Yudha terus melangkahkan kaki, beberapa kali ia tampak asyik mengobrol baik dengan Ahmad atau beberapa teman baru yang mereka dapatkan ketika di pos 1. Hati Yudha entah mengapa terasa begitu tenang semenjak ia mulai terbiasa terus melangkah menaiki jalur pendakian tidak peduli sebenarnya ini adalah kali pertama Yudha melakukan kegiatan se ekstrim ini.
Tidak ada telepon yang menganggu, tidak ada operasi yang terkadang membuat saraf otaknya tegang ... Yudha seperti berada di dunia lain yang begitu menenangkan jiwanya.Mereka sudah hampir sampai!Kata Ahmad, Sendang Drajat sudah tinggal di depan. Sendang atau mata air yang banyak orang percaya dapat mengabulkan semua keinginan, memberikan mukjizat bagi siapapun yang meminum airnya. Air yang meskipun terus menerus diambil, tetapi tidak pernah kering bahkan di musim kemarau.Ada lagi danau gunung di kawah tua menjelang pos terakhir menuju puncak. Konon siapapun yang mandi berendam di tempat ini dan"Ketika kita hiking, kita bakalan dapat teman baru di sepanjang perjalanan, Yud. Sama dengan berkeluarga, kamu akan dapat keluarga baru dari pihak istri. Tugas kalian tentu membuat mereka tetap harus kompak apapun perbedaan dan apapun yg terjadi. Kalau naik gunung, semua harus kompak demi bisa sampai di puncak. Kalau orang berumah tangga, semua demi hidup damai dan bahagia. Penting itu, Yud."Yudha kembali menyimak dengan serius, agaknya wejangan dari papa Karina tidak bisa dilewatkan dan diabaikan begitu saja. "Orang naik gunung itu harus dengan hati yang yakin, Yud! Sama seperti kuat mental tadi, kalau dia sendiri tidak yakin, maka sampai kapanpun mereka tidak akan bisa sampai pucak. Begitu pula dengan menikah, harus dengan hati yang yakin, tidak hanya setengah hati."Ahmad kembali menoleh, membuat Yudha pun balas menoleh dan menatap mata bersorot terduh itu. Bisa Yudha rasakan, aura positif menguar begitu kuat dari diri Ahmad. Sungguh sosok yang begitu luar biasa me
Yudha dan Ahmad sudah kembali turun, mereka duduk di salah satu kedai kopi yang ada di sepanjang jalan. Sudah pukul dua siang sekarang. Dan hari ini hari terkahir Yudha libur! Astaga, besok pagi juga ia sudah harus kembali mengajar, masuk OK dan lain sebagainya. Tapi tidak masalah, demi Karina, bukan? "Yud, kamu nggak usah anter papa ke bandara. Sudah ada travel. Kamu pulang dan istirahat saja."Memang. Sejak obrolan serius mereka di puncak setinggi 3265 mdpl itu, Ahmad menolak dipanggil 'Prof' oleh Yudha, dia meminta Yudha memanggilnya dengan panggilan 'papa'! Membuat Yudha benar-benar tersanjung dan merasa tersentuh oleh hal kecil yang Ahmad minta padanya."Tapi, Pa ... Mobil Yudha masih di bandara juga." Yudha tertawa kecil, dua tangannya menggenggam cangkir berisi kopi hangat. "Oh begitu? Baiklah kalo gitu ikut Papa sampai bandara." Ahmad ikut tertawa, nampak lelaki paruh baya itu begitu menikmati secangkir kopi miliknya ditemani dengan hawa
"Terima kasih!"Tepuk tangan meriah itu menggema begitu Karina menutup pidatonya. Dia diberi kehormatan untuk mengucapkan sepatah dua patah kata di prosesi wisuda Sarjana Kedokteran-nya sebagai lulusan terbaik tahun ini. Mata Karina berkaca-kaca, menatap semua teman-teman seperjuangannya dan tentu saja para dosen serta mama-papanya yang turut hadir hari ini.Tiga setengah tahun mereka berjuang dan hari ini, perjuangan mereka masuk dalam babak baru. Tanggung jawab baru dan tentu saja kerumitan yang baru.Siapa bilang wisuda adalah akhir dari proses belajar? Bagi fakultas lain, mungkin iya. Tetapi bagi para anak-anak FK, para calon dokter, wisuda adalah awal perjuangan mereka menjadi penyelamat sesama.Karina melangkah turun dari podium, kembali ke tempatnya duduk untuk lanjut ke prosesi selanjutnya. Prosesi sakral pemindahan kuncir toga sebagai tanda bahwa dia dan teman-teman seperjuangannya sudah sah dan resmi menyandang gelar Sarjana Kedokteran.
Yudha merebahkan tubuh di atas ranjang. Dia sudah kembali ke rumah setelah acara makan malam bersama Karina dan kedua orang tua Karina selesai.Yudha menatap langit-langit kamarnya. Membayangkan obrolan demi obrolannya bersama Karina ketika mereka hanya berdua saja di mobil.Sebegitu kuat keinginan Karina agar Yudha tidak menyentuhnya. Tidak peduli status mereka nantinya adalah sepasang suami-istri. Apakah sebegitu tidak sukanya Karina pada Yudha? Jadi dia tetap kekeuh nanti minta cerai dari Yudha sesuai kesepakatan?Yudha mendesah panjang, hatinya pedih mengingat jujur ia sudah jatuh hati pada Karina dan jangan lupakan segala macam harapan dan janji Yudha yang dia ucapkan pada Ahamd ketika duduk di puncak Hargo Dumilah dulu."Rin ... kalau aku aja mulai suka sama kamu, kenapa kamu masih begitu kesal dan benci sama aku, Rin?" Yudha bergumam sendiri, berharap Karina bisa mendengar ucapannya ini, ya walaupun mustahil Karina bisa mendengarnya.
“HEI!”Heni buru-buru menghampiri Karina yang sudah naik ke jendela kamar, ditariknya gadis itu hingga tubuhnya terhuyung hampir jatuh. Heni membelalakkan mata, menatap Karina dengan sorot mata tajam. Malam ini ada pengajian di rumah Karina, salah satu rentetan prosesi untuk pernikahan Karina esok. Dan gadis ini tertangkap matanyanya hendak melarikan diri dari jendela kamar? Lelucon apa yang hendak Karina buat?“Please, Rin ... jangan macem-macem!” hardik Heni yang lantas menutup dan mengunci jendela kamar Karina rapat-rapat.“Ayolah, Hen ... aku Cuma lagi berusaha menyelamatkan hidup nih!” Karina memohon, nampak wajah itu memelas, tetapi Heni tidak peduli.“Menyelamatkan hidup? Dan kau ingin mempermalukan keluargamu besok pagi itu?” Heni nampak tidak terima. “Please, Rin! Bukan hanya dekan, rektor kita pun bakalan hadir dipesta pernikahan kamu dan kamu sekarang malah mau kabur?” Heni masih melot
Bayangn di cermin itu tidak mau berubah. Karina masih tertegun setengah tidak percaya dengan cermin yang ada di hadapannya ini. Wajahnya sudah berubah total. Dia sampai tidak bisa mengenali dirinya sendiri. Benar itu dia? Bau bunga melati pun semerbak memenuhi ruangan, bau yang dulu kesannya angker bagi Karina, kini terasa begitu menenangkan dan sangat enak untuk di cium.“Nah, selesai!” desis penata rias ketika berhasil menancapkan mentul terakhir di sanggul Karina, nampak senyum itu begitu lepas dan nampak puas, membuat Karina ikut tersenyum begitu manis.“Aduh ... duh ... Nyonya Yudha cantik banget!” Heni yang sudah siap dengan kebaya dengan warna dusty pink mendadak muncul dan berdiri di belakang Karina, menatap Karina dari pantulan cermin dan ikut tersenyum lebar.“Please, jangan mulai, Hen!” desis Karina sambil membelalakkan mata.Tawa Heni pecah, ia buru-buru merogoh tas guna mengambil ponsel. Membuat Karina lant
"Saya terima nikah dan kawinnya Karina Destinna Pertiwi binti Ahmad Suwardi dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"Karina mengigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat, berusaha agar tidak terisak karena untuk saat ini pun matanya sudah begitu perih tidak terkira. Kenapa Bujang Lapuk itu bisa selugas dan selancar itu menjawab qobul? Ayahnya sendiri yang menjadi wali, mengucap ijab yang lantas dijawab oleh Yudha dengan sedemikian tegas dan lugas. Banyak orang penting duduk di sekeliling mereka dan menjadi saksi pada acara sakral dan suci mereka hari ini. Rektor universitas, dekan Fakultas Kedokteran, direktur utama RS tempat Yudha dinas dan masih banyak guru besar lainnya yang rela datang untuk acara penting Karina hari ini. Benar kata Heni! Kalau semalam Karina jadi kabur, entah bagaimana malunya keluarga besar Karina nanti. Untungnya Karina masih berpikiran jernih dan membatalkan rencana gila itu. Dia masih waras dan tidak tega menyakiti hati kedua orang tuanya. Meskip
Karina sontak menutup mulutnya, nampak ia melirik ke sekeliling dimana atensi para tamu undangan berpindah ke arah meja mereka. Mereka menatap Karina dan Yudha sesaat, lalu dengan senyum penuh arti beberapa orang tampak berbisik sambil senyam-senyum, membuat Yudha reflek menepuk jidatnya dengan gemas. "Bisa nggak sih pelanin suara kamu, Rin? Pada liatin kita nih!" Bisik Yudha gemas. "Ya kan bukan salah saya! Salah Dokter kenapa tadi Do--.""Woy!! Cie pasangan penganten baru udah teriak-teriak aja pagi-pagi! Baru juga sah, Rin!"Karina melotot ketika Kelvin menepuk pundaknya keras-keras. Bukan hanya tepukannya yang keras, tetapi juga suara Kelvin menggelegar, kembali menyita perhatian para tamu undangan yang hadir. Ia buru-buru menimpuk Kelvin keras-keras, tak lupa cubitan maut Karina mendarat di lengan Kelvin sampai kakak nomor dua Karina itu menjerit kesakitan. "Parah, dari dulu kenapa nggak ilang sih hobi nyubitnya? Heran aku!" Gerut
Yudha tersenyum melihat pemandangan di depannya itu. Kalau saja tidak ada ibu dan mertuanya di sini, mungkin Yudha sudah sesegukan menangis. Bagaimana tidak? Yudha tidak pernah berpikir kalau kemudian dia bisa sampai pada tahap ini, tahap di mana dia akhirnya bisa menyandang dua gelar yang dulu sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya.Jadi suami dan seorang ayah!Ternyata rasanya sebahagia ini! Begitu bahagia sampai-sampai Yudha tidak bisa mengungkapkan kebahagiaannya dengan kata-kata.Yudha melangkah mendekat, menatap dengan saksama bagaimana manisnya Arjuna yang tengah menyusu pada ibunya."Hai, Jun ... ketahuilah, yang kau nikmati itu dulu jatah ayahmu." bisik Yudha yang langsung dapat sebuah tabokan dari Karina.Yudha terkekeh, dikecupnya puncak kepala Juna dengan penuh kasih sayang. Lalu tidak lupa puncak kepala Karina. Yudha mencintai dan mengasihi keduanya, bukan hanya salah satu saja."Kapan boleh pulang, Mas?" tanya Karina setelah Yudha duduk di kursi yang ada di sam
"Ini bagus!" Brian menunjuk setelan piyama lengan panjang merek ternama dengan warna biru dan motif roket yang ada di tangan Heni. Mereka berdua tengah sibuk memilih perintilan perbayian untuk isi parcel hadiah lahiran dari Heni untuk Karina. Operasi berjalan lancar. Bayi laki-laki dengan BBL 3700 gram itu lahir tanpa kurang suatu apapun. Sehat, lengkap, normal dan lahir dengan penuh cinta. Karina sudah mengirimkan foto Arjuna Putra Yudhistira, nama anak Karina yang menurut Heni sedikit rancu dan bisa mengacaukan cerita pewayangan. Bagaimana tidak? Dalam kisah pewayangan, bapak dari Arjuna itu Prabu Pandudewanata! Bukan Yudhistira! Yudhistira itu saudara laki-laki Arjuna, bukan bapaknya! Tapi mau protes pun sia-sia. Sudah Heni lancarkan protes itu dan kau tahu apa jawaban Karina? "Ya itu kan Arjuna di cerita wayang, ini Arjuna versi aku sama Mas Yudha. Jadi ya jangan di samakan!"Begitulah pembelaan dari Dewi Karina, ibu dari Arjuna versinya sendiri dan Prabu Yudha Anggara Yudhist
Yudha berlari dengan sedikit tergesa begitu selesai menerima telepon dari Anwar. Kebetulan sekali, jadwal operasinya mundur terdesak cito operasi pasien kecelakaan yang langsung ditangani oleh spesialis bedah saraf. Jadi tanpa membuang banyak waktu Yudha segera meluncur ke VK, tempat di mana istrinya sekarang berada. Keringat sebesar biji jagung sudah membasahi wajah Yudha. Ia begitu panik dan khawatir. Bukan apa-apa, hanya saja pemeriksaan yang terakhir sedikit mengkhawatirkan. Posisi kepala janin memang sudah di bawah, yang jadi masalah tentu adalah kepala janin yang tidak mau turun ke panggul! Padahal, saat mendekati HPL harusnya posisi kepala janin sudah dibawah dan masuk ke panggul. Tapi tidak dengan jagoan Yudha. Hal yang membuat jantung Yudha takikardia karena kalau sampai kontraksi dan lain-lain lantas tidak bisa membuat kepala janin masuk panggul, tentu sudah tahu opsi apa yang harus Karina ambil, bukan? "Gimana, War?" Tanya Yudha begitu sampai di VK. Napasnya terengah-eng
"Udah sering konpal, Rin?"Heni melirik Karina yang duduk di kursi, ia trenyuh melihat perut membukit Karina yang terkadang menjadi alasan Karina sedikit kesusahan bergerak. "Dikit, kenapa?" Karina menoleh, nampak tersenyum simpul menatap Heni yang memperhatikan dirinya dari tempat Heni duduk. "Gimana rasanya, Rin? Aku lihat kayaknya kamu bahagia banget gitu." Heni menopang dagu, masih memperhatikan Karina yang sibuk mengelus perut membukitnya.Karina menatap Heni, senyumnya merekah ikut menopang dagu dan membalas tatapan kepo Heni yang tersorot sejak tadi. "Mau tau? Yakin?" Goda Karina sambil menaikkan kedua alis. Heni mencebik, ia mengangkat wajahnya, menegakkan kepala sambil mengerucutkan bibir. Ia tahu kemana arah bicara Karina, tahu apa yang akan dikatakan Karina perihal jawaban dari pertanyaan yang tadi ia lontarkan kepada Karina. "Nggak jadi kepo deh!" Heni melipat dua tangannya di dada. Pandangannya lurus ke depan, menatap pintu IGD yang tertutup dan sama sekali tidak ter
"Nah kelihatan sekarang, Yud!" Teriak Anwar yang hampir membuat Yudha melonjak. Yudha menyipitkan mata, menatap layar monitor guna melihat apa yang terpampang di sana. Sedetik kemudian senyum Yudha melebar, nampak matanya berbinar bahagia. "Jangan kau ajari baku hantam, Yud! Cukup bapaknya yang bar-bar, anaknya jangan!" Gumam Anwar sambil melirik Yudha yang masih tersenyum lebar. "Iya tuh, Dok! Takut saya diajarin macam-macam sama bapaknya nanti!" Gumam Karina yang nampak speechless dengan mata berkaca-kaca. Akhirnya kelihatan juga! Setelah beberapa kali Yudha junior itu enggan menunjukkan bagian paling sensitif miliknya, kini terlihat begitu jelas di layar monitor! Laki-laki! Anak mereka laki-laki! Sesuai dengan harapan Yudha yang ingin anak pertama lelaki. Supaya bisa membantu Yudha menjaga adik perempuan dia nantinya!"Yang jelas nggak bakalan diajarin main cewek, Rin. Aku jamin itu! Bapaknya aja kuper, nggak jago deketin cewek!" Ledek Anwar yang spontan membuat Yudha meliri
Minggu ini rumah Yudha begitu sepi. Mbok Dar izin pulang kampung. Jadilah hanya Yudha dan Karina yang ada di rumah. Semoga di hari minggu ini mereka bisa lebih tenang. Tidak ada oncall atau cito atau apapun lah itu! Yudha tengah duduk santai bersandar di sofa lantai bawah ketika Karina muncul dan langsung duduk, melingkarkan kedua tangan ke tubuh Yudha dan memeluknya erat-erat. Yudha tersenyum, sudah tidak kaget lagi dia kalau Karina seperti ini. Bukankah istrinya ini memang manja? Terlebih ketika kemudian positif hamil. "Hari ini mau kemana? Pengen ngapain?" Tanya Yudha sambil mengelus-elus puncak kepala Karina. "Nggak pengen kemana-mana. Pengen kelon aja seharian." Jawabnya singkat dengan kepala bersandar di dada.Yudha terkekeh. Semenjak hamil, bisa Yudha rasakan kalau Karina begitu berbeda. Bahkan untuk urusan 'orang dewasa', Karina lebih on dari biasa. Padahal Yudha harus hati-hati betul agar anak mereka tidak kenapa-kenapa, eh malah ibunya yang terkadang terlalu 'liar' dan b
Karina dengan melangkah dengan sedikit susah payah ketika sosok itu tiba-tiba muncul dan berdiri di hadapan Karina. Sejenak Karina tertegun, namun langkah Tasya yang mantab yang jelas mendekatinya membuat Karina segera sadar dari rasa terkejutnya. Menantikan apa yang hendak Tasya katakan atau sampaikan kepadanya. "Selamat pagi, Dok!" Sapa Karina begitu Tasya sudah berdiri tepat di hadapannya. "Jangan sekaku itu sama saya, Rin. Santai saja." Gumam Tasya sambil tersenyum. Kini Karina terkejut, pasti Tasya punya sesuatu hal yang penting sampai-sampai dia menemui Karina seperti ini. Tapi apa? Apakah ada hubungannya dengan suaminya? Atau malah dengan Dinda? "Rin ...." Panggil suara itu ketika Karina hanya membisu. "Iya, Dok?" Alis Karina berkerut, fix! Tasya ada perlu dengan dirinya kalau begini! "Saya tadi ketemu suami kamu, mau minta tolong tapi dia bilang saya harus ketemu dan ngomong langsung ke kamu, Rin." Ujarnya lirih. Mata Karina membelalak, Tasya menemui suaminya? Untuk apa
"Yud!"Itu suara Andreas, Yudha menghela napas panjang. Kenapa lagi dokter anestesi itu? Suka banget sih menganggu Yudha? Heran! Yudha memperlambat langkahnya, nampak Andreas terengah-engah melangkah di sisinya. Yudha hanya melirik sekilas, apa lagi yang hendak dia bicarakan? Mengajak ghibah lagi? Atau apa? "Kenapa?" Tanya Yudha yang terus melangkahkan kaki. "Itu mantanmu si blackpink itu, dia mengundurkan diri, Yud!" Gumam Andreas dengan sangat serius. Alis Yudha terangkat. Benarkah? Tasya mengundurkan diri? Jadi dia sudah tidak lagi bekerja di rumah sakit ini? Alhamdulillah, kenapa rasanya hati Yudha begitu lega? Itu artinya dia tidak perlu was-was dan Karina bisa tenang di masa kehamilannya! "Oh ya? Serius? Aku seneng dengernya, And!" Desis Yudha dengan senyum lebar. "Ah kamu!" Andreas mencebik. "Nggak ada yang bening-bening lagi, Yud!" Desis Andreas lemas. Yudha terbahak, bening? Andreas tidak tahu saja bagaimana wujud Tasya dulu. Ketika dia dan Tasya masih sama-sama berjua
Sebulan kemudian ... "Rin! Ayolah!" Yudha menarik tangan Karina, berharap sang istri yang masih terbaring di atas ranjang mau bangkit dan turun dari kasur. Karina melepaskan tangan Yudha, menggeleng dengan mantab tanpa berniat bangun dari posisi rebahan asyiknya hari itu. Yudha menghela napas panjang, ia menggeleng perlahan, sangat gemas setengah mati dengan istrinya ini. Perut Karina sudah mulai menyembul. Terlihat menggemaskan sekali di mata Yudha. Membuat Yudha rasanya ingin terus mengelus lembut perut itu kapanpun. Masalahnya cuma satu! Semenjak hamil, Karina jadi malas banget buat mandi! Dia selalu muntah parah tiap mencium aroma sabun. Semua merek dan jenis sabun sudah Yudha beli, hasilnya nihil! Bahkan sabun yang satu itu, sabun yang biasanya digunakan anak-anak untuk membersihkan cadaver juga Yudha belikan saking gemas bagaimana caranya supaya Karina mau mandi. Dan hasilnya, sama sekali tidak membuat Karina lantas mau membersihkan diri. "Sayang, mandi gih! Apa mau ke spa?