Dada Maida menyesak, tak menyangka bahwa lelaki yang duduk di sampingnya masih mengingat mantan istrinya.
“Nak Razi,” ucap Pak Penghulu sembari menepuk pelan punggung tangan Razi. Tampaknya dia tak mendengar apa yang diucapkan Razi.Razi terperanjat.“Bisa dimulai sekarang?” tanya Pak Penghulu.Razi mengangguk pelan. Kedua telapak tangan Razi dan Pak Robi saling bertaut untuk mengucapkan akad suci sebuah pernikahan. Razi tak bisa fokus hingga ijab kabulnya harus diulang.“Saya ... terima nikah dan kawinnya ... Maida ... Friscilia Putri binti Robi Prima Diningrat dengan maskawin seperangkat alat salat dan emas sepuluh gram, tunai.”“Sah?”“Sah!”Beberapa keluarga dan tamu ikut mengucap kata “sah”. Namun, ada juga yang saling berbisik mengenai jumlah maskawin yang diberikan oleh Razi. Tentu saMaida dan Razi berencana pindah ke rumah baru yang dibelikan oleh Pak Robi sebagai hadiah pernikahan mereka. Razi juga mendapatkan jabatan yang lebih tinggi di kantornya. Selain itu, dia mendapat hadiah mobil mewah untuk kendaraan pribadinya. Namun, segala fasilitas dan kemudahan yang didapatkannya tak lantas membuat hatinya senang. Ada kegersangan yang melanda hatinya. Sejak awal, tujuan dia menikahi Maida memang bukan untuk masalah dunia, tapi karena dia tak ingin orang yang dicintainya terluka.“Sayang, kamu sudah putuskan mau bulan madu ke mana?” tanya Maida saat di hotel setelah resepsi pernikahan mereka usai.“Terserah kamu aja,” jawab Razi malas.“Bagaimana kalau ke Switzerland? Di sana sedang winter, jadi pasti menyenangkan,” ujar Maida dengan mata yang berbinar.“Switzerland?” bisik Razi. ‘Bukankah itu tempat yang ingin dikunjungi oleh Hana?’ dirinya membatin. Mem
Danau biru berkilauan dikelilingi pegunungan nan megah. Zurich, sebuah kota abad pertengahan yang identik dengan perbankan dan keuangan ini dialiri oleh sungai Lammat, sungai kecil yang berasal dari Danau Zurich dan bermuara di sungai Aare. Pesona keindahan alamnya tak diragukan lagi. Danau yang bersih, kawasan pejalan kaki di tepi danau, dan bangunan bersejarah, memang begitu pas disinggahi untuk berwisata, terutama bagi pengantin baru untuk berbulan madu.“Jauh-jauh ke sini percuma kalau di kamar terus.” Maida mendengkus kesal karena sejak sampai, mereka hanya di hotel, dan keluar hanya untuk mencari makan.“Di luar dingin,” jawab Razi seraya menarik selimut lagi.“Trus ngapain kita ke sini? Di kamar kamu juga cuma tidur!”“Dingin gini enaknya ya tidur, ngapain lagi?”Maida menghentakkan kakinya karena kesal.“Ya apa, jalan-jalan kek. Kamu kok jadi berubah
Lantunan azan Ashar mengalir lembut membelai telinga. Hana beranjak dari kursi lalu mengambil air wudu dan salat empat rakaat. Setelah selesai, dia duduk di kursi samping jendela dengan sekat kaca persegi yang terbuka. Wanita yang tengah hamil itu menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Entah kenapa sejak tadi perasaannya tak enak, pikirannya terus tertuju kepada mantan suaminya.“Hana, sore ini kamu ngajar, gak?” tanya Fatimah.Hana mengangguk. “Iya, ngajar. Tapi ... perasaanku gak enak, Bi. Kok tiba-tiba, inget A Razi terus, ya? Apa jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi dengannya?”“Kamu kangen kali,” timpal Fatimah.“Ah, Bibi.”“Jangan dipikirkan, kamu fokus aja dengan hidup kamu sekarang,” tukas Fatimah.“Kalau gak salah tebak, sekarang mereka pasti sedang bulan madu di luar negeri,” bisik Hana lirih. Ada perasaan teriris
Delapan bulan berlalu. Kehidupan Razi dan Maida mulai banyak diisi dengan pertengkaran. Maida memang tak terbiasa melayani orang lain, karena sejak kecil ada pembantu yang biasa menyiapkan semua keperluannya. Sedang keinginan Razi juga tak terlalu sulit sebenarnya, dia ingin istrinya menyiapkan baju atau sekedar menyiapkan makanan. Tak perlu memasak, cukup menghidangkannya saja itu sudah cukup baginya.Di luar, mereka memang tampak baik-baik saja. Maida memang ingin membuat kesan bahwa mereka adalah pasangan bahagia dan romantis. Sedang dalam hati mereka, begitu sepi dan keropos.“Mana istrimu?” tanya Bu Ratna yang melihat Razi tengah sendiri menyesap kopi.“Masih ada urusan di kantor, Bu.”Bu Ratna menarik napas dalam-dalam.“Sampai malam begini?” Wanita itu menggeleng.Bu Ratna menatap putra semata wayangnya.“Razi, ibu tahu mungkin ibu gak pantas bertanya hal i
Bu Ratna menetap lekat wajah anaknya.“Apa yang akan kamu lakukan jika makanan itu memang benar dari Hana?” tanya Bu Ratna pelan.Razi balik menatap ibunya, dia sendiri pun tak tahu apa yang akan dilakukannya jika itu benar dari Hana.“Razi gak tahu, Bu.”Bu Ratna menepuk pundak anaknya. “Sudahlah, cepat berangkat.”“Kok lama sih? Aku udah selesai sarapan.” Maida sudah berdiri di depan pintu dapur.“Razi berangkat dulu, ya, Bu.” Lelaki itu mencium punggung tangan ibunya. “Assalamualaikum.”●●●Sepasang suami istri itu telah sampai di kantor. Razi masuk ke ruangannya. Lelaki itu melonggarkan dasi, pikirannya masih tertuju kepada mantan istrinya. ‘Bagaimanakah jika dia kembali, apakah dia masih membenciku, atau mungkin dia sudah menikah lagi?’ Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalan
Razi turun dari mobilnya dengan perasaan yang bercampur aduk. Pandangannya tak lepas dari wanita yang hingga kini tak pernah sirna dari hatinya. Kabut di netranya tak terbendung lagi, buru-buru dia mengusapnya sebelum jatuh ke tebing pipi. Lelaki itu menyiapkan mental untuk segala kemungkinan yang akan terjadi.Hana menyadari kehadiran Razi, dia menoleh, diikuti oleh yang lainnya.“Razi ....” Bu Ratna tak menyangka bahwa putranya mengikuti dari belakang.Razi melangkah semakin dekat. “Hana, kamu ... hamil anak kita?”Hana bergeming, tak sedikit pun dia ingin menjawab pertanyaan Razi.“Sebaiknya kita masuk ke dalam dulu,” ujar Fatimah mengajak semuanya masuk.Mereka semua duduk di ruang tamu, melingkar, mengelilingi sebuah meja yang terbuat dari kayu. Tak satu pun dari mereka yang memulai percakapan.Hana tak sedikit pun menoleh ke arah Razi, ada pilu dan sak
Bian menghentikan mobilnya di sebuah klinik. Baru saja turun, dia melihat Fatimah tengah berjalan membawa beberapa botol air mineral. Pemuda itu segera menghampiri.“Bi, apa Hana sudah melahirkan?”“Belum.”Keduanya masuk ke klinik dan menunggu di ruang tunggu. Seorang perawat datang menghampiri Bian dan Fatimah.“Anda suami Bu Hana? Silakan masuk untuk temani,” ujar seorang perawat.“Ah, iya.” Bian bangkit dari kursi.“Heeeeiii!” Fatimah menarik lengan baju Bian dan memberi isyarat untuk duduk kembali.“Eh, iya, lupa.” ujar Bian sambil cengengesan.“Suaminya gak ada di sini, Bu.” ujar Fatimah.“Oh, baiklah kalau begitu.” Perawat itu berbalik kembali ke ruang bersalin.Dua puluh menit berlalu, Bian semakin gugup. Tangannya gemetar, kakinya mengentak-entak pelan
“Mas Bian,” ucap Hana tak percaya.“Maafkan aku Hana, yang seharusnya aku lakukan memang berbicara dengan pamanmu dulu. Tapi ... aku tak bisa menahan perasaanku.” Pemuda itu menundukkan wajahnya. Dia menyiapkan mental untuk segala kemungkinan jawaban Hana. Meski sebenarnya, dia tahu, perempuan itu tak mungkin menerimanya begitu saja. Yang terpenting, perempuan berjilbab besar itu tahu perasaannya.Bian mengangkat wajahnya dan tersenyum. “Gak perlu dijawab sekarang, Hana. Lupakan! Fokus saja ke bayimu dulu.” Mata Bian menoleh ke dua tas yang tadi dibawanya dari klinik. “Ah, aku akan bereskan ini, istirahatlah.” Bian meninggalkan Hana yang masih mematung tak percaya.Setelah tahu Bian tak bersama Hana, Razi masuk ke rumah yang pintunya memang terbuka. Hana melempar pandangan kepada lelaki yang baru saja masuk hingga kedua manik coklat mereka saling berserobok.“Hana ... Alhamdulil
Dua bulan berlalu sejak kematian Maida. Razi dan ibunya kembali ke rumah yang dulu. Meski rumah itu diberikan kepadanya, tetapi lelaki pemilik wajah rupawan itu menolak secara halus. Dia merasa tak berhak memiliki rumah itu. Kenangan masa lalu tentang wanita itu kembali terputar dalam memori ingatan. Baik ketika mereka masih saling mencinta, pun ketika prahara mulai membersamai keduanya. Razi berpikir, perubahan sikap Maida adalah salahnya, wanita itu menjadi jahat karena dirinya. Lelaki itu melamun di sudut ruangan, di sebuah kursi yang berhadapan langsung dengan jendela. Menatap sekumpulan anak-anak yang berlarian ke sana kemari seolah memiliki energi yang tak pernah habis. Bu Ratna menatap putra semata wayangnya. Wanita itu meletakan telapak tangannya di bahu lelaki yang tengah diselimuti rasa bersalah. “Nak, ikhlaskan!” ujarnya singkat. Lelaki itu menengadah menatap wajah ibunya yang mulai dihiasi keriput.
Razi menutup mata tatkala Andrean mengarahkan moncong senjata api ke arahnya. Tak henti hatinya merapal kalimat 'Laa ilaha illlallah', berharap jika saat itu adalah waktu ajalnya tiba, dia dalam keadaan mengingat Rabb-nya.Sejurus kemudian, sebuah letusan terdengar nyaring, dan tubuh itu pun ambruk.Razi membuka mata, jantungnya berdetak kencang, tubuh lelaki di hadapannya telah ambruk tertelungkup.Razi menghela napas lega. Jika saja polisi datang terlambat, mungkin saat ini dirinyalah yang tengah terbaring bersimbah darah.Maida segera dibawa Ambulans menuju rumah Sakit untuk mendapat perawatan, begitu juga dengan Andrean.Razi keluar dari rumah itu dengan dipapah seorang polisi. Di luar, Hana dan Tsabit telah menunggu dengan perasaan cemas.“Itu ayah!” ujar Tsabit, anak itu menghambur ke pelukan Razi.Razi berjongkok untuk menyambut Tsabit dan memeluknya erat. “Kamu gak ap
“Kita ke mana?” tanya Maida.“Puncak.”Maida menghela napas. Perasaan bersalah menyelimuti hatinya. “Mungkinkah ini perbuatan Mas Andrean?” tanya Maida. Pandangannya mengarah ke luar.“Apa dia bilang akan melakukan sesuatu?” tanya Andrean.Maida mengangguk.“Bodoh! Apa lu menyuruhnya?” Bian kembali bertanya dengan nada tinggi.“Enggak, Bian. Gue udah nyuruh dia buat gak ngelakuin apa pun.” Maida memijat keningnya.“Apa yang harus gue lakukan?”“Lu telepon dan tanya dia lagi di mana dan lagi ngapain, tapi lu pura-pura kalau gak tau Tsabit diculik. Gue khawatir, Andrean tuh psikopat, lu ngerti kan?”Maida mengangguk. Dia mengambil ponselnya dan menelepon Andrean.“Halo Mai, ada apa?” tanya Andrean.“Mas, lagi di mana?”
Ponsel Maida bergetar. Sebuah pesan masuk di aplikasi hijau miliknya. Perempuan yang mengenakan blazer hitam itu mengambil gawai dan membukanya. Seketika matanya terbuka lebar, dadanya naik turun menahan amarah.“Kurang ajar kalian!”Maida menutup pesan yang memperlihatkan sebuah foto Razi dan Hana tengah duduk berdua.Perempuan itu mencoba menghubungi Razi, tetapi tak aktif. Maida memejamkan mata, baru saja dia ingin berubah menjadi lebih baik, mencoba membuka hati bagi Tsabit, tetapi melihat foto itu hatinya kembali memanas. Dia tak lagi bisa bersabar. Dirinya bermaksud untuk menyusul suaminya.●●●Razi menghela napas, tak menyangka bahwa perkataannya beberapa tahun yang lalu begitu membekas di hati Hana. Segurat penyesalan kembali hadir menyelusup hati.“Hana,” panggil lelaki itu sambil mengetuk pintu.Tak lama, Hana membuka pintu.“Hana ... sebena
Rinai hujan mendentum bumi. Gemercik airnya terasa merdu berpadu dengan tarian dedaunan yang tertimpa tetesnya. Seorang perempuan tengah menikmati indahnya rintikan air kali ini dari sudut jendela. Sesekali, ia mengulurkan tangannya agar terbasahi sang hujan.Secangkir teh hangat menemaninya menikmati sore yang cukup dingin kala itu. Ia menarik napas, lalu mengembuskannya bersama kebimbangan akan sebuah pilihan.“Mantapkan hatimu, istikharah lebih baik,” ucap wanita di seberang meja.“Bagaimana mas Bian menurut Bibi?”“Dia baik, tampaknya juga sayang sama Tsabit.”Perempuan itu kembali menarik napas. ‘Haruskah aku menerimanya?’ tanyanya dalam hati.●●●Razi kembali melihat sosok lelaki yang saat itu dilihatnya tengah berbicara dengan Andrean di sebuah jalan. Lelaki itu melirik ke arah Razi. Tak lama, lelaki itu pun pergi.Razi melaju
Waktu menunjukkan pukul delapan malam saat Razi sampai di kediaman Hana. Tampak sepi, seperti tak ada tamu yang hadir. Lelaki bersurai hitam itu menarik napas dan memberanikan diri mendekati rumah itu. Dia tak lagi memedulikan bahwa dirinya bukan siapa-siapa lagi bagi Hana, yang ada di pikirannya saat itu adalah, tak ingin wanita itu menjadi milik orang lain.Dengan ragu, Razi mengetuk pintu. Sekali, tak ada jawaban. ‘Apakah lamarannya tidak di rumah?’ batinnya gusar.Razi melangkah bermaksud meninggalkan rumah itu. Baru beberapa langkah, terdengar suara pintu terbuka. Razi berbalik. Tampak di hadapannya seorang wanita berjilbab menatapnya heran. Razi tersenyum, berjalan mendekat dan berusaha meraih tubuhnya. Sontak, wanita itu beringsut mundur.“Ah, maaf.” Razi tak bisa menahan perasaannya. “Hari ini kamu lamaran, Hana?”Perempuan bermata teduh itu mengernyit heran. “Enggak.”
Tangan Maida mengepal, matanya memerah, sedang dadanya naik turun menahan amarah. Tatapan matanya tajam menyorot bros yang dikenakan oleh Hana.Hana yang mulai menyadari ada yang tidak beres dengan Maida, memberi isyarat kepada Razi.Awalnya Razi tak paham, tapi kemudian dia mengarahkan pandangannya kepada wanita di sampingnya. Lelaki itu menepuk pelan bahu Maida.“Mai.”Maida menengadah menatap mata lelaki yang lebih tinggi darinya itu. Matanya memanas. Razi yang belum mengerti apa yang terjadi mengerutkan dahinya.“Kenapa kamu melakukan itu?” teriak Maida yang membuat seisi ruangan menatap ke arahnya.Razi gelagapan, lalu menarik lengan wanita itu dan membawanya ke belakang. Sampai di halaman belakang rumah, Maida menepis tangan Razi dengan kasar.“Ada apa dengan kamu, Mai?” tanya Razi dengan setengah berbisik. Matanya mengawasi sekitar.&ldqu
Manusia mulia sang pembawa risalah, menyerupakan wanita serupa dengan gelas kaca. Beliau berpesan kepada para lelaki agar menjaga gelas-gelas kaca itu dengan baik. Jika gelas kaca pecah, maka tak mungkin lagi bisa diperbaiki dan dikembalikan seperti semula. Seorang wanita, mampu menahan rasa sakit, tetapi sulit untuk melupakan rasa sakit itu. Serupa kaca, keras dan rapuh di saat bersamaan.Itu pula yang dirasakan wanita yang tengah mendekap bayinya di sudut jendela. Meski selama ini dia mampu menahan perasaan sakit, tapi rasa itu masih saja bercokol di dalam hatinya. Seberapa kuat pun dia mencoba menepis, nyatanya, tak mudah hilang begitu saja.“Hana,” Fatimah menyentuh pundak wanita yang kini telah menjadi ibu itu.“Ah, iya, ada apa, Bi?”“Tidurkan dulu anakmu di kasur.”Hana mengangguk, lalu meletakan bayinya di kasur. Kedua wanita itu keluar dari kamar dan duduk di sebuah sofa pan
“Mas Bian,” ucap Hana tak percaya.“Maafkan aku Hana, yang seharusnya aku lakukan memang berbicara dengan pamanmu dulu. Tapi ... aku tak bisa menahan perasaanku.” Pemuda itu menundukkan wajahnya. Dia menyiapkan mental untuk segala kemungkinan jawaban Hana. Meski sebenarnya, dia tahu, perempuan itu tak mungkin menerimanya begitu saja. Yang terpenting, perempuan berjilbab besar itu tahu perasaannya.Bian mengangkat wajahnya dan tersenyum. “Gak perlu dijawab sekarang, Hana. Lupakan! Fokus saja ke bayimu dulu.” Mata Bian menoleh ke dua tas yang tadi dibawanya dari klinik. “Ah, aku akan bereskan ini, istirahatlah.” Bian meninggalkan Hana yang masih mematung tak percaya.Setelah tahu Bian tak bersama Hana, Razi masuk ke rumah yang pintunya memang terbuka. Hana melempar pandangan kepada lelaki yang baru saja masuk hingga kedua manik coklat mereka saling berserobok.“Hana ... Alhamdulil