Malam itu terasa tidak memiliki akhir. Malam yang semakin malam. Langit terasa lebih dekat. Namun, tanpa bintang, tanpa cahaya, hanya kegelapan sunyi dan hampa yang menekan. Rasanya berat, seperti mencekam. Namun, alunan nada dari radio, melantunkan suara saksofon, berhasil membuat segalanya terkesan hangat.
Pintu Rumah Pohon terbuka, dan aku melihat langit malam di balik ranting-ranting daun. Ketinggian ini membuat embusan angin terasa jauh lebih membeku. Berlapiskan selimut tebal, aku duduk di ambang pintu, mendengarkan alunan musik yang meresap ke dalam diriku. Rena bersandar di pundakku. Dan aku memejamkan mata, merasakan bahwa aku sedang berada dalam kondisi paling menenangkan.
“Tidak tidur?” tanyanya.
“Mau buat bulatan hitam di mataku.”
“Tidak cocok.”
“Aku bukan Rena Lockwood yang cocok dengan apapun.”
“Mm... oke. Jadi, aku tidak boleh tidur karena kau bisa pergi tengah malam begini
Aku harus lari.Segalanya terasa kosong dan cepat. Tiba-tiba saja semua menjadi masuk akal. Dari semua pikiran yang menghantuiku, aku hanya perlu memusatkan satu hal: aku harus lari sejauh-jauhnya dari Rumah Pohon. Aku tak peduli napasku berat.Terakhir kali aku melewati danau Kawasan Normal, aku melempar ponsel, membuangnya jauh-jauh, berharap itu tidak ditemukan siapa pun.Semua pertanda itu benar. Semua yang kurasakan tentang cemas, hampa, dan sunyi—itu bukan sekadar firasat. Semestinya aku tahu Kawasan Normal sepi. Semestinya aku melekatkan ini: Lockwood membunuh ketika area sekitar steril!Begitu aku menyadarinya, pemakaman sudah dipenuhi orang berjas dengan topeng tanpa wajah—persis seperti empat tahun lalu. Mereka berniat menangkapku.Maka aku berlari menembus hutan di sebelah pemakaman, sebisa mungkin menjauhkan diri dari Rumah Pohon. Aku harus bersembunyi di suatu tempat yang tidak diketahui siapa pun. Aku melewati semak beluka
Aku tidak tahu sudah berapa lama terdiam dalam kegelapan.Terakhir kali aku kehilangan kesadaran, mereka mulai menghancurkanku dengan sarung tinju. Seseorang menghajarku habis-habisan—di perut, lengan, kaki, sampai semua hal yang bisa dihancurkan dari tubuhku tidak lagi terasa. Aku disiksa habis-habisan. Tanpa ampun, hanya untuk melampiaskan kekesalan.Agaknya ingatanku kacau. Beberapa hal yang kulupakan dan yang kuingat mulai bercampur aduk. Badanku tengkurap sangat lama, menahan rasa sakit yang semakin brutal. Leherku tidak bisa bergerak. Penglihatanku gelap. Telingaku hanya mendengar suara samar karena penutup matanya mengikat kuat. Lidahku mengecap rasa darah yang rasanya seperti besi cair. Tangan dan kakiku dirantai, seakan-akan aku monster laut yang siap menerkam.Aku tidak tahu disekap di mana. Auranya menusuk, seperti di ruang hampa. Lantainya dingin, seperti terbuat dari keramik bawah laut. Dindingnya sangat kasar, seperti ukiran-ukiran yang dibua
Aku berusaha keras mempertahankan kesadaran. Seseorang membuka ingatan lenganku. Rupanya aku bisa mengira apa yang terjadi. Waktunya makan. Aku tak ingat kapan terakhir kali perutku terisi makanan layak. Satu makanan layak terakhir yang berhasil masuk ke perutku, adalah daging gulung buatan Rena—yang sudah kumuntahkan di malam pertama tertangkap. Aku ingat dipaksa menyantap roti berbau busuk dengan air yang kadang terlewat panas atau dingin. Makanan apa lagi yang akan datang sekarang? Dan aroma makanan tercium halus di hidungku. Aku terkejut. Itu bukan bau busuk. Aku bisa menebak apa yang ada di depanku: bubur. Aku tak bisa berkata-kata. Ada apa gerangan sampai mereka bersikap baik? Apa rekanku tewas lagi? Aku harus menahan bengkak yang terasa luar biasa saat bubur itu masuk ke mulutku. Rasanya seperti dihujani air asam. Tenggorokanku perih dan bercampur aduk. Barangkali karena darah yang mengering di mulut. Pria itu menungguku makan. Kemudian menekan
Dua malam sebelum kematian Lee Hudson, aku mampir ke tempat Louist yang seperti bak sampah. Kotor, sempit, dan berbau masam yang bercampur dengan pengharum ruangan. Penerangannya buruk. Dindingnya seperti besi usang di toko loak. Lantainya mengeluarkan gema setiap ada yang berjalan. Yah, pada dasarnya, tempat tinggal Louist hanya kontainer usang di Kawasan Normal.Aku menguap lebar, lalu bangun melewati berkas yang berserakan. Rasanya haus, jadi aku membuat cokelat, melihat Louist masih di depan komputernya.“Kau seperti baru disambar petir,” kataku. “Tidurlah.”“Ini tampilanku sehari-hari.”Aku meneguk cokelat, melihat banyak telepon di sudut ruangan. Kuingat, Louist memakai telepon sebagai metode pembunuhan di kasus kedelapannya.“Berapa kali kau gagal membuat telepon yang dilengkapi gas sarin?”Dia mendengus. “Sukses itu dibangun di atas kegagalan.”“Menurutku pribad
Kilasan ingatan semakin liar melewati kepalaku. Aku tidak tahu itu memang ingatanku atau imajinasi yang kuinginkan, tetapi setiap kesadaranku pergi, kakakku selalu kembali ke mimpi, atau ibuku, atau masa kecilku yang terkesan samar. Aku teringat akan permainan kecil yang sering kumainkan bersama kakakku. Biasanya petak umpet di pekarangan rumah yang dipenuhi bunga-bunga cantik kesayangan ibu, dan kakak menemukanku di tempat bersembunyi favorit.“Terlalu mudah ditebak,” katanya, mengintip dari balik pagar rumput. “Ini tempat jelek buat sembunyi. Kakak sudah bilang, kan?”“Curang!”Rasanya sangat damai. Mendapati dirimu tertawa bersama seseorang yang selalu kau kagumi, di tengah kebun bunga yang terus meluas, ditemani oleh warna-warni mahkota keanggunan bunga yang merekah. Ibu tersenyum melihat dari balik jendela dapur, Kakak tertawa, dan aku terlelap dalam kehangatan.Lain halnya dengan ingatan di hari itu.Ketika
“Bangun, Brengsek!”Asap rokok terembus ke wajahku. Tentu saja aku sudah terbangun, bahkan sejak tadi. Hanya lemas. Tidak bertenaga. Dan bersikap seolah tidak lagi hidup.Kali ini aku duduk, dengan tangan melemas ke sisi kursi. Terikat dengan rantai, dan borgol mengikat di bawah kursi. Persis seperti bayangan mimpiku.“Keras kepala juga. Tak mengucap apa pun. Tak segera mati.”Sebenarnya aku juga tidak tahu kenapa bisa bertahan. Yang bisa kupahami, dokter misterius itu selalu hebat dalam menangani luka. Dan entahlah, barangkali para penyiksa sebelumnya juga jauh lebih berhati-hati dalam memilih penyiksaan. Buktinya, tidak ada tulangku yang patah, meski rasanya sakit karena meninggalkan lebam—kurasa. Perban melekat di seluruh bagian tubuhku, dan aku yakin tekanan kuat di pipiku ini plester. Aku masih hidup. Mereka profesional.Namun, berbeda dengan si bajingan ini.Jadi, aku tahu kalau orangnya sudah berubah. Pen
Aku kehilangan kesadaran.Begitu kusadari, aku melayang, seperti terhanyut dan terombang-ambing di sesuatu yang tak tentu. Aku berusaha menggerakkan badan, rasanya kaku. Mataku terbuka, dan yang terlihat bukan lagi kegelapan, melainkan pendar putih. Kosong dan hampa. Rasanya aku tidak bisa melihat apa pun selain menghadap ke atas.Dan tiba-tiba itu terasa menyesakkan. Citra-citra aneh bermunculan. Diriku berumur dua belas tahun yang menangis di pinggir danau. Diriku berumur empat belas tahun yang melawan dunia. Diriku berumur sepuluh tahun, yang memandang punggung kakak di taman rumah. Diriku berumur tujuh tahun yang bahagia.Berapa lama waktu sudah berlalu?Kilasan ini terasa tak memiliki akhir. Kilasan yang terasa semakin menekan. Dan tiba-tiba aku melihat langit. Malam yang gelap, seolah tak memiliki akhir. Tak ada bintang, tak ada cahaya, hanya kegelapan yang menekan. Aku teringat malam terakhirku di Rumah Pohon, saat kami menatap langit malam yang te
Kali berikutnya aku terbangun, aku tak merasa ada ikatan di kepala. Semua itu terasa aneh. Aku takut sudah tidak lagi di dunia. Aku takut semua sudah pergi.Namun, fungsi mataku terasa kembali. Mataku bergetar, dan perlahan, aku berhasil membuka katup yang sudah lama terkunci itu.Dan cahaya remang-remang menyerang matakuAku berkedip, mengerjapkan mata sangat panjang. Cahaya putih—bukan. Rasanya seperti remang kecil di sudut ruangan. Aku berkedip berulang kali, seperti mengenyahkan pendar hitam di pandanganku dan—ya, begitu mataku terbuka, aku kembali merasakan seluruh tubuhku. Aku berada di sel penjara kecil. Hanya sekitar dua kali tiga meter dengan lantai baja dan jeruji besi. Tubuhku masih terbujur kaku. Suasananya mencekam, diterangi bohlam, dan lusuh. Dindingnya gelap, dipenuhi ukiran bertuliskan: BIARKAN AKU MATI!Kepalaku pusing. Denyut terasa di segala arah. Aku mencoba duduk, dan rasanya begitu pedih. Aku tidak mampu menjaga tubuhku
18 Desember. Hari Sabtu.Suasananya ramai. Banyak orang lalu-lalang dengan boneka. Aku ingat ada yang menyebut Sandover seperti kota mati, tetapi ketika melihat taman bermain ini, segalanya berbanding terbalik. Padat, penuh, bahkan tidak ada jeda.“Sudah lama aku mau ke sini bersamamu!” seru Rena antusias, menarikku ke menara tinggi itu. “Waktu di Rumah Pohon, aku berpikir apa kita bisa setinggi itu. Ayo coba—HEI! JANGAN KABUR!”Sekarang dia tidak ragu lagi menggamit—mencengkeram jemariku.Aku melihat menara—tidak, itu bukan menara. Itu wahana roket. Meninggi dengan tenang, lalu meluncur cepat seolah ditimpa gravitasi. Aku pernah menatap itu dari kamera pengawas. Itu tempat yang sama sekali tidak ingin kudekati.Melihat raut wajahku, Rena menyeringai jail. “Takut, ya?”“Tidak, kok,” kataku. “Aku cuma takut hantu.”Jadi, akhirnya kami naik—meski aku ben
Tokio Eki Furuzawa dan Helva serempak menyambutku di gerbang.Tentu saja gerbang pemakaman. Saat itu hampir gelap, dan aku sudah cukup kaget dengan gerbang yang—sungguh, berhiaskan bunga-bunga seolah ada ratusan orang dikubur. Kami berjalan dan sepanjang itu jalan penuh karangan bunga.“Mewah, bukan?” tanya Helva.Aku melihat wajahnya, dan—kalau dipikirkan, iringan bunga ini juga yang mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir.“Kau mau menangis?” tanyaku.“Tutup mulutmu. Dan aku tidak menangis.”Tidak sulit menemukan Rena karena kerumunan orang benar-benar terlihat mencolok dari gerbang. Makam Tracy Lockwood memang tidak akan sepi. Dan—bukan main. Batu nisan Tracy Lockwood kelihatan bak pusaka perjuangan. Dilapisi marmer putih mengkilap, sampai bayangan orang-orang terpantul sempurna dalam tekstur marmer—yang secara insidental juga membuat Rena menemukanku.Dia menoleh,
Keesokan harinya, aku dihakimi Tokio Eki Furuzawa dan Helva.Aku punya gagasan menghadiri pemakaman Tracy Lockwood dan Malvia Lockwood, tetapi mereka kompak melarangku habis-habisan.“Pertama, kau lupa baru saja diperiksa polisi kemarin?” tanya Helva. “Kau mungkin hanya dicurigai terlibat dan beruntungnya kau memang tidak terlibat, tapi kau pasti bertemu Malvia Lockwood beberapa hari sebelum ini, kan? Tunggu. Kau tidak perlu menjawabnya. Yang mau kukatakan: sekarang yang harus kau pikirkan bukan hanya kau dan Lockwood. Tapi pers, dan juga masa depanmu!”“Betul,” kata Tokio Eki Furuzawa, mendukung.“Dan, menurutmu apa yang akan muncul di berita utama ketika kau hadir di sana? Oke, aku tahu kalau kau tidak datang juga akan memunculkan berita utama, tapi kau tidak perlu datang karena, jelas, kau akan membuat suasana pemakaman aneh. Bayangkan orang yang ditindas datang ke pemakamannya—itu aneh!”&ld
13 Desember. Kembali bersekolah, aku berjalan layaknya selebritis.Semua orang menyapaku, mengajakku bercanda—yang benar saja, mereka yang dulunya memberi hadiah sampah, kini benar-benar memberi hadiah berharga yang layak dipegang. Sungguh, aku tidak habis pikir. Dan ketika aku berhasil duduk di tempatku—yang kuingat sebagian waktuku habis dengan melakukan hukuman—kini tidak ada lagi surat kematian, melainkan mereka yang bersuara menggoda bak ingin menggapai tubuhku bersama kaum gosip yang menduga aku kencan dengan bidadari bernama Rena Lockwood.“Maaf karena aku menjelekkanmu, Redrich,” kata salah satu gadis. “Saat itu sepertinya mataku buta. Sekarang aku rekanmu.”“Mm... kurasa kau perlu ke dokter bukan minta maaf,” kataku.“Hei. Hei. Kapan kau jadian dengannya—maksudku, dengan....” Dia seperti sulit mengucapkan nama Rena, dan benar. Dia menggeleng. “Astaga. Aku belum sanggup
12 Desember. Minggu pagi.Aku kembali ke rumah untuk menunjukkan ruang kerja kakakku pada Bu Hiroko. Sebenarnya sebelum pesan Tristan Lockwood ditemukan—saat aku masih di lantai bawah bersama bantal beraroma Rena—Helva menemukan rekaman yang dibuat kakakku untuk Bu Hiroko. Disimpan dalam CD, dengan kotak plastik yang bertuliskan: BU HIROKO YANG KUCINTAI.Jadi, aku memberikan itu pada Bu Hiroko, dan dia memintaku agar segera memutarnya. Maka aku memasukkan itu ke salah satu komputer, melihat senyum khas kakakku di dalam layar untuk kedua kalinya.Bu Hiroko menggeleng. “Aku merasa dia di sini, menatap mataku.”“Aku juga merasakan itu,” kataku.Rekaman itu berisi permintaan maaf dan penyesalan kakakku karena tidak bisa memberitahu Bu Hiroko apa yang akan terjadi. Bahkan, kakakku tahu kalau barangkali Bu Hiroko akan menyaksikan detik-detik kematiannya. Itu membuatku bergejolak, dan Bu Hiroko menangis. Aku merasa bahw
“Kau menggapai pesan,” sambut Malvia Lockwood. Dia melempar pistol, mengulas senyum yang tidak pernah kubayangkan. Air matanya mengalir. “Anak Muda, kau mau duduk di sisiku untuk terakhir kali?”Maka aku juga melempar pistol, menatap jasad Olso Bertoin yang penuh darah. Dia berubah. Maksudku, Malvia Lockwood. Setidaknya, itu yang kuyakini. Dia tidak lagi berdandan menor layaknya ibu-ibu di pesta murahan. Hanya alami—meskipun lusuh, debu, kotoran, dan keringat menghiasi sebagian besar wajahnya.“Aku selalu mempelajari tipe pembunuhan yang terjadi pada Lockwood.” Aku duduk cukup dekat darinya sampai aku sendiri tidak percaya. “Yang pertama, terstruktur. Itu metode Louist Hood. Yang kedua, area pembunuhan selalu steril.” Aku mengedarkan pandangan, tersenyum konyol. “Hanya perasaanku, atau situasi memang menyisakan aku dengan Malvia Lockwood?”Dia mendengus. Kupikir mengejek, tetapi dia tersenyum miri
11 Desember. Pukul 17.57Aku bilang ke Rena kalau mau jalan-jalan sore menuju gelap, dan—secara teknis—mengajaknya, tetapi dia bilang, “Aku harus mengurus administrasi.”“Sekolah?”“Rumah sakit,” gumamnya, seperti enggan. “Kondisinya buruk.”Aku ingin bilang kalau tidak akan ada yang terjadi pada Tracy Lockwood, tetapi benakku melarangku bicara.Dan Rena mengerti. “Tenanglah. Kita bisa jalan-jalan kapan saja.”“Rasanya tidak sopan bilang begini. Tapi—”“Kami hanya berikatan darah, Charlie. Tapi apa yang ada pada kami sudah tidak ada. Maksudku... kau tahu apa yang kubilang. Kalau memang ada yang bisa mengurusnya, dengan senang hati aku menyerahkan itu.”Kupikirkan begitu saja kalau Rena tidak mau berurusan lagi dengan segala hal tentang keluarganya. “Mau kutemani?”Dia tersenyum. “Kita punya banyak hal y
11 Desember. Sabtu pagi.Aku berniat keluar—untuk pertama kali dari rumah Tokio Eki Furuzawa. Saat itu masih pukul tujuh. Dan Rena menghentikanku tepat di pintu keluar.“Mau ke mana?” tanyanya, dengan mata menahan kantuk.“Tumben melihatmu bangun siang,” kataku.“Mau ke mana?” ulangnya, tidak peduli.“Jalan-jalan sebentar. Cuci mata. Mau ikut?”Dia tak menjawab, hanya terdiam, sebelum akhirnya bicara, “Kemarin aku menemui kakek. Dia belum siuman, tapi Olso Bertoin menitip pesan untukmu.”“Untukku?”“Ada yang menunggumu. Di tempat yang hanya kau yang tahu.”***Pagi itu cuacanya tidak terlalu buruk, yang dalam artian lain juga tak terlalu baik. Cerah berawan. Tidak terlalu terik dan tak terlalu mendung. Cuaca yang cocok untuk berjalan-jalan dan merefleksikan diri.Sebenarnya aku punya gagasan pulang ke rumah, melihat mu
Malam itu juga Tokio Eki Furuzawa mengajakku pesta minum kopi di sudut rumahnya—paling sudut, memang. Area yang tak terjangkau Rena—yang menurut keterangan Tokio Eki Furuzawa, ruangannya berada di sudut berseberangan. Kami duduk di gubuk kecil. Tanaman hias mengelilingi kami. Dan malam terasa tenang.“Kau tukang onar nomor satu, Sobat Kecil.” Dia memuji. “Bersulang.”Kami bersulang dengan cangkir kopi.“Aku tak mengira kasus berakhir seperti ini.” Dia menyalakan cerutu. “Tapi Malvia Lockwood masih dalam pencarian meski pengikutnya diasingkan. Tapi itu tidak mengubah ketegangan yang terjadi. Polisi perlu dirombak.”“Karena itu kau langsung mengamankan Rena kemari,” kataku.“Orie Cottland juga kabur.” Tokio Eki Furuzawa mengembuskan asap. “Dia pasti dapat ganjarannya. Omong-omong, bagaimana traumamu?”“Sudah pergi ke ahli. Lumayan membantu. Ak