Beranda / Horor / Anomali Dunia Darma / Bab 3 Sahabat Semu

Share

Bab 3 Sahabat Semu

Penulis: Rahameem
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-05 18:50:50

Ternyata semuanya telah siap. Selagi kita menikmati pertunjukan jeruji besi itu menancap di lorong sekolah, Kronos dan Kyos mempersiapkan sesuatu. Mereka mengambil dua meja dari luar kelas dan menjejerkannya di depan. Setelah semua murid duduk rapi di bangkunya masing-masing, Thea mulai berkeliling, mengitari kelas dengan membawa sebuah kotak yang berisikan banyak potongan kertas. Dia menyodorkan dan meminta kami untuk mengambil secarik kertas secara acak dari dalam kotak tersebut.

“Hari ini kita bermain permainan tradisional khas jawa tengah, cublek-cublek suweng. Kalian pasti pernah mendengarnya.” Pak Darma membuka permainan pertama kami.

“Peraturannya sederhana, Thea telah membagikan nomor urut kepada kalian. Nomor satu sampai lima akan bermain terlebih dahulu. Satu dari lima orang tersebut akan menjadi Pak Empo yang harus tertelungkup di atas meja. Empat lainnya berdiri mengitari Pak Empo dan membuka telapak tangannya di atas punggung pak Empo.”

Kronos menunjukan kelereng berukuran besar. Warnanya putih dengan ornamen merah kuning di bagian tengahnya, begitu mengkilap sampai sesekali dia berkelip memantulkan cahaya. Aku ragu tanganku bisa menggenggam itu, menutupi seluruh bagian kelereng itu.

“Tangan yang menadah ke atas, kalian letakkan di punggung Pak Empo. Ketika kalian mulai bernyanyi, pindahkan kelereng tersebut dari satu tangan ke tangan lainnya. Lalu di akhir lagu, Pak Empo harus mampu menebak di tangan mana kelereng itu berada? Jika pak Empo dapat menebaknya, maka dia menang dan orang yang memegang kelereng tersebut kalah.”

“Bagaimana jika Pak Empo salah menebaknya?” Salah satu dari kami bertanya.

“Jika Pak Empo gagal menebaknya, maka Pak Empo lah yang kalah. Siapa pun yang kalah, ia akan diakhiri, ia tidak perlu lagi tumbuh dan menjadi dewasa.”

Diakhiri, begitu kata Pak Darma. Sepertinya itu adalah kata ganti dari bunuh, akan dibunuh atau apa pun yang berkaitan dengan kematian. Pak Darma memang bukan orang yang mengatakan sesuatu itu bulat dengan itu bulat. Dia lebih memilih menari-nari di tengah-tengah kalimat yang tidak jelas, menempatkan maksud dan pikirannya menggunakan analogi yang buram. Dia lebih suka mengajak kami bermain-main terlebih dahulu di dalam imajinasi. Dia selalu melakukan hal tersebut di jam pelajaran yang diampu, Fisika. Dengan caranya itu, aku yang berpikir Fisika itu merepotkan, membosankan, dan sulit setengah mati menjadi lebih tertarik untuk memahami apa yang dimaksud oleh Newton. Sebelumnya aku gagal memahami gaya gravitasi pada bumi, gaya pada orang yang bermain skateboard, gaya tekanan yang dihasilkan orang yang menginjak rem, dan persoalan rumit lainnya. Tapi tepat satu tahun yang lalu Pak Darma dapat mengubah semuanya, mengubah Fisika menjadi lebih bersahabat.

“Baik, teman-teman yang mendapatkan nomor urut satu sampai lima silahkan maju ke depan.” Kyos mempersilahkan kami untuk berdiri di daun pintu alam kematian.

Perlahan aku membuka lipatan kertas kecil yang aku ambil tadi, “dua puluh..”lirihku. Jadi nomor duapuluh adalah nomor kematian ku? Bahkan usiaku saja belum mencapai 20, aku dipaksa untuk mati cepat-cepat di urutan yang keduapuluh? 

Seisi kelas seketika bising. Tentu si pemegang nomor pertama sampai lima tidak menerima. Sebenarnya kami belum memahami betul apa yang dimaksud Pak Darma dengan diakhiri, namun siapa yang suka rela menjadi bahan uji coba. Tumbal pertama untuk kami memahami Pak Darma sedang bercanda atau ini adalah bagian dari projek sekolah untuk mempererat kebersamaan kami, mungkin? Mereka yang mendapatkan nomor urut satu sampai lima, secara bersamaan menolak untuk bermain. Kembali lagi siapa yang mau jadi tumbal? dan jika benar, faktanya Pak Darma berubah menjadi orang gila haus darah remaja, siapa yang siap untuk menerima kekalahan dan berakhir menjadi mayat? Tentu tidak ada.

“Jika kalian menolak untuk bermain, mudah saja bagi bapak. Mari kita akhiri semua ini dengan cepat.”

Ketiga murid aneh itu mengeluarkan senjata laras pendek. Berbarengan mereka membidik kepala kami dengan moncong senjata itu. Tampaknya senjata laras pendek itu tidak menggetarkan Bara dan kawan-kawan. Mereka anak lelaki remaja yang tidak mudah percaya, bagaimana tidak biasanya mereka mengisi hari-hari di sekolah dengan mengerjai satu sama lain. Atau mungkin, yang kami kenal Pak Darma bukan guru yang mengharapkan muridnya mati di usia muda. 

Mengetahui beberapa murid tidak menganggap senjata itu serius, tanpa ragu mereka lepaskan beberapa tembakkan ke tembok kelas di belakang kami. Tembakan pertama, membuat semuanya bersembunyi di kolong meja masing-masing. Tembakan kedua, suaranya lebih nyaring karena dibarengi dengan pekikan setiap dari kami. Tembakan ketiga tertahan. 

“Bagaimana? Kalian berubah pikiran?” tanya Pak Darma. 

Sontak udara dalam kelas menjadi langka, nafas kami menjadi pendek. Tangan kami menutup kedua telinga, bersiap-siap melindungi dari suara dentuman pistol yang mungkin saja yang selanjutnya akan bersarang di kepala kami. 

“Aku mohon yang mendapatkan nomor satu sampai lima bermainlah! Turuti apa yang Pak Darma inginkan!!” Melodi berteriak dari bawah mejanya. 

Aku tidak percaya apa yang dikatakan Melodi, dia merestui seseorang untuk bermain permainan yang tidak masuk akal ini. Tidak sampai di situ saja, beberapa dari kami pun menimpali tanda lebih dari setuju. Ini mengerikan. Kami seperti saling dorong untuk siapa yang terlebih dahulu jatuh ke jurang kematian.

Tentu dengan berat hati mereka yang mendapatkan nomor satu sampai lima menuruti keinginan Pak Darma. Terpaksa bermain dengan harga taruhannya adalah nyawa. Mereka mengangkat tangan ke udara. Jari-jari mereka bergetaran, perlahan keluar dari balik meja mereka. Ragu namun apa boleh buat. 

“Cublak-cublak suweng, suwenge teng gelenter…" Mereka, lima teman kelasku di depan bernyanyi dan bermain. Anehnya mataku menangkap mereka sedang menggali satu lubang kuburan untuk temannya, entah untuk siapa, yang jelas untuk salah satu dari mereka.

“Mambu ketundung gudel, Pak Empo lera-lere, sapa ngguyu ndhelikake…” ini dia, orang yang tertelungkup di tengah mulai bangun, terduduk. Matanya merah, nafasnya terhenti, fokus memerhatikan setiap kepalan tangan yang bergoyang di sekelilingnya.

“Sir-sir pong dele kopong, sir-sir pong dele kopong.” Anita, orang yang bermain sebagai Pak Empo, menggenggam tangan Dinar, sahabatnya sendiri. Tangan mereka bertemu.

“Maafkan aku Dinar..”Anita berbisik pedih, dia alihkan pandangannya ke udara di sebelah telinga sahabatnya. Anita tidak mampu melihat ke arah wajah sahabatnya sendiri.

“Kau memang sahabat terbaikku. Aku bahkan tidak mampu menyembunyikan apa pun di hadapan mu.” Anita hancur, aku melihat tangannya menggenggam Dinar dengan erat. Sepertinya dia tahu, sahabatnya akan pergi meninggalkannya.

“Terimakasih Anita, sudah menjadi sahabat baikku selama ini.”

Beepp.. 

Dinar jatuh ke pelukan Anita. Kepalanya tidak bisa berdiri tegak lagi. Kelereng putih itu jatuh ke lantai, memantul-mantul, dan berakhir menggelinding. Suaranya mengantarkan kepergian Dinar. Anita histeris berteriak memanggil nama Dinar. Memeluk kepalanya yang telah berlubang. Aliran darah deras membasahi baju seragam Anita. Aku tidak bisa membedakan tangisan Anita, tangisan karena rasa bersalahnya atau kepergian sahabatnya.

Thea datang dengan brankar dorong berwarna hitam. Sebelum melonggarkan pelukan Anita pada tubuh Dinar, dia membelai halus kepala Anita.

“Semuanya akan baik-baik saja. Biarkan sahabatmu pergi.” lirih Thea halus.

Thea memang tidak mengancam, tidak juga mengintimidasi. Tapi Anita menyadari dia harus segera melepas tubuh Dinar. Apa yang dilakukan Anita memang benar. Karena bukan belaian Thea yang mengintimidasi, melainkan senjata di dalam saku rok seragam Thea. 

"Dinar, muridku yang pintar. Sekarang dia sudah baik-baik saja. Kalian tidak usah khawatir.”

Tengkuk mengeras, kaku, ketegangan kelas sudah menjelma sebagai beban di kepalaku. Aku tertunduk, memilih untuk memandangi meja kayu, permukaanya tampak polos tanpa corak. Permukaan yang polos ini menyelamatkan aku dari pemadangan yang menyedihkan di depan kelas. Atau bahkan di sekelilingku. Rasanya begitu perih ketika melihat teman-teman menangisi kepergian Dinar.

Apanya kehidupan orang dewasa begitu terjal dan menyedihkan? Apanya kedewasaan itu adalah kutukan bagi kehidupan? Apanya?! Pandangan Pak Darma terhadap kehidupan sungguh keliru. Kutukan itu tidak hanya datang ketika kita beranjak dewasa saja. Kutukan itu bisa datang kapan pun ia mau. Memangnya tidak ada anak remaja yang mengalami kemalangan di dalam hidupnya? Memangnya dunia ini bersih dari anak-anak yang menjadi korban kekerasan? Memangnya tidak ada anak yang menjadi korban dari pelecehan? Tak ayal, yang sering kutemui adalah mereka yang menjadi korban dari keegoisan orang tuanya. Tapi coba berpikir lagi, adakah sesuatu yang bernama kutukan kehidupan? Apakah kemalangan-kemalangan yang kita harus lewati sebagai manusia adalah sebuah kutukan bagi kehidupan? Lalu kehidupan itu harusnya bagaimana? Apakah kemalangan seharusnya menjadi bagian dari kehidupan? Apa arti kebahagiaan jika kemalangan_

“Permainan masih berlanjut, siapa yang menerima nomor enam, silahkan maju kedepan kelas.” kata Kyos membubarkan lamunanku. 

Yuuta berdiri dari bangkunya. Dia seperti tidak yakin ingin pergi ke depan kelas, peluh di keningnya semakin ketara, matanya menyalang, tangannya gemetaran. Maafkan aku Ibu, lirihnya sebelum dia mulai melangkah maju menuju ke depan kelas. Waktu mengantar langkahnya lambat. Yuuta baru saja bergabung di minggu lalu, tersirat di benakku.

“Pak Darma!” Aku berdiri dengan kasar. Bangkuku berdecit nyaring, menarik perhatian satu kelas. “Sepertinya Pak Darma keliru!" aku mengatakannya.

“Di mana letak kekeliruan itu?” 

“Tentu ini semua keliru Pak. Menurut bapak, masa dewasa merupakan sebuah kutukan, lalu Bapak cegah kami untuk tidak sampai ke masa itu. Apakah itu tidak terdengar keliru?”

“Bagaimana kalau kamu juga ikut bermain bersama kita?” jawabnya sambil tersenyum sumringah dari balik layar.

“Yuuta, kamu boleh duduk kembali ke bangkumu.”

Tertegun, tapi ini lah konsekuensi yang harus aku hadapi. Aku harus menggantikan Yuuta bermain, menjadi hasil upaya protesku. Apa boleh buat, kuturuti perintahnya. Tanpa menoleh ke arah Yuuta aku berjalan pasti menggantikan posisinya. Aku berdiri tepat di mana Dinar berdiri tadi. Anita bergantian dengan yang lain untuk menjadi yang tertelungkup di tengah. Suasana di depan kelas ternyata terasa lebih dingin dibandingkan di bangku penonton sana. Di depan kelas sini, kami menikmati nafas terakhir kami berbarengan dan tenggelam dalam gamang.

“Cublek-cublek suweng, suwenge teng gelenter…” aku mulai bernyanyi. Mantra yang sama dilantunkan kembali. Ritual pengantar nyawa anak remaja dimulai kembali. 

Orang di tengah sudah terduduk sekarang. Karisma, pemuda tampan dari kelas ini. Kami tidak pernah saling bicara sekali pun selama duduk di kelas yang sama. Tentu bukan karena dia sombong, hanya saja hari-harinya penuh dia habiskan untuk membaca surat-surat cinta yang dikirim oleh para penggemarnya. Surat itu datang bukan hanya dari adik-adik kelas kami, rupanya tak bosan dari teman sekelas pun ada. Dan aku juga terlalu sibuk untuk menjadi seseorang yang tidak menarik untuk diajak bicara.

Mungkin bukan waktu yang tepat, tapi baru kali ini aku melihat wajah Karisma dari dekat. Kulitnya bersih, matanya sayu dan hidungnya runcing di bagian ujungnya. Bibirnya tipis dan sedikit kemerah-merahan. Porsi wajahnya sama sekali tidak memberikan kesan tegas. Seperti ukiran patung seni yunani di zaman dulu. Dia karya seni yang hidup.

“Athena, namamu Athena bukan?” Dia ambil kedua tanganku yang mengepal. Benang sutra halus, setipis itu keputusan antara aku atau dia yang akan mati kali ini.

“Iya, senang berkenalan denganmu, Karisma.” Bunga Lili Air yang hanya mekar di malam hari. Tangan ku merekah membawa kegelapan bagi Karisma. “Dan, maafkan aku.” Karisma tertegun setelah menemui ternyata yang ada di dalam genggaman tangan ini bukanlah kelereng, melainkan jepitan rambut.

“Hahaha, aku baru menyadari kita sering menjadi teman sekelas, sayangnya ini pertama kali kita berbicara satu sama lain, cepat sekali masa mudaku berakhir….” lalu dia menghilang. 

Wajah Karisma yang putih bersih menjadi berwarna merah. Darah menjadi ornamen utama yang menutupi seluruh bagian wajah Karisma. Tanganku segera meraih badannya yang hampir terjengkang. Badannya masih hangat, darahlah yang membekukan kulitnya. Nafasnya perlahan terbang ke angkasa. Air mata dari teman-temannya berderai tak henti, Karisma telah menorehkan kebahagiaan di dalam hari yang menangisinya di hari ini. 

“Pak Darma, bukankah Karisma masih remaja?” lirihku sembari membaringkan tubuhnya di atas meja. “Mengapa dia harus mati sekarang? Bukankah ini kemalangan baginya? Bukankah ini terasa seperti kutukan di kehidupannya? Dia harus mati di tengah-tengah orang asing, yang bukan keluarganya, bukan orang-orang terdekatnya. Tidakkah terdengar seperti kutukan baginya? Bapak ingin menyelamatkan kami dari kutukan, tapi Bapak sendiri adalah kutukan!”

“Kamu tidak mengerti Athena.” jawab Pak Darma ringan. Remaja dengan kenaifan memang tidak bisa dipisahkan, tapi apa yang aku hadapi ini tidak perlu dipahami oleh anak manusia yang sudah matang. Ini masalah moril.

“Memang! Sampai kapan pun aku tidak akan pernah mengerti!” kataku setengah berteriak.

“Kenyataannya, di dunia ini banyak anak remaja yang hidup di dalam kutukan. Tidak menunggu masa dewasa, mereka telah menjalani hari-hari mereka dengan membawa kegelapan di tengkuknya. Kegelapan itu tercipta bukan dari tangan mereka sendiri, melainkan dari keegoisan para orang dewasa di sekitarnya. Mereka ada Pak, dan itu nyata. Jadi semua yang_”

Kriiinggg....kriiingg..

Kata-kataku terpotong oleh bel yang berdering keras. Aku melihat keempat cctv di kelas sedang mengarah wajahku. Ada berupa cahaya laser menyoroti keningku. Rupanya benda itulah yang melubangi kening kedua teman kelasku tadi. CCTV yang dilengkapi dengan tembakan laser, cukup praktis untuk memisahkan nyawa kami dari jasad.  

“Kita lanjutkan esok hari. Kelas selesai.” Layar yang menampilkan wajah Pak Darma, kini mati. Kronos, Kyos dan Thea membawa Karisma pergi dengan brankar dorong, sama seperti Dinar pergi. Seisi kelas menjadi lenggang. Aku yang masih berdiri di depan kelas, mencari bangku mana saja yang kosong setelah apa yang terjadi hari ini.

Jadi di sana mereka biasanya duduk..

Bab terkait

  • Anomali Dunia Darma   Bab 4 Kawan Baru

    “Aku tidak memintamu menyelamatkanku. Kau tidak perlu melakukan itu!" “Aku tidak menyelamatkanmu.” jawabku singkat. Memang tidak, aku menggantikan posisinya di permainan tadi memang bukan karena dia. Kantin sekolah ini terasa berbeda. Kantin sekolah kami yang dulu ramai bagai pasar loak, begitu banyak bebunyian berkumpul di Sana. Suara bukantin yang memanggil nama murid yang memesan makanan. Sekelompok murid populer dengan gayanya slengean, tertawa terbahak-bahak. Beberapa dari mereka ada yang bernyanyi lagu yang sedang hits di beberapa minggu ini. Ada juga yang memakai kantin sesuai dengan fungsinya, makan siang. Kantin sekolah kami pun tidak luput dari fungsinya sebagai tempat sepasang kekasih anak SMA yang makan siang berbarengan, seperti yang selalu dilakukan oleh Eden dan Innana. Begitu juga di kantin sekolah ini. Eden dan Innana masih memilih duduk bersama untuk menyantap makan siang bersama, bedanya kini Eden tak bergeming melihat kekasihnya terisak-isak, air matanya melenyap

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-05
  • Anomali Dunia Darma   Bab 5 Laba-laba Punggung Merah

    Pak Darma menyiapkan semuanya. Loker sekolah yang lengkap dengan peralatan pribadi, alat mandi, baju tidur, pakaian dalam hingga kantong tidur. Kami pun diberi sandal, sehingga kami tidak perlu khawatir alas kaki yang kami gunakan ketika mandi. Setelah mengeksekusi dua murid, Pak Darma dan yang lainnya meninggalkan kami. Aku bisa bilang begitu karena sehabis Karisma pergi, aku tidak lagi mendengar suaranya lagi keluar dari speaker. Kami yang tadinya kebingungan, perlahan memahami apa yang harus kita lakukan di sisa waktu kami.Di posisi ini, tidak ada yang bisa aku lakukan. Bahkan bukan hanya aku yang merasa dilumpuhkan oleh Pak Darma, seisi kelas. Bara, yang terbilang mempunyai sabuk hitam, terikat erat melingkari image-nya, hanya bisa terdiam, menahan tangannya untuk tidak merusak sesuatu di kelas ini. Cctv lebih menakutkan daripada petir di hujan badai di tengah malam. Kami memahami, di setiap sudut kelas dan ruangan yang ada di sekolah ini, terpasang cctv yang bergandengan dengan

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-05
  • Anomali Dunia Darma   Bab 6 Memantulkan Cahaya Matahari ke Langit

    “Aku tidak mau makan ini Jessica!” Aku melempar piring plastik kecil berwarna merah muda, lengkap dengan spageti karangan Jessica. “Kau melawan pada ibu mu? Kau mau ibu kutuk jadi batu?” Jari telunjuknya menuding tepat di depan mata ku. Dia berperan galak secara natural. “Jessica, benda itu tidak bisa dimakan.”Aku berdiri, menjauh dari telunjuk itu. Dia terus menyodorkan bagian dari tumbuhan yang mirip seperti mie. Aku tidak tahu namanya apa, tapi ia menjalar di atas tanaman pagar. Jessica berperan sebagai ibu yang berlaga mampu memasak. Aku mengisi kekosongan peran yang dimainkan oleh Jessica. Tadinya aku menawarkan diri berperan sebagai Athena, diriku sendiri, tapi ditolak mentah-mentah olehnya. Jessica bilang kita harus berperan bukan menjadi diri kita, baru permainannya akan menjadi menyenangkan. Tapi aku bingung, aku di kehidupan nyata pun menjadi seorang anak, kenapa ketika bermain dengannya harus berperan sebagai anak juga. Aku kira dia bilang kita tidak boleh memerankan p

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-08
  • Anomali Dunia Darma   Bab 7  Kereta Api Manusia

    “Mari kita bernyanyi!” Pak Darma memberikan aba-aba dan permainan pun dimulai. “Naik kereta api tuut…tuut…tuut..” Sebanyak 27 murid berbaris menjadi satu barisan dan memegangi pundak, menyerupai kereta bergandengan antara gerbongnya. Aku tidak yakin aku diurutan keberapa, yang aku tahu aku memegangi bahu Yuuta dan Jessica memegang bahu ku. Semenit sebelum permainan dimulai, Jessica menghampiri ku tanpa berkata-kata. Dia berdiri di belakang ku dan sangat berusaha untuk tidak memandang ku balik. Kereta api manusia ini, berbaris diselubungi dengan ketakutan. Sekrup yang tertanam di tangan yang menempel di bahu tidak begitu kencang. Kapan saja bisa terlepas dan berlari menyelamatkan diri masing-masing. Kami bernyanyi dan masuki terowongan aneh yang Pak Darma sediakan. Aku belum mengetahui bagaimana cara permainan ini bekerja. Kalau saja permainan naik kereta api ini normal, aku tidak perlu waspada dengan apa yang akan terjadi nanti. “Keretaku tak berhenti lama_” Kami salah, ternyata

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-09
  • Anomali Dunia Darma   Bab 8 Aku Masih Hidup!

    Aku mungkin sudah gila. Meminta pertolongan dari seseorang yang juga menjadi penyebab dari semua ini. Aku tidak memiliki pilihan. Pak Darma berjalan tenang di tengah-tengah teriakkan para murid yang berhamburan. Ada beberapa dari mereka berlari menuju hutan, dan ada juga yang hanya berdiam memaku memandangi apa yang ada di tangan Thea. Mereka yang hanya mematung, ragu untuk ikut berlari menuju hutan, karena sebelumnya mereka tahu Thea menembak kepala Rama. Pak Darma menghampiri ku yang terduduk dengan kepala Jessica di pahaku. Dia berlutut. Sepatu pantofel hitamnya menginjak kubangan darah. Darah Jessica tidak berhenti mengalir dari kedua lengannya yang terputus. Wajah Jessica memucat, aku takut keberadaanya di dunia ini pun memudar. “Jangan menangis Athena.” Suaranya tenang. Ibu jarinya menyeka air mataku yang mengalir di pipi. “Jessica akan baik-baik_” “Dia tidak sedang baik-baik saja Pak! Darahnya terus keluar. Kalau begini terus dia bisa mati kehabisan darah!” Aku membent

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-10
  • Anomali Dunia Darma   Bab 9 Dia Pergi di Tengah Malam

    “Ayah pergi ya nak.”Tentu aku tidak akan membiarkan itu. Ayahku berdiri di ujung jalan menuju matahari yang bentar lagi tenggelam dilahap bagian barat bumi. Jalannya sedikit licin karena banyak rumput liar dengan embun yang tersisa di untaian daunnya. Angin sore menghembus lembut ilalang. Cahaya matahari menjingga, mewarnai ilalang yang berbulu putih. Ayah tidak menoleh ke belakang setelah berpamitan. Langkahnya lunglai tapi tidak terhenti. Semakin lama punggungnya ditelan cahaya jingga, semakin jauh dari pandangan ku. Berjalan saja sudah tidak cukup, kaki ku mulai berlari mengejarnya. Sambil berteriak memanggil Ayah, aku berharap dia berubah pikiran untuk tidak pergi. Suara ku terdengar keras sampai ke bagian bumi timur namun tetap saja langkah ayahku tidak terhenti.Aku berlari dengan kaki telanjang. Menyusuri jalan setapak yang tiba-tiba b

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-11
  • Anomali Dunia Darma   Bab 10 Alice in Wonderland

    KepadaAnak-anak ku tersayangDi rumahAnak ku sayang, Apollo dan Athena. Ayah dengar kalian tidak berhenti menangis karena Buba mati. Ini mungkin berat bagi kalian, namun sampai kapan kalian akan meratapi kepergiannya? Buba sudah membuat memori yang indah dengan kalian, kini sudah waktunya ia pergi dengan bahagia. Buba memang sudah mati, tapi memori yang bahagia itu, bisa saja terus hidup di dalam kalian. Jadi kuatkan hati kalian dengan memori bahagia dengannya.Ingat, apa pun yang kalian hadapi nanti, matahari akan terus terbit dari timur. Pagi akan menyongsong, memberitahukan dunia mu masih berputar. Jikalau kalian bersedih, menangislah sampai puas. Tapi kesedihan itu bukan akhir dari cerita di kehidupa

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-15
  • Anomali Dunia Darma   Bab 11 Puncak Piramida

    Hari ketiga Hallo nama ku Nadia. Aku masih di sekolah sial ini, terjebak bersama dengan guru psikopat itu. Pikiran Pak Darma yang sakit, membunuh kami berarti menyelamatkan kami. Dia berpikir apa yang sedang dia lakukan sekarang adalah menyelamatkan kami dari kutukan dunia. Aku tidak mengerti jalan pikirannya, yang ada dia lah sebuah wujud kutukan di kehidupan kami. Selama tiga hari si pangeran bunga Lili itu telah menghabisi enam teman ku. Linda, kawan karibku, menjadi yang tersadis. Aku bahkan selalu dibayang-bayangi cipratan darahnya ketika pisau pancung itu mengenai kepalanya. Mengerikan sekali. Di hari ketiga ini Pak Darma menyodorkan setitik harapan kami untuk pergi dari sekolah ini. Di permainan hari ini, kami bertanding melawan sesama dalam permainan Congklak. Setiap anak berpasangan dan yang menang akan ditandingkan lagi dengan pemenang di pasangan yang lainnya. Begitu terus sampai mendapatkan dua pemenang yang mengalahkan seisi kelas. Di sini menariknya, kedua anak itu a

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-16

Bab terbaru

  • Anomali Dunia Darma   Epilog Part Satu

    Penemuan sebuah pulau terpencil dengan begitu banyak mayat anak remaja yang terkubur menggegerkan, bukanhanya tingkat nasional akan tetapi seluruh dunia. Wajah kami bertujuh tepampang dalam segala bentuk berita dengan berbagai macam bahasa, yang isinya sama saja: Ketujuh remaja ini berhasil selamat dari permainan mematikan yang diciptakan seorang guru maniak. Banyak yang mengira kami mengarang cerita. Mereka kira kami hanya lah sekumpulan anak remaja yang mengkonsumsi narkoba dan tidak sengaja membunuh teman sekelas karena di dalam pengaruh obat-obatan.Tentu saja Eden pasang badan dan menjelaskan dengan argument yang rapi, lengkap dengan bukti-bukti bahwa kami tidak asal mengarang cerita saja. Deon menyalahkan Eden karena terlalu membeberkan seluruh cerita tanpa filter kepada orang-orang yang asal, sehingga kalimat-kalimat ambigu bisa menjadi dasar lahirnya teori-teori konspirasi tidak masuk akal. “Kalian tahu kan, kasus ini murni kegilaan Pak Darma, tidak ada teori konspirasi yang me

  • Anomali Dunia Darma   Bab 36: Angin Berhembus ke Rumah

    Bab 36; Angin Berhembus ke RumahTerik matahari terhalang dedauan yang bertengger di tangkai-tangkai. Angin yang halus menyentuh tengkuk, kusadari ia membawa aroma bunga lili yang menarikku ke dalam malam itu. Tak ingin kuulangi bagaimana rasa di dalam hati menghadapi dirinya yang tak berhati. Tapi apakah itu terlambat? Aroma bunga lili sudah mengetuk rasa takutku sedari tadi.“Athena..” dipanggilnya namaku, suaranya lembut datang dari tenkuk.Tubuh ini membeku, berdiri, membujur kaku di balik pepohonan. Kedua lutut menggeras tak mampu bergerak, aku kepalkan kedua tanganku yang bergetar. Mata ini hanya tertuju pada satu titik yaitu gerbang sekolah. Aku tidak mendengar derap kaki mendekat. Semuanya hening hanya ada suara angin yang menggerakkan ranting dan daun. Aku yakin aku seharusnya tidak menemukan sesuatu yang mengendap-endap mendekati. Aroma bunga Lily of the valley dari semakin menguat, bunga Lily yang duluku cium dari saputangan, seolah mencekik tenggorokan. Harum sekali sampai

  • Anomali Dunia Darma   Bab 35 Putus Asa Bersama

    Pagi-pagi buta Yuuta dan Bara telah mencari batang pohon yang kokoh dan meraut di salah satu ujungnya. Kemala dan Innana menyiapkan makanan, dan sisanya mencari seresah daun kering dan ranting pohon untuk membuat api, lagi. Semuanya bekerja dalam diam, ditemani kicauan burung yang menggema dari dalam hutan.Udara dingin bekas semalam masih melayang-layang, hembusan nafas kami terlihat jelas, seperti asap, teradu dengan suhu hangat dalam tubuh. Hari keempat, hiruk-pikuk di dalam benakku bertambah empat kali dari hari sebelumnya. Bagaimana jika tidak ada jalan keluar? Bagaimana jika pulau ini tidak dilewati nelayan atau kapal apa pun itu? Bagaimana jika Pak Darma berhasil menemukan kami di sini? Apa yang harus aku lakukan jika bertemu dengan dia di sini? atau pertanyaan yang lebih mengganggu, bisakah aku membunuh Pak Darma jika bertemu kembali? Aku dikeroyok pertanyaan-pertanyaan di dalam pikiranku sendiri. Jika aku memiliki tubuh di dalam pikiranku sendiri, mungkin aku sudah babak belu

  • Anomali Dunia Darma   Bab 34; Mulai Sekarang Aku adalah Rumahmu

    “Dia baik-baik saja kan?” “Tidak perlu khawatir, dia masih bernafas.” “Kita perlu tidak bangunkan dia?” “Jangan.” “Tapi aku ingin dia bangun. Aku ingin dia tahu di mana kita sekarang.” Terganggu dengan keributan, aku membuka kelopak mataku perlahan. Yang pertama aku sadari ternyata rembulan sudah tergantikan oleh matahari. Di hadapanku teman-teman yang kuantar kepergiannya di depan gerbang. Ada Yuuta, Kemala dan Deon. Melihat aku mulai sadarkan diri, mereka berucap sukur dan tersenyum bersamaan. Seperti biasa Kemala dengan rasa cemas yang berlebihan, seketika menyambar tubuhku yang terlentang sesudah tahu aku tersadar. “Memangnya kita di mana?” kepalaku masih pening tidak bisa mengingat jelas apa yang terjadi semalam. “Kita ada di pesisir pantai. Tenang saja, kita sudah aman di sini.” timpal Deon, semeringah senyumannya. Aku sendiri masih kebingungan, bagaimana aku bisa kembali bersama mereka, sedangkan terakhir kali ingatanku, aku sedang menodongkan moncong senjata ke kep

  • Anomali Dunia Darma   Bab 33; Kematian adalah Kehidupan itu sendiri

    Manusia memang bisa memilih bagaimana caranya hidup. Melalui kehidupan dengan mengemban kehormatankah? Atau ternyata sebaliknya. Hidup dengan tidak ada penyesalan adalah keberanian yang naif. Namun hidup penuh dengan rasa penyesalan adalah si pecundang yang tak tahu berterima kasih. Menariknya bagi manusia, dia bisa memilih bagaimana caranya hidup namun tidak dengan kematian. Manusia terbiasa lupa dengan kematian, dia tidak memikirkan itu sebelum tidur. Manusia terlalu berani, yang dia pikirkan sepanjang waktu bisa dipastikan mengenai hirup pikuk kehidupan. Mau makan apa ya sehabis ini? Apakah aku bisa mengejar mimpiku? Apakah aku di jalan yang tepat? Kira-kira aku akan punya anak berapa ya? dan lainnya. Lucunya, ketika manusia disibukan dengan sandang pangan papan dan hiburan dalam kehidupan, kematian sudah menantinya di suatu waktu. Memandangi jiwa mereka sambil cekikikan karena tergelitik, lihat betapa bodohnya para manusia, mereka kira mereka hidup selamanya. Kurang lebih begitu

  • Anomali Dunia Darma   Bab 32; Rumah yang Hangus

    Dalam permainan, demi meraih kemenangan, terkadang kau harus mengorbankan ratumu sendiri. Aku tidak ada henti-hentinya memandangi gemerlap langit bertabur bintang. Menikmati sisa malam, atau mungkin bisa dibilang sisa nafas yang kumiliki. Bulan sudah bergeser dari atas langit ke arah barat, bertanda sedikit lagi malam akan terganti fajar. Bintang-bintang gemerlap meramaikan suasana antara aku dan Pak Darma. Dalam sunyinya malam, di tengah hutan, aku tidak pernah menyadari bahwa malam di bumi begitu menawan. Dalam senyap kami mempersiapkan tarian penutup. Pak Darma menyalakan sepasang lampu tembak yang terletak di sekeliling lapangan basket sebagai sumber cahaya di sekolah. Aku menggeret satu meja dan disusul sepasang kursi untuk kita bermain di tengah lapangan. Air bekas hujan yang tercampur darah segar masih menggenang. Suasananya seperti aku membawa alat pancung ke pemakamanku sendiri. Bau amis semerbak menelilingi kami berdua. Setelah semuanya tertata, kami duduk bersebrangan,

  • Anomali Dunia Darma   Bab 31; Permainan belum Usai

    Bunga lili air yang mekar di malam hari. Dinikmati keindahannya, bunga lili air bermahkotakan sinar rembulan dan gemerlap sejuta bintang, semerbak aroma terselimuti udara dingin tengah malam. Dia mekar di hadapanku, maksud hati ingin aku tetap di sisinya, menemani di dalam kastil sunyi, beraroma amis darah, tulang belulang melapuk di bawah tanah. Bunga lili air begitu menawan jika ditangkap oleh dua pasang mata berserta hati. Menawan, siapa pun yang akan pergi meninggalkannya, berpikir dua kali. Harus kah aku pergi? Haruskah aku meninggalkannya? Apa yang akan terjadi jika aku meninggalkannya di sini? Kedua pasang mata berserta hatinya, terhipnotis, larut dalam pelukan dingin bunga lili air. Pertimbangan demi pertimbangan. Pikiran yang berjajar menunggu untuk diuji kelayakkannya untuk dipertimbangkan. Semuanya seakan mengeroyok, membebani langkah ini yang seharusnya menuntun aku ke udara bebas, di luar istanahnya. Bisakah aku mengakhiri semua seperti ini? Akhirnya kita bisa berkum

  • Anomali Dunia Darma   Bab 30 Monster Malam Hari Mendekat! 

    “Bayu..bayuski bayu.. don’t lie by the corner… or a grey wolf will come.. and grab you by your side…” Pak Darma mulai kehilangan akal sehat, dia bersenandung di tengah lingkaran penjara kami. Dia menyadari tidak ada yang bisa dia lakukan. Dia telah terjebak di dalam perangkap buatan kami. Peraturan permainan tidak boleh dilanggar. Menara genteng yang menumpuk harus terus menjulang, syarat untuk Pak Darma keluar dari lingkarannya. Bara menjalankan tugasnya dengan baik. Si penjaga itu lumpuh di dalam lingkaran, menara genteng yang dia tumpuk seratus kali, seratus kali pun runtuh tertimpa lemparan Bara yang mematikan. Bongkahan genteng hancur berkeping-keping, hingga mustahil bagi si penjaga menumpuknya kembali. “He will grab you by the side…and drag you to the forest…drag you to the forest…to the broom bush..do not come to us, wolf … do not wake up our Masha Bayu bayushki bayu…” Mengapa aku bilang lingkaran itu adalah jebakan yang sempurna bagi Pak Darma. Janji adalah janji. Monster

  • Anomali Dunia Darma   Bab 29 Dia Tidak Bersembunyi

    Jika kau jadi Pak Darma, di mana kau akan bersembunyi? Ayo Athena berpikir! Berpikir! Entah datang dari mana, sekelebat memori bermain petak umpet bersama ayah terulang di dalam benak. Kala itu hari terakhir jatah Ayah pulang ke rumah. Kami menghabiskan waktu tidak di mana-mana melainkan di halaman belakang. Apollo dan aku selalu kebosanan jika harus bermain petak umpet hanya berdua. Namun di hari itu tidak lagi, ayah bergabung sebagai yang ketiga. Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambutku yang dikuncir dua bak boneka Dakocan. Jemari kaki kecil menapak rumput hijau, sebagian aku injak, sebagian yang lainnya lolos dan berdiri, menggelitik sela-sela jari kaki. Ada pohon mangga di halaman belakang, dan batangnya biasa menjadi bagian permainan petak umpet. Apollo kedapatan berjaga pertama, dia pun menghitung dari satu sampai sepuluh. Dia bilang angka sepuluh sudah banyak karena sepuluh lebih dari satu. Seketika Apollo menutup mata dan di hitungan satu, kaki mungilku berhamburan mencari t

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status