"Kamu benar-benar tidak berguna! Apa yang aku perintahkan sama kamu kurang jelas? Satu kali saja buat jebakan lalu aku akan urus selanjutnya. Kalau sampai lusa aku belum dapat kabar apapun, bersiaplah. Hidupmu akan jadi neraka!" Soraya bergidik mendengar itu. Dia harus menjebak Arnon. Satu kali peristiwa dan berhasil menghancurkan dia. Seperti apa? Sekarang saja dia tidak digubris oleh Arnon. Tapi jika dia tidak melakukannya, Soraya akan dijual pada pria hidung belang dan entah akan seperti apa nasibnya kemudian. "Ya ampun, kenapa seburuk ini hidupku? Bukan kesalahanku tapi aku harus menghadapi kekacauan ini!!" Soraya menghempaskan tubuhnya keras ke atas kasur. Dia bingung sekali harus berbuat apa. Soraya memejamkan matanya. Peristiwa dua bulan lalu, kembali terpampang di matanya. Kakaknya, terbelit hutang karena judi. Dia juga kena kasus penipuan. Kakaknya menemui Ardan, meminta bantuan. Ardan bersedia, tapi dengan syarat, dia mau Soraya melakukan misi untuknya. Sedang kakak Soraya
Mata Fea masih tajam terarah pada dua orang di depannya itu! Rasanya tak tahu harus berkata apa. Arnon melotot pada Fea. Dia sangat terkejut dengan kejadian tiba-tiba ini. Benar-benar bencana. Apa yang Fea akan pikirkan kali ini? "Kenapa kamu selalu saja bikin masalah?!" Arnon berkata dengan nada marah pada Soraya. Gadis itu seperti tidak tahu malu. Arnon makin yakin dia wanita tidak beres. "Pak, aku tidak bisa jauh dari Pak Arnon. Aku sangat rindu ..." "Gila! Keluar kamu dari sini! Sekarang!" Arnon makin geram dengan yang Soraya ucapkan. Wajahnya merah padam. Dadanya seperti mau meledak. "Tapi, Pak Arnon!" Soraya mencoba mendekati Arnon. "Didin! Marko! Bawa perempuan ini keluar dari sini, cepat!!" Arnon benar-benar tidak bisa menahan diri lagi. Dia panggil pegawainya untuk menyeret Soraya keluar dari ruangan itu. Soraya tak bisa berbuat apa-apa. Dia terpaksa menurut saat dua pegawai Arnon memaksa dia perg
Pintu apartemen Arnon di depan mata. Fea mengulurkan tangannya membuka kode untuk masuk ke sana. Ternyata masih sama. Fea melangkah ke dalam apartemen. Rania ada di belakangnya. Mata kedua ibu muda itu melebar tak percaya. Apartemen Arnon berantakan! Pakaian bertebaran di sofa. Plastik bekas makanan berserakan di sana sini. Dan sepi, tidak terdengar suara apapun. Apakah Soraya sudah pergi? Dengan cepat Fea melangkah menuju ke kamar utama. Kamar Arnon. Pintu kamar sedikit terbuka. Fea makin mendekat. Tampak ada gerakan di kamar itu. Ya, Soraya di dalam kamar. Segera Fea mendorong pintu dengan lebar. Soraya seketika menoleh cepat merasa ada yang datang ke kamar itu. "Kamu?!" Mata Soraya melotot menatap Fea. Dia sampai menjatuhkan beberapa lembar pakaian yang dia pegang. "Bagus, kamu masih di sini." Fea membalas tatapan Soraya. Kali ini Fea menguatkan hati. Dia tidak boleh lemah menghadapi perempuan tidak jelas yang ingin merusak pernikahannya.&nbs
Fea dan Soraya masih berhadapan. Keduanya saling menatap dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Fea meminta Soraya ikut dengannya. Sedang Soraya, dia ingin segera kabur secepatnya agar Ardan tidak akan menemukan dirinya. "Kamu ikut aku atau kamu akan menyesal?!" Fea menantang Soraya. Rania cukup terkejut tapi juga salut dengan keberanian Fea kali ini. Rania mengenal Fea sebagai wanita yang lembut yang banyak mengalah asal tidak ada pertikaian. Tapi yang dia lihat kali ini sangat berbeda. Seolah-olah bukan Fea saja yang sedang ada di depannya. Soraya berpikir keras. Jika dia menolak, resiko tertawan Ardan akan lebih besar. Jika dia ikut Fea, dia tidak tahu, dia akan masuk ke perangkap apa setelah ini. Namun, sepertinya lebih baik memilih Fea ketimbang ditemukan Ardan dan hidupnya akan masuk bencana yang Ardan siapkan untuknya. "Baiklah. Aku ikut denganmu." Soraya akhirnya memutuskan. "Bagus. Kita pergi sekarang."
Fea melambai pada Arnon, mengantar suaminya berangkat ke kantor. Pagi ini dia akan mengurus pergantian posisi yang kosong karena Arnon memecat Soraya. Arnon dengan tegas, setengah emosi meminta Juno dan Alim memecat Soraya tanpa ampun. Tentu saja keduanya terkejut. Saat Arnon beritahu alasannya mereka merasa bersalah karena ternyata kecolongan.Apalagi saat mereka lihat video Arnon dan Soraya yang beredar. Mulai media mengejar Arnon meminta klarifikasi. Sementara mereka tidak menemukan jejak Soraya. Sama seperti Ardan, tidak bisa menemukan di mana Soraya. Dia ngamuk pas anak buahnya. Tapi Soraya sudah lebih cepat bergerak. Nomor ponselnya tidak terdeteksi lagi.Fea menemui Melia yang sedang mencuci di belakang. Fea mengatakan ada keperluan dan harus bergegas pergi. Melia agak terkejut karena pesan Arnon Melia harus menemani Fea di rumah."Aku baik-baik saja, Mbak. Arnon saja yang berlebihan kuatir. Sebelum makan siang aku usahakan sudah b
Pengakuan Soraya membuat Fea kembali merasa iba padanya. Dia bisa mengerti kenapa Soraya bersikap aneh, janggal, dan penuh kejutan. Apa yang dialami gadis itu memaksa dia melakukan apa yang sangat tidak ingin dia lakukan. Sekarang, ada peluang dia akan menata hidupnya lagi. Tapi Soraya tidak tahu harus ke mana dan bagaimana. "Setidaknya gambaran pekerjaan yang ingn kamu dapatkan seperti apa?" tanya Fea. Soraya menyentuh keningnya dengan dua jari dan berpikir. "Selama ini aku memang lebih banyak bekerja di kantor, bukan di lapangan. Melihat situasiku, kurasa itu yang tepat juga. Aku tidak mau berkeliaran di sana sini, lalu Ardan berhasil menemukan aku."Fea mengangguk, dia memahami apa yang Soraya kuatirkan. "Soraya, sebenarnya Ardan tidak bisa mengejar kamu lagi. Kamu sudah menuntaskan urusanmu. Perintahnya sudah kamu lakukan semua. Apa lagi?" "Itu benar. Tapi, tetap saja dia punya uang dan bisa melakukan apapun yang dia mau," tukas Soraya. Mengingat i
Arnon tersenyum lebar, menatap layar kaca dari ponselnya. Fea muncul di sana dengan baby doll kesayangannya. Sudah lama Arnon tidak melihat Fea memakai baby doll dengan gambar SpongeBob itu. Arnon kira bahkan Fea sudah membuangnya. "Jangan tertawa. Mumpung kamu ga di rumah, aku pakai lagi." Fea cemberut. Dia tahu Arnon tidak suka kalau Fea mengenakan baju tidur ala bocah. Arnon malah ngakak karena Fea ngambek. "Bisa ya, punya pikiran begini? Mumpung suami pergi, puasin diri. Bukan ngabisin uang belanja, tapi pakai baby doll, haa ... ha ...." "Ih, bagusan gitu daripada aku habisin duit." Fea masih cemberut. "Ga apa-apa kamu tetap cantik. Dan aku kangen sekali." Arnon memandang dua bola mata Fea uang sedikit redup. Dia terlihat agak mengantuk. "Ngapain aja hari ini?" Fea mengatupkan bibirnya. Dia langsung ingat tadi pagi dia bertemu Soraya. Dia membuat perjanjian dengan wanita itu. Arnon belum tahu apapun soal Soraya yang
Arnon memandang Sherlita. Gadis berwajah tirus dengan rambut coklat terang itu memandang tenang pada Arnon. Lalu Arnon menoleh pada Lukman. Dia masih ingin kejelasan dari apa yang dikatakan oleh Sherlita. Arnon tidak menduga jika istri Lukman sudah tiada, sebab selama ini setiap dia bercerita tentang kisah cintanya, kesan yang Lukman berikan, istrinya masih ada bersamanya. "Orang yang kita cintai sangat mungkin secara fisik tidak lagi ada di sini, bersama kita," ujar Lukman. Dia paham tatapan Arnon, pria muda itu ingin mendapat kisah yang utuh dari yang dia telah dengar selama ini. Kalimat itu mulai meyakinkan Arnon memang istri Lukman sudah pergi untuk selamanya. Tapi apa yang terjadi? Dan dari yang Lukman ceritakan soal dirinya, sangat terasa betapa Lukman sangat mencintai istrinya. Arnon masih menatap lurus pada Lukman, tentu saja ingin tahu kisah selanjutnya. Lukman tersenyum, dia mencedok nasi tidak ingin segera menjawab rasa penasaran Arnon.
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b