Farah melirik kedatangan Amira dari ujung lorong sana. Sudah dapat dipastikan Farah kalau bocah itu sedang dalam fase yang buruk. Melihat wajah murungnya saja, Farah sudah bisa menebak kalau Amira sedang ... hancur.Bak sedang di dalam ruangan yang penuh dengan bunga yang indah, farah merasa bahagia telah berkesempatan membalas Amira. Dengan begini, maka Amira akan lebih mudah dikendalikan. Amira yang malang ... andai saja dulu dia tidak sempat mengkhianati Farah, mungkin saat ini Farah masih menaruh simpati padanya. Tapi sayang, semuanya sudah terlanjur membiru. Farah menunjukkan taringnya yang sejak dulu memang ada."Kau sudah bangun? Aku pikir masih butuh waktu lama," tegur farah saat Amira melintasinya tanpa menolah.Amira hanya diam seribu bahasa. Wajahnya yang berantakan, sungguh sangat mewakili hati Amira kalau dia tidak ingin berdebat dengan siapa pun dan berbicara dengan siapa pun. Biarkan saja dia sendiri dulu. Mungkin akan lebih tenang untuknya.Tapi mana mungkin Farah memb
Kevin menatap lamat kepergian Amira setelah menolaknya. Sejak rasa itu tumbuh, Kevin sudah berusaha untuk mengutarakannya pada Amira tapi tidak dia sangka akan mendapatkan penolakan.Siapa sangka, menetapnya Kevin di Amerika itu karena Amira. Menentang perkataan orang tuanya untuk kembali pulang, semua itu karena Amira. Dan tentang ingin berada di bawah naungan perusahaan Ramon, itu juga hanya dalihnya agar terus bersama Amira. Lantas, bagaimana sekarang? Apakah Kevin akan pulang dengan kecewa, atau justru akan maju untuk membuat Amira berpikir dua kali untuk perasaannya ini. “Jadi itu tujuanmu?” Kevin terkesiap saat Farah tiba-tiba saja datang. Sontak saja dia menoleh. Perempuan di dekatnya mengangkat satu alis saat menangkap sorot matanya.“Ah ... aku tidak tahu sejak kapan kau di sini. Maaf mengabaikanmu,” jawab Kevin, canggung. Dia menggaruk tengkuk menghilangkan atmosfer yang kikuk.Farah melirik lagi kepergian Amira yang sudah tidak tampak. Dengan berpangku tangan juga wajah
“Aku akan memberikanmu tempat. Kalau kau tidak suka berada di sana, pergilah.” Amira meneguk minuman yang disediakan pelayan barusan. Mendengar Ramon mengatakan hal itu, membuatnya berpikir dua kali. Apa di terima saja? Jika mau jujur pun, Amira memang tidak suka lagi berada dalam jeratan Farah. Tapi ... “Aku tidak bisa menerimanya, Pak. Kau sedang kesulitan. Aku tidak ingin menambah bebanmu,” tolak Amira. Ramon hanya menatap datar. “Apa aku sekarang terlihat miskin di matamu. Perusahaanku hanya merosot, tidak benar-benar jatuh. Aku masih punya cukup uang hanya membiayai gadis kecil sepertimu.” Kepala Amira segera terangkat penuh menatap Ramon usai mendengar jawabannya yang sedikit ketus. Gadis kecil? Enak sekali dia mengatakan itu! Sekitar satu jam yang lalu, Ramon membawa Amira ke ruangannya yang lain. Ruangan yang lebih tenang Tidak ada tanda-tanda pekerjaan di sana. Hanya sebatas ruanga bersantai yang memang dibuat khusus olehnya. Biasanya Ramon ke tempat itu untuk menguapkan
Fakta bahwa Ramon sudah merelakan Dired adalah hal yang sangat besar. Dia sudah perlahan melupakan tentang penyebab dan sebab Dired menghilang dari pelukannya. Juga tentang Amira yang sudah lepas dari jeratannya, sudah perlahan Ramon kembalikan dengan tangan yang hangat.Sementara Ramon ingin membuat garis besar yang untuk kisah hidupnya, justru Farah memulai untuk rencananya. Farah masih belum bisa menerima begitu saja tentang Ramon yang begitu membuatnya bak budak. Juga jangan lupa tentang penolakan Ramon waktu itu. Ramon dan Farah bertemu di Bar dengan keadaan hati yang masing-masing kosong. Ramon tertarik pada Farah, Karana dulu Farah sangat dominan dengan tipenya. Perempuan lugas penuh tantangan juga independent. Hal itu kerap membuat Ramon kagum padanya, hingga satu kekurangan Farah menguap ke telinga juga mata Ramon. Ramon tidak suka tentang Farah yang sangat bebas. Ramon sudah sering mengingatkan Farah untuk melepaskan dirinya dari gaya Amerika yang kental. Namun, Farah men
Seperti permintaan Farah juga pernyataan Amira yang akan membawa Ramon ke Bar untuk mengadap farah, saat ini itulah yang terjadi. Ramon datang tanpa ajudan sesuai ingin Farah. Jangan mengira kalau hal ini Ramon lakukan hanya untuk memenuhi keinginan mantan kekasihnya itu. Ramon berbuat hal ini hanya untuk menebus perlahan kesalahannya pada Amira. Dan tentunya ini untuk Amira, bukan Farah!Keadaan Bar cukup ramai. Ramon masuk dengan mata yang langsung menyorot aktivitas yang begitu terlihat bebas. Bar milik Farah ini memang sudah di klaim menjadi kelab malam terbesar dikotanya. Tidak akan heran lagi kalau Bar ini sekarang menampung begitu banyak manusia.Ramon berdiri sedikit jauh dari meja bar tender, dan tidak sengaja menangkap potret Amira yang sedang melayani pelanggan. Dia melihat dengan lekat gerakan perempuan itu. Dari menuangkan minuman, mengulas senyum pada pelanggan, juga terlihat risi saat salah satu tamunya memegangi tangannya.Melihat hal itu entah kenapa membuat tangan R
Ramon tidak menyadari bahwa hatinya sedang panas saat mendengar pernyataan Kevin. Dia pikir dia marah karena Kevin memukulinya. Dia tidak tahu, kalau nama Amira tadilah penyebab emosi itu meluap.Buk!“Kau pikir aku akan takut? Kau bisa ambil gadis itu. Bawa dia. Bahkan kalau kau membunuhnya sekali pun, aku tidak peduli. Silakan lakukan apa pun yang kalian inginkan, tanpa harus mengusikku. Aku bisa melakukan apa pun nanti, jika aku sudah kehilangan kendali!” Ucapan Ramon begitu menembus rungu orang-orang yang mendengar. Juga balasan yang diberikan Ramon pada Kevin, amat sangat membuat laki-laki di sana meringis kuat.“Kenapa kau sangat memandang rendah Amira? Dia bahkan berbuat baik terhadapmu, tapi kau bahkan tidak menyebutnya dengan nada sopan! Kenapa, Brengsek!?” pekik Kevin, gusar.“Aku tidak punya alasan untuk mengatakan kalau dia itu gadis baik. Bukakah sudah kukatakan, kalau kau suka, silakan ambil. Anakku sudah bebas darinya dan aku juga sudah tidak ada kaitan dengannya. Kau
Ramon menuruni anak tangga hendak pulang. Sangat menyesal rasnaya datang ke tempat ini. Dia tidak hanya mendapatan luka di wajah tapi juga di hatinya. Ada sesak yang tidak bisa ia lepaskan meski sangat ingin. Apa pun perasaan kacau itu, kini telah membungkus hati Ramon sehingga semakin sulit dirinya mengenali diri sendiri.Di tikungan akan melangkah di tangga lainnya, Ramon tidak sengaja berpapasan dengan Amira yang baru saja keluar dari salah stau ruangan. Amira belum menyadari akan kehadiran Ramon. Gadis itu memasang wajah yang sedikit takut atau sedang tidak nyaman. Amira juga memegang begiru erat nampan di tangannya.Ada apa dengan Amira?Usai Amira menenangkan diri, kakinya pun kembali melangkah namun urung setelah menatap potret Ramon yang ada di hadapannya berjarak tujuh meter. Ucapan Ramon tadi kembali terngiang dalam ingatan Amira, sehingga membuatnya kembali merasakan kecewa juga sakit secara berasamaan.“Pak,” sapa Amira sambil membungkuk hormat.Ramon hanya diam dengan ser
Ramon tersadar saat dering ponsel mengusik. Kelopak mata itu perlahan terbuka dan mulai menyadari di mana dia saat ini. Ringisan kecil merintih keluar dari mulutnya, saat kepalanya diserang puisng yang berlebih. Tubuh itu bangun dan segera bersandar pada kepala ranjang.Ponsel itu kembali berdering setelah sempat membisu. Tangannya meraih benda pipih tersebut dan langsung melihat siapa yang menghubunginya.“Ada apa?”“Pak, bagiamana ini? Perusahaan semakin kehabisan pemasukan. Klien-klie besar kita sudah habis tidak tersisa lagi. Ada banyak juga yang komplain tentang hasil kinerja Intext. Juga satu lagi, Pak. Kita dituntut oleh salah satu pesaing yang mana tuntutan itu atas penggunaan hak cipta. Mereka mengklaim kalau kita menyabotase ide mereka dan membuat inovasi baru dengan ide yang sama oleh Intext. Bagamana ini, Pak?”Ramon tidak tahan dan segera membanting ponsel hingga berserakan di lantai. Rahangnya mengeras dengan gigi yang gemeretak. Dadanya memanas, dan napas itu terdengar
Setelah kepergian Selena yang memberikan luka yang begitu dalam pada Amira, gadis itu pun dipaksa harus kuat menghadapi kenyataan. Pesan yang diberikan oleh Selena bukanlah pesan yang biasa. Pesan yang dikirim lewat surel tepat itu, menyatakan kalau dirinyalah yang harus terus memegang kendali Metta. Baru Amira sadari, bahwa ayah yang saat ini dia panggil sebagai ‘Ayah’ ternyata bukanlah ayah kandungnya. Mark menikahi Selena setelah Selena bercerai mati dengan suaminya dan telah mengandung Amira usia tiga bulan. Hal itulah yang membuat Amira yakin tidak akan merelakan perusahaan yang dibangun sepenuhnya oleh ibunya juga dengan bantuan mantan kekasihnya yang sudah tiada. Sesuai perjanjian kemarin, Mark memerintahkan Amira untuk mengadakan rapat. Pertemuan yang akan mengumumkan lagi pengalihan saham dari Amira pada Kevin. Amira menyetujui untuk melakukan pertemuan, namun tidak ada yang tahu kalau Amira tidak akan pernah memberikan apa yang Mark dan Kevin harapkan. Amira sempat me
“Amira tidak akan datang lagi, Pak. Anda hanya akan membuang-buang waktu berharga Anda untuk yang tidak pasti. Berhentilah menyakiti dirimu hanya karena seorang wanita. Terlalu berlebihan rasanya kekecewaan yang kau hadapi ini hanya untuk perempuan asing sepertinya,” kata Rama membujuk Ramon. Berulang kali Rama mencoba membantu Ramon bangun dari duduknya, namun tetap saja bosnya itu tidak berkutik.Ramon tetap enggan untuk memperbaiki posisinya yang duduk selonjoran tak tentu arah. Penampilan yang semula rapi dan menawan, kini berantakan penuh luka. Terlihat jelas bagaimana Ramon memendam rasa sakit yang dalam sebab kenyataan yang menimpanya. “Dia sudah berjanji tetap akan datang padaku. Lantas di mana dia sekarang? Kenapa aku tidak bisa menemuinya untuk meminta janjinya?” ucap Ramon lirih. Matanya mulai sendu menatap harap pada Rama. Sementara itu, Rama hanya bisa menahan sesak dalam dadanya seolah ikut merasakan kekecewaan yang dirasakan Ramon. “Sudahlah, Pak. Ayo bangun. Se
Amira gagal mengejar Rama untuk kembali membahas hal yang belum sepenuhnya paham. Panggilan dari pihak Rumah sakit membuatnya memilih untuk menunda kembali hati yang telah kalut. Kakinya menjauh berjalan berlawan arah dengan keberadaan Ramon. Selena dikabarkan mengalami masa kritis. Penyakit yang sudah dia derita sejak dulu ternyata sudah menggerogoti. Tidak ada lagi kesempatan untuk pengobatan sebab waktu yang singkat juga racun yang menempel sudah terlalu banyak.Amira tiba dengan napas yang terengh engah. Matanya membulat ketika medapati wajah sang ayah juga Kevin yang sudah memucat. Belum lagi keadaan kedua lakilaki itu yang berantakan dengan mata sembab. Apa yang Amira pikirkan? Kenapa dia justru ikiut merasakan hal yang sama bahkan sebelum dia tahu apa yang terjadi.“Ayah, bagaimana keadaan Mama? Dia baik baik saja, bukan?” tanya Amira lirih.Mark dan Kevin menatap secara bersamaan. Berbeda dengan Kevin yang masih menatap Amira dengan tatapan sendu seolah ingin melepaskan kesed
Amira menggeleng beberapa kali, mencoba meyakinkan kalau semuanya ini tidaklah benar. Hitungan detik setelah kepergian Rama, Amira segera bangun dari duduknya dan menatap lamat pada pahatan wajah Kevin yang kali ini enggan untuk menatapnya. “Kau berbohong padaku, Kevin. Kau curang!” tegasnya, bergetar. “Amira, hentikan! Nada suaramu tidak pantas menyebut Kevin seperti itu. Kau itu calon istrinya. Bersikap sebagaimana layaknya!” tegur Mark justru geram. Tatapan tajam penuh kekecewaan pada dua bola mata Amira berpindah pada sang ayah. Matanya memanas dan tak tahan untuk tak menjatuhkan air mata. Dadanya terus saja bergetar, menahan debar-debar emosi yang hendak meluap. “Sejak kemarin, ah tidak, sejak dulu aku sangat menginginkan seorang ayah ada didekatku. Kupikir akan sangat menyenangkan jika itu terjadi. Tapi hari ini, semua ekspektasiku itu hancur begitu saja. Semua hal yang inginku bagi dengan ayah, tidak sesuai apa yang seharusnya. Ayahku tidaklah menginginkanku. Dia hanya pedul
Mark benar-benar dibuat kacau atas kejadian yang baru-baru ini terjadi. Dari masalah tentang Namina yang kembali hadir, juga tentang Kevin yang tahu bahwa dia hanyalah anak angkat, dan tidak lupa juga masalahnya dengan sang istri yang sempat tidak sependapat, hingga dilarikannya Selena ke Rumah sakit sebab riwayat penyakit yang dirinya tidak pernah ketahui. Semua hal itu sungguh memberikan efek samping yang besar pada kepalanya. Dan pagi ini, kala dirinya akan berangkat menemui sang istri, salah satu CEO Metta datang dan mengatakan apa yang terjadi kemarin. Mendengar kabar kematian Dired sempat membuatnya tercengang, namun lebih terkejut lagi kala dia mendapati ada pihak ketiga yang tahu tentang saham di perusahaannya yang sepenuhnya memang bukan miliknya. Arghhhh! Mark berteriak frustrasi. Dia menghempaskan apa pun yang tampak di depan mata, hanya demi memenangkan segala amarah yang melanda. “Kenapa semuanya terasa memuakkan? Siapa yang sebenarnya ingin menjatuhkanku?” gumamn
Ramon mendengar tentang keadaan buruk yang menimpa pimpinan Metta sekaligus ibu kandung Amira. Sempat berpikir untuk tidak mengikuti hatinya untuk berkunjung, namun tetap saja kepala dan hati saling bertentangan hingga dia memutuskan untuk datang sekadar memberi rasa empati. Sayangnya, niat hati ingin membangun sebuah hubungan yang baik, justru luka dalam hatinya bertambah. Tidak ada lagi luka yang lebih menyakitkan dari pada melihat sang kekasih hati sedang bercumbu dengan laki-laki lain. Amira tidak menyadari kedatangan Ramon sama sekali. Yang ada dalam benak Amira hanyalah bagaimana cara mengakhiri semua ini dan kembali pada Ramon. Dalam kecupan yang dilayangkan dan sempat dibalas olehnya tersemat penyesalan juga rasa benci untuk diri sendiri. Amira semakin mengutuk dirinya karena sudah berpaling dari Ramon. Amira harap ini adalah yang terakhir dan tidak akan ada yang kedua dan seterusnya. Dan harapannya yang terakhir hanyalah bisa kembali bersama Ramon dalam keadaan yang baik-ba
“Menikahlah dengan Kevin. Mama tidak bisa membiarkanmu menikahi orang yang tidak Mama kenali, Namina. Mama yang membesarkan Kevin, dan Mama tahu seberapa pantas dia untukmu. Ini sudah menjadi ketentuan takdir. Mama membesarkan selemah laki-laki yang hebat untukmu untuk membalas kelalaian dulu. Mama bisa menjamin, kalau Kevinlah yang paling baik untukmu bukan orang lain!” Tangan serta kaki Amira bergetar hebat kala mendapatkan pernyataan dari sang ibu. Selena yang masih berbaring di atas brankar Rumah sakit, menjadi alasan untuk Amira tidak langsung menolak atau membantah. Dia takut kalau ibunya itu akan semakin sakit jika mendengar keputusan darinya. “Kenapa Mama justru mengkhawatirkan hal lain alih-alih diri sendiri? Lebih baik fokus saja untuk penyembuhan. Dan apa ini? Kenapa tidak ada yang tahu kalau Mama punya riwayat jantung? Apa yang salah dari sebuah kejujuran, Ma?” balas Amira sambil memegang tangan Selena. “Mama bisa mengatasi semua ini. Lagi pula, percuma juga untuk be
“Kita tidak bisa diam saja, Pak. Kita harus membuat keputusan tadi malam harus pada tempat yang seharusnya. Kevin itu tidak ada hak apa pun terhadap Metta! Mau bagaimana pun juga, yang paling berhak atas Metta saat ini adalah Amira!” Sudah berulang kali Rama mengutarakan kegeramannya terhadap keputusan yang dia dengar malam itu. Rama mendesak Ramon untuk segera ambil tindakan yang memang sepantasnya untuk dilakukan. Dan apa lagi tentang hal yang dikatakan oleh Mark tentang pernikahan itu, semakin membuat darah Rama rasanya mendidih setiap detiknya. Dibalik keresahan sang sekretaris si paling setia, ada Ramon yang masih bingung harus berbuat apa. Di atas kursi meja kerjanya juga tentunya di hadapan Rama, Ramon hanya sibuk menunggu ponsel pintarnya menyala. Dia berharap ada kabar dari Amira, agar dia tahu apa yang harus dia lakukan untuk sang kekasih juga untuk kebenaran yang harus terungkap. “Pak!” panggil Rama kala ucapannya sejak tadi tak bersahut. Ramon mengangkat wajah den
“Apa-apaan ini, Mark? Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya tentang ini?” Mata Selena membulat lebar menatap suaminya. “Apa yang harus kukatakan padamu? Kau bahkan sudah tidak peduli lagi tentang Kevin, Selena. Kau hanya fokus pada Amira sekarang sampai kau benar-benar hilang ingatan tentang Kevin!” Suara Mark tidak kalah menggelegar. Selena menahan napas sejenak, merasa tidak habis pikir dengan jawaban suaminya. Suara lantang Mark juga sempat membuat Selena terlonjak kaget, karena kali pertama dia mendengar suaminya itu berteriak. “Jadi apa maumu sekarang? Kau benar-benar memberikan Metta pada Kevin dan bukan Namina? Apa kau gila, Mark?” ucap Selena dengan nada yang sedikit rendah. “Ya. Itu keputusan yang harusnya yang paling tepat, Selena. Kevinlah yang pantas mengambil alih Metta. Dibalik permasalahan apa pun, Kevin memang jauh lebih unggul dari Amira. Dia akan membangun lebih baik Metta kedepannya. Jangan lupa, kau yang membesarkan Kevin dan kau yang paling paham tentangny