“Mari kita bernyanyi!” Pak Darma memberikan aba-aba dan permainan pun dimulai.
“Naik kereta api tuut…tuut…tuut..”
Sebanyak 27 murid berbaris menjadi satu barisan dan memegangi pundak, menyerupai kereta bergandengan antara gerbongnya. Aku tidak yakin aku diurutan keberapa, yang aku tahu aku memegangi bahu Yuuta dan Jessica memegang bahu ku. Semenit sebelum permainan dimulai, Jessica menghampiri ku tanpa berkata-kata. Dia berdiri di belakang ku dan sangat berusaha untuk tidak memandang ku balik.
Kereta api manusia ini, berbaris diselubungi dengan ketakutan. Sekrup yang tertanam di tangan yang menempel di bahu tidak begitu kencang. Kapan saja bisa terlepas dan berlari menyelamatkan diri masing-masing. Kami bernyanyi dan masuki terowongan aneh yang Pak Darma sediakan. Aku belum mengetahui bagaimana cara permainan ini bekerja. Kalau saja permainan naik kereta api ini normal, aku tidak perlu waspada dengan apa yang akan terjadi nanti.
“Keretaku tak berhenti lama_” Kami salah, ternyata benda itu bukan terowongan. Benda itu lebih mirip guillotine yang mengeksekusi kriminal di zaman dulu.
Berbarengan dengan nyanyian kami berakhir, sebilang pisau pancungnya menyambar apa pun yang berada di bawahnya. Entah itu tangan kami yang masih memegangi bahu teman di depannya, dan entah itu tepat di atas kepala yang mungkin bisa memotong kepala kami menjadi bagian dua bagian, bagian belakang dan depan. Ini mengerikan.
“Reflek dari seorang juara taekwondo se nasional memang tidak bisa diragukan lagi.” Pak Darma bertepuk tangan dari kejauhan, dia menganggap kita sebagai sekelompok sirkus yang sedang menghibur iblis di dalam tubuhnya. “Bapak kagum kepada mu Bara, kamu dapat menghindari pisau pancung itu.”
Pisau pancung menyambar secepat kilat ke apa-apa yang di bawahnya. Aku menemukan pisau pancung itu mendarat satu inci di depan ujung kaki Bara. Tubuhnya yang jangkung besar, dada yang gagah dan mata tajam seketika kehilangan keberaniannya ketika melihat pisau pancung yang hampir menyentuh tubuhnya.
“Apa Bapak sudah gila!” Michael berteriak dari balik badan Bara. Dia mungkin melihat betapa cepatnya pisau pancung itu menghujam.
“Masa depan Bara gemilang, dia bisa saja menjadi atlet Taekwondo Indonesia. Hampir saja cacat karena pisau pancung itu!” Eden membela temannya. Ini pertama kalinya aku melihat Eden berteriak kepada seorang guru.
“Eden hentikan. Kau bisa ditembak mati.” Kekasih yang mengkhawatirkan cintanya akan berakhir menjadi mayat. Innana menahan tangan Eden untuk tidak mendatangi Pak Darma. Padahal Eden telah siap dengan kepalan tangannya.
Semuanya mulai kondusif kembali ketika mendengar kata ditembak mati. Seakan-akan semuanya termaafkan. Bara yang hampir kehilangan tangannya, termaafkan. Rama, Karisma dan Dinar yang kehilangan nyawanya, juga termaafkan. Kepalaku menunduk ke bawah, memandangi ujung spatu ku yang tidak bersih lagi. Sungguh aku ingin berlari pergi dari sini. Berlari kencang, menerobos segalanya yang ada di hadapan ku. Aku tidak peduli apakah itu Pak Darma atau itu Thea dengan pistolnya, atau bahkan sesuatu yang menunggu di dalam hutan. Aku tidak peduli lagi. Sayangnya, yang menjadi kendala bukan apa yang menghadangku di depan, melainkan kakiku yang tidak bisa berlari kencang.
“Ayahmu akan baik-baik saja.” Bisikan dari belakang. Jessica mendekatkan bibirnya ke telingaku. “Jangan menoleh, aku tidak mampu melihat wajah menyebalkan mu!”
“Bagaimana kau tahu ayahku akan baik-baik saja?” Sesuai dengan perintah Jessica, aku tidak menoleh ke arah bisikannya datang.
“Orang tua ku pasti mengkhawatirkan kita. Mereka pasti mendatangi rumahmu untuk menanyakan keberadaan mu juga. Di sana ayahmu akan dijaga oleh mereka.”
Karena kami bersahabat sejak kecil, keluarga kami pun saling mengenal satu sama lain. Terlebih lagi ketika tahu aku dan Apollo diasuh oleh nani dan sering ditinggal di rumah. Tante dan om Hwang tidak keberatan untuk membagi makan malamnya bersama aku ada Apollo. Jessica lebih mirip om Hwang, mata kecil yang jika tersenyum membentuk setengah lingkaran seperti bentuk pelangi, hidung lancip dan bibirnya tipis. Om Hwang lebih sering tertawa dibandingkan Jessica. Sikapnya, mungkin lebih mirip dengan tante Hwang, sedikit jutek dan dingin, walau begitu orang-orang di dekatnya paham sekali kalau hati mereka menyerupai gulali. Berwarna merah muda, lembut, manis dan cepat sekali meleleh.
Permainan dimulai kembali. Kereta manusia ini mulai berjalan seirama dengan lagu yang kami nyanyikan. Kini, aku telah mengetahui bagaimana terowongan itu bekerja. Itu lebih cocok dipanggil alat pancung yang merebut masa depan. Setiap orang bergantian untuk melewati mesin pancung itu. Aku yakin setiap orang pun telah mempertimbangkan di mana posisi tubuh mereka ketika nyanyian terhenti. Sekiranya mainan ini lebih mudah untuk kita menyelamatkan diri, dibandingkan permainan kemarin. Namun tetap saja, kelima panca indera ku menjadi sangat peka ketika melewati terowongan kematian itu.
Nyanyian kami usai. Kereta manusia ini terhenti dan kebingungan. Mesin pancung itu tidak bergerak, padahal Kemala telah menyembunyikan tangannya dibalik punggung. Dia letakkan jauh-jauh tangannya agar tidak sejengkal pun disentuh oleh mesin pancung itu. Kami melirik Pak Darma yang berdiri agak jauh dari kami. Sinar matahari yang sampai ke wajahnya, membuat dia menyerupai matahari kedua di pagi ini. Dia tetap seperti matahari walau matanya menatap kami dengan kekosongan.
“Apakah dia selalu seperti itu? Matanya seperti kosong.” Yuuta menoleh ke belakang.
“Selain kekosongan, aku bisa melihat hal yang lain dari matanya.” Karena suaraku setengah berbisik, aku condongkan badan ku kedepan, sehingga Yuuta bisa mendengarnya.
“Hal yang lain?”
“Iya. Dari matanya aku bisa merasakan ada yang lebih dari kekejian yang dia lakukan. Itu seperti ada yang hilang dari dalam dirinya.” Mungkin Yuuta akan menganggapku gadis aneh. Aku mengatakan sesuatu yang sulit dipahami.
“Mungkin saja apa yang dia lakukan sekarang untuk mencari sesuatu hilang di dalam dirinya.” dan Yuuta pahami itu. Kita baru saja saling berbicara sejak kemarin, tapi dia dapat memahami apa yang aku maksud.
Aku mengangguk. Tidak sengaja mataku bertemu denganya. Bulu matanya panjang walau tidak lentik. Alisnya tebal dan di bagian depan menukik ke tengah, menuju batang hidung. Rambut hitamnya menutupi sebagian keningnya. Kulitnya tambah bersinar ketika harus disandingkan dengan rambut hitam yang bergelombang. Rambut Yuuta memang sedikit panjang karena ikal. Hidungnya besar menjulang, dan bibir bawahnya tebal. Ada yang menarik, dia mempunyai gigi gingsul di sisi kanan dan kiri seperti drakula. Setelah Karisma, ini kedua kalinya aku menatap wajah lawan jenis sedekat ini.
“Sampai kapan kau akan menatapku seperti itu?” drakula berbicara.
“Aku hanya sedang mencari apa yang ada di balik matamu itu.” Segera mungkin aku mengalihkan pandangan, ke udara, ke debu-debu yang tidak digubris oleh mata, ke apa saja kecuali wajah Yuuta. “Mungkin saja aku bisa menemukan sesuatu yang lain. Seperti ketika aku menemukan itu di mata Pak Darma.” Aku harap Yuuta membelinya. Aku tidak mampu mengakui bahwa aku sedang menjelajahi wajahnya tadi.
“Lalu, apa yang kau temukan?” itu seperti tantangan yang datang. Untuk menekankan bahwa itu adalah tantangan, dia mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat ke arah ku. Mata menyipit, mempertajam tatapannya.
Tentu aku kebingungan. Tadi itu bukan untuk menemukan sesuatu dari mata Yuuta. Tadi itu hanya rasa penasaran bagaimana wajahnya jika dilihat dari dekat. Lagi pula itu bukan salah ku, wajah kita berdekatan. Aku tidak memiliki pilihan untuk tidak memandangnya.
“Puding coklat.” Panik. Kalimat itu yang disodorkan oleh sel otak ku sedetik tadi dan aku setujuinya. Yuuta keheranan, mengapa kalimat puding coklat yang keluar. Bibirnya menyeringai senyuman lalu berbalik menghadap depan kembali. Dia mengolok-olok ku dengan senyumannya.
Kronos meminta kami untuk bernyanyi kembali. Meminta kereta manusia menuju kematian melaju kembali. Kronos, anak laki-laki dengan perawakan tinggi besar, berkulit kuning langsat dan bahunya tegap, kini berdiri di samping terowongan itu. Perhatiannya kini terpusat ke sekotak kendali mesin pancung itu. Tangannya menekan-nekan kombinasi tombol kembali. Dia mengubah settingan yang sudah ada?
“Siapa hendak turun?_”
Kereta kami lagi-lagi terhenti. Kini Michael yang terhempas ke belakang. Kakinya bergetar sampai tidak bisa menopang tubuhnya lagi. Pisau pancung itu hampir menyambar Michael, bahkan hampir mengenai Bara yang berbaris di depan Michel. Pisau pancung itu bertambah cepat, bukan. Pisau pancung itu dapat merenggut siapa saja tidak bergantung dengan irama nyanyian kita.
“Michael, kamu tidak apa-apa?” Kronos membantu Michel. Seolah tidak sudi dibantu oleh Kronos, Michel menarik tanganya lalu memilih untuk berdiri sendiri.
“Kalau begitu kita bisa mulai kembali permainannya.” Kata Kronos. Ini sungguh tidak baik.
Pisau pancung itu kembali tertarik ke atas terowongan mini itu. Kereta manusia pun mulai melaju kembali sesuai dengan perintah Kronos. Matanya yang bulat dan alis yang tebal tidak dipergunakan untuk mengintimidasi kami. Sama seperti hari kemarin, raut wajahnya tidak memberitahu kami apa pun. Jendela matanya lebar tetapi tidak terdapat apa pun di dalamnya. Jika diperhatikan ketiga murid itu terlihat normal, namun rasa-rasanya mereka tidak normal. Mereka anak remaja biasa, hanya saja dengan senjata di sakunya.
Aku menghitung langkah ku sampai bisa melewati terowongan itu. Dari posisi terjauh sampai berada tepat di bawah pisau pancung itu, bisa ada sekitar sepuluh langkah kaki. Aku tidak tahu dengan yang lain, mungkin jika itu kaki Yuuta, dia hanya membutuhkan delapan atau sembilan langkah saja. Kaki Yuuta lebih panjang. Tangan ku saja kesusahan untuk meraih kedua pundaknya. Sering kali tangan ku terlepas dari bahunya karena langkah kakinya terlalu lebar daripada milik ku.
Langkah demi langkah aku hitung untuk memperkirakan kapan aku harus benar-benar waspada. Pisau pancung itu nampak sangat mengkilat hujungnya. Di langkah kelima aku dapat merasakan keringat yang bercucuran di kening ku. Di langkah keempat, genggaman tangan Jessica lebih erat, memegangi bahu ku. Di langkah ketiga, langkah Yuuta semakin lebar, seolah dia ingin cepat berlari menerobos terowongan kematian itu. Di langkah kedua sebelum masuk ke dalam terowongan, indera pendengaran ku mati, dan gantinya indera penglihatan ku lebih awas, memperhatikan pisau pancung yang belum bergeming. Di langkah terakhir ku, semua perhatian ku menuju pisau pancung itu, dan tangan ku bersiap melepaskan bahu Yuuta.
Dan tidak terjadi apa-apa, aku dapat melewati pisau pancung itu dengan selamat_
“Athena awas!!”
Jessica mendorong punggung ku. Aku tersungkur setelah mendorong Yuuta. Kereta manusia ini, porak-poranda. Antara gerbongnya tidak lagi bergandengan. Lututku mendarat lebih dahulu ke lantai lapangan. Tergores sedikit, dan keluar darah dari kulit yang terbuka. Aku terduduk menghadap ke terowongan yang lebih mirip mesin pancung itu.
Tidak mempercayai apa yang aku lihat. Dua lengan berkulit putih bersih, menyemburkan darah ke angkasa. Tangan itu menggelepar-lepar di atas lantai lapangan. Darahnya mengalir ke tempat aku terduduk. Menggenang di sekitar ku. Perlahan pisau pancung itu terangkat. Belum sampai atas dan terhenti, aku sudah melihat sepatu putih Jessica yang kini memerah. Aku segera berdiri untuk benar-benar memastikan itu bukan lengan Jessica.
Terlambat. Darah dari lengannya pun, menyembur ke wajah dan rambutnya. Matanya membelalak tidak percaya, kini lengannya sudah tiada. Dia melangkah ke belakang, sambil menggelengkan kepalanya. Tidak, tidak mungkin, rintihnya terus menerus sambil melihati kedua lengannya yang terputus. Aku mencoba menghentikan darahnya dengan tangan ku. Menutupi apa yang mengalir terus menerus dari lengannya.
Semua murid berlarian menjauhi kami. Mereka tidak mampu melihat lengan Jessica yang masih bergelinjang di lantai lapangan. Jessica tidak bertahan, dia jatuh, tubuhnya tidak tertopang. Aku menangkap dan menggeletakkannya. Menopang kepalanya agar tidak berbenturan dengan bumi. “Pak Darma, tolong!”
Aku mungkin sudah gila. Meminta pertolongan dari seseorang yang juga menjadi penyebab dari semua ini. Aku tidak memiliki pilihan. Pak Darma berjalan tenang di tengah-tengah teriakkan para murid yang berhamburan. Ada beberapa dari mereka berlari menuju hutan, dan ada juga yang hanya berdiam memaku memandangi apa yang ada di tangan Thea. Mereka yang hanya mematung, ragu untuk ikut berlari menuju hutan, karena sebelumnya mereka tahu Thea menembak kepala Rama. Pak Darma menghampiri ku yang terduduk dengan kepala Jessica di pahaku. Dia berlutut. Sepatu pantofel hitamnya menginjak kubangan darah. Darah Jessica tidak berhenti mengalir dari kedua lengannya yang terputus. Wajah Jessica memucat, aku takut keberadaanya di dunia ini pun memudar. “Jangan menangis Athena.” Suaranya tenang. Ibu jarinya menyeka air mataku yang mengalir di pipi. “Jessica akan baik-baik_” “Dia tidak sedang baik-baik saja Pak! Darahnya terus keluar. Kalau begini terus dia bisa mati kehabisan darah!” Aku membent
“Ayah pergi ya nak.”Tentu aku tidak akan membiarkan itu. Ayahku berdiri di ujung jalan menuju matahari yang bentar lagi tenggelam dilahap bagian barat bumi. Jalannya sedikit licin karena banyak rumput liar dengan embun yang tersisa di untaian daunnya. Angin sore menghembus lembut ilalang. Cahaya matahari menjingga, mewarnai ilalang yang berbulu putih. Ayah tidak menoleh ke belakang setelah berpamitan. Langkahnya lunglai tapi tidak terhenti. Semakin lama punggungnya ditelan cahaya jingga, semakin jauh dari pandangan ku. Berjalan saja sudah tidak cukup, kaki ku mulai berlari mengejarnya. Sambil berteriak memanggil Ayah, aku berharap dia berubah pikiran untuk tidak pergi. Suara ku terdengar keras sampai ke bagian bumi timur namun tetap saja langkah ayahku tidak terhenti.Aku berlari dengan kaki telanjang. Menyusuri jalan setapak yang tiba-tiba b
KepadaAnak-anak ku tersayangDi rumahAnak ku sayang, Apollo dan Athena. Ayah dengar kalian tidak berhenti menangis karena Buba mati. Ini mungkin berat bagi kalian, namun sampai kapan kalian akan meratapi kepergiannya? Buba sudah membuat memori yang indah dengan kalian, kini sudah waktunya ia pergi dengan bahagia. Buba memang sudah mati, tapi memori yang bahagia itu, bisa saja terus hidup di dalam kalian. Jadi kuatkan hati kalian dengan memori bahagia dengannya.Ingat, apa pun yang kalian hadapi nanti, matahari akan terus terbit dari timur. Pagi akan menyongsong, memberitahukan dunia mu masih berputar. Jikalau kalian bersedih, menangislah sampai puas. Tapi kesedihan itu bukan akhir dari cerita di kehidupa
Hari ketiga Hallo nama ku Nadia. Aku masih di sekolah sial ini, terjebak bersama dengan guru psikopat itu. Pikiran Pak Darma yang sakit, membunuh kami berarti menyelamatkan kami. Dia berpikir apa yang sedang dia lakukan sekarang adalah menyelamatkan kami dari kutukan dunia. Aku tidak mengerti jalan pikirannya, yang ada dia lah sebuah wujud kutukan di kehidupan kami. Selama tiga hari si pangeran bunga Lili itu telah menghabisi enam teman ku. Linda, kawan karibku, menjadi yang tersadis. Aku bahkan selalu dibayang-bayangi cipratan darahnya ketika pisau pancung itu mengenai kepalanya. Mengerikan sekali. Di hari ketiga ini Pak Darma menyodorkan setitik harapan kami untuk pergi dari sekolah ini. Di permainan hari ini, kami bertanding melawan sesama dalam permainan Congklak. Setiap anak berpasangan dan yang menang akan ditandingkan lagi dengan pemenang di pasangan yang lainnya. Begitu terus sampai mendapatkan dua pemenang yang mengalahkan seisi kelas. Di sini menariknya, kedua anak itu a
Sudah jelas aku yang berada di puncak piramida ini. Yuuta kalah telak. Atau mungkin bahasanya, Yuuta mengalah. Hitungan biji yang dia kumpulkan sudah habis, sedangkan aku masih ada beberapa tersisa di genggaman ku. Mata Yuuta menyoroti ku tajam, di benaknya waktu berdetum kencang sepertinya. Bagaimana tidak, jika aku gila, aku yang akan mendorongnya dari atas piramida. “Aaaah, ini sungguh sangat membosankan.” Aku menghentikan hitungan ku. Sisa biji-biji congklak itu masih di genggaman ku. “Kata Pak Darma permainan yang disediakan akan menyenangkan. Mana ada? Aku hampir saja tertidur di pertandingan terakhir ini.”“Jadi menurutmu ini membosankan?” Pak Darma menanggapi scenario yang aku buat. “Iya, kalah maka mati, menang bisa tetap hidup, tapi bisa mati di kemudian hari. Ini monoton. Aku mulai bosan.” Kata-kata itu menggugah bisikan seisi kelas. Aku mendengar seseorang berbisik, dia sudah gila dari telinga sebelah kananku. Tenang saja kawan, bukan hanya kau yang menyangka aku sudah g
“Aku merasa semua orang memperhatikanku makan.” “Mereka memang memperhatikanmu yang kebetulan kamu sekarang lagi makan.” Suasana makan siang di kantin memang selalu senyap. Tetapi kesenyapan hari ini berbeda. Aku dilihat dari tadi, pandangan mereka menggaduhkan apa yang ada di benakku. Aku tidak terbiasa menjadi pusat perhatian seperti ini. “Memang ada yang salah dengan cara makanku?” aku mengeluarkan hipotesis. “Sudah kubilang, kebetulan kamu sedang makan sekarang.” Yuuta menarik nafas dalam, tanda tak habis pikir. “Yang salah adalah dirimu. Sebenarnya apa yang kau pikirkan Athena?” Lauk siang ini seperti biasa. Ayam goreng disertai dengan lalap dan sambal. Untuk minum kami tidak disediakan apa-apa kecuali air mineral. Nanti bisa sakit batu ginjal kata Pak Darma, mengingatkan kami untuk sering-sering minum air putih. Siang ini tidak ada dessert, biasanya jika siang tidak diberikan yang manis-manis, maka akan diganti di makan malam. Seharusnya tadi aku meminta stok es krim ju
Hari kesepuluh di sekolah sial ini. Aku masih hidup, namun kewarasanku memudar. Aku perlu menata kembali apa yang telah kulewati. Dari awal, dari di mana dirinya mulai mengukir kisah seorang gadis biasa yang bernama Nadia. Akankah cerita yang dia hidangkan di kehidupanku berakhir dengan bahagia?Hari itu cuacanya cukup cerah. Terik matahari pagi sejuk dengan angin yang sepoi-sepoi menyeruak dari sela-sela jendela kelas. Pagi itu, pangeran Lili putih datang dan memperkenalkan dirinya sebagai manusia. Pertama aku terhipnotis dengan pucat kulitnya, begitu bersih bak kelopak mahkota bunga Lili, selanjutnya aku dianugrahi mendengar lantunan suaranya yang lembut. Dia ucapkan siapa namanya. Aku hanya dengar sekali dan aku bisa bersumpah nama itu akan terukir di benakku sampai aku menghembuskan nafas terakhirku di dunia. Sesekali dia tersenyum, pangeran bunga Lili itu terhibur akan suasana kelas yang menyambutnya hangat. Guratan senyumannya halus seperti ukiran karya seni para artis di mas
Di taman bertebaran bunga-bunga, mereka semua bermekaran menatap langit yang cerah. Kelopak mereka beragam bentuk dan warna. Kelopak lebar, ia merekah sempurna namun masih menyembunyikan kepala putik dan kepala sarinya, meninggalkan kesan menarik dan misterius. Ada juga yang kelopaknya yang tidak begitu besar, warnanya putih, namun posisinya merekah, menantang matahari sehingga lebah bisa melihat jelas dimana titik letak kenikmatan dari sekuntum bunga. Begitulah pemandangan yang sedang aku nikmati sekarang. Melodi dan Yuuta tidak ada henti-hentinya saling melempar godaan demi godaan. Si lebah tidak tahu malu itu terus saja mengitari bunga yang merekah. Si bunga tidak hanya diam menunjukan kecantikannya, dia tertawa, memuji, memukul-mukul bahunya, menambah daya tarik yang dia punya. Sedangkan aku? Aku hanya menjadi rumput liar yang membosankan. Kadang dicabuti karena dianggap berkompetisi mengonsumsi unsur tanah yang sama. Dan kalau beruntung si rumput liar itu tidak dicabut, sebagai
Penemuan sebuah pulau terpencil dengan begitu banyak mayat anak remaja yang terkubur menggegerkan, bukanhanya tingkat nasional akan tetapi seluruh dunia. Wajah kami bertujuh tepampang dalam segala bentuk berita dengan berbagai macam bahasa, yang isinya sama saja: Ketujuh remaja ini berhasil selamat dari permainan mematikan yang diciptakan seorang guru maniak. Banyak yang mengira kami mengarang cerita. Mereka kira kami hanya lah sekumpulan anak remaja yang mengkonsumsi narkoba dan tidak sengaja membunuh teman sekelas karena di dalam pengaruh obat-obatan.Tentu saja Eden pasang badan dan menjelaskan dengan argument yang rapi, lengkap dengan bukti-bukti bahwa kami tidak asal mengarang cerita saja. Deon menyalahkan Eden karena terlalu membeberkan seluruh cerita tanpa filter kepada orang-orang yang asal, sehingga kalimat-kalimat ambigu bisa menjadi dasar lahirnya teori-teori konspirasi tidak masuk akal. “Kalian tahu kan, kasus ini murni kegilaan Pak Darma, tidak ada teori konspirasi yang me
Bab 36; Angin Berhembus ke RumahTerik matahari terhalang dedauan yang bertengger di tangkai-tangkai. Angin yang halus menyentuh tengkuk, kusadari ia membawa aroma bunga lili yang menarikku ke dalam malam itu. Tak ingin kuulangi bagaimana rasa di dalam hati menghadapi dirinya yang tak berhati. Tapi apakah itu terlambat? Aroma bunga lili sudah mengetuk rasa takutku sedari tadi.“Athena..” dipanggilnya namaku, suaranya lembut datang dari tenkuk.Tubuh ini membeku, berdiri, membujur kaku di balik pepohonan. Kedua lutut menggeras tak mampu bergerak, aku kepalkan kedua tanganku yang bergetar. Mata ini hanya tertuju pada satu titik yaitu gerbang sekolah. Aku tidak mendengar derap kaki mendekat. Semuanya hening hanya ada suara angin yang menggerakkan ranting dan daun. Aku yakin aku seharusnya tidak menemukan sesuatu yang mengendap-endap mendekati. Aroma bunga Lily of the valley dari semakin menguat, bunga Lily yang duluku cium dari saputangan, seolah mencekik tenggorokan. Harum sekali sampai
Pagi-pagi buta Yuuta dan Bara telah mencari batang pohon yang kokoh dan meraut di salah satu ujungnya. Kemala dan Innana menyiapkan makanan, dan sisanya mencari seresah daun kering dan ranting pohon untuk membuat api, lagi. Semuanya bekerja dalam diam, ditemani kicauan burung yang menggema dari dalam hutan.Udara dingin bekas semalam masih melayang-layang, hembusan nafas kami terlihat jelas, seperti asap, teradu dengan suhu hangat dalam tubuh. Hari keempat, hiruk-pikuk di dalam benakku bertambah empat kali dari hari sebelumnya. Bagaimana jika tidak ada jalan keluar? Bagaimana jika pulau ini tidak dilewati nelayan atau kapal apa pun itu? Bagaimana jika Pak Darma berhasil menemukan kami di sini? Apa yang harus aku lakukan jika bertemu dengan dia di sini? atau pertanyaan yang lebih mengganggu, bisakah aku membunuh Pak Darma jika bertemu kembali? Aku dikeroyok pertanyaan-pertanyaan di dalam pikiranku sendiri. Jika aku memiliki tubuh di dalam pikiranku sendiri, mungkin aku sudah babak belu
“Dia baik-baik saja kan?” “Tidak perlu khawatir, dia masih bernafas.” “Kita perlu tidak bangunkan dia?” “Jangan.” “Tapi aku ingin dia bangun. Aku ingin dia tahu di mana kita sekarang.” Terganggu dengan keributan, aku membuka kelopak mataku perlahan. Yang pertama aku sadari ternyata rembulan sudah tergantikan oleh matahari. Di hadapanku teman-teman yang kuantar kepergiannya di depan gerbang. Ada Yuuta, Kemala dan Deon. Melihat aku mulai sadarkan diri, mereka berucap sukur dan tersenyum bersamaan. Seperti biasa Kemala dengan rasa cemas yang berlebihan, seketika menyambar tubuhku yang terlentang sesudah tahu aku tersadar. “Memangnya kita di mana?” kepalaku masih pening tidak bisa mengingat jelas apa yang terjadi semalam. “Kita ada di pesisir pantai. Tenang saja, kita sudah aman di sini.” timpal Deon, semeringah senyumannya. Aku sendiri masih kebingungan, bagaimana aku bisa kembali bersama mereka, sedangkan terakhir kali ingatanku, aku sedang menodongkan moncong senjata ke kep
Manusia memang bisa memilih bagaimana caranya hidup. Melalui kehidupan dengan mengemban kehormatankah? Atau ternyata sebaliknya. Hidup dengan tidak ada penyesalan adalah keberanian yang naif. Namun hidup penuh dengan rasa penyesalan adalah si pecundang yang tak tahu berterima kasih. Menariknya bagi manusia, dia bisa memilih bagaimana caranya hidup namun tidak dengan kematian. Manusia terbiasa lupa dengan kematian, dia tidak memikirkan itu sebelum tidur. Manusia terlalu berani, yang dia pikirkan sepanjang waktu bisa dipastikan mengenai hirup pikuk kehidupan. Mau makan apa ya sehabis ini? Apakah aku bisa mengejar mimpiku? Apakah aku di jalan yang tepat? Kira-kira aku akan punya anak berapa ya? dan lainnya. Lucunya, ketika manusia disibukan dengan sandang pangan papan dan hiburan dalam kehidupan, kematian sudah menantinya di suatu waktu. Memandangi jiwa mereka sambil cekikikan karena tergelitik, lihat betapa bodohnya para manusia, mereka kira mereka hidup selamanya. Kurang lebih begitu
Dalam permainan, demi meraih kemenangan, terkadang kau harus mengorbankan ratumu sendiri. Aku tidak ada henti-hentinya memandangi gemerlap langit bertabur bintang. Menikmati sisa malam, atau mungkin bisa dibilang sisa nafas yang kumiliki. Bulan sudah bergeser dari atas langit ke arah barat, bertanda sedikit lagi malam akan terganti fajar. Bintang-bintang gemerlap meramaikan suasana antara aku dan Pak Darma. Dalam sunyinya malam, di tengah hutan, aku tidak pernah menyadari bahwa malam di bumi begitu menawan. Dalam senyap kami mempersiapkan tarian penutup. Pak Darma menyalakan sepasang lampu tembak yang terletak di sekeliling lapangan basket sebagai sumber cahaya di sekolah. Aku menggeret satu meja dan disusul sepasang kursi untuk kita bermain di tengah lapangan. Air bekas hujan yang tercampur darah segar masih menggenang. Suasananya seperti aku membawa alat pancung ke pemakamanku sendiri. Bau amis semerbak menelilingi kami berdua. Setelah semuanya tertata, kami duduk bersebrangan,
Bunga lili air yang mekar di malam hari. Dinikmati keindahannya, bunga lili air bermahkotakan sinar rembulan dan gemerlap sejuta bintang, semerbak aroma terselimuti udara dingin tengah malam. Dia mekar di hadapanku, maksud hati ingin aku tetap di sisinya, menemani di dalam kastil sunyi, beraroma amis darah, tulang belulang melapuk di bawah tanah. Bunga lili air begitu menawan jika ditangkap oleh dua pasang mata berserta hati. Menawan, siapa pun yang akan pergi meninggalkannya, berpikir dua kali. Harus kah aku pergi? Haruskah aku meninggalkannya? Apa yang akan terjadi jika aku meninggalkannya di sini? Kedua pasang mata berserta hatinya, terhipnotis, larut dalam pelukan dingin bunga lili air. Pertimbangan demi pertimbangan. Pikiran yang berjajar menunggu untuk diuji kelayakkannya untuk dipertimbangkan. Semuanya seakan mengeroyok, membebani langkah ini yang seharusnya menuntun aku ke udara bebas, di luar istanahnya. Bisakah aku mengakhiri semua seperti ini? Akhirnya kita bisa berkum
“Bayu..bayuski bayu.. don’t lie by the corner… or a grey wolf will come.. and grab you by your side…” Pak Darma mulai kehilangan akal sehat, dia bersenandung di tengah lingkaran penjara kami. Dia menyadari tidak ada yang bisa dia lakukan. Dia telah terjebak di dalam perangkap buatan kami. Peraturan permainan tidak boleh dilanggar. Menara genteng yang menumpuk harus terus menjulang, syarat untuk Pak Darma keluar dari lingkarannya. Bara menjalankan tugasnya dengan baik. Si penjaga itu lumpuh di dalam lingkaran, menara genteng yang dia tumpuk seratus kali, seratus kali pun runtuh tertimpa lemparan Bara yang mematikan. Bongkahan genteng hancur berkeping-keping, hingga mustahil bagi si penjaga menumpuknya kembali. “He will grab you by the side…and drag you to the forest…drag you to the forest…to the broom bush..do not come to us, wolf … do not wake up our Masha Bayu bayushki bayu…” Mengapa aku bilang lingkaran itu adalah jebakan yang sempurna bagi Pak Darma. Janji adalah janji. Monster
Jika kau jadi Pak Darma, di mana kau akan bersembunyi? Ayo Athena berpikir! Berpikir! Entah datang dari mana, sekelebat memori bermain petak umpet bersama ayah terulang di dalam benak. Kala itu hari terakhir jatah Ayah pulang ke rumah. Kami menghabiskan waktu tidak di mana-mana melainkan di halaman belakang. Apollo dan aku selalu kebosanan jika harus bermain petak umpet hanya berdua. Namun di hari itu tidak lagi, ayah bergabung sebagai yang ketiga. Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambutku yang dikuncir dua bak boneka Dakocan. Jemari kaki kecil menapak rumput hijau, sebagian aku injak, sebagian yang lainnya lolos dan berdiri, menggelitik sela-sela jari kaki. Ada pohon mangga di halaman belakang, dan batangnya biasa menjadi bagian permainan petak umpet. Apollo kedapatan berjaga pertama, dia pun menghitung dari satu sampai sepuluh. Dia bilang angka sepuluh sudah banyak karena sepuluh lebih dari satu. Seketika Apollo menutup mata dan di hitungan satu, kaki mungilku berhamburan mencari t