Semua orang tahu betapa sedihnya Yasmin saat ini. Semuanya juga mengerti betapa berdukanya Kenzo dan Yasmin setelah satu anak yang mereka tunggu kelahirannya harus tiada. Namun siapa yang mau disalahkan di situasi ini selain Yasmin menyalahkan dirinya sendiri yang terlalu bodoh. Gadis itu diam menatap ke arah luar jendela dan mengingat-ingat pagi hari di mana ia marah pada Kenzo dan berakhir terpeleset. "Yasmin, hei... Jangan melamun saja," ujar Kenzo mendekatinya dan mengusap pucuk kepala istrinya. Yasmin menatap mangkuk sup yang Kenzo bawa. Laki-laki itu pasti akan membujuknya untuk makan, tapi Yasmin merasa kenyang bahkan ia mungkin akan muntah kalau makan di saat seperti ini. "Ayo makan dulu, aku suapi," bujuk Kenzo. "Aku tidak lapar," jawab Yasmin tanpa menatapnya sama sekali. "Kau bisa tambah sakit, Sayang. Sedikit saja makan sarapannya, setelah itu kau boleh kembali diam." Yasmin menatap suaminya dan ia tetap keukuh menggelengkan kepalanya menolak dengan tegas. Sudah s
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Yasmin diperbolehkan pulang membawa bayinya. Saat sudah berada di rumah, Kenzo meminta Bibi menggendongkan bayinya dan mengajak mereka ke kamar di lantai dua. "Kenzo..." Yasmin meremas lengan suaminya saat hendak membuka pintu kamar anak mereka. Kenzo tersenyum paham. "Tidak papa, Sayang." Pintu kamar itu pun dibuka. Yasmin terdiam saat melihat semua perabotan bayi perempuannya sudah tidak ada. Di dalam sana hanya ada satu ranjang besar dan satu keranjang tempat tidur bayi juga barang-barang mainan anak laki-laki. Netra Yasmin memperhatikan suaminya yang kini membuka gorden kamar itu. 'Lagi-lagi dia membuatku damai dengan perasaan yang terguncang. Sebenarnya aku tahu, kau begitu setia dan sangat mencintaiku, Kenzo.' "Bi, Rafael tidurkan di sini saja, biar aku yang menjaganya," ujar Yasmin pada Bibi. "Eh, iya Nyonya." Wanita itu tersenyum manis, kini dia memanggil Yasmin dengan sebutan Nyonya lantaran Yasmin sudah memiliki
Kedatangan Kenzo di kantornya menjadi banyak perbincangan, tidak ia sangka kalau selama lima hari libur dirinya sudah menjadi topik hangat di kantornya. Benar. Semua karyawan kantor membicarakan kesalahannya, entah siapa yang menyebarkan berita kalau Yasmin kehilangan satu bayinya karena Kenzo keras kepala meninggalkan istrinya yang sedang hamil. "Bukannya istrinya baru melahirkan, tapi sudah ke kantor saja!" "Orang seperti Pak Kenzo mana pernah bisa sadar, dulu gara-gara Hauri sampai Bu Yasmin pergi, sekarang kehilangan anaknya pun dia masih terlihat biasa saja dan seperti tak terjadi apapun dalam hidupnya." "Heem! Secara tidak langsung, dia lah yang membuat anaknya tiada. Andai saja dia tidak meremehkan seorang perempuan. Meskipun istrinya mungkin terlihat biasa saja, sedihnya seorang wanita adalah sekaratnya seorang laki-laki!" Kenzo mendengar bisikan-bisikan itu. Satu kata-kata yang membisik di kepalanya, begitu sakit. Tapi dia tidak masalah dan menerima semuanya dengan lapan
"Wahh, gila... Dia yang kau cari-cari, kan?" Kenzo menoleh pada Mehesa yang terpaku di depan pintu melihat ada Liana di dalam rumah Kenzo. Tiga laki-laki itu langsung masuk ke dalam rumah dengan ekspresi santai mereka. Sedangkan Yasmin sudah tegang, dia tahu Liana tidak akan nyaman dengan kedatangan Mahesa bersama Kenzo. Mereka tiga laki-laki pembuat onar bagi para wanita. "Emm... Kak Liana, ayo kita ke kamar Rafael saja, sepertinya Rafael mengantuk!" ajak Yasmin, dia mencoba mengalihkan perhatian. "Bayinya kan tidur," sahut Call mendekati mereka diikuti Kenzo dan Mahesa. "Yas, aku boleh menggendongnya, kan? Supaya aku cepat punya juga!" Yasmin mengizinkan laki-laki berambut pirang itu untuk menggendong anaknya. "Ya ampun, aura red flag Rafael ini sudah nampak, penerus ke-brengsekan Papanya!" seru Call menatap bayi yang dia gendong. "Jaga mulutmu, Call!" pekik Yasmin dengan ekspresi kesal. Mereka semua tertawa, Kenzo mendekati istrinya dan mengusap pundak Yasmin. "Tenang, dia
"Yasmin, aku pamit pulang ya. Aku ada kepentingan, jadi aku tidak bisa berlama-lama." Yasmin dan Kenzo menatap ke arah Liana yang kini berpamitan. Wajah Shela menjadi sedih, padahal ia masih ingin mengobrol dengan Liana. "Yahh, kenapa buru-buru sih Kak? Kita kan belum mengobrol banyak," ujar Yasmin dengan wajah sedih. "Iya, kenapa terburu-buru? Karena Mahesa, ya?" Call langsung menyahuti tanpa pikir-pikir. Liana menggeleng, wajahnya sangat sedih. Dia langsung mengambil tas miliknya mendekat Yasmin yang langsung cemberut kesal. Tatapan mata Yasmin tertuju pada Mehesa yang kini masuk ke dalam rumah Yasmin. Dengan wajah santainya laki-laki itu pasti di luar barusan mengatakan hal-hal yang tidak mengenakkan pada Liana. "Kalau ada apa-apa jangan sungkan menghubungiku ya, Yas," ujar Liana mengusap pipi Yasmin dan memeluknya. "Kak Liana, aku masih kangen," lirih Yasmin memeluk gadis itu dengan sangat erat. "Pulang nanti saja, Li. Biar sopirku nanti yang akan mengantarkanmu pulang," u
Hari berjalan dengan cepat, tak terasa satu bulan sudah berlalu dengan cepat. Yasmin pun merasakan hari-harinya kini semakin terasa indah. Rasa sedih atas kehilangan putrinya pun perlahan mulai ia terima dengan lapang dada. Yasmin sudah merasa terbiasa menjadi seorang Ibu satu anak. "Sayang... Rafael nangis, aku harus berangkat pagi!" Suara ribut Kenzo di kamar membuat Yasmin yang tengah membantu Bibi menyiapkan sarapan harus bergegas menuju lantai dua. "Ya ampun, apa dia tidak bisa menggendong anaknya sebentar saja?" lirih Yasmin dengan wajah kesal. Wanita itu membuka pintu kamarnya dan melihat sang suami yang sibuk sendiri, sementara bayinya menangis. "Sayang, kau ini tidak bisa kah menggendong Rafael sebentar saja!" amuk Yasmin pada suaminya. "Aku ada meeting penting jam delapan, Sayang. Aku buru-buru," ujar laki-laki itu menyahut tuxedo hitamnya di atas sofa. "Jadi tidak sarapan di rumah?" tanya Yasmin seraya menggendong bayinya. Dan suaminya menggeleng. "Tidak, ini sudah
"Oh, dia tidak bisa pulang lebih awal ya, Dad... Heem, tidak papa Dad. Yasmin tidak kesepian kok, ada Rafael." Yasmin tersenyum menjawab panggilan dari Papa mertuanya yang mengatakan kalau Kenzo ada pertemuan hingga larut malam nanti bersamanya. Setelah memberitahu semua itu, barulah panggilan tertutup. Di sana, Yasmin menatap putranya yang tertidur. Dia kembali memperhatikan dress biru yang sudah ia gantung di depan lemari, akan dia pakai makan malam dengan suaminya. Tapi semuanya gagal. "Huhhh... Tidak papa, tidak boleh kesal, tidak boleh marah, dia pasti juga jauh lebih lelah daripada aku," ucap Yasmin pada dirinya sendiri seraya menepuk dadanya pelan. Yasmin tersenyum tegar, dia mencoba terbiasa dengan ini semua tanpa menyangkut pautkan emosinya. Meskipun dia ingin menangis karena lelahnya menjaga seorang anak seharian penuh dan tidak pernah ada waktu dari seorang suami. "Rafael, malam ini kita tidur lebih awal, ya Sayang... Anak Ibu tidur yang nyenyak," bisik Yasmin mengecu
Biasanya saat Kenzo bekerja, dia akan terbangun pagi-pagi sekali. Tapi kini hingga pukul tujuh pagi belum ada yang bangun. Kenzo yang merasa ada sesuatu yang memainkan jemari tangannya, ia pun mengusap wajahnya pelan dan terbangun. "Ya ampun, sudah bangun, anak Ayah..." Kenzo tersenyum saat mengetahui kalau Rafael yang memainkan tangannya. Laki-laki itu tersenyum, ia mengecup pipi putranya yang gembil berisi. Tatapan Kenzo teralih pada Yasmin yang tertidur di sebelah Rafael. Kenzo menatapi wajah istrinya yang terlihat sangat kelelahan. "Istriku," lirihnya pelan. Kenzo meninggalkan satu kecupan di pipi Yasmin sebelum ia menyibak selimutnya, menutupkan pada tubuh sang istri. Laki-laki itu menggendong putranya dan mengajaknya bangun lebih dulu. Langkah Kenzo keluar dari dalam kamar menuju lantai satu di mana Bibi menyiapkan sarapan untuk mereka. "Pagi Bi," sapa Kenzo pada wanita itu. "Pagi Tuan, eh... Tiana tidak ke kantor?" tanya wanita itu, dia sedikit kaget saat melihat Kenzo
"Kedepannya, Daddy dan Mommy ingin kita sering-sering berkumpul seperti ini." Alana tersenyum manis, wanita itu menatap Yasmin yang menuangkan teh ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. "Ayumi juga ingin Mom, apalagi suasana yang seperti ini. Menyenangkan sekali," ujar wanita muda itu duduk bersandar. "Ya, ini sangat jarang dan bahkan nyaris tidak pernah kita semua lakukan." Alana kembali menyahuti. Mereka bertiga berada di dalam rumah kaca yang sudah berdiri dengan indah lengkap dengan hiasan dan bunga-bunga indah yang berada di dalamnya. Suara gemericik air, dan udara segar di dalam tempat itu membuat semua orang betah. Termasuk Odette, bocah cantik itu yang meminta dibuatkan rumah kaca yang besar, seperti yang ada pada acara kartun yang dia tonton setiap hari. "Di mana Daddy dan kembar?" gumam Alana menatap ke arah pintu rumah kaca yang terbuka. "Ada kok Mom, Odette yang memanggil mereka," jawab Yasmin duduk di samping Ayumi. Tak lama setelah mereka mengobrol, mun
"Rasanya, seumur-umur dari kecil kita besar bersama menjadi anak Daddy. Tapi hanya Odette yang mendapatkan hadiah yang istimewa, Cucu perempuannya..." Kenzi mengangguk, dia terkekeh pelan dan duduk bersandar di teras meletakkan laptopnya. Mereka berdua duduk bersantai bersama. Meskipun sudah cukup lama momen untuk mereka berdua jarang terjadi lantaran sama-sama saling sibuk. "Apa kau akan kembali lagi ke rumah mertuamu dan tidak ingin menempati rumahmu yang dulu, Zi?" tanya Kenzo pada sang kembaran. "Orang tuanya Ayumi juga sama kesepiannya seperti orang tua kita, aku juga kasihan dan ingin menuruti permintaan istriku tinggal dengan orang tuannya," jelas Kenzi pada Kenzo. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kenzo. "Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu Daddy, kita tinggal berdua dengan Mommy saja, dianak haramkan oleh sebutan orang-orang. Sekarang kita sudah punya anak saja ya..." "Itulah, waktu berjalan dengan cepat." Di tengah mereka berdua yang bercanda, muncul Alan
Odette terdiam duduk di teras samping sendirian. Anak itu menatap pemandangan rumah kaca yang belum selesai dibangun. Ya. Odette lah yang meminta pada sang Kakek, dengan senang hati Alex mengabulkannya. Baginya, apa yang tidak untuk Cucu-cucu kesayangannya. "Odette, kenapa duduk sendirian? Kenapa tidak main sama adik?" tanya Alex, dia berdiri di belakang Cucunya dan anak itu diam menatap ke depan sana. "Odette menunggu rumah kacanya jadi, Opa," jawab anak itu dengan polos. Senyuman di bibir Alex terukir. Dari semua cucunya, hanya Odette yang sangat Alex sayangi. Bukannya pilih kasih, mungkin karena terbiasa dengan anak laki-laki, hingga dia merasa istimewa dengan adanya Odette di antara mereka semua. Laki-laki itu ikut duduk di samping Odette, sementara semua orang sibuk di dalam rumah, kecuali Kenzo yang sudah pergi ke kantor pagi tadi. "Kalau Odette ingin sesuatu, minta saja ke Opa, ya?" ujar Alex mengusap pucuk kepala anak perempuan yang cantik itu. "Kenapa Opa?" tanya Odet
Kedatangan Kenzi di rumah Alex membuat suasana menjadi banyak berubah. Ramai, meriah, dan bahagia karena semua keluarga Verolov berkumpul di sana. Wajah-wajah bahagia mereka tidak bisa disembunyikan, semua cucunya berkumpul dan bermain bersama. "Ya ampun, Odette cepat sekali besar hem? Sepertinya baru kemarin dititipkan di sini," seru Ayumi menekuk lututnya di hadapan Odette yang duduk sedang makan siang. "Kan Odette sudah besar, Tante. Usianya sudah lima!" seru anak itu. "Lima apa, Sayang? Lima hari? Lima minggu? Atau-""Lima tahun, Tante. Kata Ayah Odette sudah besar, sudah jadi anak gadis Ayah dan Ibu yang paling cantik!" serunya dengan wajah kesenangan. Semua orang di sana terkekeh. "Ikut Om Kenzi pulang ke rumah Adik Elvyn," ajak Kenzi mendekati anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Verolov. Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Nanti Ibu dan Ayah akan kesepian kalau Odette ikut Om dan Tante," jawab anak itu, ada-ada saja jawabannya. "Ajak saja kalau kau bisa,"
"Odette, kenapa main sendiri di luar? Ayo masuk ke dalam Sayang, anginnya dingin..." Kenzo berdiri di ambang pintu menatap sang putri yang bermain sendirian sore ini di teras depan rumah. Anak perempuannya itu menggeleng, dengan bibir mengerucut dia menolak ajakan sang Ayah dan tetap melanjutkan permainannya. Kenzo mendekati putrinya tersebut, ia mengusap pucuk kepala Odette dengan lembut."Kenapa lagi? Kenapa manyun begini, hem?" Kenzo merapikan rambut pirang Odette. "Ayo main di dalam, ini sudah malam, Sayang.""Tidak mau. Tidak mau ketemu adik," serunya menggelengkan kepala dan menolak tegas. Sudah Kenzo duga, sejak kejadian Odette dijambak oleh Rafael, anak itu pun tidak mau main bersama dengan adiknya. Dia lebih memilih bermain sendirian dan enggan ditemani siapapun. Yasmin juga sudah lelah menasihatinya, tapi putrinya keras kepala dan sekali tidak, maka dia benar-benar akan menolaknya. "Kakak, kan Kakak sudah besar Sayang. Jangan seperti ini yuk, kasihan Ibu," bujuk Kenzo
Yasmin membeli keperluan memasak dan camilan di sebuah pusat perbelanjaan. Ditemani oleh Kenzo, mereka berdua pergi bersama, tanpa Odette apalagi Rafael. Keduanya berjalan bersama, namun tak jarang banyak pada gadis ataupun wanita-wanita yang membuat Yasmin kesal, lantaran cara menatap mereka pada Kenzo membuat Yasmin ingin meneriakinya. "Heran, apa mereka tidak pernah melihat orang yang tampan?" omel Yasmin dengan nada kesal. "Ada apa?" tanya Kenzo, dia sendiri malah tidak sadar saat menjadi bahan tatapan orang lain yang berlalu-lalang di sekitar sana."Lihat mereka semua, Sayang. Apa tidak bisa mereka biasa saja menatapmu!" kesal Yasmin dengan nada geram. Kenzo pun tertawa melihatnya, dia menyipitkan kedua matanya pada Yasmin. Satu sikunya menyenggol pelan dengan sengaja, dia memang suami yang sangat amat jahil. "Aku rasa memang seperti ini resikonya menjadi laki-laki tampan." "Cih, percaya diri sekali!" balas Yasmin seraya mengambil sebuah camilan di sebuah rak. "Tentu saja
Dua tahun kemudian..."Ibu, Ibu... Rafael nakal! Dia terus gigit Odette, Ibu!" Teriakan keras itu berasal dari teras depan. Seperti biasa kalau keributan seperti ini sudah biasa terjadi setiap pagi. Odette tumbuh menjadi anak yang pintar, begitu pula dengan Rafael. Mereka tumbuh bersama dan selalu menghabiskan waktu bersama sebagai saudara yang saling menyayangi. "Rafael, jangan ganggu Kakak dong, Sayang!" Suara Yasmin membuat anak laki-laki itu cemberut, Rafael berdiri di dekat pintu membawa mainannya. "Ibu, nakal..." Anak itu berceloteh. "Eh, kok malam Ibu yang nakal?" Yasmin terkekeh mendengarnya, memang Rafael mulai belajar berbicara meskipun tak banyak, namun Yasmin bisa memahaminya. Odette kembali mendekati sang Ibu, anak perempuan itu tersenyum manis. Dia menekan gemas pipi adik laki-lakinya sembari terkikik geli. "Adik bilang Ibu yang nakal. Rafael tidak mau dibilangin ya," ujar Odette memeluk sang adik. "Odette, ambilkan botol minum punya adik di meja makan, Sayang,"
Rencana tidak mau pulang yang dilakukan oleh Odette berbuah hal yang membahagiakan untuk Alana dan Alex, pasalnya hal itu berhasil membuat Kenzo dan Yasmin pun ikut tinggal di sana.Odette kini ikut bersama Yasmin dan Kenzo pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. "Ibu, bajunya Odette dibawa semuanya?" tanya anak itu membuka lemari pakaiannya. "Jangan Sayang, kita kan nanti juga akan pulang ke sini juga," jawab Yasmin pada sang putri. Anak itu mengangguk, dia mengambil beberapa bajunya dengan perlahan-lahan di dalam lemari. Meskipun terlihat sepele, namun Yasmin merasa berhasil mendidik anak itu dengan baik.Banyak hal yang Odette lakukan sendiri. Setidaknya di usianya yang masih sangat kecil, dia berusaha keras untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya. "Wahhh, anak Ayah sedang apa?" Suara Kenzo membuat Odette menoleh dan anak itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Odette bantu Ibu, Ayah!" serunya dengan wajah berseri-seri. "Semangat sekali
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu