Baru saja akan memejamkan mata setelah merebahkan tubuhku di atas kasur, ponselku berbunyi. Sebuah pesan masuk melalui aplikasi berlogo hijau. Segera kuambil ponsel pintar milikku untuk mengetahui siapa yang mengirimkan pesan untukku. Alis mataku bertaut saat melihat sebuah nomor tanpa nama mengirimiku pesan tersebut. [ Silakan pilih ingin viral atau tahu diri menjauhi suamiku]Pikiranku langsung tertuju kepada Aluna. Entah mengapa aku begitu yakin dialah yang mengirimiku pesan tersebut, apalagi saat akhirnya sebuah foto pun dikirimkannya untukku. Mataku terbuka lebar saat melihat sebuah foto di mana Giandra tengah menggendongku masuk ke dalam mobil. Kurasa kejadian ini adalah pada saat aku pingsan di ruang tamu. Entah bagaimana orang yang mengambil foto tersebut tak membidik gambar Satya yang seharusnya berada di lokasi yang sama denganku dan Giandra. Bahkan secara nyata foto tersebut memperlihatkan bagaimana wajah Giandra yang begitu khawatir. [ Memang foto tersebut hanya memperl
Selama beberapa hari setelah Aluna mengirimiku pesan bernada ancaman itu aku masih rutin menerima pesan-pesan beruntun yang isinya kurang lebih sama. Wanita itu nampaknya hilang akal memilih untuk mengancamku daripada memberi pengertian pada suaminya sendiri. Tentu saja hal ini membuatku makin yakin bahwa pernikahan mereka tidak baik-baik saja. Namun kutegaskan pada diriku sendiri aku tak akan membuang-buang waktu untuk memikirkan hal-hal yang bukan menjadi prioritasku kali ini. Kondisiku yang sudah seperti semula membuatku sudah mulai beraktivitas kembali. Kali ini ku fokus kan perhatian untuk meninjau proses pembangunan cafe yang makin hari makin membuatku berdecak kagum. Aku rasa kerjasamaku dan Satya dengan pak Rama benar-benar diberkahi. Terkadang aku tak percaya langkahku semudah ini untuk mewujudkan mimpi mendirikan sebuah cafe dengan view alam yang begitu mempesona. Siang ini setelah puas berkeliling di proyek pembangunan Cafe aku memutuskan untuk kembali ke restoran. Bayan
Selama beberapa hari setelah Aluna mengirimiku pesan bernada ancaman itu aku masih rutin menerima pesan-pesan beruntun yang isinya kurang lebih sama. Wanita itu nampaknya hilang akal memilih untuk mengancamku daripada memberi pengertian pada suaminya sendiri. Tentu saja hal ini membuatku makin yakin bahwa pernikahan mereka tidak baik-baik saja. Namun kutegaskan pada diriku sendiri aku tak akan membuang-buang waktu untuk memikirkan hal-hal yang bukan menjadi prioritasku kali ini. Kondisiku yang sudah seperti semula membuatku sudah mulai beraktivitas kembali. Kali ini ku fokus kan perhatian untuk meninjau proses pembangunan cafe yang makin hari makin membuatku berdecak kagum. Aku rasa kerjasamaku dan Satya dengan pak Rama benar-benar diberkahi. Terkadang aku tak percaya langkahku semudah ini untuk mewujudkan mimpi mendirikan sebuah cafe dengan view alam yang begitu mempesona. Siang ini setelah puas berkeliling di proyek pembangunan Cafe aku memutuskan untuk kembali ke restoran. Bayan
Ancaman Ibu Giandra Suara teriakan seorang wanita memekakkan telingaku. Yang memarkirkan mobil dan hendak membuka pintu gerbang dikagetkan dengan suara yang begitu asing dari dalam rumah. Terdengar pula suara benda pecah belah beradu dengan lantai rumah yang kutinggali ini. Jantungku berdetak tidak karuan pikiranku langsung tertuju kepada anakku satu-satunya.Kulangkahkan kaki secepat mungkin agar cepat agar cepat membawaku ke arah ruang tamu di mana suara tersebut berasal. Sayup-sayup ku dengar suara Bintang menangis yang hampir tenggelam oleh suara teriakan tersebut.Gimana wanita itu cepat keluar mataku membelalak saat melihat Aluna berteriak kerang di depan Mbak Tini. Ternyata wanita itu yang sedang berbuat kerusuhan di rumahku yang lebih membuatku emosi adalah saat mataku menatap pemandangan yang begitu miris Bintang duduk bersimpuh sambil memegang baluster tangga. Sementara Aluna tidak sendiri. Nampaknya sang ibu mertua tengah berusaha menenangkan wanita gila itu. Sayang tenag
"Aluna!" Teriakan Bu Pertiwi menggema di penjuru rumahku. Aku tidak tahu apakah para tetangga mendengar hal ini. Tetapi untuk ukuran waktu yang terbilang masih sore ini kurasa mereka sebenarnya mendengar keributan yang terjadi di rumahku. Mungkin saja keengganan mereka untuk ikut campur dengan masalah keluargaku yang membuat mereka seolah mengabaikan hal ini. "Kau sungguh sudah gila! kau mengecewakanku, sungguh memalukan wanita berpendidikan sepertimu bertingkah seburuk ini!" "Jangan lupa, Bu. Bahwa apa yang terjadi denganku ini semata-mata karena perbuatan anakmu. Dia tak menjalankan fungsinya sebagai seorang suami pada umumnya. Dia abai, terlalu asik dengan kehidupan serta pekerjaannya. Bahkan aku baru tahu bahwa Mas Giandra disibukan oleh wanita gatal yang satu ini. Wanita tak tahu malu yang masih berusaha merongrong kehidupan kami yang sudah mulai tertata. Aku muak, bahkan kedatangan kami ke kota ini pun harus bertemu dengan sosoknya yang menjijikan. Apalagi dia sengaja mengumpa
Sebuah Ancaman Wajah Bu Pertiwi terlihat serius saat mengucapkan kalimat tersebut. Matanya menatap tajam sang menantu, seolah menggambarkan perasaannya saat ini pada Aluna. Rasanya lucu sekali melihat tontonan gratis di depanku ini melihat tontonan gratis di depanku ini. Mereka pasangan menantu dan mertua yang amat kompak kini berada di ambang perpecahan. Gemuruh di dadaku menggambarkan keinginanku untuk segera bersorak. Kurasa karma tengah memainkan peranannya. Biarlah aku dikatakan jahat, nyatanya aku sangat puas melihat mereka berdua dalam keadaan seperti ini. Kepalaku tiba-tiba memutar rekaman lama saat mereka berdua dengan begitu teganya mengusirku dari rumah megah milik keluarga Prihandono. Sungguh sampai kapanpun aku takkan pernah melupakan kepedihan yang kurasakan saat itu. Kini justru keangkuhan merekalah yang menjadi bahan tertawaanku. Kesombongan mereka satu persatu luruh, hingga tak ada harganya lagi. Sungguh, jika mereka mampu mengingat kejadian bertahun-tahun silam,
Mas Satya kemari saat opening tadi Mbak setelahnya dia bilang ada urusan penting mungkin saja dia lupa menghubungi Mbak Rindu atau kalau memang ada keperluan mendesak kenapa tidak ditelepon saja? Ucap salah seorang karyawan yang kutanyai mengenai keberadaan Satya. Pasca kejadian kemarin saat dia disiram air oleh seorang wanita aku belum sempat berbincang lagi dengannya. Sebenarnya ada rasa kecewa mengapa hingga detik ini lelaki itu tak kunjung bersuara apapun mengenai insiden tersebut. Aku yakin dia tidak lupa bercerita, hanya saja memang sengaja menyembunyikan hal tersebut dariku. Bahkan berkali-kali dia berusaha menghindar saat aku hampir mendekatinya. "Mbak, yang kemarin nyiram air ke Mas Satya itu... Pacarnya?" Pertanyaan Putri membuat sensasi sengatan halus di sekujur tubuhku. Aku terkesiap dengan pertanyaan darinya. Entah bagaimana ekspresiku saat ini, yang jelas gadis yang baru lulus sekolah menengah atas tersebut terlihat begitu menyesal telah melontarkan pertanyaan itu untu
Anakku Tak Diakui Ayahnya Siapa Dia?Lagi-lagi wanita dengan postur tubuh langsing dan berkulit putih itu muncul di restoranku. Kali ini aku bisa melihat seperti apa rupanya dengan begitu jelas. Rambutnya kini dibiarkan digerai hingga menambah kesan wajahnya yang makin menawan. Kaos warna putih polos berukuran oversize dengan celana jeans membuat tampilannya makin segar. “Mbak. Dia cari Mas Satya,” ucap Putri sambil menarik tanganku. Tatapan matanya menyelidik wanita yang duduk agak jauh dari mesin kasir tempatnya berada saat ini. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Aku pun khawatir jika kegiatanku kali ini tercium oleh wanita itu. “Sudah telepon Satya?” tanyaku pada pegawai yang masih berstatus single itu. Putri mengangguk mantap. “Nggak aktif.” Aku menghela napas sesaat. Pikiranku menerawang menerka alasan lelaki itu terlambat ke restoran hari ini. Tetapi lagi-lagi aku tak menemukan apapun untuk kujadikan alasan. Satya tak memberitahuku sebelumnya. Tentu hal ini di luar k
"Lekas pulang atau kau tidur di luar!" ketusku. Tawa Satya kembali berderai. Laki-laki itu masih sempat-sempatnya menggodaku. Bahkan dia merebahkan tubuhnya di sisiku dan bersiap menarik tubuhku jika aku tak segera menghalaunya. "Minggir. Kau bau asap. Aku tak suka!" sungutku. Kini tawa Satya berhenti. Dia memaksa membalikkan tubuhku hingga menghadapnya. Mata beriris coklat itu sejenak menghipnotisku. "Hei, aneh sekali. Kau sedang datang tamu bulanan? " Pertanyaan Satya sukses membuatku tercengang. Ya, seharusnya aku sudah kedatangan tamu bulananku. Tak biasanya jadwal menstruasiku yang rutin itu mundur hingga hampir dua minggu. "Kenapa wajahmu?" tanya Satya sambil mengacak gemas rambutku. Aku menatapnya dengan sedikit tegang. "Kenapa?" ulangnya. "Aku belum menstruasi bulan ini." Jawabanku membuat tangan Satya berhenti seketika. Dia mengambil posisi duduk seraya menarik tubuhku untuk menghadapnya langsung. "Apakah artinya aku akan menjadi seorang ayah?" tanyanya dengan wajah b
"Kenapa?" Anak lelakiku menggeleng. Kurasa keterikatan batin itu nyata adanya. Bintang terlihat amat kehilangan meski bibirnya tak berucap apapun. Kupeluk anakku cukup lama, sebelum akhirnya sebuah tangan kekar mengusap punggungku dengan lembut. Kulepaskan pelukanku pada Bintang dan menoleh ke arah belakang. Satya tersenyum. "Kamu tahu kami di sini?" tanyaku dengan suara sedikit serak. Satya yang langsung mengambil alih tangan Bintang menjawab pertanyaanku tanpa menoleh ke arahku. "Ayahnya Bintang yang ngasih tahu. Bahkan dia meminta izin padaku sebelum meminta kalian bertemu. Aku siapa hingga dia meminta izin terlebih dahulu padaku, bukan?" Satya yang memakai kaus polos warna putih lagi-lagi menutup kepalanya dengan topi warna navy. Bintang nampak sumringah bertemu laki-laki itu. "Jadi kapan Bintang bisa tidur bertiga dengan kalian?" Aku tercengang dengan pertanyaan anakku. Darimana dia mengetahui kosakata semacam itu?"Bintang?" Aku mencoba mengorek informasi darinya. Sayang
“Izinkan aku bersikap selayaknya seorang ayah pada anaknya. Sekali ini saja,” ucap lirih Giandra dengan penuh pengharapan. Mata itu memandangku dengan tatapan sendu. Laki-laki yang kini terlihat berbeda dari sebelumnya. Dapat kulihat dengan jelas kantung mata yang membuatnya terlihat sedikit pucat. Apakah hidupnya sekacau ini sekarang? Sementara Bu Pertiwi–ibunya, memandang anakku dengan mata berkaca-kaca. Siapapun akan sepakat bahwa wanita itu tengah didera kesedihan yang begitu dalam. Jemarinya terlihat meremas satu sama lain. Tak ada lagi tampilan glamour khas penampilannya selama ini. Aku dilanda perang batin tak berkesudahan selama semalaman tadi. Kalimat Mas Enggar mengenai permintaan Giandra tak bisa kuabaikan begitu saja. Benar kata dia, aku harus ikhlas dengan semua yang sudah menimpaku. Mungkin dengan memaafkan lelaki itu maka hidupku akan lebih ringan ke depannya. Aku tak perlu menanggung beban berat karena rasa sakit hati yang berlarut-larut. “Aku tak mungkin menyakiti
Seketika pandanganku mengarah pada Bintang yang kini masih asyik dengan sekotak frenchfries di hadapannya. Lagi-lagi aku mengaminkan kalimat Mas Enggar. "Paling tidak belajarlah darinya. Harta, jabatan, kekuasaan, bahkan keluarga yang mereka agungkan hingga menolak kehadiranmu yang dianggap tak setara itu kini hanya bersisa puing-puing tak berharga sama sekali. Keluarga Prihandono terpecah, siapa yang menyangka hal itu?" Ya, aku mendengar berita kebangkrutan usaha keluarga itu dari media online yang kubaca. Meski tak berarti aku senang mendengarnya, tetapi rasanya ada kepuasan tersendiri melihat apa yang mereka sombongkan itu tumbang satu persatu. "Kau tahu, ada hal yang jauh lebih mengerikan yang selama ini keluarga Prihandono itu tutup-tutupi dari orang lain." Tiba-tiba aku tergidik ngeri. Bisakah aku mencegah Mas Enggar menjelaskan secara detil apa maksudnya yang dikatakannya? Cukup sudah kenyataan mengerikan yang disimpan oleh keluarga Satya. Mengenai keluarga Giandra, aku ben
Permintaan Terakhir "Laki-laki yang baik. Kelihatannya dia bertanggung jawab. Tetapi …." "Apakah kau tak akan mendapat kesulitan nanti? Latar belakang keluarga kita berbeda. Jarak itu tak akan terkikis sekalipun kita berusaha sekuat tenaga," lanjut Mas Enggar. Wajah lelaki itu menyiratkan keresahan yang amat. Meski sesekali senyum itu terbit di bibirnya, namun sekian lama hidup berdampingan dengannya aku masih paham jika ada hal berat yang menggelayuti pikirannya. Aku paham dengan kekhawatiran itu. Kekhawatiran itu pula yang sempat menghantuiku. Tetapi melihat bagaimana Satya yang gigih meyakinkanku, menerima berbagai jenis penolakanku, semua itu luruh. Tak hanya sekali aku menolaknya, bahkan berkali-kali. Nyatanya lelaki itu bergeming di tempatnya berdiri. Tak ada yang membuatnya surut mundur karena perlakuanku. Dia tetap bertahan dengan apa yang dia yakini. Bukankah tak seharusnya aku berlaku sekejam itu dengan terus-menerus mengabaikannya?"Satya lelaki yang baik, dia bisa me
Aku melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Kurasa aku sudah membuat seseorang menunggu kami di kafe rooftop yang sudah kami sepakati. Bintang yang duduk di sebelah kursi kemudi yang kini kududuki nampak antusias melihat mobil kami membelah jalanan yang terasa lancar meski di tengah-tengah suasana malam minggu.Aku berusaha mencairkan suasana hatiku dengan mengalunkan lagu yang kini tengah digandrungi kembali setelah diaransemen ulang oleh penciptanya. Penyanyi ajang pencarian bakat di salah satu televisi swasta yang menyanyikannya ulang pun cukup piawai menyanyikan lagu hingga tak kalah dengan penyanyi aslinya.Sesampai di parkiran aku pun langsung menuntun Bintang ke meja dengan nomor yang sudah diberitahukan padaku. Kulangkahkan kaki di antara meja-meja yang berjarak cukup jauh satu sama lain. Kurasa kafe ini memang menawarkan kenyamanan hingga privasi yang lebih terjaga.Kueratkan genggaman tanganku pada tangan Bintang. Ini kali pertama dia datang kemari, k
Segera sampai di dapur aku mengabulkan permintaan anakku sekaligus membuat kopi yang aromanya sudah menari-nari di otakku. Mungkin saja kepalaku yang terasa berat lama kelamaan akan sembuh jika meneguk secangkir kopi yang memang menjadi candu untukku. Kupanggil Bintang setelah makanan yang dia pesan selesai kubuat. Hanya perlu memanggilnya sekali maka anak itu akan turun dengan segera, tentu saja dengan membawa serta mainannya. "Mama jangan keseringan minum kopi," ucap Bintang saat tubuh mungilnya sudah di duduk di kursi yang terletak persis di sisiku. Aku menoleh, memahami kalimat yang dia lontarkan. Rasanya aneh saja, dia tak pernah mengatakan hal-hal seperti ini sebelumnya. "Apalagi Mama lupa sarapan, nggak baik, Ma. Nanti lama-kelamaan Mama sakit," lanjutnya. Baiklah. Aku rasa dia benar-benar aneh. "Siapa yang mengajarimu?" tanyaku langsung. Aku yakin ada tokoh di balik lancarnya anak lelakiku menasihati ibunya ini. Bintang tersenyum, sambil menutup mulutnya rapat-rapat dengan
Pembicaraan Serius "Kepada siapa aku meminta izin untuk menikahimu? Siapa yang harus kudatangi?" ***Semalaman aku benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku melayang ke arah kejadian siang ini saat Satya tiba-tiba berkata seserius itu. Bahkan dia tak membiarkan tanganku lolos dari genggaman tangannya. Tak peduli bagaimana tatapan orang-orang yang lalu lalang melihat kami. Belum lagi pada pegawai kami yang tentu saja memandang kami dengan senyuman yang hampir tak bisa mereka sembunyikan. Entah bagaimana bentuk wajahku. Kuyakin mereka dengan mudah melihat raut kegugupan yang terlihat jelas. "Sat, please. Jangan membuatku malu. Mereka menertawakan kita!" ucapku sambil berusa menarik tanganku. Sayang, lelaki itu tak kunjung meloloskannya. Dia malah makin mengeratkan genggaman tangannya. "Biar saja. Mungkin pula rasa malumu yang akan mendorongmu untuk berkata jujur." Laki-laki itu tersenyum. Kurasa seolah sengatan listrik mengalir dalam aliran darahku. Degup jantung yang meng
“Andira. Om Brata mohon. Tetaplah tenang karena masih banyak hal yang perlu kita bicarakan.” Kalimat itu membuat Andira kembali terdiam seperti semula. Namun tatapan matanya yang nyalang melihat Pak Darma dan Bu Silvi yang duduk tepat di seberangnya tak mampu dihindari. Wanita yang biasa terlihat ceria itu benar-benar dikuasai emosi yang membumbung tinggi. “Inikah alasan Ayah tak pernah memberikanku posisi yang kuinginkan selama puluhan tahun aku menunggunya?” Suara Pak Darma terdengar getir namun penuh emosi terselubung. Dia tertawa miris, entah apa yang membuatnya melakukan demikian. Ataukah dia tengah menertawakan nasibnya sendiri? Pada kenyataannya dia tak mendapatkan apapun setelah melakukan sekian banyak kejahatan. “Bahkan kau tak berhak mendapatkan warisan apapun kecuali apa-apa yang kini sudah melekat pada dirimu yang sudah tertera atas namamu.”“Apa?” Bu Silvi terlihat tak percaya dengan apa yang didengarnya. Wajah putihnya makin terlihat pucat seolah tak ada aliran darah