Fea sangat gugup. Dia menelpon Arnon tapi tidak dijawab, dia ketuk pintu dan pencet bel, tidak juga dibukakan. Dia jadi kuatir Arnon nekat melakukan hal bodoh. Fea berpikir apa kode untuk membuka pintu di apartemen Arnon. Dia harus cepat. Tubuhnya pun menggigil karena kedinginan. Fea mencoba membuka dengan tanggal lahir Arnon. Tidak bisa. Dia bolak-balik nomornya tetap tidak bisa. Fea kembali memutar otaknya. Tanggal lahirnya sendiri, tidak bisa juga. Apa yang sangat berkesan buat Arnon, yang mudah dia ingat. Fea berpikir keras. "Hari ini, ingat, janji kamu dan aku ... Fea, kita akan selalu bersama. Oke?" Entah kenapa Fea ingat hari di mana dia dan Arnon mengucapkan janji akan bersahabat selamanya. Fea mencoba memakai tanggal itu, karena itu juga hari istimewa buat Arnon. Fea memutar angka sesuai hari perjanjian dia dan Arnon. Tidak bisa?! Lalu apa? Fea mengusap dahinya, dia sudah gemetar. "Sesuatu yang sangat berharga, atau yang paling dia sayang ..." Fea kembali berpikir. "Ya Tu
Pandangan Arnon dan Fea kembali bertemu. Fea merasa debaran makin kuat di dadanya. Dia menunggu Arnon memberi jawaban atas apa yang dia katakan. "Sebelum Nenek pergi, dia minta aku berjanji menjaga kamu, Fea. Kamu sendirian di dunia ini. Hanya aku yang kamu miliki. Nenek tahu kamu sayang padaku. Aku yang tidak paham dengan diriku, kalau aku juga sayang, bahkan sangat sayang sama kamu." Arnon berkata dengan suara pelan, tapi masih jelas. Fea tidak mengira, Arnon punya dua janji di hidupnya. Perjanjian dengan Fea dan juga dengan Nenek Ellina. "Nenek, buat aku, adalah orang yang paling baik. Dia seperti mama yang aku harapkan. Lembut, tegas, tapi penuh kasih. Selalu siap menolong apapun yang aku butuh. Marah jika aku salah, memeluk dengan senyum saat aku menangis. Kadang seperti papa yang aku butuhkan. Mengajak bercanda, juga menghukum kalau aku tidak menurut." Arnon mengenang masa-masa dia bersama Nenek Ellina. "Kebaikan yang manis, hanya dia minta dengan satu balasan. Menjaga kamu.
Hari berganti. Pagi telah datang. Arnon membuka matanya. Dia segera duduk. Rasa pusing di kepalanya sudah hilang. Matanya melihat jam di atas nakas di sebelah tempat tidur. Hampir jam tujuh pagi. "Fea ..." Arnon ingat Fea tidur di ruang kerjanya. Cepat-cepat dia turun dari tempat tidur. Apakah Fea sudah bangun? Arnon melihat kamar kerjanya masih tertutup. Atau Fea sudah pergi? Debaran halus merambah hati Arnon. Ada rasa takut jika gadis itu ternyata sudah pergi tanpa pamit. Arnon mencoba membuka pintu. Untung saja kunci ruang kerja tidak Arnon tempelkan di pintu, jadi dia bisa membukanya. Fea masih tidur. Dengan berselimut menghadap ke arah pintu. Sebelah tangan Fea memeluk badannya. Arnon tersenyum. Dia berjalan perlahan mendekat dan berjongkok di depan Fea. Cantik. Begitu tenang dan lembut. Arnon memandangi Fea dengan tatapan penuh sayang. Kenapa Arnon baru mengerti apa yang dia rasa pada Fea selama ini adalah cinta yang besar? Fea menggeliat, tangannya menyentuh pipi Arnon. S
Senyum Stefi kembali mengembang mendengar pertanyaan dari Arnon. Tapi itu pertanyaan yang wajar. Apa yang membuat Stefi mau dijodohkan dengan Arnon? Ada rasa usil muncul di hati Stefi. "Aku penasaran saja, menjadi salah satu wanita Arnon seperti apa rasanya? Apakah dia begitu mempesona? Panas di atas kasur?" Stefi memicingkan mata, sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Arnon. Arnon menarik bibirnya lagi. Gaya Stefi mengingatkan dia pada Gladys. Ada sedikit kemiripan dengan wanita itu. "Arnon, kalau aku jujur, kurasa kamu akan tertawa." Stefi kembali ke posisinya semula. Arnon yakin Stefi belum menjawab dengan benar yang dia tanyakan. "Kamu salah satu idola di sekolah kita saat kita remaja dulu. Aku, salah satu pengagum kamu. Sayangnya, aku terlalu pemalu untuk mendekat. Dan, hingga aku dewasa, pria yang aku bayangkan akan jadi pendampingku itu seperti kamu." Stefi bicara dengan tatapan lurus pada Arnon. "Hee ... hee ...." Benar saja. Arnon tertawa mendengar yang Stefi ucapkan.
Stefi sangat terkejut dengan reaksi Arnon. Dia secepat itu meledak karena apa yang Stefi katakan. Dari situ Stefi tahu, Arnon memang sangat sayang pada Fea."Wait ... wait, Arnon, I am not finished," ujar Stefi cepat. Dia mengangkat kedua tangannya menahan Arnon agar tidak beranjak."Kita pergi dari sini, Fea." Arnon berdiri. Dia meraih tangan kanan Fea, sedikit memaksa Fea ikut berdiri."Please, Arnon, tunggu." Stefi pun bangun dari kursinya dan dengan cepat dia mendekati Fea, memegang lengan kiri Fea agar tidak diajak keluar ruangan itu."I have a plan, just listen, I will explain." Stefi meminta Arnon menunggu agar Stefi bisa menjelaskan rencananya."Oke. You have ten minutes." Arnon melepaskan tangan Fea dan kembali duduk. Fea dan Stefi juga kembali menempati kursinya masing-masing.Sekarang Fea dan Arnon menunggu apa yang Stefi akan sampaikan. Rencana seperti apa yang dia tawarkan pada Arnon?"Setelah bicara denganmu di restoran,
Arnon mendekat pada Fea. Dia pegang kedua bahu Fea dan mendaratkan kecupan di kening gadis itu. Wajah Fea memerah. Malu juga dengan sikap Arnon itu. Tidak nyaman dilihat Stefi dan karyawan yang ada di situ yang memperhatikan mereka."Ahh, so sweet ... Bikin baper ..." Stefi memandang Arnon dan Fea sambil tersenyum lebar."Kamu cantik sekali. Nyonya Arnon. Aku ga sabar, Fea." Arnon menatap Fea dalam-dalam.Fea makin nervous jadinya.Stefi ikut berdiri dan mendekati Fea. "Pas banget. Aku ga nyangka bisa sebagus ini hasilnya. Oh, my God. It is great.""Stefi ... aku tidak tahu harus bilang apa. Ini bagus sekali." Fea memandang Stefi, mengungkapkan terima kasih."Thank you, Stefi. Aku sangat menghargai semua ini." Arnon menoleh pada Stefi."Jangan sekarang terima kasihnya. Urusan kita baru dimulai. Kalau kalian sudah diberkati bapak pendeta, baru boleh bilang terima kasih. Oke?" Stefi tersenyum lebar. Dia memegang gaun yang Fea kena
Arnon menunggu Fea mengucapkan apa yang dia minta. Arnon pasti akan menuruti semua yang Fea mau. "Ar, aku mau ke makam nenek. Sebenarnya jika mungkin, aku ingin mengunjungi makam papa dan mama juga." Suara Fea lembut di telinga Arnon. Jelas gadis itu hati-hati bicara. Dia takut membuat Arnon marah. "Tentu saja. Kita akan ke makam nenek. Kita atur waktu ke sana. Ke makam papa dan mama kamu juga." Arnon merasa ada rasa pilu di hati Fea. "Sungguh?" Fea terdengar lega dengan jawaban Arnon. "Ya, tentu. Aku akan menemui kamu secepatnya, oke?" Arnon tidak bisa menunggu. Dia akan ke tempat kos Fea. Dia harus menemui gadis itu. Tiba di tempat kos, Fea sudah menunggu. Arnon dan Fea duduk di gazebo kecil di taman samping tempat kos itu. Langit cerah dengan bulan hampir penuh dan bintang-bintang bertebaran di sekitarnya meski tidak begitu banyak. "Kita ke makam nenek hari minggu saja. Bagaimana?" usul Arnon.&nbs
Rania tidak habis pikir dengan sikap Fea. Arnon akan segera menikah, tapi dia justru setenang ini. Yang Rania tahu, Fea dan Arnon telah sepakat akan secepatnya melangsungkan pernikahan, sekalipun tanpa persetujuan orang tua Arnon. Ini sangat aneh, tiba-tiba kabar tersebar, Arnon Brilliant Hendrawan akan menikahi Stefi Amalia putri seorang dokter senior di kota ini. Bahkan, kisah kawan lama akhirnya bisa bersatu, muncul juga menjadi bumbu dalam berita itu. Fea juga kawan lama buat Arnon, tetapi mengapa jadi nama Stefi yang sekarang disorot media dan publik? "Fea, kamu baik-baik saja?" Rania mengganti panggilan dengan video. Dia cermati wajah Fea. Tidak ada sedih di sana. Tidak ada marah dan kecewa. Fea begitu tenang. "Mungkin, aku terlalu banyak mengalami kecewa, jadi sudah tidak ada efek apa-apa buat aku sekarang, Rani." Fea mengelak mengatakan yang sebenarnya. Dia mencari kata-kata yang Rania bisa terima. "Stefi itu kawan lama Arnon? Apa kamu mengena
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b