Kuajukan SyaratKubiarkan lelaki itu mengemudikan mobilku. Biarlah kali ini aku melawan ego. Bintang harus cepat ditangani di rumah sakit terdekat. Meski artinya aku akan membiarkan ayah kandungnya itu akan berseliweran di sekitar kami. Biar urusanku dengannya kuselesaikan setelah pengobatan Bintang sudah diberikan. Berkali-kali aku menggoyangkan tubuh anakku agar dia kembali terjaga. Sayangnya semua yang kulakukan nampak tak membuahkan hasil. Bahkan hingga tanpa sadar aku meneriaki anakku yang masih terkulai lemah di pangkuanku sampai-sampai suara Giandra mengingatkanku terdengar. “Berhenti panik. Ambil napas dalam-dalam. Kau harus tetap tenang,” ucap lelaki itu sambil melihat kaca di atas kemudi. Aku tak menyahut. Rasanya kepalaku hampir meledak melihat kondisi Bintang. “Tenang saja, nanti akan ditangani. Sudah kuhubungi petugas jaga di IGD untuk mempersiapkan semuanya.” Aku masih diam tak menyahut meski dalam hati sedikit mensyukuri kesigapan lelaki itu. Pengalamannya sebagai se
“Berhenti. Aku bukan sedang meminta belas kasihan dari siapapun. Jangan menunjukkan rasa bersalahmu padaku. Itu tak akan berguna sama sekali. Terima kasih sudah membantuku membawa Bintang. Kau bisa pulang ,” ujarku datar.“Izinkan aku…”“Tidak!” Aku menunjukkan penolakan dengan gerakan tanganku. Kulayangkan pandangan penuh ancaman pada lelaki yang mulai mencari celah di tengah-tengah peristiwa buruk yang menimpaku.“Berhenti membuat ulah. Aku sudah mulai hidup tenang. Masalah Bintang pun akan kuselesaikan sendiri. Dia akan baik-baik saja. Pergilah. Dan kumohon, jangan mencoba berpikir untuk menyusup ke dalam hidupku dan Bintang. Cukuplah di masa lalu kau membuatku menjadi wanita paling menyedihkan di dunia ini. Aku sudah bangkit, hidup dengan sangat baik dengan anak yang tak pernah mendapat pengakuan ayahnya.”“Kumohon. Maafkan aku. Kita mulai lagi dari awal!”“Giandra Prihandono! Jangan membuatku berteriak dengan tingkah kurang ajarmu! Apakah kau tak mengindahkan nama baikmu sebagai
Tawaran LicikAku cukup terkejut saat mendapati Bu Pertiwi—ibunya Giandra, duduk di depan ranjang Bintang. Yang membuatku lebih tersentak saat kulihat dengan netraku Bintang Nampak tertawa lepas, bercanda ria dengan wanita asing di depannya. Aku yang semula hendak masuk mendadak kaku. Kakiku seolah menancap kuat di lantai, terpaku di atas tempatku berdiri saat ini.Ruangan VVIP yang sengaja kupilihkan untuk Bintang memang menawarkan suasana yang lumayan tenang. Aku menginginkan perawatan terbaik untuk anak itu.“Maaf, Bu. Saya tak bisa mencegah kedatangannya. Dia memaksa masuk, apalagi setelah dia memperlihatkan kartu khusus pengunjung pasien.” Mbak Tini mengagetkanku. Kulihat tangannya menjinjing makanan siap saji yang mungkin baru diambilnya dari kantin. Mungkin juga dia baru menggunakan jasa delivery order untuk menikmati makanan yang dia inginkan.Aku mendesah sambil menyenderkan punggungku yang teramat letih di dinding. Rasanya begitu lemah, bahkan hanya sekadar untuk menumpahkan
“Nenek Pertiwi yang menyuapi Bintang,” jawab anakku perlahan. Kulihat genggaman tangan anakku yang sedikit terbuka. Sebuah mainan mobil-mobilan kecil yang memang menjadi kegemarannya menyembul dari balik jemari tangannya yang mungil.Oh. Aku tahu.Nampaknya wanita culas di depanku itu pandai mengambil hati anakku dengan cara sesederhana ini. Kuhempaskan napasku cukup keras. Sesak, rasanya tak bisa membayangkan jika Bintang akan makin dekat dengan orang-orang yang menolaknya mati-matian di masa lalu.“Baiklah, Nenek pamit. Kalau Nenek ada waktu…”“Mari saya antar ke depan, Nenek Pertiwi.” Aku menajamkan mataku. Kubidik sepasang mata penuh muslihat di depanku ini dengan ancaman. Entah dimana rasa malunya diletakkan hingga berani berbuat sejauh ini terhadapku. Apakah mereka semua lupa dengan kejahatan yang sudah dilakukannya dahulu?Apakah mereka pikir aku semulia itu membiarkan mereka begitu saja?“Mari,” ucapku sambil mempersilahkan wanita itu dengan gerakan tanganku. Tak kuindahkan ta
AncamanSatya tak pernah memberi kabar apapun setelah kepergiannya. Jujur, sekali waktu aku sering menatap layar ponsel berlama-lama, membayangkan lelaki itu menelepon sekadar memberi kabar. Tetapi nyatanya semua itu hanya angan-angan. Yang membuatku sedikit sakit adalah saat momen pembukaan kafe justru dia hanya menghubungi Pak Rama. Tak hanya itu, dia yang meminta diperlihatkan suasana opening kafe tersebut melalui sambungan video call tak menyapaku sama sekali. Ada yang berdenyut nyeri di dalam dadaku. Tetapi aku sadar sekali tak berhak menuntut Satya untuk bertanggung jawab atas rasa kecewa yang menimpaku ini. Aroma wangi dari barista yang tengah meracik kopi membuatku tertarik untuk mendatangi lelaki yang usianya masih sangat muda. Dia yang tadinya bekerja di kafe ternama di Kota Jakarta memilih pulang kampung dan mencari pekerjaan di tempatnya berasal. Aku beruntung sekali bertemu dengannya. “Kopi gula aren dong satu,” ucapku pada Adrian yang mengenakan topi khasnya. “Biar
Oh, sungguh! Lelaki yang berprofesi sebagai dokter itu terlihat tanpa dosa menyatakan kalimat tersebut padaku. “Maaf, kurasa aku baru saja menanyakan kalimat retoris yang tak membutuhkan jawaban.” Dia tersenyum ringan, lagi-lagi tak ada wajah berdosa sama sekali. Hal yang membuatku cukup tertegun, terlebih mengingat apa yang sudah dia lakukan padaku sebelumnya. “Dimana anak itu?” Aku menghujam manik mata yang terhalang kacamata yang dikenakannya. Pak Prihandono tersenyum. Dia menautkan kedua tangannya di atas meja. “Aku sudah mendengar tentang anak itu, dia mirip sekali dengan … .”“Apa yang membuat Anda datang menemuiku? Tak mungkin jika hanya menanyakan kabar saja,” ucapku tandas. Aku tak bisa berbasa-basi lagi setelah dia berani membahas putraku itu. “Kau masih seperti dulu, sangat ambisius.” “Katakan sekali lagi, apa yang membawa Anda datang menemuiku? Bukankah suatu ketidakmungkinan seorang Bapak Prihandono yang terhormat itu menemui wanita kotor sepertiku?” Aku tak bisa me
“Sungguh amat disayangkan karena kehadiranmu di tengah-tengah keluarga kami lagi telah membuat bola apI yang selama ini padam kembali menyala.” Pak Prihandono menatapku dengan wajah yang begitu santai. Berbeda sekali dengan apa yang kurasakan saat ini. Bahkan berkali-kali aku mencoba mengalihkan getaran tanganku agar tak terlihat olehnya. “Bukan saya yang datang ke hidup kalian lagi. Tetapi kalianlah orang-orang tak tahu malu yang muncul bersamaan dan mulai mengacau di hidup saya yang mulai tertata.”“Kau terlalu sombong, Rindu. Saya harap kau benar-benar konsisten dengan penolakanmu atas Giandra. Saya tak akan membiarkan dia mengacaukan hubungan baik yang sudah terjalin antara keluargaku dan keluarga Aluna. Dan kini, kau telah berhasil memancing istriku untuk berada pada pihakmu. Sebaiknya….”“Di pihakku? Bu Pertiwi? istri Anda? sebenarnya apa yang sedang kita hadapi? Apakah saya terlihat tengah berusaha memenangkan sesuatu?”Pak Prihandono menggeser tempat duduknya. Nampaknya lela
"Rindu…jika terhadap anakku saja saya bisa berlaku sekejam itu…lalu…bisakah kamu berpikir apa yang bisa saya lakukan terhadapmu dan anakmu jika kalian mengacaukan segala sesuatu yang susah payah kubangun selama ini?"Kalimat Pak Prihandono berputar berulang kali di kepalaku. Sungguh tatapan lelaki itu menyiratkan keseriusan dalam kalimatnya. Dia tidak sedang bermain-main. Dia mengancamku seolah tengah ketakutan aku akan menerima penawaran Giandra dan ibunya. Hal yang tak pernah terlintas dalam pikiranku. Tetapi melihat bagaimana seorang ayah yang tak peduli dengan kebahagiaan anaknya sungguh membuatku tergidik ngeri. Demi nama baik dan kehormatan diri lelaki itu mengabaikan kehidupan anak satu-satunya. Bukankah pernikahan itu ibadah seumur hidup? Mengapa dia begitu egois dan mengabaikan perasaaan sang anak? Dan mengapa tiba-tiba Ibu Pertiwi berbalik berlawanan arah dengan sang suami? Bukankah dulu mereka teramat solid menentangku yang meminta pertanggungjawaban Giandra? “Ehem…” Su
"Lekas pulang atau kau tidur di luar!" ketusku. Tawa Satya kembali berderai. Laki-laki itu masih sempat-sempatnya menggodaku. Bahkan dia merebahkan tubuhnya di sisiku dan bersiap menarik tubuhku jika aku tak segera menghalaunya. "Minggir. Kau bau asap. Aku tak suka!" sungutku. Kini tawa Satya berhenti. Dia memaksa membalikkan tubuhku hingga menghadapnya. Mata beriris coklat itu sejenak menghipnotisku. "Hei, aneh sekali. Kau sedang datang tamu bulanan? " Pertanyaan Satya sukses membuatku tercengang. Ya, seharusnya aku sudah kedatangan tamu bulananku. Tak biasanya jadwal menstruasiku yang rutin itu mundur hingga hampir dua minggu. "Kenapa wajahmu?" tanya Satya sambil mengacak gemas rambutku. Aku menatapnya dengan sedikit tegang. "Kenapa?" ulangnya. "Aku belum menstruasi bulan ini." Jawabanku membuat tangan Satya berhenti seketika. Dia mengambil posisi duduk seraya menarik tubuhku untuk menghadapnya langsung. "Apakah artinya aku akan menjadi seorang ayah?" tanyanya dengan wajah b
"Kenapa?" Anak lelakiku menggeleng. Kurasa keterikatan batin itu nyata adanya. Bintang terlihat amat kehilangan meski bibirnya tak berucap apapun. Kupeluk anakku cukup lama, sebelum akhirnya sebuah tangan kekar mengusap punggungku dengan lembut. Kulepaskan pelukanku pada Bintang dan menoleh ke arah belakang. Satya tersenyum. "Kamu tahu kami di sini?" tanyaku dengan suara sedikit serak. Satya yang langsung mengambil alih tangan Bintang menjawab pertanyaanku tanpa menoleh ke arahku. "Ayahnya Bintang yang ngasih tahu. Bahkan dia meminta izin padaku sebelum meminta kalian bertemu. Aku siapa hingga dia meminta izin terlebih dahulu padaku, bukan?" Satya yang memakai kaus polos warna putih lagi-lagi menutup kepalanya dengan topi warna navy. Bintang nampak sumringah bertemu laki-laki itu. "Jadi kapan Bintang bisa tidur bertiga dengan kalian?" Aku tercengang dengan pertanyaan anakku. Darimana dia mengetahui kosakata semacam itu?"Bintang?" Aku mencoba mengorek informasi darinya. Sayang
“Izinkan aku bersikap selayaknya seorang ayah pada anaknya. Sekali ini saja,” ucap lirih Giandra dengan penuh pengharapan. Mata itu memandangku dengan tatapan sendu. Laki-laki yang kini terlihat berbeda dari sebelumnya. Dapat kulihat dengan jelas kantung mata yang membuatnya terlihat sedikit pucat. Apakah hidupnya sekacau ini sekarang? Sementara Bu Pertiwi–ibunya, memandang anakku dengan mata berkaca-kaca. Siapapun akan sepakat bahwa wanita itu tengah didera kesedihan yang begitu dalam. Jemarinya terlihat meremas satu sama lain. Tak ada lagi tampilan glamour khas penampilannya selama ini. Aku dilanda perang batin tak berkesudahan selama semalaman tadi. Kalimat Mas Enggar mengenai permintaan Giandra tak bisa kuabaikan begitu saja. Benar kata dia, aku harus ikhlas dengan semua yang sudah menimpaku. Mungkin dengan memaafkan lelaki itu maka hidupku akan lebih ringan ke depannya. Aku tak perlu menanggung beban berat karena rasa sakit hati yang berlarut-larut. “Aku tak mungkin menyakiti
Seketika pandanganku mengarah pada Bintang yang kini masih asyik dengan sekotak frenchfries di hadapannya. Lagi-lagi aku mengaminkan kalimat Mas Enggar. "Paling tidak belajarlah darinya. Harta, jabatan, kekuasaan, bahkan keluarga yang mereka agungkan hingga menolak kehadiranmu yang dianggap tak setara itu kini hanya bersisa puing-puing tak berharga sama sekali. Keluarga Prihandono terpecah, siapa yang menyangka hal itu?" Ya, aku mendengar berita kebangkrutan usaha keluarga itu dari media online yang kubaca. Meski tak berarti aku senang mendengarnya, tetapi rasanya ada kepuasan tersendiri melihat apa yang mereka sombongkan itu tumbang satu persatu. "Kau tahu, ada hal yang jauh lebih mengerikan yang selama ini keluarga Prihandono itu tutup-tutupi dari orang lain." Tiba-tiba aku tergidik ngeri. Bisakah aku mencegah Mas Enggar menjelaskan secara detil apa maksudnya yang dikatakannya? Cukup sudah kenyataan mengerikan yang disimpan oleh keluarga Satya. Mengenai keluarga Giandra, aku ben
Permintaan Terakhir "Laki-laki yang baik. Kelihatannya dia bertanggung jawab. Tetapi …." "Apakah kau tak akan mendapat kesulitan nanti? Latar belakang keluarga kita berbeda. Jarak itu tak akan terkikis sekalipun kita berusaha sekuat tenaga," lanjut Mas Enggar. Wajah lelaki itu menyiratkan keresahan yang amat. Meski sesekali senyum itu terbit di bibirnya, namun sekian lama hidup berdampingan dengannya aku masih paham jika ada hal berat yang menggelayuti pikirannya. Aku paham dengan kekhawatiran itu. Kekhawatiran itu pula yang sempat menghantuiku. Tetapi melihat bagaimana Satya yang gigih meyakinkanku, menerima berbagai jenis penolakanku, semua itu luruh. Tak hanya sekali aku menolaknya, bahkan berkali-kali. Nyatanya lelaki itu bergeming di tempatnya berdiri. Tak ada yang membuatnya surut mundur karena perlakuanku. Dia tetap bertahan dengan apa yang dia yakini. Bukankah tak seharusnya aku berlaku sekejam itu dengan terus-menerus mengabaikannya?"Satya lelaki yang baik, dia bisa me
Aku melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Kurasa aku sudah membuat seseorang menunggu kami di kafe rooftop yang sudah kami sepakati. Bintang yang duduk di sebelah kursi kemudi yang kini kududuki nampak antusias melihat mobil kami membelah jalanan yang terasa lancar meski di tengah-tengah suasana malam minggu.Aku berusaha mencairkan suasana hatiku dengan mengalunkan lagu yang kini tengah digandrungi kembali setelah diaransemen ulang oleh penciptanya. Penyanyi ajang pencarian bakat di salah satu televisi swasta yang menyanyikannya ulang pun cukup piawai menyanyikan lagu hingga tak kalah dengan penyanyi aslinya.Sesampai di parkiran aku pun langsung menuntun Bintang ke meja dengan nomor yang sudah diberitahukan padaku. Kulangkahkan kaki di antara meja-meja yang berjarak cukup jauh satu sama lain. Kurasa kafe ini memang menawarkan kenyamanan hingga privasi yang lebih terjaga.Kueratkan genggaman tanganku pada tangan Bintang. Ini kali pertama dia datang kemari, k
Segera sampai di dapur aku mengabulkan permintaan anakku sekaligus membuat kopi yang aromanya sudah menari-nari di otakku. Mungkin saja kepalaku yang terasa berat lama kelamaan akan sembuh jika meneguk secangkir kopi yang memang menjadi candu untukku. Kupanggil Bintang setelah makanan yang dia pesan selesai kubuat. Hanya perlu memanggilnya sekali maka anak itu akan turun dengan segera, tentu saja dengan membawa serta mainannya. "Mama jangan keseringan minum kopi," ucap Bintang saat tubuh mungilnya sudah di duduk di kursi yang terletak persis di sisiku. Aku menoleh, memahami kalimat yang dia lontarkan. Rasanya aneh saja, dia tak pernah mengatakan hal-hal seperti ini sebelumnya. "Apalagi Mama lupa sarapan, nggak baik, Ma. Nanti lama-kelamaan Mama sakit," lanjutnya. Baiklah. Aku rasa dia benar-benar aneh. "Siapa yang mengajarimu?" tanyaku langsung. Aku yakin ada tokoh di balik lancarnya anak lelakiku menasihati ibunya ini. Bintang tersenyum, sambil menutup mulutnya rapat-rapat dengan
Pembicaraan Serius "Kepada siapa aku meminta izin untuk menikahimu? Siapa yang harus kudatangi?" ***Semalaman aku benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku melayang ke arah kejadian siang ini saat Satya tiba-tiba berkata seserius itu. Bahkan dia tak membiarkan tanganku lolos dari genggaman tangannya. Tak peduli bagaimana tatapan orang-orang yang lalu lalang melihat kami. Belum lagi pada pegawai kami yang tentu saja memandang kami dengan senyuman yang hampir tak bisa mereka sembunyikan. Entah bagaimana bentuk wajahku. Kuyakin mereka dengan mudah melihat raut kegugupan yang terlihat jelas. "Sat, please. Jangan membuatku malu. Mereka menertawakan kita!" ucapku sambil berusa menarik tanganku. Sayang, lelaki itu tak kunjung meloloskannya. Dia malah makin mengeratkan genggaman tangannya. "Biar saja. Mungkin pula rasa malumu yang akan mendorongmu untuk berkata jujur." Laki-laki itu tersenyum. Kurasa seolah sengatan listrik mengalir dalam aliran darahku. Degup jantung yang meng
“Andira. Om Brata mohon. Tetaplah tenang karena masih banyak hal yang perlu kita bicarakan.” Kalimat itu membuat Andira kembali terdiam seperti semula. Namun tatapan matanya yang nyalang melihat Pak Darma dan Bu Silvi yang duduk tepat di seberangnya tak mampu dihindari. Wanita yang biasa terlihat ceria itu benar-benar dikuasai emosi yang membumbung tinggi. “Inikah alasan Ayah tak pernah memberikanku posisi yang kuinginkan selama puluhan tahun aku menunggunya?” Suara Pak Darma terdengar getir namun penuh emosi terselubung. Dia tertawa miris, entah apa yang membuatnya melakukan demikian. Ataukah dia tengah menertawakan nasibnya sendiri? Pada kenyataannya dia tak mendapatkan apapun setelah melakukan sekian banyak kejahatan. “Bahkan kau tak berhak mendapatkan warisan apapun kecuali apa-apa yang kini sudah melekat pada dirimu yang sudah tertera atas namamu.”“Apa?” Bu Silvi terlihat tak percaya dengan apa yang didengarnya. Wajah putihnya makin terlihat pucat seolah tak ada aliran darah