Setelah Nila menikah aku jadi pribadi yang pendiam dan tertutup, entah kenapa rasanya aku tak lagi punya semangat untuk melanjutkan hidup apalagi ingin berumah tangga. Aku malu, benar-benar malu sampai aku tak pernah pulang ke kampung halaman selama 2 tahun sejak Nila menikah.Tapi semua itu berubah ketika suatu hari tepatnya seminggu yang lalu. Bani Azhar--suaminya Nila benar-benar pindah ke Surabaya.Saat itu, tanpa sepengetahuan Nila aku melamar di kantor suaminya, dan beruntungnya aku karena saat itu aku langsung diterima menjadi sekretarisnya Bani Azhar."Baik, karena sekretaris saya yang dulu tidak ikut pindah, kamu diterima jadi sekretaris saya, saya harap kamu bisa membantu saya dalam mengembangkan perusahaan ini," ucapnya saat itu.Senyumku terbit sempurna. Aku bahagia sangat sangat bahagia saat itu.Bagaimana tidak? Ini adalah saat-saat yang kunantikan dalam hidupku. Aku masuk dalam kehidupan Bani Azhar dan perlahan aku akan merebut hatinya.Di depan meja kerja Bani Azhar
Nila tersenyum renyah. Lalu mengangkat sebelah tangannya sedikit untuk memanggil pelayan cafe.Tak butuh waktu lama, pelayan itu pun datang membawa buku menu dan tablet untuk mencatat pesanan kami."Espresso chill dua," kata Nila pada pelayan itu. Selain memesan kopi pahit dingin Nila juga memesan beberapa menu andalan di cafe itu, entah itu makanan jenis apa aku sendiri tak begitu familiar, jujur aku tak pernah memesannya.Karena walau aku bekerja siang malam, rasanya gajiku tak akan cukup jika untuk membeli makanan mewah yang hanya disajikan dalam porsi sedikit itu.Tapi waw lihatlah si Nila, adikku itu bahkan memesan apapun yang dia mau saat ini tanpa pikir panjang.Ia juga tampaknya sudah sangat terbiasa mengunjungi cafe-cafe mewah seperti ini karena saat kami makan ia sudah menguasi table manner dengan baik dan benar.Padahal dulu ia hanya gadis desa biasa, jangankan table manner makan di emperan saja ia sering gugup dan milih untuk dibungkus saja.Sungguh hidup Nila membuatku m
"Toloooong." Sejurus kemudian Nila berteriak kencang. Aku sampai tak lagi punya kesempatan untuk memberi orang-orang suruhanku itu kode.Alhasil mereka berdua langsung lari terbirit-birit keluar rumah. Aku tahu mereka tak akan membahayakan keselamatan diri mereka hanya karena sejumlah uang dariku.Arggghh. Sial. "Mbak Mila gak apa-apa?" Nila memastikan seluruh tubuhku aman.Aku mengangguk tanpa bicara. Sebetulnya masih kesal, kenapa rencana yang sudah kususun ini harus gagal?"Ayo, Mbak duduk." Nila menarik lenganku ke sofa."Kalau menurut Nila, Mbak gak usahlah tinggal di sini lagi, sudah tahu rumah ini selalu diintai tapi Mbak kok maksa banget?"Aku menelan saliva tapi tetap diam tak menjawab."Ayo meningan ikut Nila aja ke rumah Mas Azhar," katanya lagi seraya bangkit dan bergegas menarikku.Tapi cepat kutepis tangan Nila itu."Enggak, enggak Nil maaf, tapi ... Mbak gak enak, masa iya Mbak numpang di rumah suamimu."Tentu saja aku akan menolak, kalau sampai aku ke sana, Bani Azhar
Bapak diam, ia masih saja menundukkan kepalanya."Bapaknya Mbak Mila itu gak akan mau jawab, karena dia takut kelakuan busuknya akan terbongkar," sahut Sarah."Kelakuan busuk? Kelakuan busuk gimana maksudnya?""Mbak Mila pasti gak tahu kalau bapaknya Mbak Mila ini suka berkencan dengan para wanita muda di kos-an ini.""Apa?" Aku shock, dadaku bergemuruh. "Bahkan Mbak Mila gak akan pernah menyangka bahwa bapaknya Mbak Mila yang tua ini suka mabuk-mabukan dan berjudi!" semburnya lagi. Aku makin shock sampai jantung ini rasanya hampir lepas dari tempatnya, lebih-lebih saat kulihat bapak hanya menunduk seolah membenarkan semua ucapan Sarah."Sarah sengaja datang ke sini untuk menyeret bapaknya Mbak Mila ke dalam penjara," ucap Sarah lagi.Aku kembali menoleh ke arah anak itu, wajahnya makin merah padam menampakan kemarahan yang luar biasa tengah bersarang di sana. "Tapi kenapa Sarah? Emang apa yang udah dilakukan bapaknya, Mbak?" "Mbak Mila benar-benar ingin tahu?"Aku mengangguk gama
Tanpa bertanya lagi kedua orang itu mengangkat tubuh Nila ke dalam taksi online yang sudah kupesan."Terimakasih."Aku memberi mereka sejumlah uang sebelum aku naik taksi walau kesal rasanya karena pekerjaan mereka tak terlalu sempurna.Taksi mulai melaju sesuai maps yang tertera di aplikasi.Aku akan bawa Nila ke sebuah klinik gelap. Klinik kecil di sisi Kabupaten yang sudah terkenal dari mulut ke mulut sejak dulu.Aku tahu soal klinik itu, karena dulu saat di desa aku punya teman yang hamil di luar nikah, ia lalu menggugurkan kandungannya di sana.Walau banyak kasus gagal dan akhirnya si pasien meninggal karena penanganan yang jauh dari standar medis,aku tak peduli, toh akhirnya Nila juga harus secepatnya disingkirkan dari hidup Bani Azhar 'kan?Di dalam mobil kutelepon Sarah."Datang ke klinik sisi kabupaten dan jangan lupa ajak bapak ke sana.""Kilinik sisi kabupaten? Mau apa di sana Mbak? Bukannya itu klinik ...?""Gak usah banyak tanya."Tut. Kumatikan sambungan telepon. Semua
PoV Bapak."Selesai diurus bisa secepatnya dibawa pulang saja," jawab Dokter itu.Sementara menunggu jasad Nila dimandikan dan dikafani, Mila mengajakku dan Sarah berunding."Dengar kalian berdua, rahasia soal Nila ini hanya kita yang tahu, soal kematiannya, soal ginjalnya, soal kepulangannya, jangan sampai mulut kalian tergelincir di depan ibu," ujarnya penuh penekanan.Aku semakin tegang. Jujur saja, aku tidak menyangka anak sulungku akan senekat ini, entah ia tulus ingin membantuku agar aku tidak dipenjara atau dia memang sedang ada masalah pribadi dengan Nila adiknya, tapi tindakannya ini sungguh di luar dugaanku.Hanya karena karena ingin menyelamatkan aku dari jeruji besi dan dari kemarahan Sarah, nyawa adiknya kini melayang begitu saja."Lalu kami harus bagaimana? Mbak Mila mungkin akan aman karena Bibi Masitah gak tahu kalau Mbak Mila ada di Jawa, sedangkan kami? Bisa-bisa bukan cuma Paman tua yang masuk penjara tapi Sarah juga!" sengit Sarah.Aku kembali mengumpulkan kesadara
PoV Sarah."Ya Allah, Nila kenapa ini, Bu?" "Ibu juga gak tahu, Pak, pantas saja Ibu ingin sekali memandikannya, ternyata sesuatu memang sudah terjadi pada anak kita." "Nilaa, Naaak kenapa kamu sebenarnya? Ya Allah."Perlahan pria tua itu ambruk di bawah tempat pemandian, bagus juga aktingnya, kuberi dia nilai 90. Tapi sayang aku terlanjur jijik melihatnya.Pria tua tak tahu diri, tak melihat diri sudah bau tanah, dia dengan tega mau merudapaksa ibuku.Arrggghhh. Andai bukanlah ginjal yang menebus kesalahannya sudah kujebloskan dia ke dalam penjara."Paman kenapa?" Aku cepat meraih bobotnya dan membawa paman tua itu kembali keluar tiding pemandian."Masuk kau ke dalam rumah, amankan suasana di sana, pastikan mereka gak akan banyak tanya jika mereka melihat luka bekas sayatan itu, sementara aku akan urus istrimu!" sengitku."Tunggu dulu Sarah, yang Paman tahu hanya ada luka bekas sayatan di tubuh Nila, tapi tadi Paman lihat ada luka lebam juga, apa kamu tahu itu kenapa?"Aku bergemi
Tut tut tut. Mbak Mila memutuskan teleponnya sepihak bahkan sebelum aku bicara lagi.Aku kembali memasukan ponsel ke dalam saku lalu bergegas pergi ke kamar.Di atas kasur yang biasa kami tiduri berdua itu kulihat ibu sudah terlelap. Pelan, aku pun duduk sebentar di sisi ranjang kemudian terisak di sana."Sabar ya, Bu, gak akan lama lagi, gak akan lama lagi Ibu akan sehat."Bayangan si lelaki tua bangka sedang berusaha merudapaksa ibuku pun kembali muncul membuat telapak tangan ini spontan mengepal.Sakit sekali rasanya, sesak sekali dada ini dibuatnya, mentang-mentang kami hanya tinggal berdua siapapun seolah berani berbuat kurang ajar pada kami.Tapi tak apa, sekarang semuanya sudah dibayar lunas, aku yakin pria tua bangka itu sedang merasakan kesedihan yang sekarang sedang kurasakan juga, walau pun ....Kutengok bingkai foto yang kutaruh di atas nakas. Bingkai berisi foto kebersamaan antara aku dan Nila.Dua sahabat yang selalu berjanji untuk terus setia dan saling menjaga satu sam
Aku sama ngilunya juga, tak tega melihat jenazah Mila yang sangat mengkhawatirkan.Kedua matanya melotot, tubuhnya membiru dan lidahnya terjulur keluar. Tapi yang membuat kami makin ngilu adalah saat bagian dadanya sudah hilang sebagian."Kami perkirakan jenazah diserang binatang buas Bu, Pak," tutur seorang tim sar.Tubuhku meremang, bulu kuduk mendadak berdiri tak karuan.Segera seoranh petugas kembali menutup kantung itu.Setelah jenazah Mila ditemukan semua wargapun bubar. Tadinya petugas akan membawa jenazah Mila ke rumah sakit, tapi atas bantuan perangkat desa Sultan bisa meyakinkan mereka untuk langsung menyerahkan jenazah pada kami saja."Biar langsung kami makamkan di sini saja Pak, gak usah dibawa lagi ke rumah sakit dulu karena perjalanan cukup jauh."Dibantu orang yang sudah berpengalaman di desa ini, bu besan akhirnya mengurus jenazah Mila bersama mereka di rumahnya."Sabar Bu, sabar."Aku mengelus-ngelus pundaknya. Besan yang sedang memandikan jenazah Mila makin tertund
Mila melotot, wajahnya yang sedang marah tersorot cahaya bulan. "Ibu!" sentaknya tak suka."Kenapa? Kalau kau mau loncat, loncat saja! Hidupmu memang sudah tak ada gunanya!" besan kembali menantang.Segera kuelus pundak besan."Istighfar Bu besan, walau bagaimanapun dia anak Ibu," bisikku."Dia bukan anak saya lagi, Bu.""Ayo loncat Mila!" teriak besan lagi menatap tajam anak perempuannya itu."Tapi, Bu ... aaaaaa!" Suara Mila memekik langit dan malam yang hening."Milaaa!" Spontan mulutku berteriak saat melihat wanita itu terpeleset lalu jatuh ke sungai."Saudari Mila!" Bergegas para petugas juga maju ke sisi jembatan."Bu besan Mila jatuh Bu, Mila jatuh." Aku mengguncang kedua bahu besan.Bukannya beranjak ke tepi jembatan, besan malah ambruk di tempatnya dengan isak tangis yang mendadak pecah.Aku jadi bingung sendiri, tapi cepat kutinggalkan besan dan bergegas melihat ke tepi jembatan."Gimana Sultan?""Mila bener-bener jatuh, Bu.""Ya Allah ... nasibmu Mila." Aku menutup mulut.
"Ya tap-" Ucapanku terhenti saat kulihat Mila sudah mengeluarkan pisau cutternya.Aku bergegas bangkit dan menjauh darinya meski mendadak kedua kakiku terasa lemas dan bergetar.Wajah Mila tampak tengah dibakar api amarah, rupanya ia tersinggung karena tadi aku sempat menyebut dan membandingkan dia dengan Nila menantuku."Kamu ini apa-apaan Mila? Jangan main-main, itu benda tajam," ujarku memasang wajah waspada."Memang, memang ini benda tajam dan aku sengaja ingin memberimu kenang-kenangan," ucapnya diiringi gelak tawa.Dadaku bergemuruh hebat, napasku mendadak tercekat. Kulambaikan tangan ini untuk mencoba membuatnya tenang."Tenang Mila, kamu jangan begini, ingat aku adalah calon mertuamu."Mila mendecih dan terus maju ke arahku dengan tatapan tajam."Cih dasar pembohong, kalau kau adalah calon mertuaku kenapa kau sebut-sebut nama orang lain hah?"Sethh. Cutter itu menggores tepat di bagian atas lengan kananku.Aku menjerit, sejurus kemudian ibu besan datang membuka pintu kamar."Ya
PoV Ibu Ambarwati.Sultan menutup pintu kamar dengan kencang, lalu menguncinya agar Mila tak kabur sebelum polisi datang.Sementara di dalam Mila terus-terusan berteriak seperti orang kesetanan. "Biarkan dia teriak sendiri sampe capek sekalian," ujar Sultan penuh amarah.Aku bergidik ngeri sambil memegangi luka bekas sabetan pisau Mila. Wanita itu emang udah gak waras, hanya karena aku gak bisa membujuk anakku untuk menikahinya dia kalap dan gelap mata lalu tanpa ragu menyerangku dengan pisau cutter.Padahal aku sudah dengan besar hati tengah mencoba menerimanya karena ia sekarang sedang mengandung cucuku. Tapi rupanya aku salah, wanita seperti Mila itu memang pantasnya hidup di dalam penjara."Bu, Mila akan berikan bayi ini setelah ia lahir tapi Mila punya dua permintaan," ucapnya kemarin lusa, ketika aku dan Sultan menengoknya ke rumah sakit.Keningku mengerut, "permintaan apa?""Bebaskan Mila dari tuntutan Bani Azhar dan buatlah agar dia mau menikahi Mila," tegasnya menatapku seri
Dan ucapannya itu benar-benar jadi kenyataan. Ya Allah ... aku gak pernah membayangkan istriku akan benar-benar terbang dan gak pernah kembali lagi. Tapi keinginannya jadi orang yang berguna juga sudah tercapai.Sampai saat ini ginjal Nila masih berguna dan jadi wasilah kesehatan Bi Aminah. Semoga dengan hal ini Nila akan tenang dan bahagia di alam sana."Sudah sampai, Pak." Suara Pak Anwar menarikku dalam kesadaran."Eh kok cepet?"Tak terasa sepanjang jalan melamun, tahu-tahu mobil yang membawa kami sudah sampai saja di rumah sakit."Bapak ngelamun aja sih," balas Pak Anwar lagi.Ibu mertua dan Bi Aminah bergegas langsung masuk bahkan sebelum aku turun dari mobil.Sampai di ruangannya Sarah, kami tak diizinkan masuk bersamaan, karena Sarah masih dalam proses pengobatan setelah racunnya berhasil dikeluarkan."Masuk satu-satu ya Pak, agar tidak mengganggu kenyamanan pasien juga." Seorang perawat memperingatkan kami."Baik, Sus."Bi Aminah masuk lebih dulu, sekitar 20 menit beliau kemb
Aku menoleh. Mila sedang menyilangkan kedua tangannya di dada sambil tersenyum jahat."Dasar wanita gak punya rasa malu!"Ia malah tertawa puas."Aku hanya mengikuti skenario Tuhan Bani Azhar, awalnya aku gak pernah menduga dengan kehamilan ini ibumu akan membelaku tapi karena Tuhan sudah takdirkan ya sudah, mau bagaimana? Itu artinya kau memang ditakdirkan untukku 'kan?"Kedua tanganku mengepal hebat. Baru saja akan kutampar wanita itu ibuku sudah lebih dulu datang menampik tanganku."Apa ini Sultan? Jangan kasar sama wanita hamil, dia bisa stres dan jatuh lagi!" sentak beliau dengan mata melotot."Gak apa-apa kalau kamu gak mau terima aku Azhar, tapi bayi ini, tetap anakmu." Mila mulai berakting di depan ibuku, seolah-olah ia adalah orang yang paling tersakiti."Sudah Mila jangan nangis nanti bayimu stres, makanya saya 'kan udah bilang kamu di kamar aja, jangan deket-deket sama Sultan," ujar Ibuku lagi seraya meraih bobot Mila untuk setengah memeluknya.Geram, aku berteriak. "Bu, di
"Ayo Bu, lebih baik kita ke kantor polisi, kita harus tanyakan kenapa Mila bisa dibebaskan seperti itu pada petugas, gara-gara ulah mereka sekarang mata ibu Sultan malah tertutup dari kebenaran," ujarku penuh emosi.Kusetir sendiri mobil rental itu agar kami cepat sampai di kantor polisi."Bu Mila diberi keringanan bebas bersyarat, Pak."Aku kalap dan menggebrak meja."Kok, Bisa? Siapa yang beri kalian izin? Saya yang melaporkan Saudari Mila kenapa saya gak tahu apa-apa soal ini? Lancang sekali kalian!" sengitku.Ibu menahan bobotku agar aku tidak maju melawan mereka."Maaf Pak, tapi ... Bu Ambarwati bahkan sudah menjamin tersangka bebas dari hukuman.""Menjamin?!" teriakku lagi."Maaf Pak, jangan membuat keributan, kami harus bertugas dan melayani orang yang lainnya juga, kalau urusan Bapak sudah selesai silakan Bapak keluar," ucap petugas itu santun menunjuk ke arah pintu keluar.Aku menyipitkan mata. Aneh sekali rasanya mereka ini. Aku curiga mereka disuap dengan uang oleh ibuku. Y
"Sultaan cepat kemari!" teriak Ibu lagi.Aku dan ibu mertua bergegas ke kamar Mila."Cepat ambilkan air putih untuk Mila, kasihan perutnya sakit lagi!" titah Ibu.Aku bergeming tak segera melakukan perintah beliau. Si wanita licik itu tampak sedang berpura-pura meringis memegangi perutnya. Muak sekali aku, ingin rasanya kuguyur ia dengan air panas sampai jadi daging sop.Andai aja aku tahu sejak awal, bahwa wanita yang melamar di kantorku ini adalah kuntilanak akan kubuat ia mati untuk kedua kalinya."Ayo Sultan cepet!" Ibu mengejutkanku lagi.Spontan kakiku melangkah juga. Ibu mertua ikut ke belakang bersamaku."Nak Sultan tunggu! Ibu mau bertanya serius," ujar beliau seraya membawaku untuk duduk di kursi makan."Ada apa, Bu?""Ibu mau kamu jujur Nak, apa benar benih yang dikandung Mila sekarang adalah benihmu? Jujur sebelum Ibu tahu semua kejahatan Mila, Ibu kecewa dan marah sama kamu Nak, tapi setelah Mila memperlihatkan wajah aslinya Ibu jadi ragu apakah benar benih itu adalah beni
Aku mengangguk lesu."Kok bisa? Gimana ceritanya Sultan?!" Ibu bertanya setengah berteriak."Sabar dulu Bu, takut ibu mertua denger."Ibu menenangkan dirinya lalu duduk di sampingku."Sekarang ceritakan gimana awalnya? Kok bisa-bisanya Mila hamil anakmu? Apa jangan-jangan kamu sudah berbuat mesum? Astagfirullah Sultan, mau jadi apa hidup kamu?" "Enggak gitu Bu, tenang dulu. Kemarin itu Sultan juga gak ngerti kenapa tiba-tiba Sultan bangun tidur sama Mila."Kuceritakan semuanya dari awal hingga akhir sesuai yang kutahu kemarin saat kejadian di hotel itu.Ibuku sampai melotot tak percaya."Itu artinya kalian melakukannya atas dasar suka sama suka Sultan.""Gak gitu juga Bu, karena Sultan gak sadar waktu itu.""Tapi tetap saja sekarang benih itu tumbuh 'kan?""Gak Bu, Sultan ragu, apa iya benih bisa secepat itu terdeteksi tumbuh? Gak mungkin, Sultan yakin Mila sedang menjebak kita, entah sekarang anak siapa yang tengah dikandungnya itu," ujarku kesal mengepalkan jari jemariku.Tak lama