"Malam jangan berlalu, jangan datang dulu terang, telah lama ku tunggu, ku ingin berdua denganmu, biar pagi datang, setelah aku memanggil ...." - Mari Bercerita, Payung Teduh___________________Mone mengarahkan mobilnya menuju bilangan Grand Indonesia, Pandu yang tidak mengetahui tujuan Mone bingung saat Mone sudah memasuki area parkir Gedung Mall ini."Kamu mau nonton?"Jelas saja satu-satunya tujuan di atas jam sepuluh malam ke mall hanya untuk menonton film dengan jam tayang midnight, sebab seluruh tenant di mall sudah tutup.Mone mengangguk. "Iya, capek streaming terus. Udah lama, kan, kita gak nonton?""Aku belom mandi loh, bau banget dong nanti.""Yaudah, kita nonton yang velvet, biar yang nyium bau kamu aku doang." Mone sudah mematikan mesin mobilnya dan membuka sabuk pengaman, lalu keluar dari mobil disusul Pandu.Pandu menuruti keinginan Mone, saat turun dari mobil, tak lupa Pandu menggunakan masker untuk menutup wajahnya. Sesuatu yang wajib dikenakan Pandu jika berjalan-jal
Setibanya di rumah sakit, Mone segera dilarikan ke IGD karena kondisi Mone yang sudah tidak memungkinkan untuk antre di dokter umum.Setelah menjalani beberapa pemeriksaan, Dokter yang menangani Mone mengatakan bahwa usus buntu Mone sudah meradang, dan harus segera dioperasi malam ini juga. Hal itulah yang membuat Mone merasakan sakit di perutnya.Rafka menghampiri Mone yang masih berbaring di IGD dan memberitahukan keputusan Dokter bahwa Mone harus menjalani operasi."Emang separah itu sampe harus di operasi?"Rafka mengangkat bahu, ditanyai seperti itu Rafka juga kurang paham karena bukan ranahnya. Namun, Rafka tau ucapan dokter sangat masuk akal jika Mone menderita radang usus buntu, mengingat pola makan Mone seperti apa."Kamu makan mie ayam seminggu lima kali gimana mau gak parah?""Terus kalo udah operasi, aku boleh makan mie ayam lagi?""Yaampun, Mon! Kamu sembuh aja belom bisa-bisanya mikir kayak gitu.""Bawel!"Rafka meninggalkan Mone untuk mengurus administrasi dan mengisi f
Belum ada sepuluh menit ketika Mone mencoba untuk kembali tidur setelah terbangun beberapa saat lalu, tapi ponsel yang diletakan dekat bantalnya bergetar, menandakan ada panggilan masuk.Mone yang belum sepenuhnya terlelap tidak bisa mengabaikan panggilan itu, diambilnya ponsel tersebut lalu dilihatnya nama pemanggil yang tidak mengijinkan Mone kembali tidur sesuai anjuran dokter."Mas ...."Pada detik pertama Mone membaca nama Pandu diponselnya yang melakukan panggilan video, tanpa ragu Mone segera mengangkatnya dan menyambut wajah pandu dengan senyum sumringahnya."Mone, kamu di rumah sakit?" suara Pandu terdengar terkejut saat melihat pakaian yang dikenakan Mone serta latar putih pada tembok di belakang Mone yang tidak terlihat seperti apartemennya.Mone mengangguk pelan."Mon, maafin aku semalem gak jadi anter kamu ke dokter. Aku baru sampe Jakarta subuh tadi dan langsung ngantor paginya."Satu hal yang selalu Mone yakini, Pandu tidak pernah berbohong padanya. Mone juga tidak ada
Rafka memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menyusuri jalan ibu kota yang ramai lancar. Masih pukul tiga siang, belum terlalu banyak kendaraan yang tumpah ruah di jalan. Beberapa titik kemacetan hanya disebabkan oleh lampu merah.Rafka tidak sanggup terus menjaga Mone saat membayangkan Mone harus tersiksa saat melihatnya. Ia pun memutuskan untuk pergi dari sana, tak lupa ia meminta Mone untuk menelpon Pandu dan menyuruh lelaki itu untuk menjaga Mone. Saat Pandu tiba, barulah Rafka meninggalkan ruang rawat Mone.Rafka memarkirkan mobilnya di depan sebuah ruko dua lantai berukuran minimalis. Ia segera memasuki ruko tersebut dan mengabaikan beberapa sapaan yang menyambutnya saat melewati lantai satu dan separuh lantai dua, sebelum akhirnya sampai di ruangan yang memenggal separuh lantai dua."Ngapain lo siang-siang ke kantor gue?" tanya Fando saat melihat Rafka muncul dari balik pintu, sebelum akhirnya melihat wajah Rafka yang kusut, lalu kembali bertanya, "Lo kenapa, Raf?""Hajar gue
Ruangan 3 x 4 dengan cat dinding berwarna putih gading, senada dengan warna seprai pada tempat tidur berukuran sedang yang ada di dalamnya.Di atas tempat tidur kamar hotel yang disewanya untuk tiga hari, demi menunjang pekerjaannya yang rasanya tak kunjung usai, jemari tangan Mone sesekali menari di atas keyboard laptop milik kantornya.Mone meletakan laptop yang sedari tadi dipangkunya ke atas kasur, sementara ia merenggangkan tubuhnya untuk beberapa detik, karena punggunya terasa amat pegal setelah seharian bekerja.Setelah merasa pegalnya berkurang sedikit, Mone kembali memangku laptopnya yang sedang membuka banyak tab.Suara ringtone ponsel Mone membuat cewek itu mengalihkan fokusnya pada ponsel yang sedari tadi ia letakan asal di samping tubuhnya. Mone membaca nama pemanggil yang tertera di ponselnya. Ia tersenyum sebentar, sebelum kemudian mengangkatnya."Ya, Mas?" sapa Mone, yang kini sepenuhnya fokus pada panggilan telepon tersebut dan menanggalkan laptop dari pangkuannya."M
"Aku punya harapan untuk kita, yang masih kecil di mata semua, walau takut kadang menyebalkan, tapi sepanjang hidupkan ku habiskan. Walau tak terdengar masuk akal, bagi mereka yang tak percaya, tapi kita punya kita, yang akan melawan dunia" Taruh - Nadin Amizah__________Warna oranye yang menghiasi langit sebagai pembatas antara siang dan malam perlahan memudar. Warna oranye itu perlahan berganti menjadi biru tua, menandakan malam akan segera datang. Saat warna langit belum sepenuhnya gelap dan masih menyisakan cahaya matahari yang meredup, saat itulah puncak kemacetan jalanan Ibu Kota di setiap hari kerja.Dari dalam mobilnya, Mone beberapa kali membunyikan klakson, karena tidak sabar dengan beberapa kendaraan bermotor yang terus-menerus menyalip jalannya. Hal itu membuat mobilnya sulit gerak, yang bisa mengakibatkan Mone terlambat sampai ke acara yang akan dihadirinya."Kita udah berangkat jam setengah enam aja, belum tentu sampe sana tepat waktu ya, Far?" Mone kembali membuka perc
"Jadi, kamu ada masalah apa?" tanya Mone lembut. Tangannya menyentuh punggung tangan Pandu, membuat lelaki itu mengalihkan perhatiannya dari layar televisi pada Mone yang kini sudah duduk di sampingnya."Anggika ...." Pandu mengembuskan napas sebentar saat menyebutkan nama istirnya. "Anggika daftarin Naka ke International Pre-school, Mon. Dia gak bilang ke aku dulu. Dia bilang ke aku setelah semua pendaftaran selesai. Katanya, dia udah bilang Mama dan Papanya, mereka setuju, kok. Malah Papa yang nyaranin itu. Mon, Papanya Naka itu aku, bukan orang tua Anggika!"Mone mengangguk. Ia paham betapa Pandu tertekan dengan mertuanya yang kelewat ikut campur dalam urusan rumah tangganya, terlebih Anggika yang masih merengek dan bergantung ke orang tuanya alih-alih mengindahkan ucapan Pandu sebagai kepala keluarganya saat ini."Naka masih tiga tahun, Mon. Siang sampe sore dia udah ikutan kelas di Miniapolis, dan sekarang pagi harus sekolah juga? Yang dibutuhin Naka saat ini itu bimbingan langsu
Teman-teman sedivisinya yang berada satu meja dengan Mone sontak ikut terkejut. Bahkan aksi Anggika sukses mengundang perhatian, sampai membuat seluruh mata yang ada di kantin ini menatap ke arah mereka."Mbak, apa-ap—"Plak.Sebuah tamparan sukses mendarat di pipi Mone. Kerasnya suara tamparan itu sampai membuat beberapa mata yang memperhatikan mereka ikut mengaduh."Gila kamu, ya! Kamu tuh gak punya otak atau gak punya urat malu atau gimana? Bisa-bisanya kamu main gila sama suami aku! Bisa-bisanya kamu jual diri ke Kakak Tiri kamu sendiri, hah!" Emosi Anggika meledak sudah, mulutnya sudah tak tahan melontarkan kalimat-kalimat makian yang ditahannya selama di perjalanan.Napas Mone kini menderu. Tubuhnya bergetar ketakutan, karena tak mengantisipasi akan terjadi kejadian ini. Ada beratus pasang mata yang saat ini memandangnya dengan tatapan jijik. Ada beratus pasang mata yang ikut menelanjanginya selagi Anggika terus melontarkan kalimat makian yang semakin lama semakin kasar."Anjing
"Cause all of me. Loves all of you. Love your curves and all your edges. All your perfect imperfections. "Give your all to me. I'll give my all to you. You're my end and my beginning. Even when I lose I'm winning. 'Cause I give you all of me. And you give me all of you." - All Of Me, John Legend __________ Sebuah ruangan 2x3 yang terletak di sayap gedung, menjadi ruang privat antara perias dan calon mempelai wanita. Bagai ratu, mempelai wanita ditangani khusus oleh pemilik usaha riasan pengantin itu. Para pendamping sudah lebih dulu dirias bergantian oleh beberapa asisten di ruangan sebelah. Riasan pemeran utama jelas sakral dan memakan waktu lebih lama. Mata Mone mengerjap-ngerjap usai perias memasangkan bulu mata. Meski ia minta riasan sederhana, faktanya ia tetap harus memakai entah berapa lapis bulu mata yang membuatnya sulit untuk mengedip. Untuk sentuhan terakhir, Riani, pemilik bisnis perias pengantin itu menyemprotkan hairspray pada rambutnya yang sudah ditata. Setelahnya,
"Ketemu!" Hilman setengah berteriak, ia membuka gulungan tali tersebut, lalu menyuruh Mone untuk sedikit menyingkir.Dikaitkannya tali tersebut pada batang pohon yang terlihat kokoh, yang berada di dekat situ. Hilman khawatir jika hanya mengandalkan tenaga mereka, yang ada malah yang lainnya ikut terseret. Kemudian, ia melemparkan tali tersebut pada Rafka, agar lelaki itu dapat memanjat dengan berpegangan pada tali tersebut."Tangan Rafka berdarah!" Mone memberitahu pada Bagas yang kini ada di dekatnya."Tenang, Mon. Rafka pasti bisa naik." Bagas menggenggam sebelah tangan Mone yang bergetar ketakutan, berusaha menenangkan sahabatnya itu.Rafka menggapai tali yang bergelantungan di sampingnya. Ia menoleh ke bawah sekilas, berusaha menelaah seberapa dalam tempat itu jika tak mampu menarik dirinya dengan tali itu. Namun, gelapnya malam seolah mengubur pandangannya. Ia tak dapat melihat ke bawah dengan jelas, tertutup oleh pekat.Kedua tangannya kini sudah menggenggam tali. Perlahan, ia
Mone merapatkan mantel tebal yang melekat di tubuhnya. Hawa dingin semakin terasa merasuk ke tulangnya saat pendakian semakin mendekati puncak. Terlebih karena hari sudah mencapai petang, membuat sinar matahari perlahan memudar, berganti tugas dengan rembulan yang mulai menampakkan kehadirannya.Kakinya terus melangkah mengikuti teman-temannya yang berjalan di depannya. Mereka tampak mengejar waktu sebelum hari semakin malam, untuk setidaknya sampai pada pos berikutnya, lalu akan mendirikan tenda untuk bermalam sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak.Jalan berbatu dengan kanan-kiri jalan yang dipenuhi semak belukar, membuat langkahnya kesulitan. Terlebih karena pencahayaan yang mulai meremang, beberapa senter sudah mulai dinyalakan untuk membantu penerangan."Gara-gara si Rafka nih kebanyakan minta istirahat, jadi kesorean, kan!"Terdengar suara Alvin yang berjalan di belakangnya mengeluh, menyalahkan Rafka yang entah sudah berapa kali mengajak beristirahat karena kelelahan."Gu
Minggu sore, bagian luar stadion Gelora Bung Karno tampak ramai pengunjung. Di akhir pekan, tempat itu menjadi salah satu favorit warga Ibu Kota dalam melakukan aktivitas kebugaran jasmani. Sejak pagi hari yang dibarengi dengan car free day, sampai nyaris tengah malam, tempat itu tidak pernah sepi oleh pengunjung yang datang dan pergi silih berganti.Mone menghentikan aktivitas larinya yang sudah mencapai putaran kedua. Wanita itu kini hanya melangkah seperti biasa, diikuti Rafka yang sudah berjalan sejak menuntaskan lari satu putaran."Kamu gak lari!" protes Mone saat Rafka sudah berjalan di sebelahnya."Capek, Mon! Ini ngiterin GBK, bukan lapangan RPTRA*." Rafka mengulurkan air mineral yang ada di tangannya, yang segera disambut Mone.(RPTRA : Ruang Publik Terpadu Ramah Anak)Diteguknya air mineral sampai isinya nyaris separuh, lalu ia melanjutkan langkahnya, yang mulai berjalan santai. Namun, tetap mengitari stadion."Lagi, kamu kesambet setan apaan ngajak lari gini? Kamu mana mung
"Aku bersyukur kamu bisa hidup dengan baik. Bisa main lagi sama temen-temen kamu, jalan-jalan setelah pulang kerja, dan Rafka? If you two get back together, I'm really happy for you." Pandu mengatakannya dengan tulus. Sesekali ia melambaikan tangannya ke arah Naka yang berteriak memanggilnya.Tidak ada sahutan dari Mone, hal itu membuat Pandu penasaran dan menolehkan kepalanya kembali pada wanita itu. Matanya terbelalak melihat Mone yang kini sibuk menghapuskan air mata yang membasahi pipinya."Mon, kamu ...." Tangan Pandu setengah terangkat, berniat merengkuh tubuh Mone, yang kemudian diurungkannya. Hal itu membuatnya hanya dapat meremat tangannya sendiri. "Seumur hidup, aku belom pernah sebenci ini terhadap apa pun. Tapi sejak pertama kali lihat kamu nangis, demi apa pun aku benci lihat itu. Kenapa hidup kamu harus sesakit ini? Dari sekian banyak pilihan takdir, kenapa Tuhan memilihkan takdir yang kayak gini buat kamu. Sejak saat itu, aku selalu berharap gak akan ada hal buruk lainn
"Kau dan aku saling membantu, membasuh hati yang pernah pilu, mungkin akhirnya tak jadi satu, namun bersorai pernah bertemu...." - Sorai, Nadin Amizah____________Mone berjongkok, untuk menyamai tingginya dengan Naka. "Naka, kok sendirian? Emang ke sini sama siapa?" tanyanya lembut, meski mati-matian ia berusaha mengatur detak jantungnya, khawatir akan orang yang menemani Naka. Entah Anggika atau Pandu, Mone jelas tidak menginginkan keduanya."Ama Papa," sahutnya dengan suara yang terdengar menggemaskan.Mone mematung seketika, mendengar satu nama meluncur dari mulut kecil Naka. Namun, ia segera tersadar Naka tampak masih di hadapannya."Papanya mana?""Gak tau," jawab Naka polos.Mone mengembuskan napasnya yang mulai terasa berat, kemudian ia tersenyum untuk menghadapi Naka."Naka mau main ama Aunty. Papa kenapa gak ajak Aunty buat maen sama Naka?"Senyum Mone luntur seketika, mendengar ucapan Naka. Anak itu menganggapnya yang kerap kali berdalih mengajak Naka main untuk mencuri wak
Mone : all you can eat yukFarel : sekarang?Mone : yes!Bagas : skip. Gue sibuk. Cewek gue rumahnya lagi kosongDika : nanem saham terosssBagas : cuannya nikmat bgt nihMone : Dika? Farel? Deni? Fando?Deni : kok Rafka gak diabsen?Mone : Rafka kan udah sama gueDika : berduaan muluMone : sirik ajaFando : di mana, Mon? Gue bawa bini gue ya, dari kemaren dia pengen ayce, tapi gue belom sempet ngajakMone : GI, Ndo. Tar kabarin ya kalo udah otwFando : oke, gue lagi deket situ jugaFarel : gak ikut dulu. Mau lemburDeni : gak ikut juga. Gak punya duit, tengah bulanDika is typing...Mone : Dika gak punya pacar, kerjaan udah kelar, duit banyak. Mau alesan apa, lo?Dika : sialan!Dika : iyaa otwMone tertawa kecil melihat isi chat terakhir dari Dika. Sejak jalan-jalan ke Dufan, Mone memutuskan untuk bergabung ke dalam grup chat berisi teman-temam SMA-nya untuk memudahkan komunikasi."Kenapa?" tanya Rafka yang duduk di sebelah Mone. Keduanya sudah berada di depan restoran all you can e
Huruf-huruf besar yang menyala membentuk tulisan 'Sky Life Resto & Bar' terpampang di bagian atas bangunan berlantai dua ini. Pada lantai dua sebuah resto dan bar yang terletak di bilangan Jakarta Selatan itu, malam ini disewa untuk melangsungkan acara reuni kampus untuk satu angkatan fakultasnya.Sayangnya, jumlah alumni yang malam ini hadir tidak lebih dari lima puluh orang. Sekian tahun berlalu sejak mereka lulus dan menyandang gelar sarjana, membuat beberapa dari mereka kehilangan kontak, ataupun sudah berdomisili di luar kota, serta kesibukan-kesibukan lainnya.Mone melangkah menaiki anak tangga untuk bergabung dengan acara reuni kampus pertama kalinya. Secara ijazah, ia memang tidak lulus dari sana. Ia hanya sempat menghabiskan waktu beberapa tahun menuntut ilmu di kampus tersebut, lalu pindah mengikuti pekerjaan bapaknya."Yang biasa nyelenggarain reuni gini siapa, Raf?" tanya Mone disela-sela langkahnya menaiki anak tangga."Tiap tahun sih penggeraknya Hilman, paling dibantuin
Mone memasuki ruangan divisinya setelah mengganti kemejanya yang sedikit basah, akibat kehujanan tadi. Beruntung ia selalu menyiapkan kemeja cadangan di dalam loker, untuk berjaga-jaga apabila ada pertemuan penting di luar jam kerja. Ia tidak suka menggunakan pakaian kerja yang sudah dipakai sejak pagi.Para karyawan divisinya segera menyapa saat Mone melintas. Ia membalas sapaan mereka dengan senyuman. Paska kejadian peneguran itu, sikap mereka kembali normal, atau setidaknya kembali profesional. Untuk kedekatan mereka, tidak ada yang kembali. Sekat antara dirinya dengan staff divisinya kini kian terasa."Bu, ini ...." Laely bangkit dari kursinya, untuk berjalan sedikit menghampiri Mone yang melintasi mejanya. Ia membawa sebuah dokumen yang ingin ia tunjukan pada Mone."Iya, itu apa?" Mone menyambut satu lembar kertas yang diulurkan Laely."Debit note dari PRX buat claim yang kemaren. Ini mau dipake potong kontrak buat kontrak dia yang baru, Bu?"Mone memperhatikan lembar kertas yang