Asap rokok mengepul di ruangan tempatku berada sekarang. Aku tahu, dulu tak terbiasa merokok. Sekarang justru jadi kecanduan. Andai Wanara tak pernah memberitahuku, ya tentu saja aku tak akan pernah menghisapnya. Ini kulakukan untuk mengurangi rasa sakit setelah adanya mata siberkinetik di tubuhku."Oh, tapi jangan bilang Irana ya!"Dia sangat membenciku kalau aku sedang merokok. Entah dia itu siapa dan kenapa begitu peduli dengan kesehatanku? Dia selalu bilang "Dova, merokok itu tak baik lho" dan aku bosan mendengarnya ribuan kali.Astaga! Aku lupa bilang kalau bukan lagi Artemis yang bercerita. Dia sibuk dengan pekerjaannya sebagai Arkeolog. Kali ini aku, Dova Docovanesh yang akan bercerita pada kalian."Err... tidak penting? Terserah kalian saja!"Setelah berada di Nuuswantaara, aku meminta Profesor Madrosa menghubungi Max. Dia sangat terkejut melihat wajahku nampak bersama teman terbaiknya. Max kupaksa untuk bercerita tentang diriku dulu sejak kelahiranku sampai keluar dari Laborat
Aku mengenal Max dulunya sebagai Ketua Laboratorium. Tidak sopan bila memanggil namanya langsung. Itulah yang diajarkannya pada kami semua, anak-anak hasil dari tabung kehidupan itu. Anak-anak lainnya bisa berteman akrab satu sama lainnya. Hanya aku saja yang kurang bisa menyatu dengan mereka.Sebenarnya kami semua jarang keluar kamar. Hanya dalam kondisi tertentu saja baru dibolehkan. Itu juga hanya sekedar jalan-jalan di laboratorium. Max memperkenalkan pada kami tentang apa saja yang ada di laboratorium utama bagian divisi pengembangan manusia. Tapi aku tidak tertarik!"Kau diam saja sejak tadi, Dova.""Aku tidak suka!"Saat aku hendak berjalan menuju ke kamar, langkahku dicegah oleh Kak Sora. Ya, dia yang memintaku memanggilnya seperti itu."Halo, Dova! Ikut Kakak yuk!""Aku mau ke kamar saja!""Eeh... sekali ini saja! Ayolah, anak yang paling tampan di laboratorium ini."Aku tidak suka dipuji dan rasanya itu berlebihan. Hanya ku pandang sebal wajah Kak Sora. Tapi senyumannya terla
Aku tumbuh menjadi sosok yang takut pada manusia lainnya. Entah kenapa mereka seperti monster bagiku. Padahal beberapa kali aku bertemu dengan orang-orang di dalam Laboratorium Utama. Tapi aku memilih berlari jika berhadapan dengan mereka."Manusia lain itu menyeramkan, Kak!""Eeh... tapi Dova kan manusia juga. Anak ini aneh sekali!""Aku tidak takut hanya pada Kak Sora, Ketua Laboratorium dan Kak Elwin.""Dova, kau tidak bisa seperti ini terus. Manusia itu makhluk yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Kita harus berkumpul dengan manusia lainnya, karena tidak mungkin satu orang bisa melakukan segala hal.""Aku bisa segalanya! Kakak lihat sendiri, aku bisa buat alat dan berapa kali aku ikut Kak Raffles memasang komponen robot. Robot juga bisa membantu mengerjakan pekerjaan kita."Kak Sora hanya mendengus kesal, dia melipat kedua tangannya diatas dada sambil memejakan mata. Aku sadari, sejak kecil memang susah sekali menerima masukan dari orang lain. Kecuali apa yang memang sudah ak
Ada sebuah peraturan baru bahwa semua anak yang sudah melampaui usia sepuluh tahun harus menjalani pendidikan di sekolah. Apa itu sekolah? Aku juga tidak tahu kalau Ketua Laboratorium tidak pernah menjelaskannya."Jadi, disana aku akan belajar?""Ya, Dova. Kau juga akan bertemu manusia lainnya.""Kalau aku tak mau bagaimana?""Jangan begitu, memangnya kau tidak mau bertemu dengan yang lainnya. Lihatlah! Anak-anak yang lainnya saja senang kalau mereka bersekolah."Ketua Laboratorium selalu membandingkanku dengan anak lainnya. Aku tidak terlalu suka! Aku ya diriku sendiri! Jelas sangat berbeda dengan mereka.***"Anak-anak...! Kita kedatangan murid baru dari luar kota. Baiklah, perkenalkan dirimu.""Uhm... halo... namaku Dova Docovanesh. Salam Kenal."Anak-anak lainnya terdiam. Tapi ada satu yang tertawa keras. Aku cukup kaget saat dia menertawakan namaku. Katanya nama itu terlalu aneh. Barulah seisi kelas ikut tertawa."Hei, apa-apaan kalian ini? Nama adalah sesuatu yang penting! Bukan
Bersama Profesor Sanders, aku belajar banyak hal. Tapi dibandingkan membuat alat baru, aku lebih banyak membuat modifikasi dari yang sudah ada. Rasanya aku mengalami kemunduran. Berbeda saat masih kecil, aku berani membuat sesuatu yang baru."Dova, kau tidak mau belajar membuat robot?""Dulu sudah pernah. Tapi rasanya itu terlalu rumit!""Ya, memang kalau tak terbiasa akan seperti itu.""Profesor bisa membuatnya?"Dia tidak menjawabku dan hanya duduk sambil melepas kacamatanya. Sesekali memijat bagian hidung atasnya yang terlalu lelah menyangga kacamata."Ada banyak hal yang kupikirkan saat ini. Itulah sebabnya aku tidak berkonsentrasi membuat robot lagi."Aku hanya diam mengamatinya. Mencoba duduk di sampingnya dan memegang tangannya. Dia agak terkejut dengan sikapku. Lalu memandangku cukup lama."Dova, kau sudah kuanggap anakku sendiri. Ada hal penting yang ingin kuberitahu padamu. Kemarilah!"Profesor Sanders beranjak dari tempat duduknya. Dia meraba di bagian dinding tertentu dan t
Setidaknya sudah hampir satu tahun aku dan Artemis bekerja bersama. Praktis, aku selalu berada di laboratorium untuk mengecek barang yang dia temukan. Tak pernah lagi keluar untuk mengambil barang. Bahkan sering kami berdua menemukan benda-benda yang terlampau kuno, tapi masih awet sampai masa itu. Padahal seharusnya sudah hancur bukan?Sebenarnya aku jarang berbicara dengannya. Dia orangnya terlalu kaku! Tapi saat tahu aku pun juga suka kopi seperti dia, barulah kami bisa mengobrol dengan akrab. Aku juga yang memintanya untuk tidak perlu terlalu formal saat berbicara."Tapi rasanya aneh saja kalau hanya memanggil nama. Baiklah, tidak apa. Aku usahakan ya!""Aku dan kau hanya berbeda dua tahun saja, Artemis. Apa harus nampak formal seperti itu terus?"Aku menyeruput coffe latte milikku, baru berbicara lagi dengannya. Entah kenapa aku banyak memperhatikan kakinya yang terlalu jenjang. Mungkin itu yang membuatnya nampak lebih tinggi dariku."Kau punya orang tua, Dova?""Tidak. Aku manusi
Kurasa ini adalah bagian penting dalam hidupku. Saat dimana satu mata milikku menjadi hilang. Bukan sebuah kesengajaan aku mengubah diriku menjadi Cyborg. Dexta pelaku utamanya. Awalnya aku berpikir Artemis dan Serenada yang mengusulkannya."Tidak...! Ini tidak mungkin! Apa yang kau lakukan padaku, Artemis? Katakan!""A-aku tidak melakukan apapun padamu!""Serenada....""Jangan mendekat padaku... sungguh! Aku dan Artemis hanya ingin kau tetap hidup, Dova! Kami juga tidak mau kau jadi kehilangan satu matamu."Aku tidak menyalahkan Ericko, Alara bahkan Dr. Black saat itu. Kurasa itu murni kecelakaan karena terlambat melarikan diri saat bom-nya meledak. Sebenarnya aku masih menerima jika mataku buta sebelah. Tapi karena dipasang mata siberkinetik ini membuatku merasa aku bukan lagi manusia. Aku tak ada bedanya dengan Cyborg."Bangunkan aku dari mimpi buruk ini, Artemis! Kau sahabatku! HANYA KAU YANG BISA! Tidaaak...! Aku tidak mau begini! Aaa...! Kembalikan aku jadi manusia biasaa!""Praa
Duh, maaf ya! Aku mau merokok dulu. Rasanya aneh sudah berapa jam cerita pada kalian dan sempat berhenti merokok. Padahal dulu aku tak pernah menyentuh namanya rokok sama sekali. Meskipun yang model elektrik sekalipun."Fuuuh...."Asap pertama keluar, kepala rasanya lebih lega. Rokok ini kudapatkan dari Kakek Z. Masih ingat kah kalian saat kami bertiga membawa kembali Neneknya Madeline? Kakek Z memberikan sekotak kayu rokok yang ternyata itu namanya Rokok Kretek."Tapi, aku tidak pernah merokok.""Suatu saat kau pun akan butuh ini."Ternyata benar apa kata Kakek Z, akhirnya aku membutuhkan rokok ini. Aku juga baru tahu saat Wanara mau kuberi sekotak rokok ini. Isinya memang banyak dan pernah kulihat, dia juga merokok. Yaah... kupikir saat itu untuk dia saja."Kalau kau berbagi denganku, aku tidak masalah. Asal jangan kau berikan semuanya. Hihihi... nanti kau dapat apa?""Aah...! Aku tidak merokok, Wanara!""Kau yakin tidak mau? Sebentar, kau dapat ini darimana Dova?""Dari Kakek Z.""I