"Keburukanku di masa lalu, tak kubawa ke masa sekarang. Aku sudah meninggalkannya jauh di sana, dan sejak saat itu aku terus memantaskan diri untuk Fai. Karena, sejak awal, dia lah satu-satunya tujuanku." Dian membalas sambil menatapku dengan tenang. "Bukankah, dulu kau yang pergi meninggalkanku? Karena lebih memilih karirmu ketimbang berusaha tetap di sisiku?"Aku menjauhkan tubuhku darinya. Kalimatnya yang terakhir itu sungguh menyesakkan dada, mengorek luka lama yang selama ini ingin kulupakan."Karena, kau selalu menyuruhku memakai jilbab dan berbaju panjang. Sementara, kau tahu aku seorang model yang dituntut untuk menunjukkan keindahan tubuhku di depan kamera. Kau hanya ingin mengubahku menjadi seperti Faihatun, bukan menerimaku apa adanya!" balasku.Dian membuang napas dan memejamkan mata. "Setidaknya, aku sudah memberimu kesempatan," ucapnya pelan. Kemudian pandangannya tertuju ke belakangku, ia sedikit terkejut namun segera ditahannya."Apa yang sedang kalian bicarakan?" Suar
âKau masih menggeluti dunia modelling? Mel, sekarang kau kan sudah Sarjana Ekonomi. Gunakan ilmumu untuk mendapat pekerjaan yang sesuai. Dunia model itu riskan, berhentilah dari sana.âFai memasukkan es bon-bon yang sudah jadi ke freezer kecil khusus membuat es. Dari dulu, dia memang tak setuju aku berkecimpung di dunia model. Katanya, auratku diumbar dengan imbalan uang dan dinikmati mata para lelaki, itu dosa.âEntahlah Fai, imanku belum bisa menjangkau sampai ke sana. Soal dosa atau pahala, aku serahkan sama Yang Di Atas,â kataku.âLalu, koleksi jilbabmu itu untuk apa? Bukankah kau berniat untuk memakainya?â tanya Fai. Kali ini dia serius menatapku.âEum ⌠itu bekas pemotretan fashion muslimah!â jawabku cepat.âTapi, aku belum pernah melihat satu pun fotomu yang mengenakan busana muslim? Malah, baru saja tadi aku melihatmu memakai jilbab.â Fai terlihat heran.Tentu saja kau tidak pernah melihatnya, Fai! Karena sebenarnya jilbab itu kubeli atas permintaan Dian yang ingin aku berpena
âHatimu, apakah merasa cinta terhadap calon suamiku?â tanya Fai begitu datarnya, seolah sedang mempersiapkan diri untuk kecewa.âSudah jelas, kan? Dari awal aku mengatakan bahwa dia lebih pantas bersanding denganku.âAku memilih untuk tak menatap Fai, demi terhindar dari rasa sakit yang tersirat di wajahnya.âKupikir kita berbeda,â gumam Fai seraya mengarahkan pandangan ke arah jendela kamar.âKita memang berbeda, Fai. Karena kita tak sedarah. Selama hidup ini, hanya ada dua kesamaan yang kita miliki. Pertama, memiliki seorang Ibu yang luar biasa. Kedua, hati yang mencintai Dian,â ujarku.Kini, pandangannya beralih padaku. Ada kasih sayang berlimpah dalam sorot matanya itu. âDan kau selalu ingin menguasai cinta keduanya. Baik cinta Ibu maupun Dian, kau selalu ingin dapat porsi yang lebih besar dariku,â balasnya.âBenar, Fai! Karena aku ingin lebih bahagia darimu. Aku selalu iri padamu. Kau berasal dari keluarga miskin, tapi banyak orang yang menyayangimu. Sementara aku ⌠walaupun kelu
Itu bagaikan suara petir di telingaku. Meli mengucapkannya dengan terbata dan ragu.Kulepaskan tanganku dari genggamam Meli, lalu memeluknya. âKalau benar yang kau katakan, harusnya sejak dulu kau tahan Dian agar tetap di sisimu, hingga ia tak punya kesempatan untuk bertemu lagi denganku,â ucapku. âSekarang, aku sudah menyebar undangan pada semua rekan, dan akad nikah kami tinggal beberapa hari lagi. Kenapa kau baru bercerita?â tanyaku setenang mungkin seraya melepas pelukan.Seumur hidup, baru kali ini aku memeluk Meli. Rasanya, seperti menemukan ârumahkuâ setelah kepergian Ibu. Tapi, sayang, sebentar lagi Meli akan pergi.âKarena, begitu banyak ketakutan dalam dadaku. Kau tahu, kan, berkata jujur tak mudah? Terlebih hal yang kukatakan akan membuatmu terluka,â jawab Meli, matanya berkaca-kaca. âTapi, kenapa kau begitu tenang, Fai? Tidakkah kau terkejut atau sedih mendengarnya? Calon suamimu pernah âbersetubuhâ denganku.âAku mengusap air mata yang mulai menetes di pipinya. Bedaknya t
*Kamar Meli kini kosong, aku mengubahnya menjadi tempat menaruh semua persiapan akad nikahku. Pagi ini barang-barang yang telah kupesan datang, mulai dari baju pengantin hingga sayuran. Semua kugeletakkan begitu saja di sana. Entah apa yang akan kulakukan dengan barang-barang itu, karena aku telah mengundurkan akad nikahku.âBeri aku waktu untuk berpikir,â ucapku saat mengajukan pengunduran tanggal akad nikah pada Dian, pagi kemarin sebelum detik-detik berpisah dengan Meli. Dian menyetujuinya, ia mengerti bagaimana galaunya pikiranku setelah mengetahui kebenaran itu Miris, memang. Sejak kehadiran Meli dalam hidupku, aku selalu dapat âbekasnyaâ. Baju, tas, sepatu, mainan, dan lainnya ⌠selalu bekas Meli. Apakah salah jika kali ini aku menolak âlelaki bekas Meliâ untuk jadi suamiku? Kurasa, cukup di masa kecil saja aku pakai âbarang-barang bekasâ.âAstaghfirulloh,â gumamku saat menyadari telah mengatai Dian dengan ujaran yang tak sopan. Semua itu karena rasa kesalku padanya.Setelah p
Aku menggeser posisi, menjauh dari Dian. âAku hargai kejujuranmu, dan kesiapanmu menerima konsekuensinya. Terimakasih untuk semua itu. Kita masih bisa berteman. Itulah bentuk penghargaanku atas kejujuranmu,â ucapku dengan gemetar sambil melangkah mundur. Tak sangka niat untuk mengakhiri hubungan dengannya, terucap juga.âFai, apâapa maksudmu?â Dian bertanya untuk memastikan pernyataanku.âAku tak bisa melanjutkan hubungan denganmu,â jawabku dengan yakin. Kemudian melangkah mundur perlahan.âTapi, undangan sudah disebar. Dan bagaimana dengan hatiku?â Setiap aku mundur selangkah, Dian pun akan maju selangkah. Sehingga jarak diantara kami tetap sama.âSoal undangan, aku akan mengurusnya. Dan soal hati ⌠kita urus masing-masing!â tegasku sambil mempercepat langkah ke pinggir jalan, melambaikan tangan pada angkutan kota yang tengah melintas. Beruntung, ujung jilbabku tersapu angin hingga menutupi wajah, dan menyerap air mataku yang tiba-tiba saja menetes tak terkendali. Semoga saja, tak
âHalo, Mel?â balasku.âFai, how are you?â tanyanya di seberang sana.âFine. And you?ââNot too bad. By the way, iklanku sudah tayang di televisi dan channel Youtube. Coba lihat, deh,â katanya.âAku lagi kerja, mana bisa nonton TV Mel.ââYa bukan di TV, dong. Lagian iklannya gak akan tayang di TV Indo. Maksudku, lihat di Youtube. Kemarin aku shooting dua iklan sekaligus, hasilnya bagus banget. Perusahaan juga puas dengan kinerjaku, mereka langsung memperpanjang kontrak. Mimpiku sebentar lagi terwujud, Fai! Kamu harus nonton, ya!â âOke, Mel. Nanti kalau istirahat aku pasti nonton. Thanks ya udah nyempetin nelepon, sering-sering aja.âKeceriaan Meli di ujung telepon membuatku senang sekaligus teriris. Aku tahu kepergiannya ke Singapore bukan hanya untuk mengejar karir, tetapi juga untuk melarikan diri dari bayang-bayang masa lalunya bersama Dian.Mita menghampiri mejaku, menyerahkan berkas yang harus segera kuselesaikan. Seminar kesehatan akan diadakan hari ini, aku harus menyusun power
âYang salah, adalah orang yang menyalahkan orang lain atas kesalahan yang telah dilakukannya!â jawabku, kemudian beranjak meninggalkan Dian sendiri.Sikap kami mengundang perhatian rekan-rekan yang lain. Mereka tampak heran karena aku dan Dian masih bisa berbincang walaupun telah membatalkan pernikahan.âDian kayaknya masih belum rela melepaskanmu, Fai,â bisik Pak Anwar yang tengah membantuku melepas kabel infokus. Sementara Dian sudah pulang lebih dulu. âGosip orang ketiga itu benar?ââTidak ada orang ketiga, Pak. Saya hanya menemukan ketidakcocokan dengannya. Walaupun saya mengenal baik Dian di masa kecil, tapi rupanya sekarang sudah banyak yang berubah darinya,â jawabku.Pak Anwar manggut-manggut. Sambil membetulkan letak kacamatanya, ia mencoba mengatakan sesuatu padaku. âFai, Dian itu insyaalloh lelaki yang baik, walau tak sempurna. Sebaiknya, kalau ada kesempatan kalian untuk bersama, maka kembalilah bersama,â ucapnya. Aku langsung terdiam, entah harus menanggapi apa. Yang past
Hubungan antar manusia memang tak selamanya baik, namun juga tak selamanya buruk. Sedekat apapun kita dengan seseorang, pasti akan selalu ada gesekan yang memicu konflik. Entah itu konflik fisik, maupun konflik batin. Meli menyikut pinggangku. âItu Dian, Fai,â ucapnya seraya menunjuk Dian dengan dagu. âAku tahu,â jawabku. âKalau ada yang mau diomongin sama Dian, sana samperin. Jangan dipendam,â lanjut Meli. Rupanya ia menyadari gelagatku yang tengah menghadapi konflik batin tak kunjung usai ini. âDari mana aku harus mulai bicara?â tanyaku pada Meli. Kali ini aku merasa perlu meminta pendapatnya. âAyo kutemani,â bisiknya. âKau pergi saja bersama Dian. Jalan-jalan kemana kek. Biar aku yang menemani Bu Mardiyah.â Meli tampak yakin. Dia meraih tanganku, mengajakku untuk melangkahkan kaki menghampiri Dian. Aku sempat ragu, karena khawatir Meli keberatan dalam hatinya. Mengingat dia pun pernah mengharapkan Dian di sisinya. âKau yakin, Mel?â tanyaku. âSoal apa?â âKau sudah mengikhla
âPelankan suaramu, Fai!â titah Ibu, panik. Ia kemudian melepaskan tangannya dari mulutku saat aku sudah agak tenang. Ibu menahan isak tangis hingga ekspresi wajahnya sulit kugambarkan. Namun yang pasti, adaberjuta kepedihan tergurat di sana. Lantunan takbir masih menggema, begitu pun suara bedug bertalu-talu di malam takbir itu, harusnya kami menangis bahagia menyambut hari kemenangan. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Ibu langsung memelukku dengan erat. Tangisnya mulai pecah, namun dengan suara yang sengaja ditahan. Aku takut sekaligus merasa aman dalam pelukan Ibu. Namun tanda tanya itu masih ada, tentang noda darah yang bau amisnya sangat menusuk. âFai, tadi selelpas buka puasa Ibu menemani Nyonya Guntur membagikan THR pada fakir miskin yang hidup di jalanan. Tiba-tiba mobil yang dikendarai kami ditabrak orang tak dikenal. Mobil kami terguling ke hutan. Nyonya Guntur langsung meninggal, Ibu dan supir yang selamat mengeluarkan Nyonya Guntur dari mobil yang hampir meledak. Mak
Mengapa Dian begitu terpaut padaku, apa istimewanya aku di matanya hingga ia tak bisa lepas dariku? Selama puluhan tahun berpisah, tidakkah Dian menemukan wanita lain selain aku? Semua piring selesai dicuci, dapur juga kembali bersih. Ini pertama kalinya aku bebersih rumah dibantu Meli. Rasanya hari ini spesial, karena beberapa hal terjadi untuk pertama kalinya. Tabuhan bedug dan lantunan suara takbir mulai berkumandang. Aku dan Meli pergi ke teras rumah, melihat anak-anak se-usia sekolah dasar bermain petasan dan kembang api. Suasana seperti inilah yang kami rindukan sepanjang tahun. Suka cita menyambut hari kemenangan dirayakan anak-anak itu dengan cara menyenangkan versi mereka. Menyalakan petasan, melemparnya ke halaman terbuka, kemudian berlari menjauhi petasan tersebut sambil menutup telinga. Sebagian yang lain menyalakan kembang api, cahayanya berkilauan saat dilempar ke atas. Anak-anak kecil itu tampak bahagia. Aku membuka pintu pagar dan keluar rumah mendekati anak-anak i
âSiapa yang godain, Yah? Aku serius, kok, â jawab Haykal. Meli berhenti mengunyah, ia melihat ke arahaku sejenak, lalu pura-pura tak peduli dengan pernyataan Haykal. âKalau begitu, jangan digoda terus, kasihan. â Ayah berseloroh. Kami pun tertawa. Ramadhan terakhir di tahun ini aku menemukan kebahagiaan dapat berkumpul kembali bersama Ayah, Meli, dan juga anggota keluarga baru yaitu Haykal. Hubunganku dengan Dian juga mulai mencair, meskipun di antara kami tidak ada ikatan istimewa lagi, namun setidaknya silaturahmi tetap terjaga. Kami menghabiskan semua menu buka puasa, meskipun masak menu beragam, tapi masing-masing menu itu porsinya sedikit, sengaja kami atur agar cukup untuk makan berempat, sehingga tidak mubazir. Hanya sisa sedikit belalang goreng di atas piring. Ayah meminta kami bertiga untuk mencicipinya. âGak suka, ah. Geli, â balas Meli. âAyo, dicoba dulu. Jangan bilang gak suka kalau belum nyoba. Makanan ini kaya protein, gak kalah dengan daging ayam.â Ayah membujuk
âYa, itu buktinya,â ujar Meli sambil menahan tawa melihat ekspresi geliku. Aku mengambil baskom berisi belalang kecil ini dan mulai mencucinya. Orang kampung sini biasa menyebutnya âsimeutâ. Meski di jaman modern seperti sekarang sudah jarang peminatnya, namun untuk beberapa orang, serangga kecil ini memang biasa dikonsumsi sebagai lauk. Cara memasaknya sangat mudah, tinggal diberi bumbu rempah, lalu goreng hingga kering. Belalang goreng ini bahkan sudah ada yang menjual dalam bentuk kemasan dan siap santap, banyak dijual di marketplace online. âDari mana Ayah dapat belalang ini, Mel?â tanyaku. âTadi pas kami lewat pesawahan di pinggir jalan, Ayah mengajak turun dan menangkap belalang-belalang itu. Seru, lho!â jawab Meli dengan raut wajah gembira. âKatanya, dulu Ayah sering melakukannya sama kamu, waktu kamu berusia dua tahun.â Aku membumbui belalang ini dengan kunyit bubuk, bawang putih bubuk, garam, dan penyedap rasa, lalu menggorengnya dalam minyak panas. âOh ya, aku sama sekal
âSudah, Bu. Tak baik, tak ada sangkut pautnya dengan Fai,â jawab Dian. Aku cukup terkejut dan berkata, âkenapa, Di?â âBenar bahwa kami pindah ke sini karena malu atas utang di desa, namun sebenarnya kepindahan kami ke sini pun adalah keinginan Dian yang ngotot ingin melamarmu, Fai. Dia gadaikan SK-nya untuk pindah ke sini. Kemudian sisa uangnya dipakai untuk biaya lamaran dan persiapan akad nikahmu yang batal itu,â jawab Bu Mardiyah. âSetelah pernikahan kalian batal, rasanya pengorbanan anakku jadi sia-sia.â âBuââ Dian menghentikan Bu Mardiyah, terlihat jelas ia merasa tak enak dengan yang diucapkan ibunya barusan. Aku semakin terkejut, namun berusaha sebisa mungkin agar tak terkecoh. Sedikitnya, aku tahu sifat Bu Mardiyah, ia akan membuat seseorang merasa bersalah agar orang itu mau menuruti keinginannya. Dan sepertinya, ia pun sedang melakukan trik itu padaku. âBenarkah itu, Di?â tanyaku pada Dian. Sekedar untuk menghargai cerita Bu Mardiyah, aku pun menanggapinya. âAh, jangan
âKena AC mobil,â jawabku. Akhirnya, mau tak mau aku harus menatapnya juga. Dian tersenyum tipis dan sikapnya masih canggung. Mengetahui kedatanganku dan Linda untuk menjenguk Bu Mardiyah, Dian langsung mempersilakan kami masuk. Hampir tak ada perabot yang mengisi rumahnya. Hanya TV yang terpajang di atas rak dan lemari kaca kosong di sebelah pinggir. Ditambah satu set sofa lengkap dengan meja tamu di dekat pintu masuk. Setelah puluhan tahun, ini baru pertama kalinya aku masuk lagi ke rumah Dian. Walau rumahnya besar, tapi isinya kosong. Keadaan yang jauh berbeda dengan puluhan tahun lalu, saat keluarga Bu Mardiyah masih berjaya. Perabotan rumahnya lengkap dan mahal. Bahkan, terkadang ia menyombongkan barang-barang yang dimilikinya. Ternyata seperti inilah gambaran hidup, tak selamanya yang kita miliki kekal dalam genggaman, kalau tidak bijak menggunakan harta maka bisa lenyap kapan saja. Dan melihat kondisi rumah ini sekarang, aku jadi percaya bahwa keuangan Dian sedang tidak baik-
Tiba-tiba seseorang menggandeng tanganku di tengah kerumunan, membuatku tersadar. Ternyata Linda. Ia menarikku ke depan toko kue.âKamu bikin kaget aja. Kukira orang iseng,â kataku.Linda mengernyit dan terlihat khawatir. âHabisnya kamu melamun dan diem di tempat, di tengah-tengah jalan lagi. Gimana kalau kesenggol orang? Aku merhatiin kamu lho, dari tadi aku di sini dan langsung kutarik aja tanganmu. Kamu mikirin apa sih Fai, sampai kayak orang linglung begitu?âAku mengerjap, pikiranku masih terpaut pada Dian. Aku dan Linda janjian di toko kue yang letaknya di dalam pusat perbelanjaan ini. Hanya saja karena pikiranku tak fokus, aku jadi banyak melamun dan kakiku seakan terkunci.âKamu mikirin apa?â ulang Linda sambil memilih kue. âEum, apa soal pernikahanmu yang gagal ya?â Aku mengangguk.âKalau kamu butuh teman curhat, ngomong aja ke aku. Gak apa-apa kok, sesekali kan kamu perlu sharing, jangan nyimpan semuanya sendiri. Gak baik buat kesehatan mentalmu,â lanjut Linda.Aku pun men
âSakit apa, Pak?â Salah seorang diantara mereka berhenti dan bertanya pada Dian. Aku mendengarkan sambil menyirami tanaman. âSudah seminggu ini badan Ibu mengigil. Tak tahu kenapa. Cuma Ibu cuek, dia rasa baik-baik saja. Puncaknya, tengah malam tadi Ibu tak bisa bangun,â jawab Dian. Seminggu? Berarti ketika Bu Mardiyah menemuiku saat aku hendak pergi ke Batukaras beberapa hari yang lalu, ia sedang sakit? Pantas saja waktu itu aku melihatnya pakai syal yang dililitkan ke leher. Semalam waktu datang ke rumah, syal itu masih terpasang dan Bu Mardiyah juga memakai mantel tebal. Namun, ia terlihat baik-baik saja. âCepat sembuh untuk ibumu, Pak. Saya salut sama Pak Dian, mau menggantikan pekerjaan ibumu di saat ia sedang sakit.â âCepat carikan menantu untuk Bu Mardiyah, Pak.â Begitulah kata-kata terakhir mereka sebelum berangkat ke pasar. Dian langsung menoleh ke arahku. Aku mengalihkan pandangan. Dian masih sama seperti yang dulu. Penuh kasih sayang dan berbudi. Kurasa ia memang tid