"Paman, kata Daddy-ku Kak Tery sama Om Rivaldo mau ke sini, kira-kira Paman Ben nanti bakal kabur atu mengurung diri di kamar?" Pertanyaan menjengkelkan membuat Benigno ingin menendang jauh-jauh Kenzo yang kini berdiri di hadapannya seraya memegang tali anjingnya. "Okay, i know Paman Ben pasti tidak menjawab, karena kita bedua sudah tahu jawabannya. Move on itu beneran susah ya, Kenzi?" Kenzo lagi-lagi. "Heem! Buktinya Paman Ben sampai kurus kering begini!" Kenzi menimpali. Benigno menutup buku yanga ada di tangannya. Sial sekali nasibnya hari ini, Alex memintanya untuk menjaga si kembar, karena dua bocah itu baru saja membuat Alana marah-marah karena tingkah mereka yang sangat nakal. "Paman... Ayo jalan-jalan, ke game zone yuk..." Kenzi menarik-narik lengan Benigno. "Iya, lebih baik ke game zone daripada Paman Ben pingsan kesindir sama kita yuk, yuk, Paman..." Kenzo merayunya. "Malas!" Benigno meraih bantalan sofa dan menyahut ponselnya di atas meja. Laki-laki itu menatap lay
"Ayumi, memangnya tidak kangen sama aku ya? Aku kan suka ngengenin biasanya." Kalimat gomabalan receh itu terlontar dari bibir Kenzo saat duduk di sofa bersama Ayumi. Sedangkan Kenzi kini bersama Tery, anak itu juga sangat merindukan mantan pengasuhnya. "Kangen kok, Ayumi kangen banget sama Kak Kenzo!" seru Ayumi tersenyum lebar menatap wajah Kenzo. "Heummm... Pacarnya Kenzo!" pekik Kenzo memeluk Ayumi. Kedua bocah itu berpelukan. Sementara Alana dan Alex, mereka juga sibuk berbincang dengan Tery dan Rivaldo. Seperti yang awal-awal pernah Alex duga kalau Rivaldo akan meratukan Tery. Mereka memiliki rumah tangga yang sangat harmonis dan manis. "Kak, aku sedang hamil sekarang," ujar Tery tersenyum berbunga-bunga. "Wahh, berapa bulan?" tanya Alana membelalak. "Mau berjalan dua bulan," jawab Tery. Alana membungkam bibirnya. "Ke-kenapa bisa sama?!" pekik Alana. "Kakak juga hamil?" Anggukan diberikan oleh Alana, gadis cantik di depannya ini langsung tersenyum manis dan memeluk Al
Dua hari setelah Ayumi datang ke Prancis, dan kini sudah kembali lagi Barcelona. Sudah Alana duga-duga kalau anaknya kini sangat rewel dan mencari-cari Ayumi. Kenzo dan Kenzi sampai tidak mau sekolah dan memilih diam di rumah melanjutkan merajuknya. "Pokoknya kita mau main sama Ayumi!" pekik Kenzo berkaca-kaca menatap dang Papa. "Iya Sayang, nanti Ayumi ke sini lagi. Kenzo mending bobo lagi. Kalau sudah bolos, jangan nakal ya..." Alex selalu memanjakan anaknya."Aaa... Pokoknya Kenzo mau-" "KENZO!" Suara teriakan keras membuat bocah itu tersentak, seketika ia menoleh ke ujung anak tangga di mana Mamanya berdiri di sana.Di belakang Alana, ada Kenzi yang siap dengan seragam sekolahnya dan bocah itu terlihat tengah menangis."Dad... Takut!" pekik Kenzo bersembunyi di balik tubuh Alex saat Alana menuruni anak tangga. "Sekolah, jangan bolos-bolos lagi! Kemarin sudah bolos, sekarang tidak boleh bolos lagi. Kalau kalian bolos, Mommy akan pergi dari sini, biar kalian tinggal saja denga
"Kalian berdua ikut jenguk Mommy?" Benigno menatap Kenzo dan Kenzi yang kini duduk di atas ranjang kamarnya. Kedua anak itu merajuk dan tidak mau bicara pada siapapun. Sudah dua hari Alex dan Alana di rumah sakit. Alex baru pulang satu kali dan hanya sebentar. Sementara anak-anaknya menjauh karena takut. "Kenapa kalian hanya diam saja? Mau ikut Paman Ben jemput Mommy?" tawar Benigno menatap dua bocah itu. "Tidak mau," jawab Kenzo menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kenapa? Mommy kangen sama kalian. Ikut yuk, nanti pulangnya kita main ke game zone," bujuk Benigno pada kedua anak itu. Kenzo dan Kenzi saling tatap, mereka pun mau tidak mau kini turun dari ranjang dan menganggukkan kepalanya. "Janji pokoknya ke game zone," lirih Kenzi. Benigno terkekeh kecil. "Janji dong!" Mereka bertiga gegas pergi, sebagai mana pesan Alex pada Benigno untuk mengajak si kembar datang ke rumah sakit karena Alana ingin sekali bertemu dengan anaknya. Selama dua hari ini, Benigno pikir ia akan pusing
"Ayo Kak, ikut dengan Kenzi. Kita tunggu Paman Ben di dalam sama Mommy dan Daddy." Kenzi menarik lengan gadis cantik bernama Arabella itu, untuk ikut bersamanya. Anak itu membuka pintu kamar rawat inap Alana. Di sana, Alex dan Alana mengerjapkan kedua matanya menatap lekat ke arah Kenzi yang datang bersama gadis itu. "Eh, Kenzi sama siapa?" Alana menatap gadis yang kini tengah menangis. "Kenapa menangis?" Telapak tangan Alana menyentuh pundak sang suami hingga kini Alex berjalan mendekati gadis itu. "Dad, ini kenalannya Paman Ben!" pekik Kenzi menggenggam tangan gadis itu. "Kenalannya Ben?" Alex mengerjapkan kedua matanya tak paham. Hingga tiba-tiba saja pintu kamar inap Alana terbuka, di sana Benigno masuk ke dalam sana dan memperhatikan Arabella yang berdiri tertunduk. Benigno berjalan mendekati gadis itu, ia memberikan selembar kertas pada Arabella. "Kau tidak perlu menyembah mereka untuk pengobatan Ibumu," ujar Benigno meraih tangan Arabella dan memberikan kertas yang ia
'Istrimu baru masuk rumah sakit ya? Kenapa? Keguguran?' Rahang Alex mengetat membaca pesan yang Mamanya kirimkan padanya. Ia langsung menghapus pesan itu tanpa menunggu-nunggu lagi. Pagi tadi Alex membawa Alana pulang dari rumah sakit. Tapi Mamanya sudah berulah lagi dan lagi. Entah dari mana wanita itu mendapatkan informasi-informasi ini. "Sayang, anak-anak ke mana?" Alana berjalan mendekati Alex yang tengah duduk sendirian di sofa ruang tamu. "Oh, mereka ada di tempatnya Ben. Aku yang meminta pada Ben untuk menjaga mereka," jawab Alex, ia tersenyum mengulurkan tangannya pada Alana. Alana duduk perlahan di samping Alex, ia mengembuskan napasnya panjang dan bersandar pada pelukan Alex. "Aku merasa ada yang aneh dengan kehamilanku ini," ujar Alana lirih, ia menatap lampu gantung kristal di atas sana. "Kenapa? Apa sakit lagi?" Alex mengusap perut Alana. "Kalau sakit dan merasa tidak nyaman, bilang Sayang." "Tidak Al, tapi... Kata Mama, pagi tadi saat aku telfon Mama, dia bilang
"Apa aku boleh meminta calon istrimu menjadi pengasuh si kembar? Kira-kira... Ara bisa, tidak?" Alana menatap Benigno dan Arabella yang duduk bersampingan. Di sana Arabella tersenyum manis dan mengangguk. "Bisa Kak, Ara bisa kok," jawab gadis itu dengan wajah antusias. "Iya Mom, kita mau dijagain sama Kak Ara saja. Dijagain sama Paman Ben kita kayak dijaga sama Mama tiri, dimarahin terus!" seru Kenzo melirik sinis pada Benigno. Arabella tersenyum geli mendengarnya, ia sudah dua hari tinggal bersama dengan Benigno. Laki-laki itu memang dingin dan jarang sekali bersuara. "Kak Ara, ayo main di rumah kita," ajak Kenzi menarik lengan Ara. "Sayang, kalian pulang dulu ya, dirapikan mainannya setelah itu ajak kembali Kak Ara ke sini, paham?!" seru Alana. Anak-anak itu cemberut, namun mereka memegangi lengan Alana. "Ya udah, ayo Mom!" ajak Kenzo. "Iya Sayang." Alana pun bangkit dari duduknya, ia kembali menoleh pada Arabella. "Ara, aku tunggu di rumah ya," ujar Alana. "Eh... I-iya
Alex berlari masuk ke dalam rumahnya, di sana nampak di kembar yang berdua duduk di anak tangga paling bawah dan mereka membawa boneka maninya masing-masing dengan wajah sedih. "Kembar," lirih Alex berlari masuk ke dalam sana dan mendekati si kecil. "Wahhh... Daddy!" pekik Kenzo melihat kepulangan Papanya. "Dad... Daddy, Mommy pingsan. Tidak tahu kenapa. Padahal tadi habis bincang-bincang sama kita. Mommy lagi jagain kita terus tiba-tiba pingsan!" Kenzi mengadu pada sang Papa. "Iya Sayang, Kenzi dan Kenzo di sini dulu ya... Daddy mau menemuin Mommy dulu, okay?!" Mereka berdua menganggukkan kepalanya. Alex pun gegas berlari ke lantai dua menuju kamarnya. Di sana, ia benar-benar melihat Alana terbaring di atas ranjang sendirian. Arabella tengah membuatkan teh hangat untuk Alana di lantai satu. Alex berjalan cepat mendekati Alana yang kini sudah tersadar, ia menatap Alex yang nampak berdiri di ambang pintu kamar. "Ya ampun Sayang, apa yang terjadi, hem? Kenapa Sayang?" Alex lang
"Kedepannya, Daddy dan Mommy ingin kita sering-sering berkumpul seperti ini." Alana tersenyum manis, wanita itu menatap Yasmin yang menuangkan teh ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. "Ayumi juga ingin Mom, apalagi suasana yang seperti ini. Menyenangkan sekali," ujar wanita muda itu duduk bersandar. "Ya, ini sangat jarang dan bahkan nyaris tidak pernah kita semua lakukan." Alana kembali menyahuti. Mereka bertiga berada di dalam rumah kaca yang sudah berdiri dengan indah lengkap dengan hiasan dan bunga-bunga indah yang berada di dalamnya. Suara gemericik air, dan udara segar di dalam tempat itu membuat semua orang betah. Termasuk Odette, bocah cantik itu yang meminta dibuatkan rumah kaca yang besar, seperti yang ada pada acara kartun yang dia tonton setiap hari. "Di mana Daddy dan kembar?" gumam Alana menatap ke arah pintu rumah kaca yang terbuka. "Ada kok Mom, Odette yang memanggil mereka," jawab Yasmin duduk di samping Ayumi. Tak lama setelah mereka mengobrol, mun
"Rasanya, seumur-umur dari kecil kita besar bersama menjadi anak Daddy. Tapi hanya Odette yang mendapatkan hadiah yang istimewa, Cucu perempuannya..." Kenzi mengangguk, dia terkekeh pelan dan duduk bersandar di teras meletakkan laptopnya. Mereka berdua duduk bersantai bersama. Meskipun sudah cukup lama momen untuk mereka berdua jarang terjadi lantaran sama-sama saling sibuk. "Apa kau akan kembali lagi ke rumah mertuamu dan tidak ingin menempati rumahmu yang dulu, Zi?" tanya Kenzo pada sang kembaran. "Orang tuanya Ayumi juga sama kesepiannya seperti orang tua kita, aku juga kasihan dan ingin menuruti permintaan istriku tinggal dengan orang tuannya," jelas Kenzi pada Kenzo. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kenzo. "Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu Daddy, kita tinggal berdua dengan Mommy saja, dianak haramkan oleh sebutan orang-orang. Sekarang kita sudah punya anak saja ya..." "Itulah, waktu berjalan dengan cepat." Di tengah mereka berdua yang bercanda, muncul Alan
Odette terdiam duduk di teras samping sendirian. Anak itu menatap pemandangan rumah kaca yang belum selesai dibangun. Ya. Odette lah yang meminta pada sang Kakek, dengan senang hati Alex mengabulkannya. Baginya, apa yang tidak untuk Cucu-cucu kesayangannya. "Odette, kenapa duduk sendirian? Kenapa tidak main sama adik?" tanya Alex, dia berdiri di belakang Cucunya dan anak itu diam menatap ke depan sana. "Odette menunggu rumah kacanya jadi, Opa," jawab anak itu dengan polos. Senyuman di bibir Alex terukir. Dari semua cucunya, hanya Odette yang sangat Alex sayangi. Bukannya pilih kasih, mungkin karena terbiasa dengan anak laki-laki, hingga dia merasa istimewa dengan adanya Odette di antara mereka semua. Laki-laki itu ikut duduk di samping Odette, sementara semua orang sibuk di dalam rumah, kecuali Kenzo yang sudah pergi ke kantor pagi tadi. "Kalau Odette ingin sesuatu, minta saja ke Opa, ya?" ujar Alex mengusap pucuk kepala anak perempuan yang cantik itu. "Kenapa Opa?" tanya Odet
Kedatangan Kenzi di rumah Alex membuat suasana menjadi banyak berubah. Ramai, meriah, dan bahagia karena semua keluarga Verolov berkumpul di sana. Wajah-wajah bahagia mereka tidak bisa disembunyikan, semua cucunya berkumpul dan bermain bersama. "Ya ampun, Odette cepat sekali besar hem? Sepertinya baru kemarin dititipkan di sini," seru Ayumi menekuk lututnya di hadapan Odette yang duduk sedang makan siang. "Kan Odette sudah besar, Tante. Usianya sudah lima!" seru anak itu. "Lima apa, Sayang? Lima hari? Lima minggu? Atau-""Lima tahun, Tante. Kata Ayah Odette sudah besar, sudah jadi anak gadis Ayah dan Ibu yang paling cantik!" serunya dengan wajah kesenangan. Semua orang di sana terkekeh. "Ikut Om Kenzi pulang ke rumah Adik Elvyn," ajak Kenzi mendekati anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Verolov. Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Nanti Ibu dan Ayah akan kesepian kalau Odette ikut Om dan Tante," jawab anak itu, ada-ada saja jawabannya. "Ajak saja kalau kau bisa,"
"Odette, kenapa main sendiri di luar? Ayo masuk ke dalam Sayang, anginnya dingin..." Kenzo berdiri di ambang pintu menatap sang putri yang bermain sendirian sore ini di teras depan rumah. Anak perempuannya itu menggeleng, dengan bibir mengerucut dia menolak ajakan sang Ayah dan tetap melanjutkan permainannya. Kenzo mendekati putrinya tersebut, ia mengusap pucuk kepala Odette dengan lembut."Kenapa lagi? Kenapa manyun begini, hem?" Kenzo merapikan rambut pirang Odette. "Ayo main di dalam, ini sudah malam, Sayang.""Tidak mau. Tidak mau ketemu adik," serunya menggelengkan kepala dan menolak tegas. Sudah Kenzo duga, sejak kejadian Odette dijambak oleh Rafael, anak itu pun tidak mau main bersama dengan adiknya. Dia lebih memilih bermain sendirian dan enggan ditemani siapapun. Yasmin juga sudah lelah menasihatinya, tapi putrinya keras kepala dan sekali tidak, maka dia benar-benar akan menolaknya. "Kakak, kan Kakak sudah besar Sayang. Jangan seperti ini yuk, kasihan Ibu," bujuk Kenzo
Yasmin membeli keperluan memasak dan camilan di sebuah pusat perbelanjaan. Ditemani oleh Kenzo, mereka berdua pergi bersama, tanpa Odette apalagi Rafael. Keduanya berjalan bersama, namun tak jarang banyak pada gadis ataupun wanita-wanita yang membuat Yasmin kesal, lantaran cara menatap mereka pada Kenzo membuat Yasmin ingin meneriakinya. "Heran, apa mereka tidak pernah melihat orang yang tampan?" omel Yasmin dengan nada kesal. "Ada apa?" tanya Kenzo, dia sendiri malah tidak sadar saat menjadi bahan tatapan orang lain yang berlalu-lalang di sekitar sana."Lihat mereka semua, Sayang. Apa tidak bisa mereka biasa saja menatapmu!" kesal Yasmin dengan nada geram. Kenzo pun tertawa melihatnya, dia menyipitkan kedua matanya pada Yasmin. Satu sikunya menyenggol pelan dengan sengaja, dia memang suami yang sangat amat jahil. "Aku rasa memang seperti ini resikonya menjadi laki-laki tampan." "Cih, percaya diri sekali!" balas Yasmin seraya mengambil sebuah camilan di sebuah rak. "Tentu saja
Dua tahun kemudian..."Ibu, Ibu... Rafael nakal! Dia terus gigit Odette, Ibu!" Teriakan keras itu berasal dari teras depan. Seperti biasa kalau keributan seperti ini sudah biasa terjadi setiap pagi. Odette tumbuh menjadi anak yang pintar, begitu pula dengan Rafael. Mereka tumbuh bersama dan selalu menghabiskan waktu bersama sebagai saudara yang saling menyayangi. "Rafael, jangan ganggu Kakak dong, Sayang!" Suara Yasmin membuat anak laki-laki itu cemberut, Rafael berdiri di dekat pintu membawa mainannya. "Ibu, nakal..." Anak itu berceloteh. "Eh, kok malam Ibu yang nakal?" Yasmin terkekeh mendengarnya, memang Rafael mulai belajar berbicara meskipun tak banyak, namun Yasmin bisa memahaminya. Odette kembali mendekati sang Ibu, anak perempuan itu tersenyum manis. Dia menekan gemas pipi adik laki-lakinya sembari terkikik geli. "Adik bilang Ibu yang nakal. Rafael tidak mau dibilangin ya," ujar Odette memeluk sang adik. "Odette, ambilkan botol minum punya adik di meja makan, Sayang,"
Rencana tidak mau pulang yang dilakukan oleh Odette berbuah hal yang membahagiakan untuk Alana dan Alex, pasalnya hal itu berhasil membuat Kenzo dan Yasmin pun ikut tinggal di sana.Odette kini ikut bersama Yasmin dan Kenzo pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. "Ibu, bajunya Odette dibawa semuanya?" tanya anak itu membuka lemari pakaiannya. "Jangan Sayang, kita kan nanti juga akan pulang ke sini juga," jawab Yasmin pada sang putri. Anak itu mengangguk, dia mengambil beberapa bajunya dengan perlahan-lahan di dalam lemari. Meskipun terlihat sepele, namun Yasmin merasa berhasil mendidik anak itu dengan baik.Banyak hal yang Odette lakukan sendiri. Setidaknya di usianya yang masih sangat kecil, dia berusaha keras untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya. "Wahhh, anak Ayah sedang apa?" Suara Kenzo membuat Odette menoleh dan anak itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Odette bantu Ibu, Ayah!" serunya dengan wajah berseri-seri. "Semangat sekali
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu