Kepergian Satya Bintang memeluk tubuhku erat. Hari ini sengaja aku datang menjemputnya. Aku butuh senyumannya untuk menenangkan hatiku yang merasa tak nyaman. Keringat yang tersisa di tubuhnya memberi aroma khas anak-anak. Apalagi tadi memang jadwal dia melaksanakan pelajaran olahraga. Kucium rambutnya yang agak basah itu. Setelahnya kuhadiahi sebuah cubitan gemas pada pipinya yang sedikit gembul. “Asem sekali anak Mama,” ucapku sebelum melepaskan pelukanku. Beberapa orangtua yang menjemput anaknya pun nampak hilir mudik di halaman sekolah yang luas itu. Aku menggenggam tangan mungilnya dan mengajaknya berjalan ke arah mobil yang terparkir agak jauh dari lokasiku berdiri. “Hari ini kita Bintang jadi pak dokter. Om dokter teman Mama yang ngasih contoh.” Deg. Hatiku seolah teraliri arus listrik kecil. Om Dokter? Dahiku berlipat. Namun aku masih membawanya berjalan demi secepatnya sampai di kendaraan kami. Cuaca sedang panas-panasnya. Kepalaku mulai berdenyut saat panas matahari mem
“Bu, ada Pak Satya,” ucap Mbak Tini saat aku tengah menemani anakku tidur. Sepulang sekolah tak banyak kata yang keluar dari mulut anakku. Nampaknya dia benar-benar kecewa karena keinginannya bertemu Satya belum juga terpenuhi. Aku segera mengambil posisi duduk. Ada gelenyar aneh saat tahu lelaki yang tengah dirindukan oleh Bintang kini ada di bawah. Sayangnya Bintang sudah terlelap. Dengkuran halus terdengar dari bibirnya. Mbak Tini seolah paham dengan kesusahan yang tengah kurasakan. Sebagai pengasuh Bintang pasti dia tahu anakku itu tengah merindukan Om kesayangannya. Sayang sekali laki-laki itu datang di saat yang tak tepat. Padahal tawa riang akan mudah sekali tercipta saat keduanya itu bertemu. Kuraih kerudung instan warna mint dan memakaikannya di kepalaku. Kuturuni anak tangga dengan perasaan yang tak menentu. Entah apa yang akan dilakukan Satya jika tahu Bintang sudah terlelap dibuai mimpi. “Ndu,” panggil Satya. Wajah yang biasa penuh senyum ini pun terlihat kaku, atau m
Melawan Ego “Kenapa kau selalu seperti ini? Tak bisakah kau pura-pura bersedih atas kepergianku? Aku tak bisa memastikan berapa lama aku akan berada di Singapura. Apakah kau tak merasa kehilanganku?”Tawaku meledak. “Pergilah jika memang itu akan membuatmu aman dari kejaran polisi.” Kalimat yang berhasil membuat lelaki itu mematung, seolah geram dengan reaksi main-main yang kutampilkan. Lagi pula mengapa harus seserius ini? Bukankah datang dan pergi adalah suatu keniscayaan? Hidupku sudah terlalu pelik, mengapa harus terlalu larut dengan kehidupan yang serba tak pasti ini? Aku bergumam, menertawakan kehidupanku sendiri. Satya tetap duduk dengan mengarahkan mata elangnya yang entah kapan lagi akan kutemui. Entah bagaimana aku akan menjawab pertanyaan Bintang yang pasti akan merindukan sosok pria di depannya. Entah kepada siapa lagi Bintang akan merajuk saat menginginkan sepotong layangan miliknya diterbangkan. Entah pada siapa Bintang akan meminta gendong karena ibunya ini sudah ke
Malam ini Bintang panas. Dia menggigil hebat di balik selimut. Aku yang tadi masih di restoran tiba-tiba mendapat panggilan dari Mbak Tini yang mengabarkan bahwa kondisi Bintang memburuk. Aku sedikit menyesal mengapa hanya meminta pengasuh putraku itu untuk memberikan obat penurun panas saat siang tadi wanita itu memberi kabar untuk pertama kali. Aku egois. Terlalu sibuk dengan proyek pembukaan kafe yang tinggal menghitung hari membuatku bekerja bagai kuda tak kenal lelah. Jika saja fisikku mampu mengerjakan, aku lupa bahwa ada anak yang harus tetap menjadi prioritasku. Aku langsung meminta izin Pak Rama untuk pulang terlebih dahulu. Beruntung lelaki itu mengerti kondisiku. Sedikit banyak Pak Rama sudah paham mengenai statusku. Mungkin Satya yang sudah memberitahunya. Tidak mungkin Giandra yang memberitahunya. Lelaki itu tak mungkin menggali kuburannya sendiri dengan menceritakan kisahku dengannya di masa lalu. Dan lihatlah kini. Aku harus menerima kabar yang membuatku lemas baga
Kuajukan SyaratKubiarkan lelaki itu mengemudikan mobilku. Biarlah kali ini aku melawan ego. Bintang harus cepat ditangani di rumah sakit terdekat. Meski artinya aku akan membiarkan ayah kandungnya itu akan berseliweran di sekitar kami. Biar urusanku dengannya kuselesaikan setelah pengobatan Bintang sudah diberikan. Berkali-kali aku menggoyangkan tubuh anakku agar dia kembali terjaga. Sayangnya semua yang kulakukan nampak tak membuahkan hasil. Bahkan hingga tanpa sadar aku meneriaki anakku yang masih terkulai lemah di pangkuanku sampai-sampai suara Giandra mengingatkanku terdengar. “Berhenti panik. Ambil napas dalam-dalam. Kau harus tetap tenang,” ucap lelaki itu sambil melihat kaca di atas kemudi. Aku tak menyahut. Rasanya kepalaku hampir meledak melihat kondisi Bintang. “Tenang saja, nanti akan ditangani. Sudah kuhubungi petugas jaga di IGD untuk mempersiapkan semuanya.” Aku masih diam tak menyahut meski dalam hati sedikit mensyukuri kesigapan lelaki itu. Pengalamannya sebagai se
“Berhenti. Aku bukan sedang meminta belas kasihan dari siapapun. Jangan menunjukkan rasa bersalahmu padaku. Itu tak akan berguna sama sekali. Terima kasih sudah membantuku membawa Bintang. Kau bisa pulang ,” ujarku datar.“Izinkan aku…”“Tidak!” Aku menunjukkan penolakan dengan gerakan tanganku. Kulayangkan pandangan penuh ancaman pada lelaki yang mulai mencari celah di tengah-tengah peristiwa buruk yang menimpaku.“Berhenti membuat ulah. Aku sudah mulai hidup tenang. Masalah Bintang pun akan kuselesaikan sendiri. Dia akan baik-baik saja. Pergilah. Dan kumohon, jangan mencoba berpikir untuk menyusup ke dalam hidupku dan Bintang. Cukuplah di masa lalu kau membuatku menjadi wanita paling menyedihkan di dunia ini. Aku sudah bangkit, hidup dengan sangat baik dengan anak yang tak pernah mendapat pengakuan ayahnya.”“Kumohon. Maafkan aku. Kita mulai lagi dari awal!”“Giandra Prihandono! Jangan membuatku berteriak dengan tingkah kurang ajarmu! Apakah kau tak mengindahkan nama baikmu sebagai
Tawaran LicikAku cukup terkejut saat mendapati Bu Pertiwi—ibunya Giandra, duduk di depan ranjang Bintang. Yang membuatku lebih tersentak saat kulihat dengan netraku Bintang Nampak tertawa lepas, bercanda ria dengan wanita asing di depannya. Aku yang semula hendak masuk mendadak kaku. Kakiku seolah menancap kuat di lantai, terpaku di atas tempatku berdiri saat ini.Ruangan VVIP yang sengaja kupilihkan untuk Bintang memang menawarkan suasana yang lumayan tenang. Aku menginginkan perawatan terbaik untuk anak itu.“Maaf, Bu. Saya tak bisa mencegah kedatangannya. Dia memaksa masuk, apalagi setelah dia memperlihatkan kartu khusus pengunjung pasien.” Mbak Tini mengagetkanku. Kulihat tangannya menjinjing makanan siap saji yang mungkin baru diambilnya dari kantin. Mungkin juga dia baru menggunakan jasa delivery order untuk menikmati makanan yang dia inginkan.Aku mendesah sambil menyenderkan punggungku yang teramat letih di dinding. Rasanya begitu lemah, bahkan hanya sekadar untuk menumpahkan
“Nenek Pertiwi yang menyuapi Bintang,” jawab anakku perlahan. Kulihat genggaman tangan anakku yang sedikit terbuka. Sebuah mainan mobil-mobilan kecil yang memang menjadi kegemarannya menyembul dari balik jemari tangannya yang mungil.Oh. Aku tahu.Nampaknya wanita culas di depanku itu pandai mengambil hati anakku dengan cara sesederhana ini. Kuhempaskan napasku cukup keras. Sesak, rasanya tak bisa membayangkan jika Bintang akan makin dekat dengan orang-orang yang menolaknya mati-matian di masa lalu.“Baiklah, Nenek pamit. Kalau Nenek ada waktu…”“Mari saya antar ke depan, Nenek Pertiwi.” Aku menajamkan mataku. Kubidik sepasang mata penuh muslihat di depanku ini dengan ancaman. Entah dimana rasa malunya diletakkan hingga berani berbuat sejauh ini terhadapku. Apakah mereka semua lupa dengan kejahatan yang sudah dilakukannya dahulu?Apakah mereka pikir aku semulia itu membiarkan mereka begitu saja?“Mari,” ucapku sambil mempersilahkan wanita itu dengan gerakan tanganku. Tak kuindahkan ta
"Lekas pulang atau kau tidur di luar!" ketusku. Tawa Satya kembali berderai. Laki-laki itu masih sempat-sempatnya menggodaku. Bahkan dia merebahkan tubuhnya di sisiku dan bersiap menarik tubuhku jika aku tak segera menghalaunya. "Minggir. Kau bau asap. Aku tak suka!" sungutku. Kini tawa Satya berhenti. Dia memaksa membalikkan tubuhku hingga menghadapnya. Mata beriris coklat itu sejenak menghipnotisku. "Hei, aneh sekali. Kau sedang datang tamu bulanan? " Pertanyaan Satya sukses membuatku tercengang. Ya, seharusnya aku sudah kedatangan tamu bulananku. Tak biasanya jadwal menstruasiku yang rutin itu mundur hingga hampir dua minggu. "Kenapa wajahmu?" tanya Satya sambil mengacak gemas rambutku. Aku menatapnya dengan sedikit tegang. "Kenapa?" ulangnya. "Aku belum menstruasi bulan ini." Jawabanku membuat tangan Satya berhenti seketika. Dia mengambil posisi duduk seraya menarik tubuhku untuk menghadapnya langsung. "Apakah artinya aku akan menjadi seorang ayah?" tanyanya dengan wajah b
"Kenapa?" Anak lelakiku menggeleng. Kurasa keterikatan batin itu nyata adanya. Bintang terlihat amat kehilangan meski bibirnya tak berucap apapun. Kupeluk anakku cukup lama, sebelum akhirnya sebuah tangan kekar mengusap punggungku dengan lembut. Kulepaskan pelukanku pada Bintang dan menoleh ke arah belakang. Satya tersenyum. "Kamu tahu kami di sini?" tanyaku dengan suara sedikit serak. Satya yang langsung mengambil alih tangan Bintang menjawab pertanyaanku tanpa menoleh ke arahku. "Ayahnya Bintang yang ngasih tahu. Bahkan dia meminta izin padaku sebelum meminta kalian bertemu. Aku siapa hingga dia meminta izin terlebih dahulu padaku, bukan?" Satya yang memakai kaus polos warna putih lagi-lagi menutup kepalanya dengan topi warna navy. Bintang nampak sumringah bertemu laki-laki itu. "Jadi kapan Bintang bisa tidur bertiga dengan kalian?" Aku tercengang dengan pertanyaan anakku. Darimana dia mengetahui kosakata semacam itu?"Bintang?" Aku mencoba mengorek informasi darinya. Sayang
“Izinkan aku bersikap selayaknya seorang ayah pada anaknya. Sekali ini saja,” ucap lirih Giandra dengan penuh pengharapan. Mata itu memandangku dengan tatapan sendu. Laki-laki yang kini terlihat berbeda dari sebelumnya. Dapat kulihat dengan jelas kantung mata yang membuatnya terlihat sedikit pucat. Apakah hidupnya sekacau ini sekarang? Sementara Bu Pertiwi–ibunya, memandang anakku dengan mata berkaca-kaca. Siapapun akan sepakat bahwa wanita itu tengah didera kesedihan yang begitu dalam. Jemarinya terlihat meremas satu sama lain. Tak ada lagi tampilan glamour khas penampilannya selama ini. Aku dilanda perang batin tak berkesudahan selama semalaman tadi. Kalimat Mas Enggar mengenai permintaan Giandra tak bisa kuabaikan begitu saja. Benar kata dia, aku harus ikhlas dengan semua yang sudah menimpaku. Mungkin dengan memaafkan lelaki itu maka hidupku akan lebih ringan ke depannya. Aku tak perlu menanggung beban berat karena rasa sakit hati yang berlarut-larut. “Aku tak mungkin menyakiti
Seketika pandanganku mengarah pada Bintang yang kini masih asyik dengan sekotak frenchfries di hadapannya. Lagi-lagi aku mengaminkan kalimat Mas Enggar. "Paling tidak belajarlah darinya. Harta, jabatan, kekuasaan, bahkan keluarga yang mereka agungkan hingga menolak kehadiranmu yang dianggap tak setara itu kini hanya bersisa puing-puing tak berharga sama sekali. Keluarga Prihandono terpecah, siapa yang menyangka hal itu?" Ya, aku mendengar berita kebangkrutan usaha keluarga itu dari media online yang kubaca. Meski tak berarti aku senang mendengarnya, tetapi rasanya ada kepuasan tersendiri melihat apa yang mereka sombongkan itu tumbang satu persatu. "Kau tahu, ada hal yang jauh lebih mengerikan yang selama ini keluarga Prihandono itu tutup-tutupi dari orang lain." Tiba-tiba aku tergidik ngeri. Bisakah aku mencegah Mas Enggar menjelaskan secara detil apa maksudnya yang dikatakannya? Cukup sudah kenyataan mengerikan yang disimpan oleh keluarga Satya. Mengenai keluarga Giandra, aku ben
Permintaan Terakhir "Laki-laki yang baik. Kelihatannya dia bertanggung jawab. Tetapi …." "Apakah kau tak akan mendapat kesulitan nanti? Latar belakang keluarga kita berbeda. Jarak itu tak akan terkikis sekalipun kita berusaha sekuat tenaga," lanjut Mas Enggar. Wajah lelaki itu menyiratkan keresahan yang amat. Meski sesekali senyum itu terbit di bibirnya, namun sekian lama hidup berdampingan dengannya aku masih paham jika ada hal berat yang menggelayuti pikirannya. Aku paham dengan kekhawatiran itu. Kekhawatiran itu pula yang sempat menghantuiku. Tetapi melihat bagaimana Satya yang gigih meyakinkanku, menerima berbagai jenis penolakanku, semua itu luruh. Tak hanya sekali aku menolaknya, bahkan berkali-kali. Nyatanya lelaki itu bergeming di tempatnya berdiri. Tak ada yang membuatnya surut mundur karena perlakuanku. Dia tetap bertahan dengan apa yang dia yakini. Bukankah tak seharusnya aku berlaku sekejam itu dengan terus-menerus mengabaikannya?"Satya lelaki yang baik, dia bisa me
Aku melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Kurasa aku sudah membuat seseorang menunggu kami di kafe rooftop yang sudah kami sepakati. Bintang yang duduk di sebelah kursi kemudi yang kini kududuki nampak antusias melihat mobil kami membelah jalanan yang terasa lancar meski di tengah-tengah suasana malam minggu.Aku berusaha mencairkan suasana hatiku dengan mengalunkan lagu yang kini tengah digandrungi kembali setelah diaransemen ulang oleh penciptanya. Penyanyi ajang pencarian bakat di salah satu televisi swasta yang menyanyikannya ulang pun cukup piawai menyanyikan lagu hingga tak kalah dengan penyanyi aslinya.Sesampai di parkiran aku pun langsung menuntun Bintang ke meja dengan nomor yang sudah diberitahukan padaku. Kulangkahkan kaki di antara meja-meja yang berjarak cukup jauh satu sama lain. Kurasa kafe ini memang menawarkan kenyamanan hingga privasi yang lebih terjaga.Kueratkan genggaman tanganku pada tangan Bintang. Ini kali pertama dia datang kemari, k
Segera sampai di dapur aku mengabulkan permintaan anakku sekaligus membuat kopi yang aromanya sudah menari-nari di otakku. Mungkin saja kepalaku yang terasa berat lama kelamaan akan sembuh jika meneguk secangkir kopi yang memang menjadi candu untukku. Kupanggil Bintang setelah makanan yang dia pesan selesai kubuat. Hanya perlu memanggilnya sekali maka anak itu akan turun dengan segera, tentu saja dengan membawa serta mainannya. "Mama jangan keseringan minum kopi," ucap Bintang saat tubuh mungilnya sudah di duduk di kursi yang terletak persis di sisiku. Aku menoleh, memahami kalimat yang dia lontarkan. Rasanya aneh saja, dia tak pernah mengatakan hal-hal seperti ini sebelumnya. "Apalagi Mama lupa sarapan, nggak baik, Ma. Nanti lama-kelamaan Mama sakit," lanjutnya. Baiklah. Aku rasa dia benar-benar aneh. "Siapa yang mengajarimu?" tanyaku langsung. Aku yakin ada tokoh di balik lancarnya anak lelakiku menasihati ibunya ini. Bintang tersenyum, sambil menutup mulutnya rapat-rapat dengan
Pembicaraan Serius "Kepada siapa aku meminta izin untuk menikahimu? Siapa yang harus kudatangi?" ***Semalaman aku benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku melayang ke arah kejadian siang ini saat Satya tiba-tiba berkata seserius itu. Bahkan dia tak membiarkan tanganku lolos dari genggaman tangannya. Tak peduli bagaimana tatapan orang-orang yang lalu lalang melihat kami. Belum lagi pada pegawai kami yang tentu saja memandang kami dengan senyuman yang hampir tak bisa mereka sembunyikan. Entah bagaimana bentuk wajahku. Kuyakin mereka dengan mudah melihat raut kegugupan yang terlihat jelas. "Sat, please. Jangan membuatku malu. Mereka menertawakan kita!" ucapku sambil berusa menarik tanganku. Sayang, lelaki itu tak kunjung meloloskannya. Dia malah makin mengeratkan genggaman tangannya. "Biar saja. Mungkin pula rasa malumu yang akan mendorongmu untuk berkata jujur." Laki-laki itu tersenyum. Kurasa seolah sengatan listrik mengalir dalam aliran darahku. Degup jantung yang meng
“Andira. Om Brata mohon. Tetaplah tenang karena masih banyak hal yang perlu kita bicarakan.” Kalimat itu membuat Andira kembali terdiam seperti semula. Namun tatapan matanya yang nyalang melihat Pak Darma dan Bu Silvi yang duduk tepat di seberangnya tak mampu dihindari. Wanita yang biasa terlihat ceria itu benar-benar dikuasai emosi yang membumbung tinggi. “Inikah alasan Ayah tak pernah memberikanku posisi yang kuinginkan selama puluhan tahun aku menunggunya?” Suara Pak Darma terdengar getir namun penuh emosi terselubung. Dia tertawa miris, entah apa yang membuatnya melakukan demikian. Ataukah dia tengah menertawakan nasibnya sendiri? Pada kenyataannya dia tak mendapatkan apapun setelah melakukan sekian banyak kejahatan. “Bahkan kau tak berhak mendapatkan warisan apapun kecuali apa-apa yang kini sudah melekat pada dirimu yang sudah tertera atas namamu.”“Apa?” Bu Silvi terlihat tak percaya dengan apa yang didengarnya. Wajah putihnya makin terlihat pucat seolah tak ada aliran darah