POV Setengah hari sudah aku mencari inti sari dari pertemuan dengan Bu Rosa di parkiran sekolah yang benar-benar telah membongkar kembali luka yang sempat terendap lama. Dan bahkan kehadirannya mampu membuat luka itu kian bernanah karena perkataannya yang masih tetap mengandung bisa.Aku yakin di dunia ini pasti tidak ada satu manusia pun yang bertahan ketika direndahkan, bukan? Mengingat bagaimana dia bilang kalau aku sengaja datang untuk memberitahu El dan mengambil hak warisan yang sebenarnya telah dilepaskan, membuatku seolah-olah menjadi wanita paling hina di dunia."Enak aja dia masih memandangku serendah itu! Padahal jelas-jelas aku gak butuh sepeser pun uangnya! Dasar mantan mertua jahat! Gila! Bau tanah!"Aku terus mengumpat murka seraya terus membasuh muka di toilet kantorku yang terletak di lantai lima. Akibat, kejadian di sekolah tadi, selama bekerja hari ini mood-ku yang sebelumnya buruk menjadi lebih buruk lagi. Ternyata, meski aku mencoba terlihat tegar tetap saja bati
Gawat! Aku terlambat menjemput anak-anak.Akibat meeting yang berjalan cukup alot tadi dengan tim perencanaan, rencanaku untuk ijin menjemput Oci dan Iza harus telat satu jam.Meski aku sudah menitipkan mereka pada wali kelasnya dan sekolah mereka juga cukup aman, aku yakin Iza dan Oci pasti sedang cemberut sekarang."Iza, tunggu Bunda, ya ...."Aku terus mengemudikan mobil dengan kencang. Beberapa kali, aku menyalip kendaraan yang menghalangi pandangan. Semenjak menjadi janda dan bisa menyetir, perasaanku lebih senang ngebut dibanding biasanya. Mungkin semua ini karena tuntutan peran.Pada akhirnya, setelah mengebut ala Ryo Haryanto cabang condet, tibalah aku di sekolah. Usai memarkirkan mobil, tanpa berpikir panjang, aku segera melompat turun dari mobil dan berjalan cepat menuju ke kelasnya Iza.Sepanjang perjalanan menuju ke kelas, kulihat ada beberapa pasang mata memperhatikanku tapi aku tak perduli. Aku fokus untuk bertanya pada Bu Astri--wali kelasnya Iza untuk mengetahui kebera
POV AUTHOREl itu lelaki sejati. Sekalinya sudah berjanji, dia urung buat mengingkari termasuk di saat dia bilang mau mengambilkan kucing itu untuk Iza dan Oci. El yang sebenarnya tahu kalau mantan istrinya Alina memiliki trauma yaitu takut ketinggian memberanikan diri untuk memanjat pohon meski sebenarnya tubuhnya tidak dalam keadaan yang baik-baik saja.Dan semua itu hanya El lakukan demi Alina juga Iza, bagi pria itu kedua orang itu sama berharganya seperti nyawa.Nahas, sekali pun lelaki itu berusaha untuk hati-hati demi gengsi dan janji seorang ayah nyatanya kesialan masih mengikuti El. Di saat tangan kirinya sudah berhasil meraih kucing, siapa sangka kakinya malah tak sengaja menginjak dahan yang rapuh dan hampir patah hingga dahan tersebut gak bisa menopang badannya yang oleng. Melihat itu, sudah dipastikan sepertinya dia tidak bisa bertahan lebih lama sampai akhirnya El .... "Alina! Awas!""Masss EEEL!" BRUK. PLETAK! PLETAK! Pekikan kedua orang dewasa itu dirasa percuma kar
El itu besar di keluarga yang dingin dan menuntutnya untuk kuat. Sebagai pewaris satu-satunya, El sebisa mungkin selalu menahan rasa sakit dan kesedihannya sendiri. Baginya, pantang untuk terlihat lemah di depan musuh apalagi wanita.Alina tentu tahu hal itu, makanya dia bersikeras untuk menemani El meski El gak meminta seperti sekarang. Dia bahkan rela menghubungi Runa--adik sepupu El yang kebetulan nomornya masih disimpan. Untungnya, nomor Runa masih sama sehingga pas tahu El sakit, dokter muda itu langsung datang.Tak terasa, sudah setengah jam Alina mondar-mandir di depan ruangan El dengan gelisah. Entah berapa kali gadis itu melirik ke arah arloji untuk memeriksa berapa lama lagi dia harus menunggu Aruna keluar dari sana.Selama berada di depan pintu ruangan El, entah mengapa perasaan Alina jadi sangat cemas. Diam-diam dia takut dan merasa bersalah karena mengira sakitnya El akibat mengambil kucing."Duh, udah lama. Kok, belum keluar juga, sih?"Alina menggurutu sambil terus mema
Perceraian sering kali dianggap sebuah kegagalan pasangan suami dan istri dalam mempertahankan pernikahan. Kenyataan itu pastinya merupakan pukulan batin bagi kedua belah pihak. Aku yakin, baik aku mau pun El merasakan yang sama. Apa lagi kami bercerai bukan karena pertengkaran tapi karena jebakan dan rencana jahat keluarga.Jujur. Sampai saat ini, aku tidak menyangka jika El sangat menderita dan dia bahkan hampir bunuh diri gara-gara bercerai dariku.El yang kukira mengabaikan nyatanya dia juga terhinggapi takdir yang mengenaskan dan tidak baik-baik saja sesuai yang kukira.Namun, meski akhirnya aku tahu alasan El menghilang dan bahkan batinku terkoyak mendengar kenyataan dari Aruna tetap saja aku gak bisa jujur pada El tentang keadaanku sebenarnya.Aku takut jika dia tahu kalau aku sengaja berbohong tentang Iza karena takut dibahayakan oleh Bu Rosa, El akan berbalik benci pada ibunya dan akan berbuat lebih gila lagi nantinya.Oh, tidak! Tidak!Aku tidak bisa jujur pada El tentang s
POV Author"Jadi, Aliza benar anak saya, kan? Tes itu beneran akurat, kan?" "Iya akurat. Dan aku bisa pastikan, sebagai dokter kalau Aliza adalah anak Mas El. Kecocokan DNA kalian 100%. Tapi, aku mohon jangan marah sama Mbak Alina. Aku yakin Mbak Alina sengaja menyembunyikannya karena ancaman seseorang dan Mas harus menemukan itu. Sekarang, lebih baik bujuklah Mbak Alina untuk mengatakan semuanya. Aku yakin dia juga menderita dan masih sayang sama Mas, karena dia juga sejak tadi gelisah di luar sana." El mendesah sambil memejamkan matanya. Setelah mendengar penjelasan Aruna yang mengatakan kalau Aliza adalah benar anak yang selama ini ia dambakan, rasanya semua sakit yang El derita bertambah kali lipat nyerinya. Beragam emosi yang ia rasakan seolah bertumpuk di dalam dada. El menjadi marah pada dirinya sendiri yang tak bisa menjaga Alina dan anaknya. Bahkan El merasa batinnya menjadi hancur setelah mengetahui kalau nyatanya selama ini dia sudah gak bertanggung jawab kepada anaknya.
"Baiklah karena udah sepakat, mulai besok saya harap hubungan kita akan kembali ke semula, seperti awal perkenalan. Terima kasih ya, Lin sudah bersedia memaafkan saya dan membiarkan saya dekat dengan Aliza."Alina tidak tahu sudah berapa kali kalimat El yang dilontarkan sebelum mereka berpisah semalam tersebut telah menggema di telinganya. Saking terus terngiang-ngiang, Alina jadi kurang fokus pada keesokan harinya padahal dia ada meeting penting hari ini dengan Bre di kantor. Perempuan cantik itu jadi sibuk melamun seraya menyiapkan bekal Iza sembari mempertanyakan keputusannya sendiri.Dari semalam hingga pagi hari ini di rumahnya, benak Alina seolah sibuk bertanya-tanya. Apakah yang ia lakukan ini sudah benar atau tidak? Bagaimana kalau keputusannya ini salah? Bagaimana kalau nanti Bu Rosa akhirnya tahu kalau cucu yang ia benci nyatanya sudah bertemu dengan anaknya?Ah, Alina bahkan tak sanggup memikirkannya.Jujur. Terlepas dari semua kekhawatiran itu, sejujurnya Alina sendiri mas
"Waah, mobil Pak El bagus banget. Ac-nya dingin dan joknya empuk, waaah!"Setelah mengalami perdebatan kecil tadi, pada akhirnya Alina harus mengalah dan mengikuti kemauan putrinya untuk berangkat ke sekolah bareng El. Semenjak masuk ke dalam mobil, Iza tak henti memuji interior mobil El yang memang sangat berbeda dengan milik bundanya. Maklum, mobil Alina memang hanyalah mobil bekas dan harganya pun cocok buat kaum janda yang mendang-mending seperti Alina.Jadi, Iza kadang kegerahan dan sering kali mogok, mungkin itulah alasan anaknya betapa senang jika naik mobil mewah kayak milik El. Namanya juga anak-anak, mereka terlalu polos untuk mengekspresikan perasaan."Oh, ya, kok Pak El mau sih jemput Iza sama Bunda? Kan rumah Pak El jauh?" Pertanyaan Iza yang tiba-tiba sontak membuat Alina mau pun El terkesiap. Mereka berdua sontak saling pandang, baik Alina mau pun El seakan bingung harus menjawab apa. Rasanya gak mungkin mereka menjelaskan pada Iza kalau sebenarnya El ke rumah Alina se
Suasana kamar rawat El seketika diliputi kecanggungan. Entah mengapa, ketika mereka hadir dan duduk di depanku dan El, aku merasakan ketegangan di udara. Tatapan mereka membuatku merasa canggung, seakan setiap kata yang akan diucapkan sudah ditakar dan dipikirkan berulang kali. Aku menahan diri untuk tidak menilai, tetapi rasa sakit yang terpendam di hatiku kembali mengemuka. Diam-diam, aku melihat reaksi El atas kedatangan dua wanita yang pernah hadir di hidupnya dan mengganggu rumah tangga kami. Namun, rupanya El memang lelaki yang sangat menghargai istri, semenjak Faye dan Sania datang kulihat El hanya memasang wajah datar seolah malas. "El, Lin, sebenarnya kami... kami ingin meminta maaf." Faye yang tadi terlihat gugup pada akhirnya memulai percakapan. Suaranya lembut, tapi ada nada berat yang menyertai kata-katanya. "Kami tahu, kami telah menghalangi El dan kamu untuk bersama. Apalagi aku membuat kalian sempat bertengkar," lanjut Faye sambil melihatku yang duduk di depannya d
Tinggal satu hari lagi El berada di rumah sakit, akhirnya setelah hampir seminggu berada dalam perawatan untuk pemulihan kami diperbolehkan pulang juga. Tampaknya fisik El lebih cepat pulih dari perkiraan. Selama El di rumah sakit aku tidak pernah absen menemaninya dan terkadang juga aku membawa Aliza agar El merasa bahagia.Namun, tentu saja Aliza gak bisa sering-sering menemani karena dia juga harus sekolah dan takut badannya kecapean kalau nungguin El sampai malam. Alhasil, hanya aku yang lebih banyak bareng El karena selain ada kepentingan. Kami pun sama-sama memantau kasus Bu Rosa yang pada akhirnya membuat ibu mertuaku itu divonis hukuman penjara. Baik aku dan El berjanji, akan mengunjunginya usai kami keluar dari rumah sakit. Kami berharap Bu Rosa mau berbesar hati menerima kami. "Mas, alhamdullilah ya akhirnya kasus kita selesai juga. Rasanya aku lega banget deh. Kira-kira kalau aku jenguk Ibu mau nemuin aku gak, ya?" Aku merebahkan kepalaku di atas paha El dan menghadapkan
Selama El diperiksa oleh dokter, senyuman tak henti tersungging di mulutku karena merasa sangat bahagia bisa melihat El terjaga lagi. Jujur, ini bagaikan suatu anugerah yang tak terkira. Tadinya aku sudah hilang harapan tapi Tuhan memang Maha Baik, Dia selalu tahu apa yang hamba-Nya butuhkan dan Dialah yang Maha pengabul doa."Kondisi Pak El sudah agak stabil tapi beberapa hari ke depan kami harus tetap melakukan observasi karena harus memeriksa secara menyeluruh tapi kabar baiknya Pak El bisa dipindah ke ruang rawat biasa. Sementara, jangan biarkan dia banyak bergerak dulu, ya?" ujar dokter Bagus seraya melepaskan snelli. Wajahnya menunjukan kelegaan setelah memeriksa suamiku.Aku mengangguk pasti sembari tersenyum lebar. "Baik Dok siap. Saya akan menjaga suami saya.""Terima kasih Dok," ujar El lirih dan lemah."Sama-sama. Kalau gitu saya permisi, ya?""Silahkan Dok."Setelah dokter spesialis yang menangani El beranjak pergi, kini tersisalah aku dan El. Aku menatap El yang juga ten
Tiga hari telah berlalu pasca insiden p*nusukan dan p*nculikan yang dilakukan Neo, El masih betah tertidur di atas ranjang ICU. Kata dokter luka El sudah dijait dan operasi besar pun berhasil, sekarang tinggal nunggu kesadaran El. Tapi, syukurnya ada kabar baik yaitu tubuh El merespon positif terhadap obat-obat yang diberikan sehingga bekas tusukannya lebih cepat mengering. Di sisi lain kondisi aku pun berangsur baik. Aku bahkan masih bisa bolak-balik mengurus Iza dan rumah sakit sambil terus memantau kasus Bu Rosa yang pada akhirnya bisa didakwa atas kasus perencanaan penculikan bersama Neo karena dia yang menyuruh Neo menculikku dan dia juga yang menyuruh Neo menterorku dengan membawa Aliza ke istana boneka.Oh Tuhan. Gak disangka Bu Rosa dan Neo tega memisahkan kami sejauh ini. Hanya demi sebuah warisan kekayaan, dia rela menghalalkan berbagai cara termasuk membunuh orang. Benar-benar bejat! Aku tidak terbayang perasaan El jika sadar nanti jika tahu ibunya yang merencanakan ini
Menegangkan, kacau dan menakutkan. Tak bisa aku bayangkan kalau kami akan berada di posisi di mana kami harus terjebak dengan Neo juga anteknya di gudang yang menyeramkan dan juga gelap. Siapa duga, Neo--sahabatku yang kukira baik kini dengan busuknya mengacungkan senjata dan mengarahkan moncongnya ke arah kami di saat aku dan El mau melarikan diri. Jujur! Saat ini aku merasa jantungku hampir meledak karena ketakutan. Neo tampak marah dan putus asa, sementara El berusaha tetap tenang di sampingku. Pria tampan itu seakan menunjukkan bahwa semua akan baik-baik saja jika kami bersama. "Kalian gak bisa ke mana-mana! Aku tegaskan sama kamu, El! Alina itu milikku! Dia cinta sejati seorang Neo bukan Elfarobi! Paham?!" bentak Neo dengan nada tegas dan menggelegar membuatku reflek mundur di belakang El. Sungguh, situasi ini sangat mengerikan, aku tak bisa terus di bawah pandangan Neo yang menyedihkan juga jahat. El meremas tanganku lebih erat, seolah memberi isyarat bahwa dia akan melindun
Neo menculik dan menjebakku. Itulah yang aku pikirkan sekarang. Seketika ketakutan merayap di seluruh tubuhku, tapi aku tahu aku tidak bisa membiarkan rasa takut menguasai diriku. Aku tak percaya kalau Neo kini telah banyak berubah, entah apa alasannya tapi Neo berubah menjadi jahat.Apa karena aku tolak dia jadi seperti ini? Agh, sial! Mengapa aku bisa semudah itu percaya sama Neo?Memikirkan kebodohanku, diam-diam aku jadi menyesal karena tidak bisa bertemu dengan El. Tapi, meski sedih dan marah aku gak boleh kehabisan akal, saat ini El harus tahu aku berada dalam bahaya. Hanya saja, bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa melarikan diri atau mencari El? Aku terus menggerak-gerakkan tangan dan kakiku yang kini terikat.Sebenarnya, beberapa saat lalu seusai aku tahu kalau Neo menculikku, Neo yang semula baik tak segan menunjukkan sisi jahatnya. Dia tiba-tiba mendorongku hingga ke kursi belakang. Setelah mengikat aku dan mengancam kalau akan berbuat macam-macam jika aku berisik, Neo
Esok harinya. Aku merasa sudah cukup menyendiri dan memikirkan rencana ke depannya untuk dilakukan menghadapi masalah ini. Semalaman penuh aku merenungkan semua sampai akhirnya aku memilih untuk berbicara dengan El dan menyelesaikan semuanya sesuai saran Rahma. Berulang kali aku memikirkan kalau apa yang dikatakan Rahma itu benar, kalau dosa ibu kandungku bukanlah dosaku. Tidak seharusnya aku menanggung kesalahan ibuku dan aku pun seharusnya percaya pada El. Selama ini El sudah banyak berkorban, gak mungkin dia mengkhianatiku terutama sama Faye.Dikarenakan mengingat itu semua, aku pikir ini saatnya aku untuk mengambil semua peranan dan memutuskan yang terbaik untuk kehidupanku sendiri. Aku harus percaya sama El dan aku yakin dia pun akan memahami kalau pengkhianatan orang tua kami gak ada hubungannya dengan rumah tangga kami.Aku melirik jam tangan, ternyata waktu sudah menunjukan jam 7.00 pagi, sepertinya aku harus segera pergi ke rumah sakit. Aku ingin bergegas menemui El dan mem
Keesokan paginya. Aku kembali mencoba mencari cara agar bisa masuk ke ruangan El tanpa bisa diusir seperti semalam. Bagaikan orang gila, aku meminta bantuan ke sana dan ke sini demi bisa masuk ke ruangan El tapi rasanya susah sekali karena Bu Rosa sama sekali gak beranjak.Beruntung, setelah menunggu hampir tengah hari. Aku akhirnya dapat bantuan dari Bre--sahabatnya El dan sekarang jadi mantan bosku. Bre yang baru saja menjenguk El bilang kalau El sudah membaik dan dipindah ke ruang rawat VIP sehingga aku bisa dengan mudah mengakses selama gak ada Bu Rosa atau pengawalnya. Kata Bre, El masih belum sadar sepenuhnya karena masih harus banyak istirahat akibat cidera tulang yang ia alami. Tentu kabar itu setidaknya membahagiakan hatiku yang sejak semalam sudah harap-harap cemas, terutama Bre juga bilang Bu Rosa sedang pergi keluar jadi ini saatnya aku bisa menyelinap masuk.Dan setelah persiapan matang, akhirnya aku bisa juga sampai di depan ruang rawat El. Sebelum masuk, aku berhenti
"El kecelakaan Lin, dia kecelakaan! Sekarang katanya dia dilarikan ke UGD." Sekali lagi informasi dari Bik Ratih beberapa saat lalu membuatku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. 1320015635874Jujur, aku sangat terkejut hingga sempat terdiam dan tubuhku terasa kaku. Berita kecelakaan tentang El benar-benar menghantamku seperti gelombang besar yang tiba-tiba datang. Namun, meski rasanya hati ini begitu cemas, tanpa pikir panjang dengan cepat, aku meraih tas dan jaketku, lalu bergegas keluar rumah menuju rumah sakit, tentu saja setelah menitipkan Iza kepada Bik Ratih. Aku sengaja gak mau memberitahukan kabar tentang El pada Iza karena anak itu pasti menangis kencang dan ingin ikut padahal ini sudah sangat larut malam.Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, tak ayal pikiranku kacau dengan berbagai perasaan. Ada ketakutan, kekhawatiran, dan rasa bersalah yang mendalam. Aku mengira kalau El mengalami kecelakaan tunggal karena saking marahnya padaku sehingga oleng dan menabrak pembat