Kulihat dengan tatapan nanar anak lelakiku yang kini meloncat penuh kegirangan di atas tempat tidurnya. Bintang menciumi hadiahnya yang kutaksir berharga jutaan rupiah. Ada rasa kesal yang sulit sekali kuterjemahkan. Dulu, aku selalu melayangkan protes pada Satya yang selalu menuruti keinginan Bintang. Tak hanya itu, bahkan lelaki itu melimpahi anakku dengan hal-hal yang sebetulnya tidak diperlukan. Aku tak ingin Bintang tumbuh menjadi anak manja yang terus-menerus mendapatkan barang-barang mewah. “Bintang. Jangan pernah meminta apapun lagi pada Om Satya.” Kalimatku membuatnya berhenti meloncat-loncat. Tubuhnya membeku. Bintang anak yang perasa. Dia paham dengan perubahan wajahku yang tidak seperti biasanya ini. Tak lama dia beringsut, bergerak mendekatiku yang duduk di tepian tempat tidurnya. “Mama kenapa? Apakah Mama sakit?” tanyanya sambil menyentuh keningku. Hangat. Aku tak kuasa menahan laju air mata yang tiba-tiba menerobos pertahananku. Kuraih tangan kecil itu dan menciumny
Kulangkahkan kaki ke arah pintu. Kubuka kotak kecil yang digunakan untuk melihat siapa yang ada di depan sana. Sosok lelaki asing dengan pakaian resmi berdiri sambil memberi anggukan padaku. Di belakang lelaki itu sebuah mobil yang tak asing terparkir di sana. Aku mengingatnya. Dia lelaki sama yang membukakan pintu mobil untuk Pak Guntoro. “Maaf, menganggu Anda malam-malam. Bapak mengirimkan ini untuk Anda.” Lelaki yang masih mengenakan setelan jas itu mengangkat paperbag warna coklat agar aku melihat apa yang dia bawa. Segera kubuka pintu gerbang cukup untuk tubuhku. Kuterima paperbag tersebut seraya melirik ke arah mobil. Kurasa Pak Guntoro berada di dalam mobil. “Beliau tidak bisa turun,” ucapnya seolah memahami apa yang mengganjal di hatiku. Aku mengangguk paham. Melihatnya kesusahan berjalan beberapa waktu lalu membuatku yakin itulah mengapa lelaki itu menahan dirinya di dalam mobil. Atau mungkin ada alasan lain lagi. Entahlah. “Terima kasih, saya permisi. Maaf membuat Anda
Secangkir kopi yang kuteguk tanpa sisa tak bisa membuat mataku bekerja dengan normal. Semalaman suntuk hampir aku tak bisa memejamkan mata. Hingga mataku ini bisa terpejam tanpa sadar saat aku berniat merebahkan diri sebentar di atas sajadah seusai sholat subuh tadi. Aku tergagap saat panggilan dari Pak Rama terdengar. Dia heran karena tak biasanya aku telat dalam pertemuan yang sudah kami jadwalkan sebelumnya di kafe. Ada tawaran kerja sama dari salah satu acara TV lokal yang berniat menyewa salah satu space di ruangan terbuka untuk salah satu acara mereka yang bertajuk kuliner. Pak Rama yang kebetulan kenal dengan pemilik TV tersebut langsung merekomendasikan kafe kami yang masih membutuhkan branding agar makin dikenal banyak orang. Setelah berkali-kali meminta maaf aku langsung mempersiapkan diri untuk langsung berangkat ke lokasi. Kebetulan hari ini jadwalku ke kafe untuk meminta laporan evaluasi selama seminggu ke belakang karena ada beberapa kendala yang kurasa membuat pendap
Aku sudah mematut diriku di depan cermin. Gaun berwarna navy sudah melekat di tubuhku. Kupadukan dengan clutch warna senada dan dengan riasan yang natural sesuai dengan seleraku. Aku menarik nafas perlahan, kubayangkan apa yang akan terjadi di acara pernikahan Andira dan Satya nanti. Aku meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Begitupun dengan Bintang, semalam tadi sudah kuberitahu panjang lebar apa yang harus dan tidak harus dia lakukan di acara penting itu. Apalagi setelah mendengar pernyataan pak Rama yang mengatakan bahwa pernikahan cucu Pak Guntoro itu hanya mengundang kerabat dekat saja. Aku yakin alasan lelaki itu mengundang kami adalah atas rekomendasi Satya yang menganggap kami sudah menjadi saudara dekatnya.Bintang memeluk pinggangku cukup erat. Dia pun sudah siap dengan penampilannya. Anakku sepertinya paham bahwa ibunya sedang berjuang memantapkan diri. Kurasakan dekapan Bintang makin melonggar. Wajah putih yang mirip sekali dengan ayah kandungnya itu menata
Kursi-kursi yang dihias dengan kain tile warna putih berderet rapi, membentuk dua barisan yang terbagi di sisi kanan dan kiri jalan. Sementara di bagian tengah, kursi yang dikhususkan untuk calon mempelai terlihat sangat cantik dengan hiasan bunga hidup yang makin membuat kesan mewah acara ini. Aku meremas punggung Bintang hingga anak itu menoleh ke arahku. Lagi-lagi dia tersenyum melihat ibunya yang mungkin tengah diserang kepanikan. Rasanya serba salah, aku tak mengenal satu orang pun yang ada di tempat ini. "Sebelah sini, Mas. Ini tempat duduk kita," ucap seorang wanita dengan perut sedikit membuncit. Kurasa dia tengah hamil. Mereka yang duduk tepat di hadapanku mau tidak mau membuat tatapan mataku terarah ke mereka berdua. "Hati-hati," ucap laki-laki yang kali ini berpenampilan cukup segar. Motif batik yang dikenakannya pun sangat serasi dengan warna brokat hijau mint yang digunakan oleh pasangannya. Tangan lelaki itu memegang punggung sang wanita. Mesra. Tak ada kecanggungan
“Om Satya!” pekik Bintang sambil berlari ke arah lelaki yang berdiri berjeda jarak kurang dari lima meter. Pegangan tanganku di pergelangan tangan Bintang terlepas. Aku mematung, entah apa yang harus kulakukan saat ini. Kupaksa bibir ini tersenyum. Kulihat Satya mencium puncak kepala anakku berkali-kali. Desiran aneh kurasakan menjalar di seluruh tubuhku. Bila ada tempat lain untuk bersembunyi, kurasa itu pilihan paling tepat untuk menenggelamkan diriku saat ini. Satya yang puas mengacak rambut Bintang lantas bergerak mendekatiku. Suasana agak canggung, tidak seperti biasanya. Aku mulai tak nyaman melihat senyumnya yang merekah. Lima bulan lebih tak bersua membuat hawa aneh menyelimuti pertemuan ini. “Kau baik-baik saja?” tanyanya padaku. Aroma parfum laki-laki itu masih sama.Hanya potongan rambut yang terlihat lebih rapi. Tak hanya itu, kantung mata Satya terlihat begitu jelas. Lingkaran hitam di matanya membuatku bertanya-tanya. Apakah dia baru saja melewati hal yang berat selam
Tiba-tiba aku teringat dengan perkataan Aluna. Dia pernah mengancam Bu Pertiwi di depan mataku sendiri. Dia tak akan pernah diam setelah keputusan Giandra yang akan tetap menceraikan wanita itu. Inikah yang dimaksud Aluna? Apakah wanita itu benar-benar menjalankan misi balas dendamnya? Aku tergidik ngeri, belum lagi saat video yang dikirimkan Aluna yang menampilkan bagaimana laki-laki yang kuketahui sebagai dokter sekaligus pemimpin rumah sakit ternama itu bisa melakukan kekerasan pada wanita yang telah memberinya anak. Dadaku sesak membayangkan bagaimana perasaan Bu Pertiwi saat ini. Aku bukan tak punya hati. Meski aku sedikit puas dengan satu per satu hal buruk yang menimpa mereka, tetapi sebagai seorang perempuan aku paham sedikit banyak hancurnya wanita itu. Di usia senja, dia harus menanggung hal memalukan sekaligus menyakitkan seperti ini. Tak hanya itu, anak laki-laki satu-satunya yang diharapkan sebagai penerus keluarga pun harus mengakhiri pernikahannya. “Ehm.” Suara lak
“Silahkan duduk,” ucap laki-laki yang sepertinya sudah menungguku beberapa saat lamanya. Aku mengangguk seraya memohon maaf karena keterlambatanku kali ini. Jalanan yang kulalui mendadak macet parah karena kecelakaan yang truk container yang membuat laju kendaraan menjadi terhambat. Dia menyodorkan buku menu padaku. Aku menerimanya dan segera memesan nasi goreng thailand yang menjadi menu favorit di restoran ini. Untuk minuman, aku memesan lemon tea hangat yang sepertinya sangat cocok dengan cuaca dingin di luar sana. “Sepertinya selera kita sama,” ucapnya dengan wajah sedikit bersahabat, berbeda dengan pertemuan kami sebelumnya. Bahkan saat aku menghadiri undangan pernikahan cucunya, kami tak sempat saling menyapa. Pak Guntoro terlihat kurang sehat hingga harus duduk di atas kursi roda dengan didampingi asistennya yang setia. “Terima kasih sudah datang ke pernikahan Andira,” ucapnya lagi. Aku mengulas senyum sedikit. “Terima kasih juga telah membuat cucu saya yang lain bahagia,”
"Lekas pulang atau kau tidur di luar!" ketusku. Tawa Satya kembali berderai. Laki-laki itu masih sempat-sempatnya menggodaku. Bahkan dia merebahkan tubuhnya di sisiku dan bersiap menarik tubuhku jika aku tak segera menghalaunya. "Minggir. Kau bau asap. Aku tak suka!" sungutku. Kini tawa Satya berhenti. Dia memaksa membalikkan tubuhku hingga menghadapnya. Mata beriris coklat itu sejenak menghipnotisku. "Hei, aneh sekali. Kau sedang datang tamu bulanan? " Pertanyaan Satya sukses membuatku tercengang. Ya, seharusnya aku sudah kedatangan tamu bulananku. Tak biasanya jadwal menstruasiku yang rutin itu mundur hingga hampir dua minggu. "Kenapa wajahmu?" tanya Satya sambil mengacak gemas rambutku. Aku menatapnya dengan sedikit tegang. "Kenapa?" ulangnya. "Aku belum menstruasi bulan ini." Jawabanku membuat tangan Satya berhenti seketika. Dia mengambil posisi duduk seraya menarik tubuhku untuk menghadapnya langsung. "Apakah artinya aku akan menjadi seorang ayah?" tanyanya dengan wajah b
"Kenapa?" Anak lelakiku menggeleng. Kurasa keterikatan batin itu nyata adanya. Bintang terlihat amat kehilangan meski bibirnya tak berucap apapun. Kupeluk anakku cukup lama, sebelum akhirnya sebuah tangan kekar mengusap punggungku dengan lembut. Kulepaskan pelukanku pada Bintang dan menoleh ke arah belakang. Satya tersenyum. "Kamu tahu kami di sini?" tanyaku dengan suara sedikit serak. Satya yang langsung mengambil alih tangan Bintang menjawab pertanyaanku tanpa menoleh ke arahku. "Ayahnya Bintang yang ngasih tahu. Bahkan dia meminta izin padaku sebelum meminta kalian bertemu. Aku siapa hingga dia meminta izin terlebih dahulu padaku, bukan?" Satya yang memakai kaus polos warna putih lagi-lagi menutup kepalanya dengan topi warna navy. Bintang nampak sumringah bertemu laki-laki itu. "Jadi kapan Bintang bisa tidur bertiga dengan kalian?" Aku tercengang dengan pertanyaan anakku. Darimana dia mengetahui kosakata semacam itu?"Bintang?" Aku mencoba mengorek informasi darinya. Sayang
“Izinkan aku bersikap selayaknya seorang ayah pada anaknya. Sekali ini saja,” ucap lirih Giandra dengan penuh pengharapan. Mata itu memandangku dengan tatapan sendu. Laki-laki yang kini terlihat berbeda dari sebelumnya. Dapat kulihat dengan jelas kantung mata yang membuatnya terlihat sedikit pucat. Apakah hidupnya sekacau ini sekarang? Sementara Bu Pertiwi–ibunya, memandang anakku dengan mata berkaca-kaca. Siapapun akan sepakat bahwa wanita itu tengah didera kesedihan yang begitu dalam. Jemarinya terlihat meremas satu sama lain. Tak ada lagi tampilan glamour khas penampilannya selama ini. Aku dilanda perang batin tak berkesudahan selama semalaman tadi. Kalimat Mas Enggar mengenai permintaan Giandra tak bisa kuabaikan begitu saja. Benar kata dia, aku harus ikhlas dengan semua yang sudah menimpaku. Mungkin dengan memaafkan lelaki itu maka hidupku akan lebih ringan ke depannya. Aku tak perlu menanggung beban berat karena rasa sakit hati yang berlarut-larut. “Aku tak mungkin menyakiti
Seketika pandanganku mengarah pada Bintang yang kini masih asyik dengan sekotak frenchfries di hadapannya. Lagi-lagi aku mengaminkan kalimat Mas Enggar. "Paling tidak belajarlah darinya. Harta, jabatan, kekuasaan, bahkan keluarga yang mereka agungkan hingga menolak kehadiranmu yang dianggap tak setara itu kini hanya bersisa puing-puing tak berharga sama sekali. Keluarga Prihandono terpecah, siapa yang menyangka hal itu?" Ya, aku mendengar berita kebangkrutan usaha keluarga itu dari media online yang kubaca. Meski tak berarti aku senang mendengarnya, tetapi rasanya ada kepuasan tersendiri melihat apa yang mereka sombongkan itu tumbang satu persatu. "Kau tahu, ada hal yang jauh lebih mengerikan yang selama ini keluarga Prihandono itu tutup-tutupi dari orang lain." Tiba-tiba aku tergidik ngeri. Bisakah aku mencegah Mas Enggar menjelaskan secara detil apa maksudnya yang dikatakannya? Cukup sudah kenyataan mengerikan yang disimpan oleh keluarga Satya. Mengenai keluarga Giandra, aku ben
Permintaan Terakhir "Laki-laki yang baik. Kelihatannya dia bertanggung jawab. Tetapi …." "Apakah kau tak akan mendapat kesulitan nanti? Latar belakang keluarga kita berbeda. Jarak itu tak akan terkikis sekalipun kita berusaha sekuat tenaga," lanjut Mas Enggar. Wajah lelaki itu menyiratkan keresahan yang amat. Meski sesekali senyum itu terbit di bibirnya, namun sekian lama hidup berdampingan dengannya aku masih paham jika ada hal berat yang menggelayuti pikirannya. Aku paham dengan kekhawatiran itu. Kekhawatiran itu pula yang sempat menghantuiku. Tetapi melihat bagaimana Satya yang gigih meyakinkanku, menerima berbagai jenis penolakanku, semua itu luruh. Tak hanya sekali aku menolaknya, bahkan berkali-kali. Nyatanya lelaki itu bergeming di tempatnya berdiri. Tak ada yang membuatnya surut mundur karena perlakuanku. Dia tetap bertahan dengan apa yang dia yakini. Bukankah tak seharusnya aku berlaku sekejam itu dengan terus-menerus mengabaikannya?"Satya lelaki yang baik, dia bisa me
Aku melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Kurasa aku sudah membuat seseorang menunggu kami di kafe rooftop yang sudah kami sepakati. Bintang yang duduk di sebelah kursi kemudi yang kini kududuki nampak antusias melihat mobil kami membelah jalanan yang terasa lancar meski di tengah-tengah suasana malam minggu.Aku berusaha mencairkan suasana hatiku dengan mengalunkan lagu yang kini tengah digandrungi kembali setelah diaransemen ulang oleh penciptanya. Penyanyi ajang pencarian bakat di salah satu televisi swasta yang menyanyikannya ulang pun cukup piawai menyanyikan lagu hingga tak kalah dengan penyanyi aslinya.Sesampai di parkiran aku pun langsung menuntun Bintang ke meja dengan nomor yang sudah diberitahukan padaku. Kulangkahkan kaki di antara meja-meja yang berjarak cukup jauh satu sama lain. Kurasa kafe ini memang menawarkan kenyamanan hingga privasi yang lebih terjaga.Kueratkan genggaman tanganku pada tangan Bintang. Ini kali pertama dia datang kemari, k
Segera sampai di dapur aku mengabulkan permintaan anakku sekaligus membuat kopi yang aromanya sudah menari-nari di otakku. Mungkin saja kepalaku yang terasa berat lama kelamaan akan sembuh jika meneguk secangkir kopi yang memang menjadi candu untukku. Kupanggil Bintang setelah makanan yang dia pesan selesai kubuat. Hanya perlu memanggilnya sekali maka anak itu akan turun dengan segera, tentu saja dengan membawa serta mainannya. "Mama jangan keseringan minum kopi," ucap Bintang saat tubuh mungilnya sudah di duduk di kursi yang terletak persis di sisiku. Aku menoleh, memahami kalimat yang dia lontarkan. Rasanya aneh saja, dia tak pernah mengatakan hal-hal seperti ini sebelumnya. "Apalagi Mama lupa sarapan, nggak baik, Ma. Nanti lama-kelamaan Mama sakit," lanjutnya. Baiklah. Aku rasa dia benar-benar aneh. "Siapa yang mengajarimu?" tanyaku langsung. Aku yakin ada tokoh di balik lancarnya anak lelakiku menasihati ibunya ini. Bintang tersenyum, sambil menutup mulutnya rapat-rapat dengan
Pembicaraan Serius "Kepada siapa aku meminta izin untuk menikahimu? Siapa yang harus kudatangi?" ***Semalaman aku benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku melayang ke arah kejadian siang ini saat Satya tiba-tiba berkata seserius itu. Bahkan dia tak membiarkan tanganku lolos dari genggaman tangannya. Tak peduli bagaimana tatapan orang-orang yang lalu lalang melihat kami. Belum lagi pada pegawai kami yang tentu saja memandang kami dengan senyuman yang hampir tak bisa mereka sembunyikan. Entah bagaimana bentuk wajahku. Kuyakin mereka dengan mudah melihat raut kegugupan yang terlihat jelas. "Sat, please. Jangan membuatku malu. Mereka menertawakan kita!" ucapku sambil berusa menarik tanganku. Sayang, lelaki itu tak kunjung meloloskannya. Dia malah makin mengeratkan genggaman tangannya. "Biar saja. Mungkin pula rasa malumu yang akan mendorongmu untuk berkata jujur." Laki-laki itu tersenyum. Kurasa seolah sengatan listrik mengalir dalam aliran darahku. Degup jantung yang meng
“Andira. Om Brata mohon. Tetaplah tenang karena masih banyak hal yang perlu kita bicarakan.” Kalimat itu membuat Andira kembali terdiam seperti semula. Namun tatapan matanya yang nyalang melihat Pak Darma dan Bu Silvi yang duduk tepat di seberangnya tak mampu dihindari. Wanita yang biasa terlihat ceria itu benar-benar dikuasai emosi yang membumbung tinggi. “Inikah alasan Ayah tak pernah memberikanku posisi yang kuinginkan selama puluhan tahun aku menunggunya?” Suara Pak Darma terdengar getir namun penuh emosi terselubung. Dia tertawa miris, entah apa yang membuatnya melakukan demikian. Ataukah dia tengah menertawakan nasibnya sendiri? Pada kenyataannya dia tak mendapatkan apapun setelah melakukan sekian banyak kejahatan. “Bahkan kau tak berhak mendapatkan warisan apapun kecuali apa-apa yang kini sudah melekat pada dirimu yang sudah tertera atas namamu.”“Apa?” Bu Silvi terlihat tak percaya dengan apa yang didengarnya. Wajah putihnya makin terlihat pucat seolah tak ada aliran darah