Plak!
Wajah tampan Zayn ditampar Natalie. "Jangan karena aku pernah melakukan kebodohan, kamu menganggapku wanita murahan begitu?" lantang Natalie sambil membuka pintu kamar mandi dan dengan tergesa-gesa ke luar rumah sakit dari pintu belakang.
Zayn langsung mengejar Natalie. "Nat, jangan salah sangka dulu, aku tidak pernah berpikiran kalau kamu adalah wanita seperti itu, aku mencintaimu!" teriak Zayn sambil berusaha membuka pintu taksi yang di dalamnya sudah ada Natalie.
"Pak, Pak...buka Pak, dia kekasihku," tutur Zayn pada sopir taksi.
Pak sopir yang melihat wajah dokter Zayn yang lugu dan sopan pun, dia segera membuka pintu taksi. Zayn duduk persis bersebelahan dengan sopir.
"Ayo Pak, kita pergi ke pantai selatan!" titah Zayn sambil membetulkan kacamatanya lalu menoleh pada Natalie yang cemberut di belakang.***
Ann dan Juan ke luar dari gedung penerjemah. "Jadi karyaku ini diterjemahkan dalam berbagai bahasa?" tanya Ann dengan
Ann berjalan pelan di samping sekolahnya yang di sana ada pepohonan hijau rindang, ditambah lagi angin sepoi-sepoi Jerman membuat dirinya tidak merasakan kelelahan.TIN! TIN!Tiba-tiba suara klakson mobil membuat Ann menoleh. "Ish! Mau apalagi ini orang?" ucapnya yang hampir terdengar oleh Juan si pemberi klakson tepat di sebelahnya."Cepat masuk! Janji ke musium waktu itu belum terlaksana!" ujarnya sambil mengeluarkan tangannya bermaksud hendak meraih tangan Ann.Ann terdiam sesaat memperhatikan Juan yang semakin ke sini semakin membuatnya naik darah."Ayo, sekalian aku temankan caranya mengambil uang dari ATM!" goda Juan yang merasa tidak habis pikir kenapa Ann masih saja menyimpan uang hasil penjualan buku dan tidak menggunakan untuk keperluannya.Ann mendecih. Lalu masuk ke dalam mobil sambil berbicara ketus, "Ayo! Temani aku apa yang kamu tuduhkan itu!"Mereka pun langsung pergi ke dalam pusat perbelanjaan mewah. Juan melirik pad
Natalie hanya terdiam mendengar penjelasan dari Zayn. Akankah Natalie membuka hatinya pada Zayn? Semoga saja. *** "Adrian Louis, tunggu!" Alvine berteriak pada Adrian yang hendak masuk ke dalam mobil bersama Liza. Saat bersamaan Reina turun dari taksi untuk menuju ke gedung pengadilan agama yang letaknya berdekatan dengan kantor polisi. Pandangan Reina pun tertuju pada Adrian dan Bibinya Liza. "Mereka sedang apa di sana?" ucap Reina pada dirinya sambil memberikan uang ke sopir taksi. Reina berjalan ke arah mereka bertiga bermaksud untuk menyapanya, karena di sana nampak seperti sedang membicarakan hal penting. "Reina?" sapa Alvine sambil menyimpulkan senyuman tipis. "Apa kabar, Paman?" sahut Reina sopan kalaupun Alvine sudah bukan suami dari Bibinya. Alvine menjawab pertanyaan tersebut dengan pelan, "Baik, Rei!" Mata Reina menoleh pada Liza yang melengos padanya. Lalu dia pun pamit dan langsung berjalan
Carine pun akhirnya pergi ke rumah Pak menteri, bertujuan hanya untuk mengancam dirinya di depan istrinya. Rumah mewah berpagar beton dengan dua sekuriti di depannya, membuat Carine harus dengan strategi masuk ke dalamnya. Sebelumnya dia membuka kaca spion depan dan memoles wajah pucatnya dengan sedikit make up, tak lupa dia pun menyisir rambutnya. Begitu mobil sudah ada di depan pos penjaga, di sana ada sekuriti yang mengetuk jendela mobil. "Anda siapa? Mau apa?" tanyanya sambil menegaskan pandangannya. Carine membuka jendela mobil, dia tersenyum manis dan menyender santai pada jok mobilnya, "Aku teman Nyonya Cristin istri dari Pak menteri untuk berdiskusi bisnis berlian dan bitcoin, kita sudah janjian." Jawab Carine penuh percaya diri. Baru saja sekuriti hendak menelpon ke dalam, Carine langsung menunjukan handphonenya yang sedang ditelpon oleh Cristin. "Ini, Nyonyamu sudah menelpon!"Sekuriti pun memeriksa penggilan tersebut dan melihat profile
-Flashback on- Carine yang sedang sibuk dengan segala aktivitas mengajar, menjadi dekan dan mengurus yayasannya. Tiba-tiba harus menginap di hotel karena kemalaman. Baru saja dia hendak menempelkan card pada sensor pintu digital kamarnya. Dia mendengar suara gaduh di dalam kamar sebelah dengan pintu yang sepertinya lupa ditutup penghuninya. Carine mengendap-endap lalu merekam kejadian yang panas itu tanpa si pemain mengetahuinya. "Mau punya istri cantik, berkelas dan kaya! Kalau tukang selingkuh ya selingkuh saja!" ucap Carine menyimpan video tersebut. Ucapan Carine terdengar oleh mereka yang di atas tempat tidur tiada lain adalah Raymond dan wanita belia. "Hey! Kamu siapa?" kejut Raymond sambil menyudahi adegan itu. Carine mengunyah permen karet sambil sedikit mengeringaikan senyuman. "Kamu lupa aku?" tanya Carine sambil membalikan badannya bermaksud untuk meninggalkan mereka. "Kamu cepat pergi! Nanti aku transfer upahmu ke rekeningmu
Renata yang sekarang berusia lima tahun sedang berbicara pada Ann ditemani Lana. "Kak, kapan mau ajak Lana pulang ke rumah?" tanya sendu Renata sambil menatap wajah kakaknya yang ada di dalam layar handphone. "Kak Ann, betulkah ibu sudah meninggal dan yang membunuh ayah?" lagi-lagi Renata bertanya dan itu membuat Ann menahan tangis. Juan langsung mengambil handpone dan berbicara jelas tapi lemah lembut pada Renata, "Hey adik kecil...kamu sekolah dan bermainlah dengan Bibi Lana sekarang. Jangan memikirkan ibu dan ayah, mereka sekarang sedang tidak mau dibicarakan,okey?" Mata Juan pada Lana, Lana pun seolah mengerti dan langsung mematikan video callnya. Namun Renata masih penasaran dengan pembicaraan anak-anak penghuni asrama yang memberitahukan kalau ayahnya dipenjara karena membunuh ibunya. "Bi, kita temui ayah di penjara? Besok? Biar Rena tanya ayah kenapa membunuh ibu?" pertanyaan anak usia lima tahun membuat Lana menggertak, "Anak kecil itu tidak harus
Alice jatuh hingga membuat kepalanya agak sedikit luka dan mengeluarkan darah, itu membuat Rita ibunya panik, "Sayang... kamu baik-baik saja kan?" "Aduh..." ringis Alice sambil memegang kepalanya. Rita langsung memapah Alice masuk ke dalam mobilnya, lalu membawanya ke rumah sakit. Saat bersamaan dia pun meminta report penganiayaan. "Kamu betul-betul mau melakukan tuduhan ini pada Ann?" Rita meyakinkan anaknya. Semua hanya karena Alice cemburu, dia pun ingin membuat Ann pergi dari Jerman agar dirinya leluasa tanpa saingan untuk mendapatkan hati Juan. Report penganiayaan sudah masuk ke dalam kepolisian, dan ditindaklanjuti dengan cepat. "Kita harus pergi ke dalam asrama putri sekolah SMA ANN, untuk minta pertanggungjawaban atas penganiayaan yang dilakukan anak ini!" tegas Pak Polisi yang menangani pada rekannya. "Tapi apa iya Ann ini melakukan seperti yang kalian tuduhkan?" sambungnya sangsi sambil menatap tegas pada wajah Rita dan Alice
Tessa segera menyuruh yang ada di ruang agar kembali ke kamar masing-masing. Setelahnya dia pun berbicara agar Ann tenang, "Ibu akan temani kamu besok! Kalau kamu tidak melakukannya jangan panik! Okey?"Ann mengangguk dan menyimpulkan senyuman tipis, lalu masuk ke dalam kamarnya ditemani Sylvie. "Alice itu bukannya teman kamu masa di kampung, Ann?" tanyanya sambil memutar knop pintu. "Sepertinya dia menyukai Juan, tapi Juan itu menyukaimu, Ann!" tambah Sylvie memberitahu.Ann hanya merespond dengan datar, "Jangan terlalu banyak menebak, Alice suka sama Juan! Hanya Juan ini laki-laki dingin, dia tidak tahu caranya mengungkapkan cinta!"Sylvie hanya berbicara dalam hatinya, 'Aku berharap kamu akan tetap polos sampai cita-citamu tergapai Ann! Dan itu lebih baik untukmu!'Mereka masuk lalu naik ke atas tempat tidur masing-masing dan akhirnya tertidur pulas hingga pagi.Pukul 05:25 Ann sudah ada di halaman belakang asrama, seperti kebiasaannya berlari-l
Tidak membuang kesempatan Jacob langsung menghampiri Cristin yang sudah siap ditempur. Baru saja Jacob hendak memerankan aksinya, pintu kamar sudah ada yang menggebrak. Seketika mereka pun saling memandang dan cepat sekali membetulkan pakaiannya. Brak! Pintu terdobrak. "Cristin? Kamu?" Raymond membentak sambil masuk ke dalam, kemudian dia pun menarik tangan Cristin lalu mengajaknya ke luar kamar dan hotel. Plak! Plak! Raymond menampar pipi mulus Cristin tepat di parkiran yang ada di basement. "Kamu!" Raymond menahan emosinya. Sedangkan Cristin melihat kemarahan suaminya bukannya takut, dia malah menertawakan. "Kamu apa?" Cristin balik tanya. "Bukankah kamu sudah melakukan itu terlebih dahulu?" tambahnya menyergah dengan fakta-fakta yang dia telah lihat. "Kamu mengabaikan aku begitu saja! Karena kamu sudah puas bersama wanita-wanita yang pantas menjadi adikmu!" sambung Cristin menyudutkan. Raymond membela diri, "Karena kamu terl
Setelah pamitan pada ibu, ayah serta Renata yang baru pulang dari sekolah. Ann langsung masuk ke dalam mobil milik pribadinya, dan sopir pun sudah duduk di depan stir. Sementara Juan masih bergeming di dekat pintu mobil, "Ann, kamu ikut mobilku, aku mau mengantarkanmu." Pinta Juan sembari menatap wajah gadis yang sudah duduk di atas jok mobil belakang. Ann menggelengkan kepalanya. "Aku sama sopir saja!" singkatnya. "Ayo Pak, kita jalan agar tidak ketinggalan pesawat." Ann menambahkan dengan melirik ke arah sopir. Sementara Juan yang masih terpaku di depan pintu mobil, akhirnya duduk di sebelah Ann. Sopir bergegas melajukan mobil. Sedangkan Juan serta Ann saling membisu di belakang, setelah beberapa saat Juan memiringkan badannya menghadap Ann yang sedang membaca buku. "Yang kamu lihat minggu lalu tidak sesuai penglihatanmu!" jelasnya pelan dengan tangan hendak meraih tangan Ann, akan tetapi ditepis olehnya. Ann pun beraksi sama disertai menatap wajah Juan. Kemudian berbicara ketus,
Pesawat pribadi Erick yang ditumpangi dirinya serta Ann sudah mendarat dengan selamat di kota terkenal akan bangunan bersejarahnya namun berarsitektur kuno ini. Hawa sejuk musim semi serta rintikan hujan menyambut kedatangan dua manusia yang berbeda usia ini. "Selamat datang di London, Sir!" ucap Pengawal dari kolega Erick dengan ramah. Ann semakin tajkub pada sosok Erick ini. Sosoknya bagi Ann adalah inspirasinya. Kemudian para pengawal membawa Erick dan Ann agak jauh dari perkotaan. Selama perjalanan pandangan mata Ann menembus kaca jendela mobil jauh ke luar sana. Ya, jauh tidak karuan, hatinya kini hampa karena di sampingnya tidak ada sosok penguatnya. Akan tetapi berbeda setelah melihat handphonenya penuh dengan pesan dari Juan. Pesan-pesan itu seolah asupan energi semangatnya dia pun akhirnya tersenyum. Mobil berhenti di depan bangunan dengan arsitek paling unik di antara bangunan ataupun rumah lainnya. "Ayo, Ann!" ajak Erick yang sedang memperhatikan gadis belia
Alarm jam yang terdapat di atas nakas Jeanne berdering keras persis di sebelah kuping Ann. Suaranya yang memekakan hingga menusuk genderang telinganya, membuat dirinya dengan cepat meraih jam tersebut serta melihatnya. Di sana terlihat pukul 04:25, Ann pun menoleh ke arah samping dimana Jeanne dan Sylvie tidur. "Ke mana mereka?" ucap Ann pada diri sendiri, karena menampaki teman-temannya memang sudah tidak ada di sampingnya. Ann pun bergegas duduk serta memperhatikan ke seluruh ruangan, ranjang Sylvie pun kosong. Matanya hanya melihat ke arah tempat tidur Rania yang dirinya masih tertidur pulas. "Ke mana mereka sepagi ini?" lagi-lagi Ann berbicara sendiri. Cepat sekali Ann masuk ke dalam kamar mandi dan melakukan aktivitasnya. Setelahnya dia pun dengan segera berjalan ke arah dapur. "Juan? Jeanne? Sylvie?" ucap Ann agak terkejut karena mereka sudah ada di dalam dapur. "Pagi, Ann." Sapa Sylvie sambil memberikan secangkir susu coklat hangat. Ann tak
Natalie beserta kecemburuan dan iri hatinya. Sementara Ruth dan Ann mereka berdua menikmati kebersamaan dengan saling bercanda tawa terkadang diselangi pelukan mesra. "Tante pinjam Ann sebentar!" ucap Juan pada Ruth. Juan melakukan itu agar Ruth tidak mencolok memperlakukan Ann hingga membuat Natalie cemberut. "Nat, temankan Tante Ruth sejenak!" Juan menoleh pada Natalie yang masih berdiri bergeming serta memasang muka tak bersahabat. Ruth sepertinya tidak mengerti dengan gelagat Natalie, dia malah berasumsi kalau Juan bereaksi seperti itu karena dirinya sudah tahu isi hati Juan pada putrinya. Kemudian menoleh pada Ann, "Ikutlah Ann, biar Juan tidak sewot melulu!" godanya. Ann mendelik ke arah Juan serta menghampiri, "Mau apa sih?" Juan tidak menjawab pertanyaan dari Ann, melainkan dengan cepat meraih jemarinya lalu menggenggamnya. Ann bertanya kembali, "Mau ke mana?" Juan berbisik ke petugas yang ada di depan pintu tad
Ann menepuk pipinya pelan serta menggercapkan secara cepat kedua bola matanya."Iya, ini Kakak!" Natalie meyakinkan sambil menghampiri adiknya. Tangan kanannya meraih jemari gadis yang memakai pakaian adat Selandia Baru ini pelan sekali, sedangkan tangan kirinya mengelus halus pipi kirinya. "Kamu sangat cantik memakai pakaian ini, dan kamu memang cantik!" ucap Natalie dengan pandangan menatap tajam wajah adiknya.Ann tersenyum tipis serta langsung memeluk kakaknya ini. "Kakak kok bisa ada di sini?" desisnya tepat di kuping Natalie.Natalie merenggangkan pelukannya, dia menuntun adiknya ke arah sudut ruang ramah tamah yang sebelumnya Natalie memotong tart strawberri coklat dan menaruhnya di atas piring kecil lalu mengguyurkan coklat cair di atasnya. "Nih, dari pada colak colek seperti tadi! Jorok tahu!" sindir Natalie sambil memberikan piring kecil isi kue pada adiknya ini. Sumringah Ann mengambilnya serta langsung memakannya sembari dihayati.&n
Napas Catherine tersengal melihat kesedihan saudaranya itu, dia pun turut merasakan bagaimana perasaan Ruth bertahun lamanya. Memahami kalau Ruth bukanlah seorang ibu yang melepaskan tanggung jawab begitu saja, akan tetapi beberapa alasan hingga membuat dirinya terpaksa melakukan semua, terlebih lagi demi keluarganya.Setegar-tegarnya Ruth, namun malam ini dia nampak rapuh. Air matanya mengalir deras di depan anak kandungnya yang sedang tertidur pulas. Tangan halusnya membelai rambut panjang Ann terhampar di atas bantal berbalut sarung berwarna putih. Satu kecupan hangat pun berlabuh di atas pipi mulus gadis belia ini. Kendati tertidur, Ann masih merasakan kecupan serta belaian dari ibu kandungnya ini. Akan tetapi dia berpura-pura memejamkan matanya.'Aku menyayangi kalian,Bu.' Bisik hati Ann dalam senyap. Ann mengerti semua kejadian ini terjadi karena ujian dari Tuhan. Mariez juga Ruth hanya sekedar korban dari para manusia yang telah dikendalikan hawa naf
Ann masih membaca semua tulisan-tulisan tangan hasil dari nenek Ann. Dia merupakan saksi dimana Ruth melahirkan, serta hanya Ann inilah yang mendukung segala hal akan kelahiran putri dari Ruth ini. Nenek Ann tidak menceritakan kisah cinta Johan dan Ruth karena Ruth saat itu telah dijodohkan pada kerabat suaminya, walaupun akhirnya kandas begitu saja seiring penolakan halus dari Ruth sendiri. Ditambah lagi kisah kaburnya Ruth terdengar ke seluruh keluarga besar Arthurian. Thony bukan tidak tahu kalau putrinya sudah menikah juga telah memiliki putri, akan tetapi dia belum tahu siapa asal usul Johan. Hingga akhirnya Thoby menjelaskan semuanya. Namun, saat itu sudah terlambat. Terlebih lagi diketahui oleh Thony kalau Johan telah memiliki istri, dia tidak ingin jika putrinya disandang perusak rumah tangga orang. Thony sekeluarga seolah tega, walaupun kadang-kadang perasaan tidak tega menyelimuti mereka pada bayi yang putrinya secara paksa ditinggalkan begitu saja.
Johan masih tidak percaya pada pernyataan dari Dean. Akan tetapi setelah dia mengingat ulang sikap Mariez dan tingkah lakunya sewaktu berumah tangga bersamanya. Mariez memang agak keras serta cerewet. Dia pun menyadari cerewetnya Mariez disebabkan oleh kelelahannya. Ya, sekarang perasaan Johan tersayat, menyadari bahwa dirinya tidak pernah memperlakukan almarhum istrinya dengan baik. "Maafkan aku, Mar." Ucapnya pelan sekali. Dean belum puas untuk membuat Johan agar merasa lebih bersalah, "Tahu tidak, Dean? Mariez istrimu itu jangankan mau berselingkuh denganku, kalau berpapasan saja sepertinya kalau ada jalan lain, dia akan menghindariku. Dia wanita luar biasa. Sayangnya, dia mendapat suami bangsat sepertimu!" "Cukup! Hentikan! Atau aku bunuh kamu!" ucap Johan sambil berusaha untuk menerjang Dean. Akan tetapi Antonio dan Erick melerainya, "Cepat pergi kamu Dean! Beritahu Ruth kalau suaminya telah ke luar dari penjara!" "Kamu beruntung Johan dicint
"Kenapa? Karena sudah selingkuh dan membuat Natalie? Entah Renata juga bayi yang dikubur pun itu anakku atau bukan!" jawab Johan sinis. Ann menyolot, "Jadi, aku ini bukan anak ibu? Lantas, aku anak siapa?" Johan nampak meraba sakunya, lalu dikeluarkan dompet dari dalamnya. "Nih, ini ibumu! Ruth Arthurian!" tegas dan ketus Johan menjelaskan sedangkan tangannya memberikan secarik foto. Tubuh gadis ini gemetar tidak berani mengambil foto itu. Dadanya sesak dan tidak ada nyali untuk menghadapi kenyataan. Air matanya sudah deras membasahi pipinya, linangan itu ada karena bercampur antara emosi, sakit hati serta kaget. Seketika Ann pun masuk ke dalam kamarnya dengan cepat. "Kalau sekarang kamu mengatakan omong kosong, aku pun harus tahu semua omong kosong foto-foto yang berasal dari rumah kakek Thoby dan ayah Juan!" pikirnya sembari mengambil foto-foto tersebut dan kembali ke ruang makan. "Aku sudah mendengar omong kosongmu,