Mungkin saja apa yang diucapkan suamiku itu benar tapi entah kenapa lagi-lagi aku merasa seperti ada sesuatu yang disembunyikan Sarah.
Tapi apa? Ah sudahlah, kenapa juga aku harus memikirkan masalah Sarah? Sekarang aku harus fokus pada masalah kepergian Nila yang masih banyak kejanggalan itu.Setelah Mila benar-benar datang, aku pasti akan menceritakan semuanya tanpa ada yang terlewat."Siapa yang berbohong, Paman?"Kaget bukan main saat kami lihat tiba-tiba Sarah sudah berdiri di belakang kami.Secepat kilat suamiku memasukan ponsel itu ke dalam saku celananya, kemudian bergegas masuk ke dalam kamar."Eh Sar, kamu kirain siapa."Sarah mendekat lalu duduk di atas dipan bersamaku."Lagi pada ngomongin apa sih, Bi? Kok serius banget."Aku mengibaskan tangan."Ah bukan apa-apa, cuma ngomongin masalah buat tahlilan nanti malam aja, Bibi bingung masih belum punya apa-apa buat jamuan yang tahlil," jawabku sekenanya."Gak usahlah dipaksain kalau gak ada Bi, mereka ikhlas mendoakan Nila."Aku tersenyum tipis, anak ini sangat manis dan baik sekali, omongannya juga bikin adem di hati, tapi kenapa selama ini ia harus bohong padaku soal ponsel itu? Dan soal Mila kemarin ... ah kalau sudah begini rasanya aku sulit untuk percaya lagi padanya."Emang Bibi mau bikin apa, Bi? Sini biar Sarah yang bantuin." Anak itu bicara lagi seraya bangkit melihat bahan-bahan makanan yang sudah kupersiapkan di atas meja."Gak usahlah Sar, masa kamu bantuin di dapur, kamu 'kan anak muda, sana pergi aja gih, pasti kamu juga lagi sibuk ngurusin proposal acara."Sarah tertawa kecil."Proposal udah beres semalem Bi, sekarang Sarah gak ada kegiatan, daripada bengong mening bantuin Bibi di sini." Ia bersikeras dengan wajahnya yang sangat ramah.Sarah ini bukan hanya gadis yang cantik, tapi ia juga ramah, baik dan aktif pula di setiap kegiatan desa.Dulu Nila anakku juga begitu, mereka sering terlibat dalam acara desa bersama-sama, Nila dan Sarah ini adalah dua sahabat yang tak bisa dipisahkan sejak dulu, kemana-mana mereka selalu bersama.Sayangnya sejak Nila menikah, Sarah mau tak mau harus rela berpisah dari sahabatnya itu karena mau bagaimana lagi? Jodoh Nila datang lebih dulu dan jauh pula.Kupikir Nila akan bahagia hidup bersama suaminya di jauh sana, tapi ternyata kenyataan yang kuterima sekarang justru membuatku amat sesak dan trauma.Andai aku tahu semuanya akan berakhir seperti ini, aku tidak akan pernah membiarkan Nila dibawa jauh oleh suaminya yang pengecut itu."Oh ya Sar, semalem ibumu datang ke sini nyariin kamu, emangnya kamu kemana?"Sarah mendadak mematung di depan lemari piring."Ah emm ... Sarah ke bale desa Bi, ada kumpulan anak-anak muda di sana," jawabnya dengan senyuman sekenanya.Aku membalas sekenanya juga. Jujur saja, saat tadi aku tahu soal kebohongan Sarah, aku rasanya jadi canggung sekali padanya."Oh ya, Bi, soal Mbak Mila, maaf ya sebetulnya ...." Ia bicara lagi.Aku menoleh ke arahnya saat anak itu diam sebentar. Entah apa yang akan dikatakan Sarah soal Mila kali ini. Apa jangan-jangan ia akan berbohong lagi?"Sebetulnya Sarah bohong sama, Bibi."Teg teg teg. Jantungku langsung tak karuan. Tapi aku tak bicara sedikitpun, kubiarkan saja anak itu akan bicara apa setelah ini."Bi, sebetulnya Mbak Mila enggak sedang di perjalanan pulang, malahan ... Sarah kemarin gak hubungi Mbak Mila soal kepergian Nila," lanjutnya.Keningku mengerut tepat di hadapannya. Sarah memang sengaja berbohong dan sekarang ia mengakuinya? Apa yang sebetulnya anak ini mau? Duh aku hampir saja curiga yang tidak-tidak padanya karena ia berbohong tapi syukurlah dia sekarang mengakuinya meski jujur aku kesal mendengarnya."Maaf ya Bi, Sarah terpaksa bohong karena kemarin itu Sarah bener-bener bingung. Bibi lagi emosi berat, gak mungkin Sarah ngabarin berita duka ini juga ke Mbak Mila dalam keadaan Bibi belum stabil," katanya lagi.Aku tetap diam. Tapi kenapa alesannya gak masuk akal?"Bi." Sarah mengejutkanku."Eh ya Sar, ya udahlah Sar, mau gimana lagi? Jujur Bibi kecewa mendengar ini, kamu harusnya tetap kabari Mila soal kabar kepergian Nila kemarin, apalagi kemarin kamu lihat sendiri 'kan Bibi sangat terpuruk? Bibi sangat butuh Mila."Sarah menunduk lesu di hadapanku, ia juga tak henti meremas jari-jemarinya."Maaf ya, Bi.""Heh udah gak apa-apa, gak usah teralalu dipikirin, Bibi tahu niatmu baik, tapi Bibi jadinya hampir berpikir yang enggak-enggak sama kamu Sar.""Kalau gitu sekarang Sarah mau telepon Mbak Mila dulu ya, Bi, biar Mbak Mila cepet pulang," katanya lagi.Ia pun beranjak, tetapi sebelum ia keluar dari pintu dapur aku segera menghentikannya."Gak usah Sar, Bibi udah hubungi Mbak Mila, dia akan segera pulang kok hari ini."Sarah kembali menoleh dengan wajah yang sudah berkeringat."Udah dihubungi, Bi?""Udah," pungkasku seraya pergi ke belakang rumah.Aku tidak ingin sarah bertanya lebih jauh, lewat siapa aku menghubungi Mila.Tapi yang kutakutkan justru benar terjadi, Sarah menyusul ke belakang dan duduk di atas dipan kayu bersamaku."Bi, memang kapan Bibi hubungi Mbak Mila? Terus Bibi pakai ponsel siapa?" cecarnya.Aku menarik napas berat. Biarlah karena sudah terlanjur Sarah bertanya kujawab sejujurnya saja. "Pakai ponsel yang dulu kamu bilang Rusak," jawabku tanpa ragu.Sarah mendadak pucat sambil menelan salivanya."Tapi ponsel itu 'kan rusak, Bi dan-""Saat dibawa ke bale desa ternyata ponselnya hanya perlu dicas dan enggak rusak sedikitpun," potongku."Oh jadi ponselnya enggak rusak, Bi? Maaf ya Sarah pikir dulu itu ponselnya rusak karena gak nyala-nyala saat udah dicas," balasnya sambil menepuk kening.Aku membalas dengan senyuman seadanya."Bi, ya udah ya Sarah pulang dulu, Sarah lupa ada sesuatu yang harus Sarah kerjakan," katanya lagi.Aku menganggukan kepala."Ya udah gih Sar, Bibi kan udah bilang dari tadi, takut kamu lagi ada urusan gak apa-apa kamu gak usah bantu-bantu di sini dulu," ucapku.Sarah tersenyum."Sebenarnya bukan urusan penting sih, Bi, emang Sarah ada yang kelupaan aja, tapi nanti juga Sarah balik lagi ke sini, cuma bentar kok, ya udah bentar ya, Bi," pungkasnya.Sarah pun segera keluar lewat pintu dapur. Aku mengangkat bahu, entahlah anak itu mau ke mana dan ada urusan apa, tadi katanya gak ada kegiatan sekarang malah mendadak ada yang kelupaan. Hmm Saraah Saraah.Dia itu memang mirip sekali dengan Nila.-Malam hari ketika waktu tahlilan ketiganya Nila tiba. Para tetangga sudah berkumpul selepas isya.Sementara aku sibuk sendiri di dapur, menyiapkan berbagai macam makanan ringan untuk kuberikan setelah tahlilan selesai dilaksanakan.Tadi ada si Mae yang bantu-bantu tapi anaknya yang paling kecil malah nangis terus di rumahku, gak tahu kenapa, jadinya terpaksa Mae pulang saja."Kemana si Sarah? K
"Hah? Apa iya, Bi?" tanya Sarah tak percaya."Iya bener enggak tahu kenapa, apa mungkin karena kamu sahabatnya? kamu yang selalu bersamanya dan kamu yang selalu membantu kami selama ini? Jadi lah ia datang dengan rupa kamu."Sarah menelan salivanya."Tapi untuk apa Nila datang, Bi?" Dia bertanya lagi.Aku menggeleng kepala."Itulah Bibi juga enggak tahu, tapi kata paman mungkin Bibi hanya trauma jadi pikiran-pikiran itu memunculkan ketakutan dalam diri Bibi sendiri.""Iya bener, Bi, makanya Bibi harus ikhlaskan Nila, jangan sampai Nila gak tenang karena pikiran Bibi yang terlalu berlebihan," ucapnya sambil mengelus punggungku.Aku tertunduk lesu, mendadak aku tak berselera menyiapkan makanan untuk menyambut kedatangan Mila."Ya udahlah Bi, mendingan kita lanjutin aja persiapkan makanan buat Mbak Mila nya, yuk," ajak Sarah mencoba menghilangkan kesedihanku.Aku mengangguk dan kembali memegang sutil yang tadi kulepaskan itu.Selesai kami memasak Sarah juga sibuk membantuku menghidangkan
"Mbak Mila? Ya Allah Mbak apa kabar? Kapan datang?" Ia berbasa-basi."Baik, ini baru aja datang Sar." Mereka pun cipika-cipiki seperti biasanya."Ya ampun, Mbak Mila makin putih aja, makin cantik pula, hebatlah pokoknya Mbak Mila ini," kata si Sarah terkagum-kagum seraya meneliti diri Mila."Kamu ini bisa aja, padahal lebih cantikan kamu kemana-mana," balas Mila seraya mengibaskan tangannya.Kalau soal wajah aku setuju Sarah memang jauh lebih cantik, mirip bule tapi kalau soal penampian dan kebersihannya, sekarang anakku yang menang, ya maklum sih mungkin karena si Mila itu sering perawatan di sana."Mbak yang bisa aja, mana ada gadis kampung kayak Sarah ini cantik, jauh lah Mbak."Sarah dan Mila pun lanjut mengobrol, layaknya dua orang sahabat yang saling merindukan setelah sekian lama mereka bicara heboh sekali entah membicarakan apa, tapi kemudian ada juga saat mereka terisak-isak ketika membicarakan Nila."Dulu ... Nila suka menimbrung kalau kita lagi mengobrol begini ya, Mbak."
"Enggak ada gimana maksud kamu?" tanyaku setengah menaikan oktaf."Coba Bibi dan Paman ke sini, lihat sendiri saja," balas si Parman.Aku pun segera mendekat dan melihat sendiri lubang makam itu."Astaghfirullah al'adzim." Aku kembali ambruk di dekat gundukan tanah bekas kuburan Nila yang sudah dibongkar habis itu."Apa yang terjadi sama kamu, Nak?" jeritku lagi."Parman apa kamu yakin jenazah Nila gak ada?" tanya suamiku."Lihat sendiri saja, Paman."Dengan kaki bergetar suami melangkah ke dekatku."Gustiii bagaimana bisa jenazah anakku hilang? Kemana dia sekarang?" Suami ikut ambruk di sampingku, dengan wajah frustasi dan kacau ia memegangi kepalanya."Apa mungkin jenazah Nila dibawa binatang buas?" tanya seorang warga yang ikut menggali."Gak mungkin, gak mungkin binatang buas membawanya atau kalaupun dirusak pasti ada bekasnya." Suamiku menyahut dengan terus menggelengkan kepala. Ia tampaknya terpukul sekali melihat kondisi makam Nila."Bang, Parman coba periksa sekali lagi, mungk
Aku paham maksud suamiku, mungkin dia tidak ingin merepotkan Mila soal biaya yang akan Mila keluarkan jika melaporkan kasus ini ke polisi, aku juga paham suamiku tidak ingin kabar menghilangnya jenazah anakku sampai tersebar luas dan menjadi bahan tontonan masyarakat luas.Aku paham betul suamiku adalah orang yang tertutup, dia sangat menjaga nama baik keluarga kami."Bapak tenang aja, enggak usah khawatir, berita menghilangnya jenazah anak kita Ibu pastikan gak akan sampai bocor ke media, apalagi sampai tersebar luas, Ibu juga tahu bagaimana rasanya malu, Pak, kasihan juga anak kita. Karena itu Ibu pastikan hanya orang-orang tertentu saja yang akan mengetahui hal ini," ujarku panjang lebar.Akhirnya suamiku pun mulai mereda dan kembali menimbang-nimbang ucapanku."Ya sudah kalau begitu Bapak dukung kalian, semoga jenazah anak kita cepat ditemukan," ucapnya. Aku mengangguk pelan.Saat sedang mengobrol tiba-tiba terdengar bunyi sirine mobil ambulans di pekarangan rumah.Bergegas aku
Tanpa menunggu lagi aku bergegas melangkahkan kaki menghampiri mereka. Tapi sekitar 5 langkah sebelum sampai mendadak langkahku mati saat kulihat Sarah bertelunjuk jari sambil berteriak tepat di depan wajah suamiku."Urus dulu wanita tua itu! Baru kau meminta bagianmu, aku sudah bilang bermainlah yang pintar, buatlah pikirannya terpecah belah tapi tidak dengan membahayakan namaku!" Teg. Jantungku langsung melonjak hebat sejurus dengan rasa shock yang lagi-lagi menyerang benakku.Aku benar-benar seperti diterjang badai yang tak berkesudahan.Sarah? Kenapa Sarah begitu pada suamiku? Ada apa ini? Apa yang sedang mereka permasalahkan sampai Sarah berani kurang ajar pada suamiku?Bagian? Bagian apa? Dan wanita tua itu siapa?"Tap-" Ucapan suamiku mendadak terhenti, saat bola mata Sarah berputar liar ke arahku."Tapi Paman paham perasaanmu sekarang Sar, semoga ibumu cepet sembuh," lanjut suami.Karena Sarah tampak sudah menyadari keberadaanku akhirnya kulanjutkan langkah menghampiri merek
Aku menoleh, seorang pria berkemeja rapi ada di sana, tampaknya dia seorang dokter karena dilihat dari penampialnnya, ia sungguh berbeda dan terlihat bersih sekali."Ah saya ... emm ... tadi habis menengok pasien yang ada di dalam, saya permisi, Dok." Aku buru-buru pergi sebelum dokter itu mengira aku sedang merencanakan sebuah kejahatan.Meski sejujurnya aku masih penasaran, ada apa antara suamiku dan Sarah? Kenapa mereka seperti sedang terlibat pertengkaran hebat hari ini? Dan apa tadi katanya? Suamiku ceroboh? Mereka juga membicarakan masalah kepulangan Mila, ada apa ini? Apa mungkin mereka menyembunyikan sesuatu dariku?"Ah sudahlah." Aku mengibaskan tangan.Ada urusan yang jauh lebih penting sekarang, aku harus buru-buru pergi ke kantor bale desa, sudah tak sabar rasanya aku ingin mengumumkan soal rencana sayembara pencarian jenazah Nila.Aku berharap dengan cara ini Nila akan segera ditemukan, karena entah kenapa polisi sulit sekali menanggapi laporan orang-orang desa seperti
"Heii."Dua orang petugas ikut berlari. Anjing pun berhenti dan terus menggonggong di sekitar pintu dapur rumah Sarah. Dengan perasaan yang sudah berubah tak karuan akhirnya aku juga mengekor mereka.Tetangga juga mulai berdatangan, mereka tampak penasaran ingin melihat apa yang sedang terjadi di sini."Ada apa, Pak?" tanyaku cepat."Maaf yang ini rumah siapa? Bisa kami periksa ke dalam?""Ini? Rumah tetangga saya, tapi mereka sedang tidak ada di rumah, mereka di rumah sakit." Aku menjawab apa adanya.Petugas itu diam, sementara anjing terus saja menggonggong tak mau berhenti."Bagaimana, Komandan?" tanya seorang polisi pada polisi yang satunya."Bu, ada sesuatu yang mencurigakan di rumah ini, kami harus periksa," ucap Komandan polisi padaku.Aku bergeming, sementara tubuhku mulai meremang.Sesuatu yang mencurigakan? Di rumah Sarah? Apa maksudnya?"Bu!" Aku mengerjap."Eh iya, Pak, tapi anu itu loh, orangnya gak ada, lagipula ... apa hubungannya kasus ini dengan tetangga saya?""Kam
Aku sama ngilunya juga, tak tega melihat jenazah Mila yang sangat mengkhawatirkan.Kedua matanya melotot, tubuhnya membiru dan lidahnya terjulur keluar. Tapi yang membuat kami makin ngilu adalah saat bagian dadanya sudah hilang sebagian."Kami perkirakan jenazah diserang binatang buas Bu, Pak," tutur seorang tim sar.Tubuhku meremang, bulu kuduk mendadak berdiri tak karuan.Segera seoranh petugas kembali menutup kantung itu.Setelah jenazah Mila ditemukan semua wargapun bubar. Tadinya petugas akan membawa jenazah Mila ke rumah sakit, tapi atas bantuan perangkat desa Sultan bisa meyakinkan mereka untuk langsung menyerahkan jenazah pada kami saja."Biar langsung kami makamkan di sini saja Pak, gak usah dibawa lagi ke rumah sakit dulu karena perjalanan cukup jauh."Dibantu orang yang sudah berpengalaman di desa ini, bu besan akhirnya mengurus jenazah Mila bersama mereka di rumahnya."Sabar Bu, sabar."Aku mengelus-ngelus pundaknya. Besan yang sedang memandikan jenazah Mila makin tertund
Mila melotot, wajahnya yang sedang marah tersorot cahaya bulan. "Ibu!" sentaknya tak suka."Kenapa? Kalau kau mau loncat, loncat saja! Hidupmu memang sudah tak ada gunanya!" besan kembali menantang.Segera kuelus pundak besan."Istighfar Bu besan, walau bagaimanapun dia anak Ibu," bisikku."Dia bukan anak saya lagi, Bu.""Ayo loncat Mila!" teriak besan lagi menatap tajam anak perempuannya itu."Tapi, Bu ... aaaaaa!" Suara Mila memekik langit dan malam yang hening."Milaaa!" Spontan mulutku berteriak saat melihat wanita itu terpeleset lalu jatuh ke sungai."Saudari Mila!" Bergegas para petugas juga maju ke sisi jembatan."Bu besan Mila jatuh Bu, Mila jatuh." Aku mengguncang kedua bahu besan.Bukannya beranjak ke tepi jembatan, besan malah ambruk di tempatnya dengan isak tangis yang mendadak pecah.Aku jadi bingung sendiri, tapi cepat kutinggalkan besan dan bergegas melihat ke tepi jembatan."Gimana Sultan?""Mila bener-bener jatuh, Bu.""Ya Allah ... nasibmu Mila." Aku menutup mulut.
"Ya tap-" Ucapanku terhenti saat kulihat Mila sudah mengeluarkan pisau cutternya.Aku bergegas bangkit dan menjauh darinya meski mendadak kedua kakiku terasa lemas dan bergetar.Wajah Mila tampak tengah dibakar api amarah, rupanya ia tersinggung karena tadi aku sempat menyebut dan membandingkan dia dengan Nila menantuku."Kamu ini apa-apaan Mila? Jangan main-main, itu benda tajam," ujarku memasang wajah waspada."Memang, memang ini benda tajam dan aku sengaja ingin memberimu kenang-kenangan," ucapnya diiringi gelak tawa.Dadaku bergemuruh hebat, napasku mendadak tercekat. Kulambaikan tangan ini untuk mencoba membuatnya tenang."Tenang Mila, kamu jangan begini, ingat aku adalah calon mertuamu."Mila mendecih dan terus maju ke arahku dengan tatapan tajam."Cih dasar pembohong, kalau kau adalah calon mertuaku kenapa kau sebut-sebut nama orang lain hah?"Sethh. Cutter itu menggores tepat di bagian atas lengan kananku.Aku menjerit, sejurus kemudian ibu besan datang membuka pintu kamar."Ya
PoV Ibu Ambarwati.Sultan menutup pintu kamar dengan kencang, lalu menguncinya agar Mila tak kabur sebelum polisi datang.Sementara di dalam Mila terus-terusan berteriak seperti orang kesetanan. "Biarkan dia teriak sendiri sampe capek sekalian," ujar Sultan penuh amarah.Aku bergidik ngeri sambil memegangi luka bekas sabetan pisau Mila. Wanita itu emang udah gak waras, hanya karena aku gak bisa membujuk anakku untuk menikahinya dia kalap dan gelap mata lalu tanpa ragu menyerangku dengan pisau cutter.Padahal aku sudah dengan besar hati tengah mencoba menerimanya karena ia sekarang sedang mengandung cucuku. Tapi rupanya aku salah, wanita seperti Mila itu memang pantasnya hidup di dalam penjara."Bu, Mila akan berikan bayi ini setelah ia lahir tapi Mila punya dua permintaan," ucapnya kemarin lusa, ketika aku dan Sultan menengoknya ke rumah sakit.Keningku mengerut, "permintaan apa?""Bebaskan Mila dari tuntutan Bani Azhar dan buatlah agar dia mau menikahi Mila," tegasnya menatapku seri
Dan ucapannya itu benar-benar jadi kenyataan. Ya Allah ... aku gak pernah membayangkan istriku akan benar-benar terbang dan gak pernah kembali lagi. Tapi keinginannya jadi orang yang berguna juga sudah tercapai.Sampai saat ini ginjal Nila masih berguna dan jadi wasilah kesehatan Bi Aminah. Semoga dengan hal ini Nila akan tenang dan bahagia di alam sana."Sudah sampai, Pak." Suara Pak Anwar menarikku dalam kesadaran."Eh kok cepet?"Tak terasa sepanjang jalan melamun, tahu-tahu mobil yang membawa kami sudah sampai saja di rumah sakit."Bapak ngelamun aja sih," balas Pak Anwar lagi.Ibu mertua dan Bi Aminah bergegas langsung masuk bahkan sebelum aku turun dari mobil.Sampai di ruangannya Sarah, kami tak diizinkan masuk bersamaan, karena Sarah masih dalam proses pengobatan setelah racunnya berhasil dikeluarkan."Masuk satu-satu ya Pak, agar tidak mengganggu kenyamanan pasien juga." Seorang perawat memperingatkan kami."Baik, Sus."Bi Aminah masuk lebih dulu, sekitar 20 menit beliau kemb
Aku menoleh. Mila sedang menyilangkan kedua tangannya di dada sambil tersenyum jahat."Dasar wanita gak punya rasa malu!"Ia malah tertawa puas."Aku hanya mengikuti skenario Tuhan Bani Azhar, awalnya aku gak pernah menduga dengan kehamilan ini ibumu akan membelaku tapi karena Tuhan sudah takdirkan ya sudah, mau bagaimana? Itu artinya kau memang ditakdirkan untukku 'kan?"Kedua tanganku mengepal hebat. Baru saja akan kutampar wanita itu ibuku sudah lebih dulu datang menampik tanganku."Apa ini Sultan? Jangan kasar sama wanita hamil, dia bisa stres dan jatuh lagi!" sentak beliau dengan mata melotot."Gak apa-apa kalau kamu gak mau terima aku Azhar, tapi bayi ini, tetap anakmu." Mila mulai berakting di depan ibuku, seolah-olah ia adalah orang yang paling tersakiti."Sudah Mila jangan nangis nanti bayimu stres, makanya saya 'kan udah bilang kamu di kamar aja, jangan deket-deket sama Sultan," ujar Ibuku lagi seraya meraih bobot Mila untuk setengah memeluknya.Geram, aku berteriak. "Bu, di
"Ayo Bu, lebih baik kita ke kantor polisi, kita harus tanyakan kenapa Mila bisa dibebaskan seperti itu pada petugas, gara-gara ulah mereka sekarang mata ibu Sultan malah tertutup dari kebenaran," ujarku penuh emosi.Kusetir sendiri mobil rental itu agar kami cepat sampai di kantor polisi."Bu Mila diberi keringanan bebas bersyarat, Pak."Aku kalap dan menggebrak meja."Kok, Bisa? Siapa yang beri kalian izin? Saya yang melaporkan Saudari Mila kenapa saya gak tahu apa-apa soal ini? Lancang sekali kalian!" sengitku.Ibu menahan bobotku agar aku tidak maju melawan mereka."Maaf Pak, tapi ... Bu Ambarwati bahkan sudah menjamin tersangka bebas dari hukuman.""Menjamin?!" teriakku lagi."Maaf Pak, jangan membuat keributan, kami harus bertugas dan melayani orang yang lainnya juga, kalau urusan Bapak sudah selesai silakan Bapak keluar," ucap petugas itu santun menunjuk ke arah pintu keluar.Aku menyipitkan mata. Aneh sekali rasanya mereka ini. Aku curiga mereka disuap dengan uang oleh ibuku. Y
"Sultaan cepat kemari!" teriak Ibu lagi.Aku dan ibu mertua bergegas ke kamar Mila."Cepat ambilkan air putih untuk Mila, kasihan perutnya sakit lagi!" titah Ibu.Aku bergeming tak segera melakukan perintah beliau. Si wanita licik itu tampak sedang berpura-pura meringis memegangi perutnya. Muak sekali aku, ingin rasanya kuguyur ia dengan air panas sampai jadi daging sop.Andai aja aku tahu sejak awal, bahwa wanita yang melamar di kantorku ini adalah kuntilanak akan kubuat ia mati untuk kedua kalinya."Ayo Sultan cepet!" Ibu mengejutkanku lagi.Spontan kakiku melangkah juga. Ibu mertua ikut ke belakang bersamaku."Nak Sultan tunggu! Ibu mau bertanya serius," ujar beliau seraya membawaku untuk duduk di kursi makan."Ada apa, Bu?""Ibu mau kamu jujur Nak, apa benar benih yang dikandung Mila sekarang adalah benihmu? Jujur sebelum Ibu tahu semua kejahatan Mila, Ibu kecewa dan marah sama kamu Nak, tapi setelah Mila memperlihatkan wajah aslinya Ibu jadi ragu apakah benar benih itu adalah beni
Aku mengangguk lesu."Kok bisa? Gimana ceritanya Sultan?!" Ibu bertanya setengah berteriak."Sabar dulu Bu, takut ibu mertua denger."Ibu menenangkan dirinya lalu duduk di sampingku."Sekarang ceritakan gimana awalnya? Kok bisa-bisanya Mila hamil anakmu? Apa jangan-jangan kamu sudah berbuat mesum? Astagfirullah Sultan, mau jadi apa hidup kamu?" "Enggak gitu Bu, tenang dulu. Kemarin itu Sultan juga gak ngerti kenapa tiba-tiba Sultan bangun tidur sama Mila."Kuceritakan semuanya dari awal hingga akhir sesuai yang kutahu kemarin saat kejadian di hotel itu.Ibuku sampai melotot tak percaya."Itu artinya kalian melakukannya atas dasar suka sama suka Sultan.""Gak gitu juga Bu, karena Sultan gak sadar waktu itu.""Tapi tetap saja sekarang benih itu tumbuh 'kan?""Gak Bu, Sultan ragu, apa iya benih bisa secepat itu terdeteksi tumbuh? Gak mungkin, Sultan yakin Mila sedang menjebak kita, entah sekarang anak siapa yang tengah dikandungnya itu," ujarku kesal mengepalkan jari jemariku.Tak lama