "kenapa kamu malah di sini? Kamu 'kan lagi pengobatan? Cepat masuk— lagian kalau ada kenal sama kamu giman
Hans membuka mata.Untuk sesaat, dia masih memproses apa yang terjadi. Dia melihat langit-langit. Kemudian, dia melihat dirinya sendiri yang terbaring di atas ranjang— di dalam kamar yang tidak asing.Pandangannya mengarah ke luar jendela yang tengah terbuka. Udara pagi terasa sejuk dan menenangkan.Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka, dan seseorang masuk. Dia adalah Ritta— yang langsung kaget melihat pria itu sudah bangun."Hans!“ panggilnya cepat. Dia buru-buru mendekati ranjang. ”Kamu sudah siuman?“Hans bangun dari ranjang. Tubuhnya masih sakit semua, tapi setidaknya sudah baik-baik saja. Dia menatap Ritta, lalu tersenyum. Dia tidak terlalu ingat apa yang terjadi sebelum dia tak sadarkan diri, tapi setidaknya dia berhasil membuat Ritta aman dan Tino ditangkap."Syukurlah kamu baik-baik saja,” katanya.Ritta ingin menangis melihat pria itu. Kedua matanya berair, benar-benar lega. Dia duduk di tepian ranjang, lalu tanpa mengatakan apapun, dia memeluk pria itu dengan seerat mu
Arsen hanya diam saat disuguhi oleh pasta saus daging buatan Leina. Dia masih melihat makanan di atas meja makan depannya itu. Pandangannya menjadi lebih tenang.Entah kenapa— rasanya seperti nostalgia, dan dia sadar akan hal tersebut.Aroma saus yang ada di atas pasta itu menggugah selera, tapi juga membuat sekilas ingatan muncul di kepala. Walaupun, tetap saja— dia masih belum ingat apapun.Dia menatap Leina yang duduk di kursi yang berseberangan meja dengannya. Wanita itu duduk manis sambil memandangi dia. Senyum hangat tampak menghiasi bibirinya.Aneh.Kenapa wanita itu tidak takut? Kenapa masih bisa tersenyum padanya? Kenapa tidak menunjukkan niat membunuh?Padahal tadi dia sudah berbuat kasar, melukainya, membuatnya hampir mati tercekik. Tetapi, senyum hangat tanlepas dari bibirnya.Aneh.Leina heran karena dipandangi terus. Dia bertanya dengan ragu, "ada apa? Kamu ... Kamu tidak suka?“Nasibnya bergantung dari suasana hati Arsen sekarang. Kalau pria itu tidak suka, maka dia sun
Ciuman yang diberikan oleh Leina sangat mengejutkan diri Arsen. Dia tidak mampu bertindak apapun, tidak sanggup melakukan apapun, tidak menolak juga. Bibir wanita itu terasa lembut dan mampu menghangatkan bibirnya yang dingin.Selama beberapa detik, dia hanya terdiam dengan napas yang tertahan. Arsen benar-benar diluluhkan oleh ciuman itu. Untuk sekejap, dia seperti lupa siapa dirinya dan untuk apa di sini. Yang dia pikirkan hanyalah— kenapa rasa ciuman ini begitu hangat?Leina ...Nama itu terlintas di pikiran Arsen. Dia masih betah dengan merasakan ciuman Leina. Dia seperti tertawan oleh bibir wanita itu, seakan tidak sanggup untuk berhenti. Bahkan, dia bak rela kehabisan napas jika itu bisa terus berciuman seperti ini.Segala pemikiran buruknya menjadi sirna untuk sesaat. Hatinya menjadi damai. Dia merasa hidup. Perasaan hangat yang belum pernah dirasakan—Atau ... dia lupakan?Tetapi, dia kemudian tersadar, lalu menjauh dari Leina sehingga ciuman mereka terlepas. Dia menarik napas
Para anak buah Tino membawa pergi Ritta pergi keluar rumah. Ini memaksa Hans untuk berlari mengejarnya. Dia khawatir juga pada Leina, tapi situasinya sangat sulit.Leina sendiri masih berada dalam cengkraman sang kekasih. Dia makin sedih— tidak pernah membayangkan kalau Arsen akan kehilangan ingatannya tentang mereka semua.Butir demi butir air mata mengalir keluar dari kedua matanya. Hanya kesedihan yang menerpanya sekarang."Arsen ... tolong sadarlah!“ pintanya.Dia sama sekali tidak peduli dengan cekikan Arsen yang makin erat. Napasnya sudah sangat terbatas. Ini membuat dada sesak dan pandangan mulai kabur karena pasokan oksigen ke otak menipis.Arsen masih memandangi wajah Leina, berusaha mengingat wanita itu, tapi masih ada kabut hitam yang menyelimutinya. "Aku tidak kenal siapa kamu, tapi kamu memang sepertinya—"Ucapannya terhenti kala merasakan sakit kepala lagi. Entah mengapa, tatapan Leina yang dibanjiri air mata membuatnya tidak nyaman.Ada apa ini?Dia merasa dadanya ikuta
"KELUARKAN AKU DARI SINI!"Teriakan kencang keluar dari mulut Serena berulang kali. Dia sangat panik, takut dan juga gelisah berada di tabung kaca yang perlahan memasukkan air ke dalam.Iya. Dia dikurung di dalam situ dari beberapa jam yang lalu. Sekarang air yang merendam di bawah sudah sampai pinggang. Tinggal menunggu waktulagi sebelum dia benar-benar akan tenggelam.Dia berusaha keras menggebrak - gebrak kaca tabung itu, tapi sekuat apapun pukulannya, tak berhasil juga meretakkan kaca tersebut. Iya, rasanya dia sudah terjebak di dalam permainan sulap, dimana dia tak bisa keluar.Yang lebih memuakkan adalah sejak tadi sudah ada orang yang duduk di kursi tepat di depan tabung. Orang itu bagaikan penonton sulap yang menanti kapan Serena akan mati terendam di dalam tabung."KELUARKAN AKU, WANITA BODOH!" teriak Serena yang muak dan makin panik. Dia tidak terima dengan semua ini. "KENAPA KAMU DIAM SAJA! HARUSNYA KALIAN MEMBAWAKU PERGI MENEMUI ARSEN! MANA ARSEN-KU!""Berisik sekali, sih?
Melawan Arsen dengan kekuatan sendiri itu mustahil, Hans sadar akan hal itu. Karena itulah, dia menjelaskan trik yang bisa dipakai untuk melawannya.Berhubung mereka juga tidak memiliki waktu untuk mengumpulkan rekan, jadi mau tidak mau harus mengandalkan kemampuan diri sendiri.Sesuai dugaannya, ternyata Tino menemukan tempat persembunyian mereka di keesokan harinya. Mereka tidak ragu-ragu langsung masuk ke dalam kawasan perumahan ini. Dia memanfaatkan kondisi perumahan yang sedang sepi untuk menyusup. Dia memerintahkan banyak anak buahnya untuk mengintai di sekitar rumah target."Bagus, sesuai keinginan kita, tetangga kanan, kiri dan depan sedang pergi," ucap Tino saat melihat rumah persinggahan Ritta di seberang jalan. Dia berdiri tepat di bawah pohon rindang, ditemani oleh Nathan.Nathan melihat suasana perumahan yang sepi padahal sudah siang. "Tempat ini sepi sekali ... tapi pasti ada yang masih di rumah 'kan? Bagaimana kalau ada yang mendengar?""Tenang saja, itulah gunanya aku
Leina dan Ritta berhasil sampai di rumah persinggahan darurat dengan aman. Saat mereka sampai, hari sudah gelap.Mereka beruntung tidak ada yang mengikuti. Akan tetapi, Ritta terus menyibukkan diri dengan mengaktifkan keamanan rumah. Dia juga masuk ke ruang monitor. Sebelumnya, Hans meretas kamera pengawas jalan dan disambungkan ke ruang tersebut. Dengan begini, dia bisa tahu kalau ada orang mencurigakan sedang mengawasi rumah.Bangunan itu sendiri berada di dalam perumahan, tidak terlalu padat penduduk. Iya, itu karena lokasinya berada di wilayah di mana kebanyakan penghuni adalah pebisnis yang jarang pulang. Sekalipun tetangga kanan dan kiri rumah singgah itu sudah ada dihuni, tapi penghuninya jarang pulang. Tak heran, kawasan itu sangat sepi.Saat Ritta sibuk dengan semua itu, Leina membuatkan makan malam untuk mereka. Mereka makan malam tak lama kemudian. Tidak ada yang dibicarakan setelah itu karena keduanya sangat lelah.Karena hal itulah, mereka berdua langsung memutuskan un